Laman

Selasa, 27 November 2012

Menyatukan Pikiran Direksi - Sindo 22 November 2012


Beberapa waktu belakangan ini saya banyak diminta menyatukan pikiran para eksekutif puncak.  Meski prinsip "one team-one spirit"  mulai banyak diterapkan, mungkin saja ditemukan disfungsi leadership.  Teamnya bagus, tetapi ada luka batin yang membuatnya tidak bekerja secara efektif, bahkan sangat mungkin sudah ada benih-benih  kerusakan sedari awal. Alih-alih memilih superteam, yang terpilih justru superman yang bekerja sendiri-sendiri. Anda mungkin masih ingat dengan  Real Madrid yang skuadnya bertaburan bintang (Zinedine Zidane, Ronaldo, Luis figo, R.Carlos, Raul Gonzales dan David Beckham,dll) tapi sejak tahun 2003-2006 gagal mendapatkan satupun piala.

Demikianlah kerja sebuah team.  Kalau tidak dikelola dengan baik sedari awal, maka ibarat tidur di atas satu ranjang, banyak direksi perusahaan dan komisaris yang mimpinya tidak sama.  Yang satu ingin memeluk, yang lain menendang. Sejalan dengan waktu, ranjang pengantin dapat berubah menjadi ranjang konflik.
Kalau leadership saja sudah disfungsi, bisa dibayangkan bagaimana kinerjanya.  Disfungsional Organisasi ini biasanya ditandai dengan banyak pembiaran.  Peluang dibiarkan berlalu, komplain tidak ditanggapi, klien pergi dibiarkan, orang bagus pergi dibiarkan, sabotase oleh preman dibiarkan, korupsi diabaikan, penindasan apalagi.  Maka memilih superteam harus dimulai dari awal.  Namun katakanlah anda tak mendapatkan superteam, itu bukanlah  akhir dari sebuah penyesalan. Sama seperti leader yang tidak dilahirkan, superteam yang kokoh juga harus dibentuk.

Gagasan One Team
Anda tentu pernah mendengar gagasan Dahlan Iskan tentang "one team one spirit".  Berbeda dengan fit and proper test yang dipilih sendiri-sendiri, Dahlan  menginginkan team yang solid sehingga cukup mengangkat satu orang saja, CEO.  CEO terpilih lalu ditugaskan memilih sendiri teamnya.  Gagasan ini sebenarnya sudah dimulai oleh mentri BUMN di era Habibie, Tanri Abeng, saat ia memberi wewenang pada Robby Djohan dan Abdul Gani untuk masing-masing membentuk team direksi di Bank Mandiri dan Garuda Indonesia.
Jim Collins dalam buku klasiknya Good to Great menyebutkan, tugas utama seorang pemilik dan CEO  adalah mencari orang yang terbaik dan menempatkannya pada kursi yang tepat. Jadi kalau anda berhasil mendapatkannya, dunia ini akan menjadi milik anda.  Namun dalam prakteknya, banyak pemilik perusahaan dan pemimpin yang kesulitan memilih team. Bahkan membiarkan seseorang memilih teamnya sendiri saja tetap beresiko.  Sama seperti sebuah perkawinan suci yang didasarkan cinta mati, tak seorangpun yang bisa menjamin akan kekal abadi.

Demikianlah one team yang dibentuk sendiri harus terus dibangun.  Itu saja ada yang tak mampu mmpertahankan masa kerja yang hanya 4-5 tahun.  Ini berlaku bagi siapa saja, perusahaan publik maupun swasta, baik yang bermotif keuntungan maupun yang nirlaba.

Menurut pengamatan saya, saat ini ada ribuan perusahaan keluarga Indonesia yang tengah struggle menghadapi ketidakharmonisan team direksi.  Demi keharmonisan keluarga, mereka mengabaikan satu dua anggota yang tidak perform, bahkan mengganggu, untuk tetap berada dalam posisinya.  Bahkan tidak jarang dua-tiga anggota keluarga menjalankan peran yang sama sehingga membingungkan karyawan dibawahnya dan menimbulkan gejala disfungsional.  Pembenahan yang dilakukan dengan sistem berbasiskan IT sekalipun tak mampu mengatasi madalah, sepanjang mereka tidak disatupikiran-kan

Di banyak lembaga publik sudah sering kita temui gejala ini.  Anda lihat sendiri, hampir semua gubernur dan bupati berseberangan dengan wakilnya.  Kalau bupati atau gubernurnya sudah tidak "one team" bagaimana kepala-kepala dinasnya? Mereka bermitra dengan pikiran yang tidak disatupikirankan.
Di Mahkamah Agung saja beberapa bulan terakhir ini tampak jelas ketidakharmonisan itu.  Belum lagi di antara para komisioner yang dibentuk parlemen. Bahkan di perserikatan olahraga seperti PSSI saja kisruh.  Di kalangan aparat penegak hukum gejala jalan sendiri sangat jelas terlihat. Antara mentri dalam kabinet yang samapun terjadi. Mereka bukan saling melengkapi,  malah  bberapa berseberangan. Yang satu membuka pintu, yang lain menutupnya.  Di dalam kementrian sendiri hubungan antara mentri dengan wamennya  tidak mustahil saling berseberangan, demikian pula  sesama pejabat eselon satu.  Banyak bank milik pemerintah daerah yang tidak bisa berkinerja optimal bukan karena kurang modal, melainkan teamnya tidak solid.  Mereka masih mempertentangkan antara putra daerah dengan pendatang, antara orangnya bupati, pilihan gubernur dengan kalangan profesional dan seterusnya.  Di atas ranjang yang sama itu, mimpi mereka tidak sama.

Menyatukan pikiran pimpinan di level atas bukanlah hal yang sederhana, namun juga bukan tidak mungkin. Yang jelas anda tidak bisa mendapatkannya secara cuma-cuma. Sebuah team yang baik adalah hasil dari sebuah pembentukan dan dibalik team yang kuat selalu ditemui coach yang kuat.
Orang-orang yang terpilih dalam sebuah team bisa saja bukanlah terdiri dari orang yang hebat, namun apapun hasilnya, sebuah team yang baik sekalipun bisa ber-evolusi menjadi buruk dan mengalami disfungsional kalau tidak berada dalam "tangan" yang baik. Demikian juga sebaliknya, team yang buruk, di tangan yang baik bisa berubah menjadi great performer.  Di dalam perjalanannya team yang bagus pun tidak slamanya perform, di tengah jalan selalu terdapat ujian dan pergantian secara alamiah. Orang datang dan pergi silih berganti membawa luka batin yang saling ditularkan.

Kadang saya menemui CEO yang beruntung seperti  Hasnul Suhaemi yang diberi wewenang penuh team memilih direksi oleh komisarisnya di Axiata. Orang-orang yang beruntung ini mampu menghasilkan kinerja yang baik. Semua orang fokus bekerja mengarahkan tindakan pada pikiran yang sama. Mereka mampu mencegah perselingkuhan masing-masing orang dengan pihak luar. Seperti itu pulalah yang kemarin saya sampaikan kepada enam orang pimpinan Kawasan Perdagangan Dan Pelabuhan Bebas Sabang yang dititipkan kepada saya dan seorang tokoh Aceh terkemuka, Adnan Ganto. Mereka adalah putra-putra terbaik Aceh yang kami pilih melalui fit and proper test secara profesional. Namun begitu jadi, proses pembentukan segera  dimulai.  Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sangat serius menerapkan merit system demi kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.

Kalau anda sempat membaca buku Cracking Zone, anda tentu menemukan Model leardership "X" yang membuat pemimpin kokoh. Seperti huruf "X", kepemimpinan ini bertemu pada satu titik di tengah yang mempertemukan dua garis yang menyilang. Titik itulah yang mempertemukan seorang kepala eksekutif dengan pimpinan yang mewakili pemegang saham (komisaris atau dewan pengawas). Anggota Dewan dilarang berhubungan langsung ke bawah agar tak terjadi "perselingkuhan" eksekutif (disenfranchised execution). Demikian juga sebaliknya. Semua anggota direksi bertemu di satu titik pada direktur utama, dan semua komisaris bertemu pada komisaris utama. Lalu mengapa mereka bisa saling berselingkuh, dan mengapa diperlukan coaching?

Komplementaritas, Bukan Kompetitas
Membentuk one team-one spirit dimulai dengan kesadaran bahwa mereka adalah team yang saling melengkapi, bukan saling bersaing.  Anda pertama-tama memilih orang yang berkomitmen untuk bekerjasama, bukan superstar yang arogan.Complementaity mindset kemudian dibangun dengan berbagai pendekatan: bahasa, simbol, program, sampai strategic planningyang saling bersinergi.
Orang-orang yang bersinergi bukanlah orang yang datang dengan luka batin.  Ibarat orang sakit gigi, luka batin yang tak terobati akan menimbulkan gejolak. Sebelum giginya dicabut atau syaraf sakitnya dimatikan, ia akan tetap terasa sakit.  Gigi yang berlubang tak dapat ditambal tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Alih-alih mendapatkan team yang kuat, anda hanya mendapatkan oang-orang yang memimpin dengan blocking yang kuat. Dapat anda bayangkan bila semua energi hanya dihabiskan untuk membangun blocking. Belum lagi mereka menghadapi tekanan-tekanan dari luar.

Orang yang mampu bersinergi adalah orang yang mampu berbahasa saling melengkapi. Ia tak pernah merasa berkekurangan, makanya ia mau memberi. Namun ia juga tidak boleh merasa amat berkelebihan sehingga mau "meminta" bantuan. Orang bermental kompetisi harus diarahkan energinya untuk membangun competitiveness perusahaan atau lembaganya, jangan bersaing ke dalam. Competition mindset selalu diawali oleh rasa takut kalah, takut kehilangan, karena terjadi kelangkaan. Ini bagus kalau anda bisa membangun dalam bingkai yang tepat. A solid team is not taken for granted.  It is well created.

Rhenald Kasali

Generation Gap (1) - 19 November 2012


Minggu ini saya mendapat tugas untuk berbicara di depan eksekutif perusahaan semen. Di saku mereka, seperti yang saya duga, tersimpan beberapa hape merek Nokia, dan sebagian lagi Blackberry. Tiga orang diantaranya mengantongi tablet Android Galaxy S III dari Samsung. Mudah diduga siapa saja mereka. Itulah tiga generasi yang berbeda, berusia 50¢an, 30¢an dan 20¢an. Ditengah-tengahnya kosong.

Tiga generasi itu mewakili generation gap yang menjadi tugas saya untuk menjembataninya. Bahkan di luar negri, eksekutifnya terdiri dari 4 generasi. Yang satu bilang “tulis” (“write me” generation), yang lain bilang “telfon saja” (“call me”), sedangkan dua generasi lainnya bilang “email saya” (“email generation”) dan “text me” (SMS generation). Harap maklum, rata-rata usia pegawai di BUMN perusahaan minyak nasional kita adalah 49 tahun. Di TVRI, dugaan saya, rata-rata sudah 51 tahun. Di sebagian besar BUMN sudah 50 tahunan.

Apalagi di sektor-sektor yang relatif stabil dan sektor komoditi (kehutanan, perkebunan, semen, baja, kereta api, jalan tol, perdagangan, perkapalan, dan seterusnya). Yang generasinya agak mudaan ada di perbankan, telekomunikasi, consumer goods, jasa, dan tentu saja airlines. Selebihnya, inilah saatnya dimana generasi muda Indonesia (generasi yang menggenggam Android Samsung) bertarung menghadapi generation gap. Bertarung menghadapi generasi yang kata mereka relatif berwatak feodal.

Berwatak Feodal?
            Kaget juga saya, mendengar ucapan anak-anak muda di banyak industri tentang senior-senior mereka. “Feodal, takut menghadapi perubahan, bicaranya satu arah, meeting-nya lama dan tak ada keputusan, semua serba uang, lamban, berubahnya pelan-pelan. Itu artinya tidak ada perubahan sama sekali. Feodal”, ujar mereka.

            Tetapi bagi orang yang dituding feodal, sebaliknya anak-anak muda ini dianggap sebagai self-centered, bahkan narsis dan asyik sibuk sendiri. Mereka punya dunia yang sulit dimengerti, dinilai kurang gigih, kurang berdisiplin dan perilakunya kutu loncat. Sebuah studi yang dilakukan oleh badan riset Kronos menyebutkan generasi baru ini dibesarkan dalam kultur yang berbeda : Sebanyak 13% dilahirkan di luar negrinya, menuntut kebebasan yang lebih besar, 40% pekerja muda bekerja dari rumah, 77% memiliki akun FB, 93% menggunakan ponsel, dan 26% berbicara lebih dari satu bahasa asing

            Rata-rata pegawai yang saya temui di sebuah instansi memang sudah meninggalkan Nokia dan Blackberry, sementara senior-seniornya baru belajar memakai BB. Senior-senior itu sering bertanya apa itu Ipod, apa itu Apps, dan bagaimana melakukan copy-paste, download, belanja online dan seterusnya. Sementara generasi Samsung sudah menghabiskan sekitar US$ 4.12 Miliar belanja online di negeri ini. Mereka belanja gadget, fashion, kamera, barang-barang hobi, pakaian anak-anak, keperluan bayi, vitamin, sampai buku dan tiket. Mereka rapat di kedai-kedai kopi yang dilengkapi Wifi. Sedangkan generasi tua yang masih memegang posisi-posisi penting di banyak pabrik dan kantor masih bisa membeli sate dan tongseng di tepi-tepi jalan.

            Di China, minggu lalu saya mendapat kabar, Android telah menguasai pasar china dengan market share di atas 90% (meningkat dari 58,2% tahun lalu). Sementara generasi sebelumnya yang masih menggenggam Nokia, terus mengalami penurunan yang tajam menjadi tinggal 2.4%. Apalagi Ipod dan Ipad. Ini berarti generasi tua di China mulai beralih pula, belajar menjelajahi dunia baru dengan cara-cara baru. Namun mampukah mereka mengubah watak feodal yang bersifat satu arah dan merasa benar sendiri ?

            Inilah persoalan terbesar dalam generation gap yang dihadapi berbagai bangsa. Rata-rata perusahaan di Indonesia, berhenti merekrut pegawai sejak krisis moneter menerpa ekonomi Indonesia (1997-2007). Birokrasi kita bahkan lebih lama lagi (sejak awal 1990), sudah melakukan prinsip zero growth. Praktis birokrasi dan dunia usaha sama-sama mengalami kegalauan, tak tahu apa yang harus diperbuat.

            Sudah hampir pasti banyak senior menutup pintu terhadap kehadiran generasi baru. Di Eropa, hal serupa juga dilakukan dunia usaha dan birokrasi dalam 3 tahun terakhir ini. Demikian juga di Amerika Serikat. Padahal kaum muda adalah sumber inovasi dan change. Di tangan merekalah pembaharuan dibebankan. Maka ketika muncul orang yang benar-benar muda, apakah mereka tiba-tiba menjadi CEO, GM, professor, staf khusus, mentri, atau apa saja jabatan elit lainnya, kalangan tua umumnya menyambut dengan sinis dan dingin. Persis seperti anak-anak kita yang lama dibesarkan tanpa adik dan tiba-tiba mendapat adik baru. Adik baru itu bukan dibimbing, malah bisa jadi dicemburui, dicubit dan disepak.

            Generasi baru ini secara demografis disebut generasi M, atau Millennium generation. Secara psikografis disebut generasi C (connected generation) dan berada dalam lintas cohort. Namun bisa juga mereka disebut generasi Android (Samsung) karena dibesarkan dalam teknologi yang menembus generasi baru. Kata Samsung masih terasa janggal bagi sebagian orang yang kini masih gandrung dengan Apple yang bertahan dengan produk-produk canggih peninggalan mendiang Steve Jobs : Ipad dan Ipod. Mereka sering menyindir, “jangan samakan dong BMW dengan KIA !”
Bersambung. .

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Assessment - Jawapos 12 November 2012

Dari orang marketing beralih ke change management dan strategic management membuat saya harus banyak berurusan dengan soal-soal seputar assessment. Setelah tiga kali terlibat dalam penilaian calon pimpinan KPK saya makin paham betapa rumitnya cara berpikir manusia Indonesia. Ya, mungkin serumit pikiran kita masing-masing.  Kerumitan itu tak ubahnya manusia yang terpenjara, a prisoner of belief.
Hari ini saya baru kembali dari salah satu propinsi terujung untuk menjalankan misi assessment yang juga tidak mudah. Beberapa waktu terakhir kantor saya juga banyak diminta oleh lembaga-lembaga strategis untuk menilai calon-calon pemimpin baik perusahaan maupun pemerintahan. Kesan saya, banyak orang yang belum paham bahwa Indonesia tengah berada dalam arus perubahan yang maha penting. Untuk itulah diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang sangat mendalam. Kita menemui banyak “kelucuan” yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk menciptakan “talent pool” dalam jumlah besar.

Passenger & Losers
Saya selalu membedakan calon-calon pemimpin yang mengikuti calon seleksi kedalam dua kategori: Passengers (penumpang) dan Drivers (pengemudi). Passengers adalah tipe orang-orang yang menjadi beban bagi organisasi, kurang memiliki tanggung jawab, kurang berdisiplin cenderung tidak berinisiatif, menunggu, tak berani mengambil resiko, tidak kreatif, kendati berasal dari sekolah-sekolah atau kampus terkenal. Mereka benar-benar pecinta jabatan.

Sedangkan drivers adalah karakter yang sebaliknya: berinisiatif, mencari jalan baru, pengambil resiko yang berhitung, merawat “kendaraannya”, bekerja dengan selfnya (self discipline, self confidence, self awareness dan self initiative). Drivers adalah orang yang memiliki spirit kewirausahaan yang tinggi kendati bekerja menjadi pegawai.

Namun kedua kategori itu harus kita bagi lagi sehingga membentuk 4 kuadran. Yakni karakter pecundang (losers) atau yang disebut psikolog Carol Dweck sebagai fixed mindset dan karakter pemenang atau growth mindset. Jadi ada Passengers berkarakter pecundang dan ada Passengers berkarakter pemenang. Demikian juga dengan drivers.

Saya pikir ada baiknya para pemimpin yang akan memulai jabatannya melakukan assessment ini untuk mengenali seberapa cepat mereka bisa men-drive­ perusahaan/lembaganya, atau mempercepat transformasi. Pengalaman kami menemukan, pemimpin akan sangat kesulitan bila tidak mampu mengenali potensi-potensi SDM, apalagi bila mayoritas SDMnya adalah Passengers-Losers type.  Ini adalah benih bagi terbentuknya budaya disfungsional.

Orang-orang yang bermental Passenger-Losers adalah penumpang yang menjadi beban karena selalu melihat “masalah pada setiap kesempatan” atau “selalu menemukan/mencari kesulitan dari setiap jawaban”, sudah nyaman dengan posisinya, mereka akan mencari-cari kesalahan, senang membuat-buat alasan, banyak menggerutu (complain), terkurung dalam masa lalu, senang mendramatisasi, menghambat kemajuan dan larut dalam kerumunan, bahkan tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.

Saya baru saja menyelesaikan naskah buku yang akan saya beri judul “human driver” untuk menjawab persoalan-persoalan seperti ini. Bahkan psikolog-psikolog yang saya latih baru saja selesai menciptakan alat-alat pelatihan yang relatif baru yang dapat dipakai untuk mentransformasi perilaku manusia. Eksperimen yang kami lakukan menemukan, Passenger-Losers harus diubah menjadi passengers-winners, bukan drivers-losers.  Manusia pecundang justru akan akan sangat merepotkan bila diberi pelatihan-pelatihan spiritual atau motivasi tertentu tanpa landasan teori yang memadai.  Kesalahan treatment dapat menjadikan mereka sebagai drivers-losers yang merasa dirinya suci, hebat, aktif dan berinisiatif, bahkan berani mengambil resiko, tetapi potensi pecundangnya tetap eksis atau bahkan justru diperkuat.

Akan lebih baik bila secara sadar kita menanamkan sugesti self dengan psychology of winning secara bertahap.  Pertama dilakukan treatment untuk membuang karakter pecundang dan bila berhasil maka baru dijadikan driver. Passenger yang bermental pemenang atau memiliki kualitas mental growth akan lebih mudah dijadikan drivers-winner. Sekedar Anda ketahui saja, drivers-Winners adalah kualitas calon pemimpin yang mewarnai masa depan perusahaan dan negara yang sejahtera. Potensi inilah yang harusnya ditemui dan diperkuat.

Jadi, organisasi disfungsional adalah organisasi yang dibajak orang-orang bermasalah dengan pemimpin-pemimpin Passenger-Losers. Organisasi yang banyak menimbulkan kerisauan adalah organisasi yang melatih pegawai-pegawainya menjadi drivers namun perangainya losers (Drivers-Losers). Organisasi-organisasi yang siap berubah adalah Passenger-Winners, dan organisasi yang berlari kencang adalah Drivers-Winners. Ayo kita perbaiki!

Rhenald Kasali
Founedr Rumah Perubahan

Perangkap Saddam Husein - Sindo 8 November 2012

Saddam Hussein sudah lama ditangkap dan dihukum gantung. Tetapi hantunya masih “bergentayangan” di banyak sanubari pemimpin dan politisi Indonesia. Efek Saddam Hussein ini kini terjadi di sini, persis seperti yang terjadi di kalangan warga Amerika Serikat tak lama setelah terjadi 9/11 yang merobohkan menara kembar di Ney York City, 11 September 2001.

                Perangkap itu dalam ilmu perilaku dikenal sebagai motivated reasoning . Bukannya mencari kebenaran, kata Zira Kunda (1990), manusia-manusia angkuh justru “telah” mempercayai; bahkan menggunakan argumentasi-argumentasi yang ngawur untuk membenarkan kesalahan-kesalahannya. Perhatikanlah ‘gong’ yang berbunyi di antara para politisi begitu mendengar Dahlan Iskan melaporkan nama-nama politisi pemeras BUMN yang berasal dari institusi parlemen.

                Bahkan ketua DPR pun turut berperang membela kolega-koleganya yang seakan-akan bersih, jauh dari conflict of interest. Padahal sudah menjadi rahasia umum mayoritas politisi parlemen berbisnis, mencari peluang atau menghubungkan rekan-rekannya (mendahulukan jaringannya) dalam bisnis yang tersedia di sekitar komisi yang mereka bidangi. Di antara ketua-ketua Partai, kita hanya mendengar suara Prabowo Subianto yang berbicara tegas: “Yang memeras BUMN akan kita tindak.” Sedangkan yang lain semua berbicara sama: Dahlan hanya melakukan pencitraan.

 Hantu Saddam
                Perangkap hantu Saddam pernah dialami oleh masyarakat Amerika Serikat di era George Bush Jr. Perangkap itu dicatat oleh Gostick dan Elton (2012) dari refleksi penyerbuan tentara Amerika Serikat ke Irak untuk menangkap Sadam Hussein pada tahun 2003. Setahun setengah setelah invasi itu, mayoritas bangsa Amerika masih saja percaya bahwa Saddam lah aktor intelektual di belakang serangan gedung WTC. Padahal mereka sama sekali salah. Namun mereka “menolak  untuk mengakui kesalahan” itu. Mereka menolak mengakui bahwa Amerika telah melakukan kesalahan melakukan invasi ke Irak untuk menangkap Saddam.  Berbagai survey yang dilakukan  lembaga independen di Amerika  menyebutkan, sekitar 70 - 85% warga Amerika  percaya bahwa Saddam Hussein terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap penyerangan gedung kembar.

                Mereka menolak menerima fakta-fakta yang sebaliknya. Bahkan setelah presiden George Bush yang memimpin serangan itu menyatakan ia telah melakukan kesalahan. Bush membantah Saddam terkait dalam serangan itu, tetapi warganya menolak kebenaran itu. Komisi independen yang dibentuk pemerintah, yaitu 9/11 Commission juga menyangkal adanya keterkaitan antara Saddam Hussein dengan serangan terhadap gedung kembar. Tetapi masyarakat tetap saja mempercayai hal sebaliknya.

                Sama seperti para petinggi partai politik dan anggota DPR di sini. “Rather than search  rationality for information that either confirms or disconfirms a particular belief, people actually seek out information that endorses what they already belief.”

                Begitulah hantu Saddam bekerja. Saya kira sebagai ilmuwan adalah kewajiban saya untuk menyadarkan politisi-politisi yang sedang kerasukan  hantu Saddam. Mungkin juga terhadap ketua DPR  yang kemarin menyatakan “Justru direksi BUMN yang harus dievaluasi karena menawarkan upeti”.

Fokuslah Pada Tujuan
Orang-orang yang kerasukan hantu Saddam harus bisa diajak kembali berfokus pada  objective. Tujuan penyerahan nama-nama anggota parlemen yang dianggap memeras tentu saja adalah untuk menciptakan tata nilai pemerintahan dan sistem politik yang bersih dan berwibawa.

Sepanjang suap-menyuap menjadi tradisi dalam perselingkuhan legislatif-eksekutif dan yudikatif, maka tak pernah didapat kewibawaan dalam kepemimpinan nasional, tak ada kewibawaan politik, tak ada kesejahteraan sosial dan keadilan. Lagi pula bukankah anggota-anggota DPR sendiri yang menantang Dahlan agar menyerahkan nama-nama itu. Sungguh naïf bila anggota dewan terus membantah. Dalam literature psychology of winning, ditemukan  hanya pecundang (loser) lah yang berbicara dengan nada keras terhadap isi yang tak bermutu.

Demikian pulalah dengan masyarakat Amerika Serikat yang terus menerus percaya bahwa Saddam ada dibelakang tragedi 9/11. Bukannya kembali ke tujuan semula, yaitu menemukan sistem pertahanan yang damai, mereka justru mengambil langkah-langkah destruktif yang bermuara pada krisis ekonomi global.  Dan itulah yang sekarang harus dibenahi presiden Obama.

Hal serupa juga perlu disadari oleh pimpinan-pimpinan partai politik, bahwa pembiaran terhadap praktek-praktek korupsi  yang dilakukan anggota-anggotanya di parlemen merusak masa depan partai itu sendiri dan bangsa ini. Menurut World Economic Forum (2012) penyumbang terbesar menurunnya daya saing bisnis Indonesia (Doing Business Index) adalah birokrasi yang tidak efisien (15.4%) dan korupsi (14.2%).
Steve Hoffan dalam Sociological Inquiry (2009) menulis “kebodohan manusia terjadi bukan karena ketiadaan bukti-bukti (atau informasi yang benar), melainkan karena tendensi kita yang selalu mencari informasi-informasi yang hanya bisa membenarkan tindakan kita." Dan selama itu dibiarkan, jadilah Indonesia negeri kesurupan. Anak-anak sekolah kerasukan setan menjelang ebtanas, dan kini politisi pun ikut kerasukan hantu Saddam.  Hantu Saddam bicaranya minta bukti, tapi sebenarnya itu hanya bahasa "hantu" yang hanya dimengerti orang yang kerasukan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Contohlah Denpasar- Jawapos 5 November 2012


Euphoria Jokowi baru saja berlalu. Setidaknya sekarang rakyat Jakarta menunggu kerjanya gubernur baru DKI yang sarat masalah ini. Saya ingin mengajak pembaca pergi sejenak ke luar Jawa. Di sana saya kira juga ada tokoh-tokoh masyarakat sekelas Jokowi, Pakde Karwo, atau Wagub Jateng Rustriningsih. Ayo kita ke Denpasar.

Minggu lalu saya diundang pemerintah kota Denpasar untuk mendampingi anak-anak muda yang digembleng oleh pemerintah kota ini. Selama 3 tahun mendampingi, di kota ini saya memiliki sekitar 50 orang anak didik yang tak kalah dengan wirausaha-wirausaha muda  dari Surabaya, Jogyakarta atau Bandung. (Saya sengaja tak menyebut Jakarta, karena rata-rata anak Jakarta mimpinya masih ingin bekerja di Bank ataupun MNC).
Kebetulan Walikotanya, Rai Dharmawijaya Mantra, adalah mantan pengurus HIPMI pengusaha yang mengerti bagaimana pentingnya kewirausahaan di antara kaum muda. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mencari dirinya sendiri-sendiri, anak-anak muda sekarang bisa berpikir seluas samudra. Bimbingan diberikan, sehingga usaha bisa berkembang lebih sistematis.

Saya jadi teringat dengan mendiang raja Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati, yang menekankan benih-benih perubahan di Urban Village yang teduh di Ubud dengan mendatangkan pelukis-pelukis terkenal. Sejak saat itulah lukisan anak-anak muda di Bali mulai berwarna. Dari sekedar epos Ramayana dan cerita-cerita perwayangan, menjadi lebih ekspresif.

Demikian juga hentakan yang dilakukan Walikota Rai Dharmawijaya Mantra. Dengan dididik secara tekun, wirausahawan-wirausahawan muda Bali tidak lagi menjadi “murah ekonomi” rakyat. Mereka tidak perlu berkutat pada lahan yang cuma digeluti rakyat jelata. Anda tentu tahu, gairah kewirausahaan kaum muda, kalau tidak diarahkan, alih-alih bukannya ikut menggerakkan ekonomi, malah membunuh usaha rakyat kecil.
Ya, mereka tentu punya cara yang lebih baik, lebih higienis dan lebih memiliki kesempatan yang jauh lebih luas. Di Bali sendiri, para pedagang barang-barang kesenian yang dulu kita kenal ada di pasar Sukawati sekarang perlahan-lahan telah memudar, digantikan toko oleh-oleh modern yang jauh lebih convenient dan tak jauh dari bandara.

Saya selalu mengatakan kepada anak-anak muda yang disekolahkan oleh orang tua yang juga rakyat biasa itu, janganlah “bertarung” melawan ekonomi rakyat , tetapi jadilah mitra mereka. Dan itu tampaknya usaha-usaha yang lebih kreatif mulai bersemi. Bahkan pemerintah kota Denpasar sekarang mencanangkan program “Kewirausahaan Goes to Banjar”. Ini pasti sangat menantang karena di sana masih banyak “kenyamanan” hidup dalam tanggungan keluarga besar. Kalau ada satu saja orang dari setiap keluarga besar itu menjadi wirausaha, niscaya warga Banjar akan jauh lebih sejahtera.

Tentu saja ini tidak mudah. Apalagi selama ini kegiatan mereka sangat padat upacara. Namun kalau kita perhatikan, anak-anak muda di Banjar terlihat sangat antusias bekerja kelompok. Saat membuat ogoh-ogoh menjelang hari raya nyepi misalnya, semua anak muda terlihat antusias. Apalagi jika dilombakan antar Banjar. Gairah itu cepat tertanam. Namun masalahnya kewirausahaan adalah kegiatan yang lebih dari sekedar “gotong royong” dan “bisa membuat”.

Kewirausahaan membutuhkan kerja mandiri, inisiatif perorangan, pengambilan resiko dan spirit komersial. Values kejujuran yang bersumber dari Karmaphala sudah menjadi modal yang penting. Tetapi kewirausahaan tidak boleh dibangun di atas “mood” angin-anginan. Apalagi “andel-andelan”. Ini adalah profesi seumur hidup yang butuh inisiatif dan kemandirian. Nilai-nilai komersial pun harus ditanam secara harmonis dengan nilai-nilai kebaikan. Karena itulah metode jalan pintas, kepepet, cara malas, cara bodoh dan sejenisnya (meski terdengar hebat dan melenakan) jangan dijadikan pedoman. Kalau anak mudah sudah di iming-imingi kekayaan maka akan hilang jiwa kecintaan dan kejujuran mereka. Kaya yang indah adalah kaya yang penuh cinta dan kejujuran.

Kolaborasi
                Saya tidak pernah melihat sebuah kolaborasi harmonis yang dimotori oleh pemerintah kota, selain di Denpasar ini. Aparat birokrasi yang bersih (dapat dilihat dari pengikut GCG nya), kecepatan bertindak, dan kerja birokrasinya yang sangat entrepreneurial.

 Pemkot - Bank Indonesia wilayah Bali dan Nusa Tenggara - HIPMI Bali bergabung bersama-sama dengan anak-anak muda. Pulang dari Denpasar saya dioleh-olehi kaos yang dilukis dengan wajah saya yang sedang menunggang gajah (saya adalah kolektor ornamen-ornamen dari gajah) dan bakpia legong yang rasanya melekat dengan kemasan khas berupa pintu Bali. Anak-anak muda yang saya temui memiliki usaha yang amat beragam dan kelak mereka akan menjadi usahawan-usahawan yang modern.

Saya masih juga punya cerita banyak tentang upaya –upaya Pemkot Denpasar, namun hari ini saya batasi dulu pada aspek kewirausahaan. Kalau Indonesia mau maju, rakyat memang harus dibebaskan dari politik uang agar mereka bisa memilih pemimpin yang peduli terhadap nasib dan masa depan mereka. Mari kita contoh I B. Rai Darmawijaya Mantra, dan bupati-bupati yang pro rakyat.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Orang Dewasa dalam Bentuk Bentuk Mini - Sindo 1 November 2012

Sepenggal kata mutiara dari Kahlil Gibran sering saya baca di sejumlah Taman kanak-kanak.  “Anak-anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran mini” begitu bunyinya. Tetapi seperti itulah yang tengah dibentuk oleh sistem persekolahan kita. Sehingga tepatlah ucapan Wamenbud, Prof. Musliar Kasim bahwa pendidikan kita telah berubah menjadi sangat membosankan. 

Tetapi meski demikian banyak orang tua yang masih berupaya keras mendorong “mesin mogok” anak-anaknya agar mengikuti maunya sistem yang demikian. Walaupun semakin hari sekolah semakin berat, kompetisi materialisme makin menyulitkan, dan anak-anak berbakat luar biasa tak mendapatkan tempat.

Maka kabar bahwa Kemendikbud tengah melakukan evaluasi menyeluruh pada kurikulum pendidikan nasional yang sudah berlalu sejak 6 tahun lalu (2006) perlu disambut dengan baik. Hanya saja antara gagasan dan pelaksanaan perlu pengendalian yang kuat. Dalam kamus penulis buku, dikenal dengan istilah controlling idea, yaitu bagaimana agar hasil dari sebuah ide tidak melantur kemana-mana.

Menghafal yang Tak Penting          
Seperti apakah persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa ini? Kemendikbud benar, jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada anak-anak kita sudah terlalu banyak. Sudah begitu, sebagian besar bukanlah bahan-bahan penting untuk diajarkan. Selain banyak yang tak penting (menurut anak-anak: “hanya menuh-menuhin isi pala gue”). Cara belajarnya pun sungguh membosankan: menghafal. Agama dihafal, fisika dihafal, bahasa Indonesia dihafal, sejarah dihafal, bahkan rumus matematika dan kimia pun dihafal.

Seminggu yang lalu giliran saya kena batunya' saya mendapat pekerjaan menghafal. Disamping saya, ada 2 orang selebriti suami-istri yang masih belia dan biasa berperan dalam layar lebar, sehingga biasalah bagi mereka menghafal skrip naskah. Kepada kami bertiga diserahkan sebuah skrip tebal yang berisi naskah-naskah dialog yang harus kami hafalkan. Tiba-tiba saya jadi ingat kejadian 20 tahun lalu, saat melanjutkan studi. Kepala saya terasa panas, kendati udara  di kaki Gunung Gede-Pangrango begitu sejuk. Setelah saya membasuh muka, setiap kali selesai membaca beberapa lembar kertas dialog, kepala saya kembali panas seperti “tengah mengeluarkan asap”.

Kepada para produser,  saya lalu menawarkan apakah boleh kami menggunakan cara kami sendiri. Tidak disangka kedua rekan kerja saya segera menyambutnya. Produser sempat bingung karena kalau mau mudah, script harus diikuti  dengan kaku. Mudah diedit, tetapi sulit di ingat talent. Setelah beberapa saat berbincang akhirnya putusan diambil: kita gunakan cara bebas saja.

Anda mau tahu peristiwa kimiawi apa yang terjadi di dalam kepala saya? Seperti yg juga anda alami, dengan cepat kepala kami berubah menjadi enteng. Rekan –rekan kerja saya yang semula miskin senyum tiba-tiba berubah menjadi banyak senyum. Kami mrngubah hafalan menjadi pikiran.  Alhasil, waktu rekaman yang saya duga akan berlangsung tiga jam ternyata bisa selesai dalam satu jam.  Hasilnya ternyata lebih bagus dari naskah.

Kejadian diatas mengingatkan saya pada beban yang dialami oleh anak-anak kita yang setiap hari dipaksa menghafal. Anak-anak yang terbiasa menghafal akan menjadi anak-anak yang berpengetahuan. Namun harus saya akui, anak-anak yang lebih menghafal dapat terganggu daya terobosan dan motoriknya. Perhatikanlah anak-anak yang dijuluki si kutu buku. Mareka cenderung menjadi anak rumahan yang malas. Dan maaf, perhatikanlah juga birokrat-birokrat  senior yang direkrut dari kampus-kampus terkenal dengan IPK tinggi. Saya khawatir, “malas bergerak”nya mereka bukan disebabkan oleh beban pelajaran  di masa lalu, melainkan karena terlalu banyak “menghafal”. Kuliah menghafal, peraturan-peraturan pemerintah pun dihafal, bukan ditindaklanjuti. Menjadi  cenderung “ingin dilayani”, bukan menjabat untuk melayani.

Deep Understanding

Setahun yang lalu saya pernah menulis kolom yang bercerita bagaimana anak-anak saya bersekolah dengan penuh sukacita di sebuah kota yang sejuk di New Zealand. Di Jakarta, anak saya benar-benar menghadapi kesulitan. Sulit bagi saya menemukan guru yang memahami bahwa anak saya bukanlah orang dewasa dalam ukuran mini. Ia diperlakukan sama dengan yang lain dan mungkin dianggap bodoh (dan sepertinya sejarah berulang seperti yang saya alami dulu). Padahal Albert Einstein pernah mengatakan bahwa semua orang yang dilahirkan di muka bumi ini pada dasarnya adalah genius. Masalahnya mereka selalu diukur kecerdasannya bukan atas apa yang mereka miliki, melainkan atas hal-hal yang tidak mereka miliki.

Lantas apa yang membuat anak-anak itu belajar dengan senang dan mencapai prestasinya ? Sebagai masukan kepada para perumus kebijakan, mungkin usulan-usulan berikut ini dapat dipertimbangkan. Pertama, betul bahwa jumlah mata pelajaran dan konten perlu dirampungkan dan hanya hal-hal yang dianggap pentinglah yang perlu diajarkan. Kedua, mata ajaran yang tidak banyak bukan berarti membuang subjek-subjek yang dulu dianggap penting. Berikanlah pilihan kepada siswa agar sedari kecil mereka sudah terbiasa membuat pilihan. Jadi, sejak anak-anak diajak mengambil subjek berdasarkan “apa yang disukai” dan “apa yang dianggap penting” bagi hidupnya.

Ketiga, hentikanlah tradisi menghafal dan bangunlah sistem pendidikan berbasiskan kemampuan belajar dan berfikir. Bedanya antara siswa yang dibesarkan dalam sistem pendidikan  berbasiskan tradisi menghafal dengan tradisi berfikir:  yang satu lebih berpengetahuan namun tidak kritis sedangkan yang satu sebaliknya. Pengalaman saya sebagai pendidik menunjukkan siswa siswa yang berpengetahuan (dengan menghafal) ternyata kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih terbuka dan kurang aktif bergerak mendaatangi.

Keempat, alihkan kelebaran menjadi kedalaman. anak anak yang belajar harus dialihkan ke dalam  berpikir mendalam, bukan sekedar tau banyak namun hanya berada di permukaan. Jadi, perubahan memang diperlukan, tetapi idenya harus dikendalikan. Kalau tidak kita terpaksa harus berubah lagi berkali kali tanpa kejelasan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Ekonomi Bambu - Jawapos 29 Oktober 2012


Hari Minggu kemarin Rumah Perubahan hadir di Bantaran Banjir Kanal Timur (BKT) – Jakarta. Hari itu, Komunitas Sangga Buana yang dipimpin Haji Idin bersama Rumah Perubahan melakukan penanaman 2000 batang pohon bambu betung. “Tampang jawara, tetapi hati adem”, begitulah Haji idin, Betawi asli yang mengawal tiga kali di sepanjang Jakarta. Itulah yang membedakan H. Idin dengan jawara-jawara Betawi lain yang belakangan banyak membentuk ormas.

Menurut sejumlah pihak, bambu-bambu besar ini terakhir kali dibudidayakan oleh koloni Belanda. Setelah itu, malah digusur. Tanaman yang memiliki suara angin yang indah, dianggap sebagai sarang kuntilanak. “Padahal sekarang kuntilanaknya udah pindah ke Mall”, ujar H. Idin.

Rumah Perubahan menaruh minat terhadap bambu karena potensi ekonomi kerakyatannya begitu besar. Di Sangga Buana, daun-daun bambu dijadikan bahan pakan kuda pacu dan kelinci. Sementara akar-akar bambu di tepi-tepi sungai menjadi menjadi sarang ikan bertelur. Hampir dapat dipastikan pula, dimana ada bongkahan tanaman bambu, selalu ada mata air yang jernih. Bahkan dulu, orang-orang tua sering memberikan airnya untuk pengobatan. Ada kepercayaan, mata air disekitar tanaman bambu mampu menetralisir segala penyakit, bahkan gangguan roh-roh jahat.Kuliner, Alat Musik dan Bangunan

Hampir tak ada tanaman lain yang mampu menggantikan potensi ekonomi bambu. Di Sumatera, rebung dimasak gulai, di China dijadikan campuran sayuran, di jepang bahkan dijadikan obat, dan di Thailand menjadi makanan yang dimasak dengan bumbu kari kuning yang lezat.

Sewaktu kuliah di Amerika Serikat, saya sering terkagum-kagum menyaksikan rebung basah kiriman dari Thailand yang ukurannya lebih besar dari ukuran paha manusia. Saya membayangkan pastilah itu rebung bambu betung (dendroclamus asper). Sayang sekali, sebagai pemilik bambu terbesar ke 3 dunia (setelah China dan India) Indonesia justru masih impor rebung. Padahal rebung-rebung yang masuk ke Belanda sebagian datang dari Bengkulu. China saja, setiap tahun mampu mengekspor lebih dari 150.000 ton rebung basah, disusul Thailand (sekitar 70.000 ton) dan Taiwan (± 20.000 ton).Dalam literatur kedokteran China, daun bambu dipercayai memberi khasiat yang tinggi untuk menetralisir racun dan asam urat. Di Sangga Buana, ia dijadikan bahan untuk memperbaiki kualitas buah-buahan yang ditanam di pinggir kali, khususnya belimbing.

Sementara, batangnya telah banyak digunakan sebagai bahan-bahan bangunan dan alat-alat musik. Di daerah Ciomas – Bogor, saya bertemu Komjen Purnawirawan Polisi Didi Widayadi yang aktif menanam bambu. Bahkan mantan kepala BPKP yang juga seniman ini berhasil meramu batang-batang dan anyaman bambu (Bambubos.com) yang mampu tahan lama. Setelah diolah, batang-batang bambu dapat dipakai 30-40 tahun tanpa mengalami gangguan.

Di daerah Cibinong juga ada budayawan Sunda, Jatnika yang dikenal sebagai arsitek Rumah Bambu. Jatnika bukan hanya piawai mendesain rumah, melainkan juga menulis sejarah bambu. Di Bandung, Saung Angklung Ujo mampu mempekerjakan ribuan orang membuat angklung, bahkan ratusan remaja dididik menjadi musisi angklung. Setiap hari, diperkirakan sekitar 500 orang turis datang menyaksikan performasi Saung Angklung Ujo. Namun mereka juga gelisah bahan baku bambu mulai sulit didapat.

Ini belum termasuk potensi ekonomi kerakyatan lainnya seperti kursi-kursi bambu, kerajinan asbak, kap lampu, gedek, dan lain sebagainya. Bahkan sebuah desa di Jember, yang orang-orang tuanya sibuk bekerja sebagai TKI, bambu telah mampu berperan sebagai “teman” bagi anak-anak dan remaja. Cici Farha, anggota Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia membentuk kelompok bermain Tanoker (yang dalam bahasa Madura berarti kepompong) dengan egrang bambu sebagai mediumnya. Kini festival egrang yang diperkenalkan Cici telah menjadi icon ke 3 kota Jember (Ledokombo) setelah Jember Fashion Festival dan kuliner khasnya.

Benturan Ekonomi

Partisipasi ekonomi masyarakat yang berwatak sosial di Barat disebut sebagai ekonomi sektor ke 3. Dari pengalaman saya sebagai penggerak Rumah Perubahan, musuh terbesar ekonomi kerakyatan sebenarnya bukanlah kapitalisme (ekonomi sektor kedua), melainkan korupsi dan conflict of interest di sektor pertama (pemerintah dengan APBN dan APBD).Di tepi Bantaran Banjir Kanal Timur, anak-anak pohon bambu setinggi sekitar 1 meter yang ditanam rakyat jelata dengan mudah digusur paksa aparat-aparat pemda, kalau di antara mereka melihat tepi sungai lebih sebagai “wilayah kekuasaan” yang berpotensi mendapatkan rente dari proyek-proyek.

Tentu saja pemerintah berhak membangun dan mengatur, tetapi hanya pemerintah lalim lah yang telinganya tersumbat dan matanya tertutup. Di era ekonomi kerakyatan, saya dapat memastikan tanpa partisipasi rakyat dalam perubahan maka pembangunan ekonomi akan sia-sia. Saya mengerti BKT ada penguasanya, dan saya mengerti pula di sana ada proyek-proyek yang bisa membuat aparat tersumbat telinganya. Tulisan ini ditujukan untuk membukakan mata sahabat-sahabat yang mendapat amanah mengendalikan sektor pertama agar bisa “melihat” dan “mendengar” desiran angin dari gemersik daun-daun bambu partisipasi ekonomi kerakyatan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan