Laman

Sabtu, 20 Oktober 2012

Marketing Entrepreneur - Jawapos 15 Oktober 2012

Kemarin di Surabaya saya diminta Menaker, Muhaimin Iskandar dan Gus Ipul (Wakil Gubernur Jawa Timur) untuk bicara tentang kewirausahaan di Atrium Plasa, Surabaya. Di tengah-tengah pameran produk wirausaha Jawa Timur, saya kembali menyampaikan pentingnya bagi kita para mentor agar jangan memaksakan wirausaha produk.

            Suka atau tidak suka, kewirausahaan yang sedang kita bangun adalah kewirausahaan tanah subur. Saking suburnya, produk apapun bisa kita dapatkan disini. Dan saking kreatifnya bangsa ini bisa membuat karya-karya seni dari apa saja: manik-manik, batu akik, permata, emas, perak, kulit, buku, kayu, kain, besi… pokoknya Anda sebut sajalah, pasti ada.

            Di negeri ini pula sampah bisa dijadikan lahan usaha. Bisnis preman juga bisa. Mulai dari yang halal sampai yang tidak. Dari tanpa resiko sampai yang beresiko tinggi. Kita semuanya memulai dari produk, yaitu “Apa yang bisa kita buat” atau “Apa yang akan menjadi produk usaha saya.” Wirausaha produk mengurus banyak hal, banyak mata rantainya.

            Dari bahan baku, lalu didisain, dicarikan kemasannya, dicetak, di-order, dibuat/ diolah, dikumpulkan dan seterusnya. Prosesnya panjang, berliku-liku dan mungkin melibatkan banyak pihak sebelum sampai ke tangan pembeli.

Masalah Pokok

            Anda tentu tahu apa masalah yang dihadapi wirausaha-wirausaha produk ini? Benar! Mereka kemudian akan mengeluh, “Pemasarannya bagaimana?” Kok pembeli yang ditunggu-tunggu tidak datang-datang. Atau, “Kok ternyata sulit menembus pasar?”

            Jika diteruskan, maka daftar keluhannya akan semakin panjang. Mulai dari rugi, tertipu, merasa diperlakukan tidak adil sampai seretnya penjualan. Itulah kewirausahaan produk. Wirausahanya fokus di mata rantai sisi sebelah kiri, fokus pada produk. Energinya habis di seputar produk. Begitu akan memasuki pasar, energi yang dibutuhkan akan sama besarnya, namun sudah terkuras di produk.

            Dunia yang sedang berubah memang tak sesederhana saat wirausaha muda kita masih kanak-kanak. Dunia masa lalu yang diwarnai oleh sistem usaha terpadu dari bahan baku, proses produksi hingga pemasaran sekarang sudah berakhir, dan masing-masing memiliki jagonya sendiri-sendiri. Di sektor riset ada pelakunya, product development ada lagi, juga proses produksi dan pemasaran. Masing-masing sudah  melepaskan diri dari satu mata rantai yang panjang.

            Jadi Anda harus memilih: Ingin jadi wirausaha apa? Wirausaha produk atau wirausaha pemasaran. Wirausaha berbasiskan riset atau penelitian. Demikian seterusnya. Dan karena Indonesia kaya raya, maka terbelenggulah kita pada produk. Mulai dari  kerajinan sampai kuliner. Dan semuanya ingin dikerjakan sendiri, meski pemasarannya sedikit.

Marketing Entrepreneur
            Singapore adalah contoh negara yang tidak bisa mengembangkan wirausaha produk karena alamnya tidak mendukung. Mereka masuk ke kewirausahaan pemasaran, trading, keuangan, dan jasa-jasa lainnya. Produknya bisa darimana saja, ya dari Indonesia atau dari China. Dari Myanmar atau India. Semua ditampung, diperdagangkan.

            Titik awal berpikirnya bukanlah produk, melainkan pasar. Pasar maunya apa, lalu dibangunlah jaringan pemasaran dengan segala perlengkapannya. Mulai dari keuangan dan perbankan, branding dan packaging, sampai logistic. Setelah ini jadi, yang lain tinggal ikut

            Seperti jaringan retail Carrefour atau Giant, mereka sebenarnya tak perlu modal besar. Produk-produk yang mengisi setiap rak jaringan retail itu mereka adalah titipan dari entrepreneur produk yang dibayar kredit di atas 30 hari. Pemilik- pemilik produk itupun dikenakan berbagai biaya untuk sewa tempat, rak, promosi dan seterusnya.

Seorang tukang kue bercerita bagaimana ia berevolusi dari product entrepreneur menjadi marketing entrepreneur. Semula mereka membuat kue di rumah lalu dititipkan ke toko-toko. Lama-lama mereka punya pesanan rutin dan tidak bisa dikerjakan sendiri, lalu pesan pada orang lain. Ternyata pesan bisa lebih murah. Mereka mulai menyebarkan pesanan dan berhenti berproduksi. Lambat laun mereka bisa membeli toko di beberapa pasar. Tokonya menjadi tempat titipan dari berbagai pihak. Sekarang mereka punya dua toko di hampir setiap pasar tradisional di Jabodetabek, menguasai pemasaran.

Dan tahukah Anda, menjadi wirausahawan produk ternyata lebih besar resikonya daripada menjadi wirausahawan pemasaran. Dan saya kira inilah masalah terbesar kewirausahaan Indonesia. Ayo  kawan muda, beralihlah menjadi marketing entrepreneur!

Rhenald Kasali
Founder RUmah Perubahan

Race to Nowhere - Sindo 11 Oktober 2012

Kita semua pernah sekolah, demikian pula anak-anak kita. Diantara anak-anak itu tentu saja ada yang berotak encer dan tak banyak menemui masalah. Namun harus diakui semakin hari sekolah semakin menakutkan bila ujian tiba, bukan hanya murid yang stress, guru dan orang tua pun gelisah. Bahkan setan hitam pun ikut gelisah. Jumlah siswa yang kerasukan di sekolah-sekolah semakin hari semakin besar sekali di sini, dan anehnya selalu terjadi menjelang ujian.

Mungkinkah semua persoalan itu terletak pada sistem pendidikan yang disebut Vicki Abeles sebagai sebuah “Race to Nowhere”. Ya seperti perlombaan besar yang muaranya “ ya, ngga jadi apa-apa juga”.
Hidup kita jadi terbalik-balik. Yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa sedangkan yang sekolahnya main-main malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Sulit kita melawan buku-buku populis yang mengajarkan cara-cara jalan pintas, cara gobloknya Bob Sadino berwirausaha atau bahkan keluguan seorang motivator yang menyebutnya dengan judul besar di cover depan buku karangannya:  The Power  of Malas. Sungguh, ini sangat sulit!  Mengapa sulit?  Tentu bukan karena sekolah tidak penting, melainkan ada yang salah.

Perbaiki Sekolah

Vicki Abeles gelisah. Sebagai ibu rumah tangga ia tak habis pikir mengapa putrinya yang berusia 12 tahun sakit secara fisik hanya karena sekolah. Selama 3 tahun ia mencari jawabannya dengan mewawancarai anak-anak sekolah, dan mahasiswa. Kumpulan wawancara itulah yang dijadikan Vicki sebagai film dokumenter yang diluncurkan tahun lalu.

Di Amerika Serikat sendiri film dokumenter itu memicu perpecahan. Namun Vicki berhasil mencuri perhatian sehingga para politisi dan pendidik  mau memperbaiki persekolahan.  Di banyak sekolah, metode pengajaran dibongkar.  Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan mulai merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir.  Mata ajar biologi, fisika dan kimia ang dianggap momok diubah menjadi mata ajar lab yang lebih fun.  Anak didik dibuat belajar seperti seorang scientist berpikir, bukan menghafal.

Namun di sekolah lain, guru-guru justru merasa sebaliknya:  murid masih terlalu sedikit menghafal.  Di sekolah-sekolah itu kegelisahan terjadi, karena guru menolak cara lain selain hafalan.

Di Indonesia, selain kerasukan setan menjelang ujian, keributan juga terjadi saat sorang siswa SMA 6 Bulungan Jakarta tewas terbunuh. Tawuran antar sekolah, bullying, aksi corat-coret sampai menyontek menjadi masalah sehari-hari.  Anak-anak yang gelisah tak belajar dengan baik.  Anak-anak kita paksa mempersiapkan masa depan lebih dari kemampuan mereka. Orang tua yang berambisi mengirim anak-anak ikut les disana-sini, bahkan mempengaruhi guru agar anaknya tidak mengalami kesulitan di sekolah.  Di Amerika Serikat orang tua murid yang telah "bertobat" dalam membimbing anak-anak dengan cara pabrikasi berbicara lantang. “Saya khawatir kelak anak-anak akan memperadilankan kita, orang tua, karena telah mengambil masa kanak-kanak mereka”.

Maka ketika pemerintah di sini berencana mengurangi beban pelajaran siswa sekolah, ada rasa syukur di hati saya.  Namun kalau pengurangan semata-mata dilakukan hanya sekedar untuk mengurangi jumlah subyeknya saja, bisa jadi kita akan bermuara ke “nowhere” juga.  Apalagi kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan mempertahankan subyek-subyek yang hanya akan disampaikan secara kognitif belaka.

Pengalaman saya sebagai pendidik menemukan, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik.

Latih Berpikir
Maka itu, mata ajar yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, guru-guru harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi berpikir.

Melatih manusia berpikir adalah masalah mendasar yang perlu dipecahkan dalam sistem pendidikan nasional. Berpikir yang baik akan menghasilkan karya-karya besar, meski beresiko tersesat. Tetapi bukankah hanya orang tersesat saja yang berpikir?
Hanya orang-orang berpikirlah yang tidak mudah tertipu yang tidak menjadi manusia sempit yang picik, yang tidak memikirkan diri atau kelompoknya sendiri, dan tentu saja orang yang berpikir akan menjadi manusia kreatif.

Jadi, bukan hanya mata ajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata ajaran pun  perlu disempurnakan. Jadi saya kira pendidikan memang perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orang tuanya.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sabtu, 13 Oktober 2012

Viral Sensation - Jawapos 8 Oktober 2012

Pada era 1960-an, Bung Karno, Kennedy, Gandhi dan Castro menyihir dunia lewat sensasi suara : Radio. Di awal abad 21 perubahan dilindungi juga oleh kekuatan rakyat namun sensasinya sudah jauh berbeda, yaitu Viral Sensation. Ya seperti gerakan hari jumat malam lalu, saat tokoh-tokoh masyarakat berbondong-bondong ke gedung KPK ingin “mengusir” polisi yang akan menjemput paksa penyidiknya. Meski rombongan polisi pergi karena ditelefon atasannya, namun atasan dari atasan-atasannya yang menelefon terimbas Viral Sensation yang dialami tokoh masyarakat.

Viral Sensation terjadi hampir setiap minggu dengan topik yang amat beragam, mulai dari sensasi Negeri Lima Menara hingga nikah siri Limbad. Dari koin untuk Prita Mulyasari sampai Caiya-caiya Briptu Norman Kamaru. Dari Jokowi sampai Kompol Novel Baswedan. Viral Sensation menghancurkan kekuatan-kekuatan lama dan menumbuhkan spirit-spirit baru.
Namun bisakah “Viral Sensation” yang mewakili suara rakyat merubah para politisi yang koruptif?

Ura. Ru
Sekelompok relawan di Rusia mengatakan “harus bisa”. Mereka lalu membentuk sebuah Website yang domainnya diberi nama Ura.Ru. Disitu setiap hari rakyat mengeluh, menceritakan segala kejadian yang diterima dari pelayanan publik. Mereka memberi tag line web nya sebagai “A City Site for A Better City”.

Harap maklum Ura.Ru dibangun oleh relawan-relawan dari Yekaterinburg, kota terbesar ke 4 di Rusia yang sarat perilaku mafia dan politisi-politisi korup yang malas mirip-mirip dengan situasi yang kita hadapi.

Tetapi keluhan saja tak menciptakan perubahan. Anak-anak muda yang lebih cerdas mengusung tema Graphity for Change. Ya betul, mereka menggunakan kemampuan artistik membuat grafiti di tengah kota untuk membongkar watak para politisi. Seorang pakar komunikasi menasehati mereka. “ Kalau tidak dibuat personal, Viral Sensation tidak akan terbentuk. Dan tanpa sensasi itu perubahan akan sia-sia.

Mereka pun sepakat. Tiga buah potholes (lubang besar di jalan raya) yang sudah sering mereka keluhkan dijadikan sasaran. Lubang-lubang besar itu mereka jadikan gambar mulut dari kepala para politisi yang terlalu sering melukai hati rakyat. Ketiganya juga dianggap orang yang sering ingakar janji. Wajah tiga orang itu mereka jadikan grafiti. Bermodalkan tiga kaleng cat semprot, wajah ketiganya digambar pada malam hari tepat di tiga lubang itu. Dan esoknya foto-fotonya sudah di upload di situs Ura.Ru. Di bawah mulut mereka tertera ucapan-ucapan yang sering mereka janjikan.

Bak virus yang cepat mewabah, Viral Sensation menyebar begitu cepat hingga sampai ke telinga ke tiga politisi yang tengah menjadi sasaran. Namun alih-alih melayani kepentingan publik mereka justru menugaskan PNS untuk membersihkan wajah-wajahnya dan janji-janji kosongnya.
Namun para relawan sudah siap dengan beberapa kamera yang dipasang tersembunyi. Langkah para petugas yang membersihkan grafiti mereka rekam dalam kamera tersembunyi dan sekali lagi ditayangkan dalam Ura.Ru. Para relawan pun menulis di lokasi yang sama yang telah dibersihkan petugas: Painting is not fixing it (mengecat ulang bukanlah memperbaikinya). Tulisan berwarna putih di atas dasar hitam, terbaca sangat jelas dari jauh. Popularitas para politisi jeblok total.
Dan anda tahu apa akibat selanjutnya?

Dalam tempo 24 jam, tiga kaleng cat semprot yang digunakan senima-seniman grafiti berhasil mengubah pikiran politisi-politisi malas. Malam harinya lubang-lubang besar itu segera dirapihkan. Hanya dengan cara itulah rakyat Yaketerinburg dapat menikmati kenyamanan jalan yang mereka inginkan.

Perbaiki Nasib Bangsa

Dalam buku Why Nations Failed, Daron Acemoglu  dan James Robinson menjelaskan, bangsa-bangsa yang gagal membangun kesejahteraannya bukan disebabkan oleh alamnya atau budayanya, melainkan sistem politik yang membiarkan para politisi busuk tetap berkuasa. Rakyat yang tak punya kuasa mengganti mereka akan menerima nasib buruk kemiskinan dan kurang gizi.

Ura.Ru dan para relawan di Yekaterinburg mengajarkan, diluar sistem politik ada cara bagi rakyat untuk menciptakan perubahan yang bersifat damai, yaitu Viral Sensation. Serangan-serangan sensasi virus ini harus ditujukan secara personal, tepat di sasaran, lengkap dengan bukti-bukti ucapannya. Sebab pejabat publik hanya peduli pada citra publik dirinya. Ditengah-tengah budaya malu yang sudah hilang, sensasi media sosial masih bisa dijadikan harapan, asal para seniman-seniman grafiti, mahasiswa dan aktivis-aktivis perubahan mau bersatu dan tidak berbuat onar dengan merusak sarana publik, atau menyusahkan pengguna jalan. Ayo ikut menciptakan perubahan!

Rhenald Kasali
Founder RUmah Perubahan

OUTSOURCING - Sindo 3 Oktober 2012

Jalan-jalan tertentu di Jakarta pada Rabu (3/10) kemarin  tak sepadat hari-hari biasanya. Banyak karyawan memilih meliburkan dirinya karena demo buruh secara massal. Di pusat-pusat industri di pinggiran Jakarta dan kota-kota industri lainnya, ribuan buruh tumpah ke jalan untuk menuntut kesejahteraan. Salah satu yang mereka tuntut adalah menghapuskan sistem outsourcing.

                Sudah sekian lama buruh di Indonesia menuntut penghapusan outsourcing yang dinilai lebih banyak merugikan, mengganggu rasa keadilan dan kesejahteraan dan dianggap menguntungkan sebagian pengusaha. Betulkah outsourcing ini harus dihapuskan agar buruh bisa lebih sejahtera atau sebenarnya ada masalah lain yang lebih penting dan  harus diselesaikan terkait outsourcing ini?

FENOMENA GLOBAL

             Perlu dipahami para buruh bahwa outsourcing merupakan sebuah gejala global yang terjadi di seluruh dunia. Outsourcing muncul karena dunia usaha semakin menyadari siklus bisnisnya bergerak semakin pendek. Dari 30 tahun sekali menjadi 20 tahun sekali, lalu 10 tahun sekali. Krisis semakin cepat terjadi, semakin berat. Perusahaan yang memiliki sendirian ribuan karyawan terlalu riskan bila terjadi gangguan dari luar, termasuk siklus krisis.  Di lain pihak manajemen modern mengajarkan, perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang fokus pada kompetensi intinya.   Perusahaan tidak mau susah payah mengurusi terlalu banyak hal yang tidak dikuasainya.  Seperti bank yang keahliannya mengurus aspek keuangan, dulu mengurus banyak hal termasuk secutity dan catering.  Sekarang dunia usaha ingin fokus ke core competency atau kompetensi inti, dan memilih menyerahkan hal-hal yang bukan keahlian intinya ke perusahaan lain.

                Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri sebenarnya telah menetapkan 5 jenis pekerjaan yang diperbolehkan outsourcing yakni cleaning service, keamanan, transportasi, katering dan pemborongan pertambangan. Selain 5 pekerjaan tersebut, pemerintah melarang penggunaan tenaga kerja outsourcing. Padahal gejala outsourcing di negeri ini sudah merambah ke segala bidang mulai dari R&D, sekretariat, desain, travel, pengawalan, riset pasar, distribusi dan sebagainya. Outsourcing telah terjadi begitu luas disini dan di seluruh dunia.

Sejumlah perusahaan kemudian memilih menggunakan jasa outsourcing untuk jasa-jasa tersebut dengan harapan bisa lebih fokus pada kompetensinya, efisien sekaligus meminimalkan risiko ketika terjadi krisis.  Namun buruh bertanya apakah semua ini semata-mata ditujukan untuk kpentingan pengusaha?

                Praktik-praktik outsourcing banyak ragamnya dan banyak diterapkan di berbagai negara maju. Misalnya nearshoring yang berarti mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ke perusahaan-perusahaan negara tetangga karena dianggap memiliki kedekatan baik dari segi budaya, zona waktu maupun peraturan. Praktik nearshoring ini umumnya diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Eropa Barat dengan menyerahkan outsourcing kepada negara-negara Eropa Timur.  Atau praktik offshore sourcing yakni mencari outsourcing ke negara-negara lain yang upahnya lebih rendah namun kualitasnya cukup baik. Ada pula Crowdsourcing yang menyerahkan pekerjaan kepada sekelompok orang.

                Yang ingin saya tekankan disini adalah bahwa outsourcing merupakan praktik yang lumrah diterapkan berbagai perusahaan di dunia untuk merespons krisis. Hanya saja, praktik outsourcing ini harus dikelola dengan baik agar tidak memunculkan masalah terutama berkaitan dengan kesejahteraan buruh.  Buruh yang tidak sejahtera berarti bangsa juga tidak sejahtera.

KOMPETENSI OUTSOURCING

Yang harus dicermati sekarang adalah mengapa outsourcing di Indonesia kerapkali mendapatkan penolakan. Saya kira salah satu penyebabnya adalah karena tenaga kerja outsourcing yang disewa perusahaan banyak menimbulkan persepsi bahwa mereka adalah warga ‘kelas dua’. Perusahaan seringkali menerapkan dualisme: karyawan tetap dan karyawan outsourcing. Para karyawan outsourcing kerap dipandang sebelah mata karena tingkat kesejahteraannya jauh di bawah kesejahteraan pegawai tetap di perusahaan tersebut pada kualifikai prkerjaan yang sama.

Tentu saja halin menmbulkan rasa  ketidakadilan. Fasilitas dan imbalan yang diterima pegawai outsourcing tidak setara dengan kesejahteraan pegawai tetap. Mirip perbedaan yang dialami pekerja-pekerja lokal di perusahaan-perusahaan asing yang kesejahteraannya dibedakan. Masalah tunjangan kesehatan pun tidak diperhatikan oleh perusahaan pengguna jasa tersebut. Mereka menyerahkan masalah tunjangan kesehatan, kesejahteraan pekerja kepada perusahaan outsourcing. Dan demi mendapatkan eisiensi, perusahaan outsourcing banyak yang menghapuskan tunjangan kesejahteraan buruhnya, bahkan menekan upahnya. Sebuah ketidakadilan yang kemudian sangat merugikan buruh. Selama dualisme itu ada, rasa ketidakadilan sulit dihilangkan.

Selain itu, banyak perusahaan yang melakukan outsourcing semata-mata untuk mencari untung karena bisa menyewa tenaga kerja yang lebih murah, bukan karena ingin fokus kepada kompetensi inti. Sementara perusahaan outsourcing juga mencari untung dengan mencari tenaga-tenaga kerja murah yang kompetensinya tidak sesuai. Jika sudah begini, maka buruh outsourcing lah yang paling menderita. Padahal niat semula dengan outsourcing adalah perusahaan bisa fokus pada kompetensi intinya sehingga bisa lebih fokus, kinerja lebih baik, bisa berekspansi yang pada akhirnya bisa membuat semua pihak semakin sejahtera.

Di tengah globalisasi saat ini, praktik outsourcing tidak mungkin dihapuskan. Para buruh pun harus melihat outsourcing sebagai sebuah realita yang harus dihadapi. Namun yang lebih penting adalah sistem outsourcing harus dibenahi, ditata ulang. Outsourcing yang baik adalah yang efisien, menguntungkan kedua belah pihak dan menyejahterakan buruh. Tidak boleh ada perusahaan yang membayar tenaga kerja outsourcing di bawah standar. Perusahaan outsourcing sebaiknya memiliki kompetensi dan akreditasi dan dibuat standarnya secara nasional sehingga pada akhirnya semua pihak tidak merasa dirugikan dan negeri ini kembali kompetitif.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Rhoma Irama Effect - Jawapos 1 Oktober 2012


Sudah banyak yang membicarakan Jokowi Effect, apalagi sejak Jokowi berhasil mengalahkan koalisi hampir semua partai politik.  Melawan incumbent yang relatif kuat di Jakarta dengan dukungan banyak kepentingan. Tetapi belum banyak yang menyoroti Rhoma Irama Effect, si raja dangdut yang memiliki pesona luar biasa.

                Sebuah message saya terima kemarin pagi, di broadcast seorang teman pada beberapa jaringan. Lewat twitter dan BBM, yang menghubungkan kuatnya dukungan publik kepada orang-orang yang terkena semprotan di raja dangdut, dan itu sulit dilupakan. Ada banyak nama yang disebut, tetapi setidaknya kita ingat Inul Daratista dan pasangan Jokowi-Ahok. Ada juga yang menyebut nama Angel Lelga yang kini juga jadi terkenal dan sering tampil bersama tas-tas bermerek mahalnya.

Kekuatan dan Ancaman

                Beberapa tahun lalu saya melakukan sebuah studi di Universitas of Illinois USA. Pertanyaan yang kami ajukan sederhana saja, yaitu mengapa kedatangan perusahaan-perusahaan besar selalu disambut masalah oleh penduduk di daerah-daerah baru. Anda tahu betapa besarnya jaringan dan reputasi yang dimiliki WallMart. Sudah jaringannya banyak, setiap unit tokonya tidak ada yang luasnya kurang dari 1000 meter persegi. Berjalan keliling toko saja bisa pegal kaki anda. Semuanya serba besar dan lengkap, mulai dari gedung sampai tempat parkir, dari snak ringan sampai ikan hias, sepatu, keset, peralatan berkebun, kacamata dan elektronik juga ada.

                Pemerintah Amerika Serikat yang pro persaingan usaha percaya, kehadiran WallMart bagus bagi konsumen, yaitu menyediakan beragam pilihan dengan harga yang jauh lebih murah. Tetapi lain pikiran pemerintah lain pula persepsi masyarakat. Besar itu adalah ancaman, menakutkan, dan menyesatkan.  Kehadiran WallMart di satu sisi dirindukan, tetapi di lain sisi dikhawatirkan.  Bahkan dihadang.
                Seorang Social-Psichologist terkenal memberi insight begini “Bayangkan di sebuah desa yang senyap tiba-tiba puluhan alat-alat berat berdatangan. Betapa takutnya masyarakat.” Sebaliknya, seorang teman yang tengah membangun pembangkit listrik tenaga air (mikro hidro) untuk kegiatan kami di Pulau Baru tak berani menyediakan listrik puluhan watt. “Bagi orang desa yang diafrahma matanya sudah terbiasa melihat gelap, mendapat listrik 5 watt saja sudah terang benderang.” Ujarnya. Kalau dibuat terang benderang mereka pasti terkejut.

        Demikianlah kebesaran nama, reputasi, postur tubuh, suara, cahaya dan kekuasaan bisa menjadi ancaman kalau tidak diimbangi dengan kerendahhatian, kebersahajaan, senyum, sapa dan salam. Suara orang kuat yang meninggi saja bisa menimbulkan kesedihan bagi yang mendengarnya. Apalagi bila mengancam dan membelalakkan mata, simpati berubah menjadi antipati.

                Saya ingat betul suasana tahun 1980-an, di depan kampus UI Salemba, saat kami  berdemo melawan Orde Baru. Saat  itu kebencian terbesar ditunjukkan kepada militer,  yang sekedar menghadapi mahasiswa saja harus turun membawa panser, tameng dan bersepatu Lars. Ini sungguh menciptakan kebencian.
                Di era 1980-an gejala Rhoma Irama Effect sudah muncul. Saat dikontrak oleh Partai Persatuan Pembangunan (P3) untuk menghibur para pendukung kampanye, Rhoma  sering disebut masuk P3. Hari itu di kampus Salemba kami mendengar P3 akan berkampanye di Lapangan Banteng. Semua toko di sepanjang jalan Salemba-Matraman-Senen sudah tutup di siang hari. Jalanan lengang. Dan ribuan rakyat bergerak menuju Lapangan banteng. Sudah hampir pasti bukan P3 yang mereka dukung, melainkan Rhoma Irama. Brand Image Rhoma jauh lebih kuat daripada P3 saat itu.

                Tetapi menjelang sore hari, entah siapa yang membuatnya, sepanjang jalan Senen-Kramat Raya dan Salemba porak poranda. Lampu-lampu traffict light pecah, pot-pot bunga besar terbalik kacau balau. Banyak toko yang rusak. Di beberapa titik saya melihat beberapa mobil masih menyala terbakar api. Seperti biasa polisi dan tentara datang belakangan. Ribuan masa yang beringas muncul dari perkampungan.

Stand Up Commedy
                Rhoma Irama effect mungkin masih terus berlanjut meski si raja sudah mulai menua dan puluhan artis-artis dangdut yang lebih terkenal terus bermunculan. Tetapi karya-karya Rhoma sulit dilupakan.  Namun di sini yang kita bicarakan bukanlah Rhoma itu sendiri, melainkan efek dari sesuatu yang besar, kuat, dan menakjubkan. Sesuatu yang bisa berubah dari simpati menjadi antipati, dari yang terhina menjadi terangkat seperti janji yang disampaikan dalam kitab suci. Atau sebaliknya, “mereka yang meninggikan lehernya akan direndahkan”.

                Sementara itu kecerdasan justru dimiliki oleh komedian-komedian baru. Mereka itu tidak mau mengolok-olok orang lain seperti yang biasa dilakukan para komedian lama. Mereka hanya mengolok-olok diri sendiri. Yang gendut mengolok-olok kegendutannya, yang agak feminim mengolok-olok kaumnya sendiri, yang berlogat Batak atau Madura mengolok-olok etnisnya sendiri, dan yang giginya maju ke depan mengolok-olok kekurangannya. Mereka merendahkan diri untuk ditinggikan.
                Jadi buat apa belajar membuat strong brand,  membangun great company, menciptakan artis hebat, menjadi raja dangdut atau mentraining high performing people kalau hanya menjadi ancaman bagi orang lain dan simpati berubah menjadi antipati? Nama-nama  besar yang menggunakan tone tinggi  bisa menimbulkan efek negatif bagi diri sendiri.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Selasa, 02 Oktober 2012

Branding - Sindo 27 September 2012


Kemenangan sementara Jokowi (saya sebut sementara sampai pengumumuman resmi KPU) menimbulkan banyak pertanyaan tentang pentingnya branding. Banyak juga yang percaya branding, khususnya dalam politik adalah bagian dari pencitraan. Betilulah cara berpikir kebanyakan orang, sehingga pencitraan selalu dimulai saat berkampanye. Padahal branding bukan melulu masalah komunikasi, ia selalu dimulai dari awal, dari core promise, yaitu apa yang anda janjikan. Kata inovator Guy Kawasaki ( dalam The Art of Starting ) branding harus dimulai dari mantra atau janji suci yang diucapkan di dalam hati dan berulang-ulang.
Branding tak bisa diciptakan dalam setahun – dua tahun. Apalagi, dalam semalam dua malam seperti yang sering diucapkan para motivator. Branding butuh waktu panjang, bahkan sejak kepala anda di tegakkan dari atas permukaan kerah baju. Ini berarti, dimulai sejak orang-orang melihat kehadiran anda.

Brandingnya Jokowi bukanlah baju kotak-kotaknya, dan brandingnya Fauzie Bowo bukanlah kumisnya seperti yang sering kita baca. Branding memiliki essence, yaitu mantra atau core promise yang di tanamkan pada produk. Brandingnya Jokowi adalah pelayanan publik yang kebetulan cocok dengan apa yang sedang dikeluhkan masyarakat sehingga terjadilah relasi.  Ada permintaan yang bertemu dengan penawaran.

Branding = Relasi
Brand sekuat Coca-cola saja bisa kehilangan brandingnya, yaitu saat kehilangan relasinya dengan pelanggannya. Itu sebabnya, di era social media, brand-brand besar selalu mencari perhatian membangun relasi.

Beberapa waktu yang lalu coca-cola menghebohkan kaum muda dengan tema “friendship”nya. Coke menyadari bahwa kaum muda yang dibidiknya adalah kelompok yang sedang membentuk persahabatan.  Kita tahu anak-anak muda jarang melakukan sesuatu seorang diri. Mereka selalu bergerombol bersama sahabat-sahabat.

Apakah anda melihat realitas ini dan kalau anda melihatnya, insight apa yang dapat anda ambil?

Coca Cola menciptakan tema persahabatan 2x1. Cukup satu orang yang membayar, maka didapat 2 buah botol coca-cola. Namun untuk mendapatkannya diperlukan tenaga friendship, beberapa orang bekerjasama.

Sebuah Vending machine berukuran tinggi sekitar 2,5 meter diletakkan di lobi sebuah gedung. Namun lubang untuk memasukan coin pembayaran tidak dapat dijangkau dengan tangan biasa. Diperlukan jangkauan diatas 2 meter. Tidak seperti biasa yang dapat di jangkau anak kecil sekalipun. Juga tak ada bangku atau dengklik  di sekitar machine.
Anak-anak muda di 9 negara yang berada dalam area kampanye branding Coke hanya butuh beberapa saat untuk memecahkan masalah ini. Mereka harus saling memangku.  Salah seorang berdiri dibawah dan sahabatnya naik ke atas pundak temannya. Koin yang di masukkan pada slot yang tinggi membutuhkan kerjasama persahabatan, dilakukan sambil bersenang-senang. Lalu 2 botol Coke meluncur ke bawah. Kalau berhasil didapat, semua senang.

Branding Campaign ini dengan cepat menyebar luas. Anak-anak muda berebut memanjat bersama dengan sahabat-sahabatnya, berfoto di depan Vending Machine persahabatan dan menyebarkannya dalam media-media social persahabatan. Omset Coke naik, dan brand relationship terbentuk. Brand relationship membutuhkan kreatifitas. Namun lebih dari itu, manusia dibelakangnya harus memiliki branding spirit yang kuat. Bukan seorang yang kaku, pemarah terhadap publik, jarang menyapa, apalagi penakut tentu sulit untuk dicitrakan sebagai manusia yang memimpin untuk melayani. Celakanya badan-badan usaha di Indonesia lebih banyak diwarnai pikiran menghindari kreatifitas dan lebih kuat control-compliance daripada inovasi. Eksekutif lebih kuat mengikat kakinya daripada menjelajahi relationship yang kreatif.  Kalau sudah begitu, maka pencitraan apapun akan sulit dibangun. Apalagi bila waktunya mepet.
Partisipasi Publik

Brand essence dan brand relationship akan tampak saat terjadi loyalitas. Loyalitas yang ditandai dengan repeat order (pembelian berulang-ulang atau kembalinya pelanggan-pelanggan lama )akan bermakna pada partisipasi publik.

Dalam pilkada DKi putara kedua, mudah disaksikan kekuatan branding Jokowie yang antara lain ditandai oleh kuatnya partisipasi masyarakat dalam banyak hal. Tengok saja game online yang dibuat anak-anak muda asal Bandung, mereka sama sekali bukan anggota team sukses Jokowie meski mereka meminta restu kepada yang bersangkutan. Berbeda benar dengan game online yang dibuat oleh team sukses Foke-Nara. Yang satu datang dari partisipasi publik, sedangkan yang satunya dari dalam.

Partisipasi publik akan datang pada produk-produk yang tepat dan saat yang tepat. Para politisi yang cerdas bisa belajar dari kasus ini. Pertama, menjaga sikap dan membentuk essence yang konsisten adalah modal utama sebuah kemenangan. Betapa seringnya anda muncul di televise bukanlah faktor keberhasilan kalau ucapan-ucapan yang ditampilkan justru bertentangan dengan kemauan dan tuntutan publik. Kedua, tindakan harus konsisten dengan ucapan. Ketiga, kemenangan hanya didapat kalau partai berhasil membina kader-kadernya dan mendapatkan kader-kader yang memiliki “essence” yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Maka hampir pasti, mengandalkan kader internal yang buruk akan menjadi beban bagi partai. Tugas partai adalah menemukan pemimpin, bukan mempromosikan orang-orangnya yang tidak memiliki essence yang kuat.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Fluxury - Jawapos 24 September 2012


Karena jarang membeli barang mewah maka saya meng-iyakan saja saat menerima titipan seorang teman untuk membelikan dompet bermerek LV di kota Paris. Diantar oleh seorang sahabat yang menetap di dekat museum Monet, kami memasuki  gedung pertokoan Lavayette. Tetapi begitu sampai disana saya tertegun.  Antrian sudah begitu panjang. Istri saya membutuhkan waktu 2 jam untuk masuk ke dalam toko. Dan diantara pengunjung, saya pastikan 25 persen diantaranya berpaspor Indonesia dengan logat  Tionghoa Surabaya dan sebagian Jakarta.

Apa yang terjadi ketika barang-barang lux, merek-merek prestisius menjadi biasa dan bisa dimiliki banyak orang? Inilah yang disebut  era fluxury.

Lihat Tasnya

            Di televisi kita sudah biasa melihat artis-artis memamerkan tas-tas bermereknya. Tas limapuluh juta rupiah ternyata sekarang bisa dibeli oleh orang-orang kaya biasa. Di Kalimantan, seorang teman membuka butik tas mewah mengaku kewalahan melayani ibu-ibu pejabat dan pengusaha. Semakin mahal semakin membuat kalangan berduit bersemangat.

            Tetapi di Bali, di Vila Royal Pita Maha yang eksotis, petugas penjemput yang ditugaskan di Bandara punya cara sendiri mengenali tamu-tamunya. Kalau mereka datang dengan private jet, lumrah lah bila tasnya bermerek mahal. Juga kalau mereka menenteng tas tangan mewah. Nah yang perlu diwaspadai justru mereka yang naik pesawat penumpang, namun koper-koper besar bermerek mahal dimasukkan ke dalam bagasi. Mereka ini pasti bukan orang biasa. Kalau luarnya saja sudah bermerek, bagaimana yang didalamnya?

            Begitulah training yang diberikan oleh sebuah hotel butik untuk mempelajari karakter tamu-tamunya. Dan semakin hari semakin banyak kita temui temui orang-orang yang mampu memiliki luxury goods dan menjadi semakin biasa.

            Kalau sudah semakin biasa, ini tentu sudah bukan lux lagi bukan? Di pesawat terbang, kalau Anda duduk di business class selama liburan tidaklah senyaman hari-hari biasa. Di situ Anda akan bertemu berbagai kalangan yang anak-anak kecil. Benar! Bayangkan, anak-anak usia 8 tahun duduk di business class seperti seorang taipan, ditemani beberapa orang baby sitter. Itulah Fluxury.

Moving Target
            Jadi fluxury merupakan evolusi dari luxury, yang dibentuk oleh flux, pertumbuhan yang terjadi terus menerus. Dalam sebuah paper yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga riset disebutkan dunia yang terus berubah, bukan hanya permintaan yang bergerak, melainkan juga definisi, “ nothing is more  flux than the meaning of the word luxury.”

            Fluxury adalah sebuah market insight yang perlu dipahami. Kalau tidak produk-produk bisa turun kelas. Bukankah distributor Anda selalu bilang harga jual belum bisa naik. Atau anak buah Anda akan menyatakan harga segitu sudah kemahalan, susah menjualnya. Demikian juga dengan para politisi yang ditertawakan kelas menengah karena memberikan mereka subsidi yang tidak mereka butuhkan. Ambil saja contoh subsidi BBM yang dipakai untuk jalan-jalan membeli sate di Tretes (dari Surabaya) atau makan bandeng bakar Pak Elan di Gresik. Barang subsidi dipakai untuk bersenang-senang.

            Jadi diperlukan langkah-langkah berani, walaupun tindakannya nanti biasa-biasa saja, pasti ada sesuatu yang menyegarkan. Intinya adalah mengembalikan kembali merek dalam cahaya baru. Bayangkan saja Anda adalah smart consumer, Anda keluarkan uang puluhan juta rupiah, tetapi banyak orang bisa memiliki juga. Bukankah ini tidak smart? Tetapi snob. Meski mahal dan banyak yang bisa membeli, ya dibeli saja. Larut dalam antrian.

            Smart consumer, biasanya menghendaki “sesuatu” yang melebihi ekspetasinya. Kemewahan misalnya, bukan lagi ada di hotel bintang lima atau di pusat kota seperti hotel Grand Hyatt, melainkan sangat mungkin dikreasikan di tengah-tengah perkampungan yang menyatu dengan penduduk. Insight dari fluxury mengajarkan konsumen cerdas mencari sesuatu yang menghadirkan “experience that no one has.”

             Saya banyak menemukan fakta-fakta yang demikian di pendopo saya yang benar-benar terletak di tengah-tengah kampung. Sama halnya dengan hotel-hotel mewah yang saya temui di kota pedesaan Ubud. Bahkan dulu banyak eksekutif yang mengeluh saat diberi kamar yang sangat mahal di Ubud. Jalannya kecil, tak ada musik-musik keras keluar dari grup band seperti yang sering anda temui di Seminyak atau Kuta. Tetapi itulah fluxury, kemewahan dari kesunyian. Dan sekarang, turis yang menginap di vila-vila di dalam Kampung Seni Ubud diketahui bukanlah backpackers murahan atau eksekutif pasaran. Mereka yang datang ke Ubud umumnya datang dengan private jet, mereka adalah artis-artis Hollywood, CEO Internasional, diplomat terkenal, penulis besar dan seterusnya.

            Para pengembang fluxury bisa memanfaatkan banyak elemen mulai dari mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, mengelevasi spirit eksentrik, memperjuangkan kebahagiaan, ekspresi “me” (it’s all about me”) dan mengangkat kembali antusiasme.

            Ada banyak cara mengembalikan spirit kebahagiaan. Kalau seseorang sanggup menyeret koper mahalnya di tengah-tengah padang pasir, maka sudah pasti benda itu bukan lagi luxury, melainkan fluxury. Mereka membawanya bukan karena merek, melainkan kebahagiaan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Produktivitas, Daya Saing dan PNS - 20 September 2012

Hari Rabu saya menjadi pembicara dalam forum alumni Asian Productivity Organisation (APO) di kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. APO merupakan sebuah organisasi antarpemerintah di kawasan Asia Pasifik yang bertujuan meningkatkan produktivitas di negara anggota. Ada 20 negara yang menjadi anggota organisasi yang berdiri pada 11 Mei 1961 itu. Sementara Indonesia sudah menjadi anggota APO sejak tahun 1968. Selain menjadi anggota APO, Indonesia juga menjadi anggota pada 82 organisasi internasional yang terbagi dalam 3 kategori yaitu organisasi-organisasi dalam sistem PBB (seperti ILO dan WHO), non PBB dan ASEAN. Total biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk membayar seluruh iuran disampaikan Kementerian Luar Negeri sebesar Rp 215 miliar (2011).

Dari forum itu, saya mendapatkan sebuah fakta yang mengejutkan bahwa Indonesia terpaksa harus menunggak iuran keanggotaan APO dengan alasan persetujuan dari DPR dan Pokja mempertanyakan benefit dengan menjadi anggota APO. Pokja ini terdiri dari wakil-wakil dari unit Eselon II di berbagai instansi pemerintah. Pokja inilah yang memberikan masukan sehingga Indonesia kemudian menolak usulan kenaikan kontribusi keanggotaan APO yang semula USD 424.085 menjadi USD 606.298 . Iuran keanggotaan tetap sebesar USD 424.085.  

Daya Saing dan Produktivitas
Iuran ke APO sebesar itu sebenarnya setara dengan iuran tahunan Indonesia kepada UNESCO. Secara keseluruhan, iuran yang dibayar Indonesia pada lembaga-lembaga di bawah PBB mencapai USD 7 juta per tahun. Namun sebenarnya dengan membayar iuran keanggotan APO itu, Indonesia mendapatkan banyak manfaat yakni peningkatan produktivitas melalui berbagai pelatihan, kajian ilmiah, seminar, survei, bantuan tenaga ahli dan lain-lain.  APO  juga bisa mendorong kerjasama bilateral dan multilateral untuk kolaborasi aktivitas yang berkaitan dengan produktivitas. APO juga bisa bertindak sebagai penasihat untuk penyusunan strategi-strategi dalam rangka mendorong produktivitas dan daya saing.

Daya saing ini menjadi sangat penting mengingat peringkat daya saing Indonesia berdasarkan penilaian World Economic Forum (WEF) turun ke  posisi 50. Padahal tahun lalu Indonesia berada di peringkat ke-46 di tahun. Meski Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan tidak masalah dengan penurunan tersebut, namun sebenarnya hasil penilaian WEF itu harus dicatat sebagai penurunan produktivitas negara ini. Kalau saja produktivitas dapat kembali menjadi perhatian pemerintah, maka tidak seharusnya daya saing Indonesia merosot. Daya saing bukan lah melulu persoalan ekonomi makro, melainkan juga masalah manajemen, pelayanan dan inovasi.

Berapa biaya ekonomi yang harus dibayar Indonesia dengan produktivitas yang rendah itu? Pemerintah mestinya bisa menghitung antara biaya untuk meningkatkan daya saing yang  sebenarnya sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang bisa diraih seandainya memiliki produktivitas yang tinggi. Seharusnya pemerintah tidak perlu merasa sayang mengeluarkan dana tersebut jika bisa memperhitungkan besarnya manfaat setelah produktivitas meningkat.

Toh pemerintah juga tidak sayang mengalokasikan anggaran perjalanan dinas Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pada tahun 2012 mencapai Rp 23,9 triliun. Anggaran perjalanan dinas PNS yang terus meningkat dari tahun ke tahun juga tidak terbukti mampu meningkatkan produktivitas mereka. Akan lebih bermanfaat jika kemudian anggaran perjalanan dinas yang menurut BPK banyak terjadi penyimpangan itu dialokasikan untuk hal-hal yang bisa meningkatkan daya saing Indonesia. Biaya perjalanan dinas itu terbukti tidak digunakan untuk perbaikan kesejahteraan karena porsi terbesar justru dibayarkan untuk industri jasa airlines dan hotel.
Hal lain yang perlu dicatat soal penurunan daya saing Indonesia adalah masalah management knowledge terutama terkait kurangnya sharing knowledge. Banyak orang-orang pintar kita yang dikirim ke forum-forum untuk membantu peningkatan daya saing, namun kemudian tidak memiliki wadah untuk membagi ilmunya kepada orang lain yang membutuhkan. Dan jika banyak orang dapat memiliki kemampuan yang sama, tentu saja produktivitas tidak akan menjadi masalah.

SELF PRODUCTIVITY
Dalam hal peningkatan produktivitas, self productivity memegang peranan yang sangat penting. Dewasa ini kita sering melompat dari self development ke knowlede development. Masing-masing individu harus bisa mendorong produktivitas dirinya sendiri. Ia harus bisa menjadi driver untuk dirinya sendiri sebelum akhirnya bisa menjadi driver untuk orang lain.

Bagaimana mungkin ia bisa menjadi seorang driver bagi orang lain jika ia tidak bisa menjadi driver bagi dirinya sendiri. Untuk bisa memunculkan self productivity, seseorang tentunya harus memiliki mental driver, ia harus bisa berpikir, mencari jalan sekaligus mengambil semua risiko. Dan untuk mendapatkan mental driver ini, seseorang harus memiliki kesadaran yang dibentuk oleh self development, mulai dari self discipline hingga self confidence.

Self productivity tidak akan muncul jika bangsa ini hanya dibangun dalam platform mental passenger. Orang yang bermental passenger dibentuk dengan hanya duduk, makan, bercanda atau bahkan tertidur.
Jika kemudian suatu bangsa hanya melakukan transformasi budaya dari human passenger menjadi human driver yang memiliki self discipline dan self confidence yang kuat, maka dipastikan bangsa ini akan bisa mendorong produktivitas dan pada akhirnya bisa timbul  produktivitas nasional. Jika hal itu terjadi, bukan tidak mustahil lagi jika kemudian peringkat daya saing Indonesia bisa kembali naik. Tercipta pula para aparat negara, PNS yang bekerja efektif dan produktif bukan PNS yang sekedar datang siang, absen dan pulang cepat.
.
 Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Beda “Perusahaan” Kaya dengan “Orang” Kaya


Kata “Kaya” semakin banyak digunakan para motivator. Demikian juga buku-buku motivasi. Sayang sekali bila mereka menyamakan sukses dengan kaya, dan kaya adalah tujuan dalam melakukan apa saja, ya berwirausaha, ya berpolitik. Bahkan berbagi pun ditujukan agar mendapat imbalan, “kembalian yang lebih besar dari Allah”. Mari kita buka fakta-fakta berikut ini.

Kaya Raya, Banyak Harta 
Ustad Jaya Komara,  tewas di sel tahanannya setelah ditangkap  2 bulan lalu di sebuah hotel melati di Purwakarta. Ustad Jaya adalah wirausaha sukses yang kaya raya.  Kekayaannya diduga polisi sebesar Rp. 6 trilyun, berasal dari 125.000 orang nasabah Koperasi Langit Biru. Caranya "sangat cerdas", yaitu menawarkan cara cepat kaya dengan metode money game.  Menurut polisi, Ia memiliki banyak tanah dan sawah dan saat ditangkap sedang bersama istri mudanya.

Kedua, Inong Melinda Dee juga dikenal sebagai perempuan kaya saat bekerja di Citi Bank – Jakarta. Walaupun posisinya hanya Relationship Manager, ia bisa memiliki suami siri berusia baya dan membelikan mobil-mobil mewah (Ferrari Scuderia, Ferrari California dan Hummer) untuk suami barunya itu. Di luar, suami baru itu mengaku sukses  berwirausaha. Saya sempat heran  saat mendengar seorang "motivator" menyebutkan itulah bukti kerja cerdas.  Belakangan kita semua mengetahui, kekayaan itu hanya dapat diperoleh melalui jurus  membobol rekening nasabah Citibank. Malinda divonis 8 tahun penjara.

Orang kaya ketiga kasusnya juga tengah bergulir di pengadilan. Ia adalah perempuan terkaya Indonesia versi majalah Forbes (no 13). Tahun ini Forbes menobatkan suaminya sebagai orang kaya no 14 dengan kekayaan $1,5 miliar. Mereka berpindah-pindah partai politik, mengikuti siapa pemenangnya dan selalu menjadi elite partai. Saat ditangkap ia datang dengan kursi roda, mengaku sakit, dan menangis terisak-isak. Melihatnya saja miris. Publik pun terbelah, antara tidak percaya dan menyumpahinya. Saat dokter KPK memeriksa,  tak ditemukan gejala sakit, ia pun menjadi tahanan KPK. Orang yang sudah muak melihat korupsi di negri ini  bilang itu adalah akal-akalan koruptor yang selalu menghindar pemanggilan dengan berpura-pura sakit. Saya kira  tahu siapa yang saya maksud, Googling saja, ia adalah konglomerat yang gemar muncul di televisi.

Apa yang dapat kita pelajari dari fakta-fakta itu?  Semuanya berasal dari kegairahan tak terbatas mengejar kekayaan, banyak uang, lalu berkuasa. Orang seperti ini biasanya tak pernah puas. Seperti judul sebuah buku yang saya temui di seksi buku inspiratif yang berjudul "Kaya Raya, Banyak Istri Masuk Sorga". Kalau sesuatu tak bisa dibeli, ya dirampas. Supaya jalan mulus, pejabat pun dibeli. Pensiunan orang kuat pun ditaruh dalam struktur organisasi. Semuanya dimulai dari niat awal seseorang berusaha atau berbuat. Ketika kewirausahaan bukan menjadi tujuan, melainkan alat, yaitu alat menjadi kaya, bacaan-bacaannya pun adalah buku jalan pintas yang ada kata-kata “kaya”nya. Mereka tak perlu tenaga ahli, yang diperlukan adalah orang yang mau menjalankan mau mereka.

Perusahaan Kaya
Sekarang mari  pelajari apa bedanya mereka  dengan  “perusahaan” kaya. Perusahaan mencerminkan karakter pembangunnya. Orang bisa saja kaya dari perusahaannya, tetapi  kaya bukanlah tujuannya. Kaya adalah akibat dari pemberian Tuhan,  kerja keras yang cerdas, disiplin diri dan tentu saja berasal dari kepercayaan.

Diantaranya  saya  menemukan perusahaan  yang orang-orangnya tidak dikenal sebagai pengusaha kaya. Nama mereka jarang disebut-sebut. Ambil saja contoh Astra Internasional Tbk yang pertengahan tahun ini mengumumkan keuntungannya ( 6 bulan pertama ) sebesar 9,7 trilyun rupiah dan memperkerjakan 176.000 orang karyawan. Kalau digabung dengan anak-anak peruahaannya, nilai kapitalisasi pasar Astra mencapai 14 % dari seluruh perusahaan yang tercatat di bursa efek Indonesia.

Di kantor Astra saya membaca tulisan ini: Per Aspera Ad Astra, mencapai bintang-bintang di langit memalui kerja keras. Tak ada kata kerja cerdas, kendati mereka terdiri dari orang-orang yang cerdas. Mereka tahu, kecerdasan hanya tumbuh di tangan orang-orang yang mau bekerja keras. Mereka belajar dari berbagai kesulitan. Dan kalau anda bertemu dengan “lulusan” Astra, anda akan mengerti apa yang membedakan mereka dengan yang lain. Mereka adalah orang-orang yang sangat percaya pada proses, bukan jalan pintas.  Kalau prosesnya sudah benar, outputnya akan benar.

Pandangan Astra itu dituangkan dengan bagus oleh Tjahjadi Lukiman,”lulusan Astra” yang kini aktif di Triputra Group dalam bukunya, “Right Process will Bring Great Results”. Cara pandang ini berbeda dengan buku-buku jalan pintas  yang menjanjikan  seakan-akan ada cara mudah menjadi kaya, yaitu dengan berwirausaha cara cerdas, 2 menit sukses, tanpa modal, cara malas, cara kepepet dan seterusnya.  Kalau belum pernah membangun usaha besar sudah merasa besar, biasanya mereka  tak mengerti bahwa sukses tak semudah yang mereka ucapkan, juga tak pernah mereka pikirkan apa akibatnya bagi masa depan bangsa ini.

Bukti-bukti ilmiah menunjukkan kaya menuntut proses yang mendalam, dan membangun sebuah proses membutuhkan komitmen yang berarti persiapan (bukan kepepet), keberanian yang dipikirkan (bukan ngawur-ngawuran), sumberdaya yang dicari kiri dan kanan, tata nilai yang dijaga dengan teguh dan penuh kesadaran, membangun manusia menjadi kehebatan.  Dan kaya dalam bisnis berarti kaya pada harta-harta tak kelihatan (intangibles) seperti reputasi, ketrampilan, kejujuran, brand image, pengetahuan, hak paten, jaringan pemasaran, dan segala hal yang tak mungkin dicapai dalam sekejap.

Jadi kaya yang stabil itu bukan besarnya rumah, ukuran tanah, mobil atau perhiasan yang bisa dilihat orang.  Itulah yang membedakan Astra dengan orang-orang kaya yang saya sebut di atas. Anak-anak muda tinggal memilih, ingin cepat  kaya tetapi labil dan berpotensi masuk penjara, atau membangun perusahaan yang kaya dan dihormati banyak orang.  Kalau pilihan jatuh pada yang kedua, bersusah-susahlah dahulu, jaga nama baik dan integritas,  dan  berproseslah

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan