Laman

Minggu, 24 Februari 2013

FLIP dan VUCA - Sindo 21 Februari 2013


Di sana gelap di sini terang. Ketika Eropa dilanda krisis, pengusaha Aksa Mahmud bisa memborong pesawat-pesawat kecil yang dipakai untuk bisnis logistiknya menembus kota-kota terpencil di Papua. Susi Air juga maju pesat, dari 22 pesawat carter kini sudah 45.

Di Hilman Restaurant yang asri di kantor pusat Susi Air di Pangandaran, suatu malam saya menikmati makan malam bersama pilot-pilot muda Susi Air.  Saya absen mereka satu persatu. Dua  orang berkebangsaan Spanyol, dan masing-masing satu dari Prancis, Belanda, Finlandia, Italia dan New Zealand. Muda, gagah, disiplin dan sudah mulai mengerti bahasa Indonesia.

Mengapa mereka mau bekerja di Susi Air? Harap maklum, dari 700 pegawai Susi, 200 adalah berkebangsaan asing. Jangan salah, gaji mereka tidak besar-besar amat, dibandingkan mahasiswa saya yang baru lulus tentunya. Ada 2 hal, yang pertama mereka perlu jam terbang, dan pelatihan yang bagus (Susi Air memiliki fasilitas pelatihan yang baik) dan kedua, yang lebih penting, negeri mereka sedang dilanda krisis yang membuat mereka benar-benar menjadi generasi VUCA: Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity.  Lantas kalau Anda bertanya mengapa Susi Air tidak pakai pilot lokal saja, maka jawabnya adalah di sini terjadi short supply. Pasokan pilot jauh di bawah kebutuhan industri jasa aviasi nasional yang melonjak tinggi belakangan ini.

Lantas apakah generasi muda Indonesia yang sedang menikmati aneka gadget, gaya hidup,  berangan-angan jadi wirausaha hebat dan menikmati kemajuan ekonomi akan terbebas dari gejolak VUCA?

Pasca 2015
 Benar investasi besar-besaran sedang banjir mendatangi Indonesia saat ini menyongsong pasar bebas Asean bersama mitra-mitra dagang besar lainya di 2015. Indonesia telah dilirik sebagai ladang baru bagi investor global. Kalau anda terbang rendah naik Susi Air dari Halim Perdanakusumah, anda bisa melihat secara kasat mata. Geliat roda ekonomi tengah bergerak di kantong-kantong Industial Estate mulai dari Bekasi hingga Purwakarta. Data-data di BKPM juga menunjukan kemajuan serupa di Jawa Tengah, Jawa Timur dan propinsi-propinsi yang sudah siap lainnya.

Persaingan antara para pemberi kerja dan investor akan menjadi kenyataan di tahun ini. Sementara tahun 2015 indonesia akan memiliki presiden baru yang harus bertempur habis-habisan menegakan disiplin, membuang  tradisi  “asal bapak senang”, menata kembali subsidi (yang kini banyak dihambur-hamburkan kepada pihak yang tidak berhak), meremajakan birokrasi, memperbaiki mutu pendidikan, memperkuat indrustri (dan menekan import), menjalankan komitmen moratorium ekspor tenaga kerja ke luar negri (untuk sektor-sektor informal) terutama di kantong-kantong TKI, mengharmonisasikan hubungan pusat-daerah, menghapus tumpang tindih yang begitu kuat antara satu kementrian dengan kementrian lainnya (juga intra kementrian), menerapkan UU Aparatur Sipil Negara yang baru, menjalankan UU Pengolahan sampah (yang harus sudah dijalankan sejak tahun ini), memperbaiki kualitas penegakkan hukum, meningkatkan produksi pangan , mempercepat pembangunan infrastruktur, mengeksekusi mati penjahat-penjahat narkotika, dan tentu saja memberantas korupsi.

Banyak juga ya PR nya?
Itu sebabnya Indonesia tidak lepas dari VUCA, sehingga akan ada banyak kejutan yang harus siap diantisipasi sesaat setelah presiden baru terpikih. Sampai kini Anda belum tahu siapa calon terkuat kepala Negara, apalagi kualitas mentri-mentrinya. Tetapi semakin mereka menunda masalah semakin besar Volatility (dynamic change) dan Uncertainties yang harus dihadapi dunia usaha dan birokrasi. Apalagi bila perekonomian Eropa membaik. Pilot-pilot asing akan kembali pulang, padahal dari kebutuhan 1200 – 1500 pilot baru setiap tahunnya, Indonesia hanya baru mampu menyediakan 100 – 150 orang. Belum lagi dana-dana internasional yang begitu cepat berpindah.  Jadi jauhkanlah diri anda dari pikiran kalau ekonomi membaik semua pasti akan lebih baik. Sejarah mengajarkan kepada kita, ladakan-ledakan besar justru banyak terjadi di tanjakan yang berat. Dan di sana akan ada banyak kendaraan-kendaraan yang terkapar, mogok, bahkan harus ditarik ke belakang.

FLIP
Liz Guthridge, pakar VUCA memperkenalkan metode FLIP unuk mengantarkan generasi-generasi baru menghadapi dunia VUCA. Ia mengatakan: “If you stand still, you’ll fall behind. Movement alone, however, doesn’t guarantee success”. Jadi diam saja tidak menyelesaikan masalah.   Anda perlu mitra-mitra yang tepat dan bisa menjadi komplemen yang tangguh.

FLIP adalah akronim dari: Focus, Listen, Involve, dan Personalize. Di abad VUCA ini, menurutnya, CEO-CEO dan pemimpin yang berhasil adalah mereka yang mampu menfokuskan pikiran dan tindakannya pada sasaran yang berdaya hasil tinggi (Focus), mendengarkan (Listen) pada siapa yang harus didengar (yang penting-penting dan berdaya hasil tinggi), membangun keterlibatan yang luas dengan menghapus tradisi feodalisme atau kebiasaan bekerja pada silo masing-masing (Involvement); dan menjalin percakapan penuh arti dengan stakeholder secara personal, bahkan massal (Personalize).

Mungkin Anda mengatakan “saya sudah FLIP kok”, namun saya harus menyampaikan FLIP yang sudah Anda jalankan mungkin tidak tepat. Telah banyak suara bising yang semuanya minta didengar di sini. Televisi saja sering mengangkat isu-isu yang tidak penting, tetapi penuh drama sehingga seakan-akan sudah menjadi masalah besar. Bayangkan, stasiun televisi berita (swasta, nasional) yang begitu besar saja menurunkan berita pagi (pukul 06.00) dari Kota Medan tentang kebakaran sebuah bengkel kecil. Kalau kemampuan reportase dan mengangkat berita para awak media saja masih seperti ini, bisa dibayangkan betapa kusutnya persepsi kita tentang dunia yang kita hadapi.  Demi kecil kita jadikan pegangan bahwa itu kemauan rakyat, tuntutan orang luka batin kita anggap sebagai hal yang harus dimenangkan.

Saya juga memiliki banyak pengalaman pribadi dalam menerima umpan balik masyarakat dari tulisan-tulisan yang saya angkat. Sebuah organisasi guru yang sangat vokal misalnya mati-matian menolak gagasan-gagasan saya tentang perubahan pendidikan. Anehnya saya menduga pandangan mereka benar karena mereka adalah kumpulan guru-guru. Mereka jugalah yang memberi umpan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan RSBI. Namun setelah saya dengarkan, dan pelajari ternyata mereka sebagian besar bukanlah guru.  Mereka hanya mewakili suara orang-orang iseng yang ingin eksis, ingin didengar, ingin terlihat pandai namun mempunyai goresan-goresan tajam lukan batin yang tak jelas dari mana sumbernya. Mereka telah menjadi alat kaum “losers” yang takut kehilangan proyek-proyek buku atau pelatihan-pelatihan yang biasanya bisa didapat karena buruknya sistem pendidikan nasional. Tetapi demi impresi yang besar, orang-orang seperti itu dibiarkan menjadi "member" aktif dakam beberapa organisasi guru. Bayangkan apa jadinya bila pandangan oang-orang "sakit" diterima sebagai masukan penting oleh Mahkamah Konstitusi? Kalau para pengambil keputusan sudah genit ingin jadi presiden, maka bukan masa depan lagi yang akan dibangun, melainkan popularitas yang dapat dibaca dari "keras-tidaknya" aung-an kemarahan pada social media dan social TV.

Jadi berhati-hatilah dalam berselancar di atas papan selancar FLIP. Pilih mana yang harus difokuskan, bebaskan pemimpin dari kegenitan populos, pilih siapa yang harus didengar (dan perhatikan bahasa mereka), bangun keterlibatan yang sehat, serta jalin hubungan personal (customize). Bersiaplah memperbaharui kepemimpinan. Itulah FLIP untuk mengendalikan Volatilitas, Ketidakpastian, Kompleksitas dan Keragu-raguan.



Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Susi Air - Jawa Pos 18 Februari 2013


Jeffri Van Novis bukan orang Belanda, melainkan aseli Minang. Di Pasar Aur Bukittinggi, Jeffri berjualan celana dalam perempuan, mereknya Bonita, tetapi jangan salah, manusia tak bisa dinilai dari apa yang dikerjakan hari ini, melainkan apa yang dipikirkannya. Uang bokek, dagangan kecil, lokasi terpencil bukan ukuran kebesaran. Apa yang dipikirkan Jeffri adalah mendirikan perusahaan aviasi: Bonita Air.

Sudah jadi? Belumlah. Jeffri baru hijrah ke Jakarta 2 tahun ini, membuka outlet tiket pesawat  terbang di pasar Tanah Abang. Tetapi saat saya Tanya, ia selalu menjawab: masih menjadi passion saya.  Jeffri sedang mengumpulkan daya, tenaga dan modal untuk mewujudkan impiannya.  Ia masih jungkir balik, berbeda dengan rekan-rekannya yang langsung kaya dengan usaha kuliner yang mudah dibangun.

Hari Jumat kemarin saya mengunjungi kantor Susi Air di Pangandaran, menikmati terbang bersama pesawat-pesawat carter milik ibu Susi Pudjiastuti. Dari bandara Halim ke Pangandaran, lalu terbang memakai pesawat Caravan mendarat di lapangan rumput, beach strip, persis di tepi pantai. Apa bedanya Susi dengan Jeffri? Yang jelas usianya. Yang satu duakali dari yang lain. Persamaannya? Keduanya sama-sama memulai dari pasar. Susi dulu adalah bakul ikan yang membeli ikan-ikan basah dari nelayan di pasar Cilacap.  Dengan menyewa truk ia berhenti di Cirebob, lalu membawa ikan basah ke Jakarta. Hidupnya keras, tetapi cerdas.

Bersusah-susah Dulu
Di Banyuwangi juga ada seorang ibu, namanya Liza Lundin, aseli Banyuwangi. Juga pengusaha, hanya saja bidangnya kapal-kapal laut tempur berteknologi tinggi berbahan komposit. Susi dan Liza sama-sama hebat. Susi menikah dengan seorang Captain, ex. Pilot PTDI, berkebangsaan Swiss, sedangkan Liza menikah dengan pria Swedia.

Semua yang besar berawal dari yang kecil-kecil, dari tepi-tepi pasar atau medan “berkeringat” dengan spirit kewirausahaan yang tebal dan berani menjadi besar. Ya, besar itu berkaitan dengan teknologi, manajemen, team ahli, pengetahuan, dan tentu saja modal. Bedanya dengan para pengeluh, mereka tak pernah marah-marah saat kekurangan modal atau ditolak bank. Mereka selalu memperbaiki “kepercayaan” dengan kerja keras.  Yang besar adalah tekad dan pikiran mereka, bukan uang.

Susi Air memulai dari ikan basah. Dari situ ia punya mental menerobos yang tak kalah dengan kaum lelaki. Ia menjadi pandai mengolah ikan, bahkan membuka restoran yang bersih dan enak di Pangandaran. Ia mengerti betul, ikan bernilai tambah tinggi bukanlah ikan asin atau ikan mati, melainkan ikan hidup. Ikan hidup hanya bisa diperdagangkan kalau ada pesawat dari kantong-kantong nelayan ke pasar tujuan. Itulah awalnya ia menaruh perhatian pada pesawat.  Bukan pesawat pnumpang, tetapi yang bisa angkut ikan hidup.

Pepatah mengatakan “Kecerdasan dari pengetahuan baru berupa potensi belaka. Ia baru menjadi kekuatan bila keduanya bertemu dengan pintunya”. Susi membuka pintu restoran karena senang memasak. Di situ ia bertemu orang yang kelak menjadi mitra usahanya. Ia mendatangi Bank, mengetuk pintu  mereka selama 4 tahun. Namun begitu kredit cair, niatnya mengangkut ikan dari Aceh berubah saat Aceh dilanda gelombang Tsunami. Bersama suaminya mereka menggunakan pesawat yang baru didapat kredit perbankannya itu untuk kegiatan humanitarian di Aceh.

Di luar dugaan, saat misinya selesai di Aceh, LSM-LSM Internasional justru meminta agar pesawatnya bisa dicarter. Sebuah pintu dibuka, pintu-pintu lainnya pun terbuka. Dari humanitarian effort dan dari angkutan ikan menjadi armada carter yang bagasinya bisa diisi lobster hidup. Dari 1 pesawat, menjadi 2, kini menjadi 45, justru di saat Adam Air bangkrut, Batavia Air dipailitkan, atau bahkan saat SQ menghentikan direct flight (nonstop services) Singapore-Newyork yang merugi (Oktober 2012). Belajar dari Susi, Liza dan Jeffri saya hanya ingin mengatakan, usaha itu ada tahapannya, dan setiap pertemuan selalu memberikan input untuk digeluti. Anda tak akan pernah tahu kemana muara ini akan berakhir, tetapi tahu semua  langkah pasti ada muaranya.

Entrepreneur muda harus bisa lebih gigih membanting diri di bawah, jangan cepat-cepat membeli kemewahan padahal usaha masih sekedar gerobak di kaki lima yang di franchise kan. Lebih beranilah untuk ber-evolusi menjadi besar, berani memulai usaha yang banyak menyita pikiran dan pengetahuan, dan berani membuka pintu. Itu yang saya pelajari dari Jeffri, Susi dan Liza. Siapa takut?



Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Generasi Vuca - Sindo 14 Februari 2013


Pernahkah anda memperhatikan gaya berfoto antar generasi? Kemarin (13/2 2012) di PT Indocement, dalam forum Generation Gap, direktur SDM dan pengembangan usaha Wijaya Karya, Tony Warsono menunjukkan 2 buah foto. Foto pertama adalah generasi “telefon pintar” yang lahir pasca 1980-an dan direkrut perusahaan setelah 2006. Foto kedua adalah kumpulan para senior yang direkrut jauh sebelum krisisi moneter 1997. Sebut saja generasi telefon.  Ya, telefonnya telefon rumah, just a telephone.  Atau kadang juga disebut generasi komputer, atau Gen X.  Lahir setelah tahun 1960-an.

                Generasi telefon pintar saat diminta bergaya bebas terlihat sangat ekspresif, lepas, riang dan benar benar bergaya bebas dengan gerakan tangan, mulut, dan badan yang “merdeka”. Sebaliknya, saat diminta bergaya bebas, generasi telefon ternyata benar benar jadul. Kaku, tidak ekspresif, dengan gerakan tangan yang terbatas.  Paling-paling cuma sekedar angkat jempol.  Entah karena umur, agak jaim, atau memang sejak sekolah dibelenggu oleh banyak aturan yang menyebabkan menjadi generasi pasif yang menunggu, tak banyak pilihan dan menghadapi banyak resiko.  Beda benar dengan generasi telefon pintar yang dibesarkan dalam iklim demokrasi yang lepas, banyak pilihan, penuh keberanian dan kebebasan.
Lantas apa hubungannya antara gaya berfoto dengan produktifitas kerja? Benarkah beda generasi telah menjadi sebuah masalah bagi bangsa ini?

Empat Generasi
Di harian Kompas, Minggu lalu saya menjelaskan adanya 4 generasi yang menjelaskan mengapa kurikulum baru disambut dengan berbagai pandangan. Adalah keyakinan saya, jurang antar generasi tak dipahami oleh para pemikir pendidikan. Keempat generasi itu adalah generasi kertas-pensil (lahir sebelum 1960), generasi telefon/komputer (lahir 1960-1970), generasi internet (lahir 1970-1980), dan generasi ponsel pintar (lahir setelah 1980). Tentu saja selain masalah beda generasi, kita juga membedakan mana pandangan orang yang mengerti masalah, yang senang melihat masalah, dan mana yang ingin mengatasi masalah.

Sebuah gap yang dulu terjadi tanpa perbedaan yang jelas, sekarang justru menjadi masalah besar. Anda mungkin masih ingat, ketika apa yang dimainkan di rumah sama dengan yang dimainkan di sekolah. Misalnya saja mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali, juga menjadi mainan di sekolah.  Anak- anak perempuan bermain boneka dengan dakocan yang kulitnya hitam gelap atau boneka barbie di rumah, juga di sekolah.
Masa emas itu kini telah berlalu. Apa yang mereka mainkan di rumah (video dan electronic games) kini tak boleh lagi dibawa ke sekolah. Oleh generasi kertas-pensil dan generasi telefon, video game dianggap kurang mendidik. Jangankan video games, kalkulator saja adalah pembodohan, sedangkan sekolah internasional yang berbahasa Inggris, dinilai melanggar Sumpah Pemuda.

Begitulah generasi tua mendidik anak-anaknya. Selalu melihat dari kaca mata generasinya. Bagi generasi tua, “Indonesia itu gemah ripah loh jinawi,” negri kaya raya, tetapi “feelingnya” adalah sebuah tragedi kemiskinan. Bagi mereka, penduduk Indonesia masih miskin sehingga wajar dikasihani, diberi listrik yang murah, bensin subsidi, sekolah gratis. Sedangkan bagi generasi muda, Indonesia adalah sebaliknya. Alamnya sudah habis dikuras dan dikorupsi. Hutannya sudah gundul. Tanahnya sudah dikorek habis.  Bagi generasi ponsel pintar, Indonesia adalah negri dengan jumlah orang kaya yang fantastis. Alamnya miskin, tetapi orangnya kaya-kaya.  Jadilah generasi yang bingung: diberi subsidi oleh negara tetapi malah dipakai buat foya-foya,  sedangkan yang dari swasta, kalau semakin mahal, semakin diburu.  Tak bisa sekolah internasional di sini, ya pindah ke luar negri.  Guru bilang A, murid melakukan B.  Sekolah mengutamakan angka nilai dan otak kiri, tetapi mereka mengembangkan ketrampilan lapangan dan otak kanan.

Gap ini bukan lah ilusi. Tetapi terjadi sungguhan. Seperti anda ketika ditanya orang tua “apa cita-cita mu kelak ke depan nak?” Maka jawabannya adalah nama-nama fakultas seperti dokter, ekonomi, psikologi, lawyer, sastrawan atau seniman. Semuanya ada fakultasnya. Tetapi bila hal serupa anda tanyakan pada anak-anak sekarang maka anda akan terbengong-bengong sebab mayoritas keinginan mereka tidak atau belum ada nama fakultasnya disini. Ada yang mau jadi sutradara film, fashion desainer, pelukis, fotografer, perancang pesawat perbang, pembuat robot ruang angkasa, atau bahkan juru masak, social entrepreneur, atau artpreneur.

Kegelisahan Ahok
Ahok, wakil gubernur DKI, bukanlah generasi kertas, ia dilahirkan pada tahun 1966, jadi ketika ia dewasa ia merasakan nikmatnya komputer, lalu memakai internet belakangan. Tetapi Ahok gamang saat melihat pegawai-pegawai nya yang masih muda (mungkin generasi ponsel pintar) justru membuat notulensi dengan pensil (bolpoin) dan kertas, bukan langsung menulis di laptop. Ahok pantas berang, sebab setiap tahun pegawai-pegawai itu mengajukan permintaan anggaran untuk membeli laptop.

                Laptop di depan meja, tetapi tulisnya tetap saja di kertas. Ini benar-benar pemborosan. Tetapi para eksekutif yang menjadi mentor untuk menjembatani  generation gap mengajukan usul lebih jauh dari Ahok. “Jangan suruh orang lain menjadi notulis. Kita saja, pemimpin, harus bisa langsung menulis report di depan mata, di komputer, yang langsung bisa di share melalui internal media,” Inilah yang disampaikan oleh sejumlah eksekutif. Memang ini merepotkan. Bagi saya saja repot, apalagi bagi kita yang sudah biasa dilayani.
                Kegelisahan Ahok harusnya tidak boleh sekedar menjadi tontonan di Youtube atau TV saja, melainkan juga signal bagi kita semua.  Apa yang dialami Ahok adalah realita generation gap yang diakibatkan oleh pembekuan yang dilakukan hampir semua lembaga dan badan pemerintah di era krisis moneter.  Bukan main, 7-8 tahun freezing merekrut pegawai antara  1997-2006, bahkan beberapa lembaga birokrasi melakukan zero growth berkali- kali.  Di banyak perusahaan, bahkan bukan Cuma freezing, melainkan juga PHK.  Maklum SDM ada dalam komponen biaya.  Apa akibatnya?  Kumpulan orang tua menguasai lembaga. Kalau saya lihat, pegawai yang dimarahi Ahok itu rasanya dari wajahnya berkisar masuk pada Generasi Telefon Pintar.  Tetapi mengapa ia tak memakai laptop langsung?  Pengalaman saya menemukan, dalam konteks generation gap, kaum muda yang dinamis akan menjadi sama dengan seniornya, terbelenggu dan tak ada bimbingan untuk menegakkan aura generasinya yang memberikan kekuatan kreativitas dan teknologi yang besar.

Jadi generasi muda di banyak lembaga dan dunia usaha kita porsinya sudah tinggal sedikit, sedangkan generasi tua begitu banyak.  Sudah banyak, mereka menguasai pangkat teratas.  Itulah yang disebut band Slank sebagai feodalisme.  Salah satu baik lirik lagu itu berbunyi begini:
 “Salah ngga salah, sama atasan selalu diturutin.
 Maunya seumur hidup minta-minta dihormatin.....
......
Benar-ngga benar yang lebih tua
Sudah pasti benar
Suruh menyuruh, larang melarang
Dia-dia yang paling benar....”

                Jadi, sekarang jelas mengapa reformasi birokrasi susah,  biaya perjalanan dinas terus membengkak kendati peningkatan kesejahteraan PNS tidak terjadi, atau kendati rapat pakai BB Group, Skype, Kakao atau pakai Line saja sudah cukup.  Juga mengapa protokoler dimana-mana dominan. Kalau sudah begitu, bagaimana kita mau memperbaiki pelayanan dan kecepatan?  Bagaimana perusahaan lokal mau mendapatkan kualitas SDM kaum muda yang lebih bagus? Tahun ini ribuan perusahaan asing berdatangan ke sini bersiap-siap menyambut pasar bersama Asean 2 tahun lagi.  Rebutan tallent sudah pasti.  Sedangkan para manager dari negara yang tak terbelenggu feodalisme, selain atasan berani turun langsung ke bawah, bahkan melakukan wawancara di bursa-bursa tenaga kerja, memutuskan dengan cepat sendiri ke bawah. Kala feodalisme merajalela, atasanlah sasaran pelayanan, mereka sulit turun ke bawah. Dan pantaslah produktivitas terganggu.

                Potensi besar generasi baru itu perlu didampingi oleh mentor-mentor hebat, karena mereka punya kekuatan menembus batas yang mengalahkan kekuatan generasi di atasnya.  Mereka kini disebut juga sebagai generasi VUCA, yang dibesarkan dalam lingkungan yang Volatile, Uncertain, Complex dan Ambiguous. Artinya, mereka generasi tahan banting dan adaptif ditempa dalam pergulatan yang cair dan tidak pasti tapi punya kemembalan, daya penetrasi yang kuat dan lincah bergerak.

                Jadi bagaimana sistem pendidikan yang dikomentari kaum tua yang kolot yang masih berpikir hanya dirinya yang benar? Bagaimana reformasi birokrasi?  Bagaimana meremajakan partai-partai politik dan sekaligus meluruskan makna subsidi dan sosial?  Semua hanya bisa dilakukan kalau jembatan antara generasi segera dibangun.  Yang tua sadar untuk memberi ruang bagi kaum muda untuk maju, yang muda tetap respek, tapi yang jelas negri ini butuh manusia yang kaya perspektif. Bukan orang yang merasa paling benar, padahal ada kacamata kuda di wajahnya.



Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Kamis, 14 Februari 2013

Cameragenic dan Auragenic - Jawa Pos 11 Februari 2013

Tak dapat dipungkiri bahwa televisi telah menjadi aktor penting yang mengubah peradaban manusia Indonesia 20 tahun terakhir ini. Harus diakui bahwa bangsa ini belajar demokrasi versi tv, ketimbang versi akademis.  Melalui televisi pula, manusia Indonesia melompat ke peradapan modern, mulai dari kartu kredit, ATM, sepeda motor sampai pulsa telefon. Dan, harus diakui sejarah pembentukan brand tidak pernah luput dari televisi. Seseorang yang belum tampil dan menjadi perhatian publik di televisi, belum menjadi "brand".

Demikian pula dengan hasil-hasil karya kewirausahaan, belum menjadi "brand"-kendati sudah mempunyai logo. Namun tampil ditivi, tanpa aura positif dan content yang kuat, hanya akan menjadi gunjingan.
Dalam buku Camera Branding, saya menyinggung pula kehadiran brand kuat yang tak bisa lepas dari person tertentu.  Siapa misalnya yang bisa memisahkan Microsoft dari Bill Gates, atau Apple dari Steve Jobs.  Atau siapa yang bisa memisahkan Maspion dari Alim Markus, Mustika Ratu dari Moryati Soedibyo, Garuda Indonesia dari Emirsyah Satar, dan seterusnya.  Peradapan social tv tidak hanya menyuarakan product atau corporate branding, melainkan juga personal branding.

Indonesia memiliki banyak ekonom, tetapi mengapa yang branded hanya dua-tiga nama.  Demikian pula fisikawan, sejarawan, sosiolog, psikolog, lawyer, bahkan ustaz, ulama, ahli tafsir dan seterusnya.  Jutaan anak muda di seluruh dunia saat ini bukan lagi sekedar bekerja atau berwirausaha, melainkan membangun brand.  Mereka tak mau lagi diperbudak oleh perangkap “komoditi” seperti yang dihadapi Negara-negara berkembang yang produk buatannya hanya dihargai $1-$10, sementara barang yang sama yang dibangun brand-nya bisa dihargai 4 hingga 50 kali lipat.  Dalam Camera Branding, ada dua kekuatan yang harus dibangun yaitu cameragenic dan auragenic.

Cameragenic
                Karena gambar ditangkap dengan mata oleh pemirsa televisi di rumah, maka setiap objek yang tampil di televisi harus atraktif. Atractiveness akan menentukan apakah pemirsa ingin terus melihat atau cepat merasa bosan. Pemilihan warna, penampilan yang tidak membosankan, setting panggung yang menarik dan cara berpakaian yang tidak berlebihan, serasi harus menjadi perhatian.  Bila cameragenic mengesankan atraktif secara fisik dengan tingkat familiritas yang memadai (berkali-kali ditampilkan dengan beberapa penyegaran), maka satu hal yang sering dilupakan generasi muda saat ini adalah auragenic.

Auragenic
                Auragenic adalah ‘apa yang dirasakan” pemirsa. Auragenic tidak bisa didapat dari objek yang diam. Karena televisi mendeteksi gerakan, maka ia menciptakan interaksi. Dalam interaksi itu dibentuk rasa, apakah orang lain merasa nyaman atau tidak dengan kehadiran diri atau produk anda. Aura adalah sesuatu yang keluar dari interaksi itu.

                Apa saja sumbernya?
                Aura bersumber dari sifat yang dibawa oleh seseorang. Bila seseorang berpandangan dan berperilaku negative, maka ia dapat menimbulkan aura negative. Demikian pula sebaliknya. Jadi pertama-tama adalah aura yang berasal dari pikiran seseorang, yang dikendalikan atau tidak. Orang-orang yang memiliki auragenic biasanya menekan sikap-sikap negatif yang ada pada dirinya: merasa diperlakukan tidak adil, menyimpan dendam, tidak terpilih, rasa dikalahkan, iri hati, arogansi, menuntut perhatian berlebihan, dan seterusnya.

Dari sikap seseorang pulalah sebuah naskah iklan dihasilkan. Orang-orang beraura negatif akan menghasilkan iklan-iklan yang provokatif, yang menganggap dirinya atau produknya lebih baik, namun menimbulkan antipati publik. Dan produk yang demikian hanya akan diterima oleh orang-orang dengan aura yang sama.

Auragenic juga terwujud dari reaksi seseorang terhadap ucapan-ucapan orang yang ada disekitarnya. Apakah dari host, nara sumber lainnya, atau telepon yang masuk. Ini akan tampak dalam bagaimana seseorang merespons pertanyaan, komentar melalui ucapan, intonasi, getaran tangan, atau bahasa tubuh lainnya. Seseorang yang secara atraktif belum tentu memiliki auragenic yang kuat, demikian pula sebaliknya.
Melatih aura harus dimulai dari pikiran yang jernih, objektif yang jelas dan bersih, self awareness yang kuat serta self confidence yang memadai.

Baik cameragenic maupun auragenic bisa dipelajari dengan memperhatikan bagaimana para aktor menguasai seni peran. Belajarlah dari tokoh-tokoh yang disukai dan jauhkanlah televisi atau layar tweeter anda dari pesan-pesan orang yang memiliki luka batin, sebab aura negatif mereka akan ikut membentuk anda.



Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Guru dan Perubahan - Kompas 7 Februari 2013


Tak dapat disangkal, guru merupakan sosok penting yang mengawal perubahan di awal abad XXI.

Guru berpikir jauh ke depan, bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-anak telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya. Sementara kurikulum baru yang belum tentu sempurna sudah dihujat, kaum muda mengatakan kurikulum lama sudah tidak relevan mengisi masa depan mereka.

Untuk pertama kali dalam sejarah, dunia kerja dan sekolah di- isi empat generasi sekaligus, generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi telepon pintar. Terjadi celah antargenerasi, ”tulis dan temui saya” (generasi kertas), ”telepon saja” (generasi komputer), ”kirim via surel” (generasi internet), tetapi generasi terbaru mengatakan, ”Cukup SMS saja”. Yang tua rapat dengan perjalanan dinas, yang muda pakai skype.

Generasi kertas bersekolah dalam sistem linier terpisah-pisah antarsubyek, sedangkan kaum muda belajar integratif, lingkungannya dinamis, bersenang- senang, dan multitasking. Sekolah bahkan tidak lagi memisahkan kelas (teori) dari lab.

Lewat studinya, The Institute for the Future, University of Phoenix (2012), menemukan, kaum muda akan mengalami usia lanjut yang mengubah peta belajar dan karier. Mereka pensiun di usia 70 tahun, harus terbiasa dalam budaya belajar seumur hidup dan merawat otaknya. Generasi yang terakses jaringan TI bisa lebih cepat dari orangtuanya merencanakan masa depan. Pandangan mereka sama sekali bertentangan dengan celoteh kaum tua di media massa atau suara sumbang yang menentang pembaruan. Ketika guru kolot yang baru belajar Facebook mengagung-agungkan Wikipedia, kaum muda sudah menjelajahi literatur terbaru di kampus Google.

Saat orang tua berpikir kuliah di fakultas tradisional (hukum, ekonomi, kedokteran), generasi baru mengeksploitasi ilmu masa depan (TI kreatif, manajemen ketel cerdas, atau perdapuran kreatif). Cita-citanya menjadi koki, perancang busana, atau profesi independen lain. Ketika geologiman generasi kertas menambang di perut bumi, mereka merancang robot-robot raksasa untuk menambang di meteor. Bila eksekutif tua rindu diterima di Harvard, generasi baru pilih The Culinary Institute of America.

Bahasa dan fisika

Sulit bagi generasi kertas menerima pendidikan yang integratif. Bagi kami, fisika dan bahasa adalah dua subyek terpisah, beda guru dan keahlian. Satu otak kiri, satunya otak kanan. Kita mengerti karena dibesarkan dalam rancang belajar elemen, bukan integratif. Dengan cara lama itu, bingkai berpikir kita bahasa diajarkan sarjana sastra, fisika diajarkan orang MIPA. Dari model sekolah itu wajar kebanyakan aktuaris kurang senyum, ilmunya sangat serius, matematika. Namun, saat meluncurkan program MM Aktuaria minggu lalu, saya bertemu direktur aktuaria sebuah perusahaan asuransi lulusan Kanada yang punya hobi melukis dan mudah senyum. Mengapa di sini orang pintar susah senyum?

Sewaktu mengambil program doktor, saya menyaksikan Gary Stanley Becker (Nobelis Ekonomi, 1992) menurunkan rumus matematika Teori Ekonomi Kawin-Cerai dengan bahasa yang indah. Mendengarkan kuliahnya, saya bisa melihat dengan jelas mengapa pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa membuat keluarga-keluarga Indonesia berevolusi menjadi orangtua tunggal.

Rendahnya komunikasi dan pengambilan putusan dalam pen- didikan dasar jelas akan membuat generasi baru kesulitan meraih pintu masa depannya. Di Jepang, seorang kandidat doktor asal Indonesia digugurkan komite penguji bukan karena kurang pandai, melainkan buruk bahasanya. Ia hanya pakai bahasa jari dengan kalimat ”from this, and then this …, this…, this…, and proof”. Waktu saya tanya, para penguji berkata, ”Sahabatku, tanpa bahasa yang baik, orang ini tak bisa ke mana-mana. Ia harus belajar berbahasa kembali.”

Tanpa kemampuan integratif, kemampuan kuantitatif, anak- anak pintar Indonesia tak akan mencapai impiannya. Jadi, kurikulum mutlak harus diperbaiki. Jangan hanya ngomel atau saling menyalahkan. Ini saat mengawal perubahan. Namun, catatan saya, Indonesia butuh life skills, yakni keterampilan melihat multiperspektif untuk menjaga persatuan dalam keberagaman, assertiveness untuk buang sifat agresif, dan asal omong dalam berdemokrasi. Indonesia butuh mental yang tumbuh, jiwa positif memulai cara-cara baru, keterampilan berpikir kritis melawan mitos, dan metode pengajaran yang menyemangati, bukan budaya menghukum dan bikin bingung.

Inilah saat guru dan orangtua berubah. Dimulai dari kesadaran, dunia baru beda dengan dunia kita. Cara berpikir kita harus bisa mengawal anak-anak jadi pemenang di akhir abad XXI dengan rentang usia jauh lebih panjang.



RHENALD KASALI, Guru Besar FE UI

Menuai Masalah di Hari Esok - Sindo 7 Februari 2013


Tidak ada yang menyangkal bahwa mayoritas orang yang tinggal di daerah perkotaan Indonesia saat ini telah menikmati kehidupan yang jauh lebih baik. Apalagi bila anda kalangan kelas menengah. Bensin murah, listrik bisa dicuri, uang negara atau uang perusahaan bisa dengan mudah dipat-gulipatkan, penjualan naik terus, berwirausaha banyak yang mendukung, mau jadi presiden tinggal berucap, marah mudah, bebas berbicara, bahkan pelaku korupsi pun bisa memberi keterangan pers sambil tersenyum. Sekalipun harga pangan sudah termahal di dunia, kita bisa tetap makan enak. Dan meski harga properti naik terus, pembelinya tetap banyak.

Dengan segala kenikmatan itu, perilaku orang Indonesia telah berubah dalam segala sektor kehidupan. Penjualan sepeda motor di akhir tahun 2012 turun, konon karena kebijakan Bank Indonesia (15/3/2012) tentang batas minimal uang muka kredit. Namun penjualan mobil (2012) naik cukup signifikan.
Demikian juga jumlah wisatawan asal Indonesia yang berkunjung ke luar negeri, meningkat pesat. Mereka yang terbang dari Bandara Soekarno Hatta melonjak terus, dari 50 jutaan menjadi 60 jutaan, tanpa fiscal, dengan tarif pesawat low cost. Bahkan orang tua yang pasca krisis moneter (1997-1998) menarik anak-anaknya dari luar negeri, kini mulai kembali menyekolahkan anak-anaknya ke Singapura, Australia, Eropa, dan USA. Di Paris saja, saya menyaksikan 30% dari pelancong yang berburu tas-tas bermerek adalah pelancong asal Indonesia, mereka berburu tas-tas mewah yang harganya di atas Rp. 15 juta rupiah.

Signal Tanjakan atau Turunan
Setiap kali seseorang merasa jalannya enak, maka satu hal yang pasti tengah terjadi: Kita tengah melewati jalan yang menurun. Dan sebaliknya, di Eropa dan Amerika Serikat, saat krisis menekan hidup, sesungguhnya mereka tengah bekerja keras menelusuri jalan “tanjakan” yang berat.
Mereka yang berada dalam lingkungan ekonomi yang berat itu adalah buah dari apa yang ditanam oleh para pemimpin yang berkuasa di zaman tersenyum. Pemimpin-pemimpin yang berkuasa di era yang sulit adalah pemimpin yang memimpin untuk dinikmati hari esok. Jaringan televisi CNN belum lama ini misalnya menurunkan liputan gaya hidup Haruka Nishimatsu, CEO JAL yang memimpin dengan berbagai fasilitas jauh dari yang bisa dinikmati rata-rata CEO Indonesia.

Haruka Nishimatsu berangkat ke kantor dengan bis pegawai, tak ada sopir pribadi, tas dibawa sendiri, tak ada protokoler yang mengawal, duduk di kelas ekonomi, makan siang bersama pegawai di kantin kantor dengan menu siap saji seperti yang bisa dinikmati rata-rata pegawai.
Video itu dengan cepat menjadi bahan diskusi di antara para eksekutif di negara-negara yang “matahari” ekonominya masih bersinar terang, termasuk di sini, Korea, China, Mexico, India dan Brazil. Bagi CEO-CEO seperti itu, kerja keras diperlukan untuk mewariskan kebaikan pada pemimpin dan generasi berikutnya.

Hal serupa sebenarnya juga dilakukan oleh para kepala negara yang memimpin dalam ekonomi yang sulit. Obama berjuang memangkas biaya perang dan memperbaiki sistem jaminan hari tua dan kesehatan. Istrinya menjadi role model untuk merubah gaya hidup warga negaranya, mulai dari pendidikan hingga obesitas. Mereka berupaya keras mengurangi aneka kenikmatan, dan memperbaiki corporate governance di sector keuangan.

Demikian juga dengan pemimpin-pemimpin di benua Eropa. Mereka memperbaiki mata rantai produksi, meningkatkan “nilai” dari produk-produk dan jasa yang dihasilkan, memperbaiki produktivitas, mengembalikan kepercayaan, mempercepat pengambilan keputusan, mengurangi subsidi dan memperbaiki infrastruktur.

Lantas apa yang dilakukan para CEO dan kepala-kepala negara di negri yang tengah merasa sedang “kaya”?. Tentu saja ada 2 macam pemimpin. Ada pemimpin yang sadar betul bahwa mereka tengah hidup di era uncertainties yang tidak bisa diatasi dengan bersenang-senang sepanjang waktu dan ada yang senang “menunda masalah”.

Menunda Masalah
Ya, pemimpin erat hubungannya dengan masalah. Dan untuk itulah mereka harus mengambil keputusan. Pilihannya hanya ada 2: Bergelut dengan, atau menundanya. Orang-orang yang bergelut melawan masalah adalah petarung yang tak mudah mengalah terhadap masalah, melibatkan diri secara mendalam, dan membuat rencana-rencana tindak yang tegas.

Sebaliknya pemimpin yang menunda masalah tidak berkeinginan menyelesaikan masalah di era mereka. Mereka justru berkolaborasi untuk menunda penyelesaian aneka masalah yang dapat menyengsarakan generasi muda, membuat mereka mabuk subsidi, berani berhutang, membiarkan korupsi menjadi budaya.
Mari kita bercermin apa yang tengah terjadi di negeri ini. Ekonomi bagus sekali. Semua elit tengah menari dan meng-entertain subsidi untuk kalangan yang bersuara lantang, membiarkan korupsi berlarut-larut, kemiskinan hanya dijadikan retorika, infrastruktur sudah menjadi agenda namun tidak diorkestrasikan, buruh-buruh dijadikan alat gerakan politik, ketika harga pulsa telefon naik kita tidak ribut, namun saat tarif parkir atau tarif kereta api dinaikkan seribu rupiah saja bisa jadi berita besar; sekolah internasional dilarang; kurikulum baru dihujat; koruptor berpura-pura sakit namun bisa menggerakkan demo; sepakbola dijadikan alat berjudi; pembawa acara televisi dibebaskan berceloteh dengan bahasa “banci” dan kata-kata kotor; rektor yang korup dibela kawan-kawannya; pintu impor dibuka lebar-lebar dibiarkan mematikan ekonomi rakyat, dan seterusnya.

Yang di atas menari, di tengah mengunci, di bawah resistensi. Saya tak bisa membayangkan siapa yang akan sanggup menjadi presiden negeri ini setahun dari sekarang. Penyanyi dangdut, pengacara yang suka bersensasi, politisi yang terbiasa berpolitik uang, pengusaha yang punya masalah besar, tentara yang dimusuhi teman-temannya, atau entahlah siapa yang punya keberanian menegakkan benang-benang yang tampak sudah membasah ini. Atau jangan-jangan mereka hanya akan menghibur kita, menenangkan hati, atau mungkin karena mereka sama sekali tidak mengerti persoalan-persoalan besar yang tengah kita hadapi.
Betapa kejamnya generasi yang memimpin dengan membuang-buang waktu. Menunda masalah adalah membuat masalah menjadi besar. Siapkah generasi telefon pintar menghadapinya? PR nya banyak lho!



Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Senin, 04 Februari 2013

MM Aktuaria - Sindo 31 Januari 2013


Ketika sebagian besar lulusan universitas mengambil bidang-bidang yang general, profesi-profesi baru yang lebih spesifik justru bermunculan. Siapa yang menyangka profesi berbayaran tinggi sekarang diidamkan oleh para spesialis.

Ambil saja contoh profesi aktuaris dan geologis yang sangat kurang diminati. Bukan karena prospeknya tidak bagus, tetapi mungkin ketidaktahuan atau kurangnya minat belajar yang ilmunya sedikit agak sulit ketimbang ilmu-ilmu sosial pasaran yang modalnya cukup membaca, menghafal atau analisis sederhana. Menjadi aktuaris dan geologis membutuhkan keahlian menghitung dan science yang tinggi. Padahal anak-anak Indonesia sejak kecil sudah dilatih dengan kemampuan matematika yang advance. Mengapa anak-anak yang sekolah dasar dan menengahnya sudah diberi beban yang sangat berat dengan matematika dan fisika itu justru tak bermuara pada bidang-bidang studi berbasis ilmu yang penting itu?

Kurang Pasokan
            Kurangnya pasokan geologis sudah lama dirasakan sehingga wajar bila perusahaan-perusahaan minyak dunia, termasuk dari Qatar dan Malaysia sering beriklan mencari SDM dan "membajak" mereka dari perusahaan perusahaan migas disini. Sudah lulusannya sangat terbatas, yang sudah ada saja masih dibajak. Memang pekerjaan mereka bisa jauh dari kota dan keluarga, tetapi bayaran yang diterima sangat tinggi. Bisa sepuluh kali lipat dari rata-rata sarjana bidang ilmu lainnya.

Di sisi lain,  untuk menjadi aktuaria, seorang ahli tidak harus bekerja di daerah pedalaman atau di lautan lepas seperti geologist. Aktuaris bekerja di sektor keuangan, khususnya  asuransi dan dana pensiun. Dengan latar belakang matematika, fisika atau engineering atau juga financial economics, mereka bisa menjadi aktuaris yang tangguh.  Aktuaris adalah tenaga ahli yang mengaplikasikan matematika dalam bidang keuangan, dengan menghitung besarnya resiko yang akan terjadi di kemudian hari.

Dengan begitu dibutuhkan keahlian membaca peta ekonomi makro, statistik dan accounting.  Apalagi kalau ini berkaitan dengan produk-produk asuransi yang resikonya harus diukur yang berbeda dari satu kasus ke kasus-kasus lainnya.  Dalam asuransi jiwa, hal ini menjadi lebih kompleks karena berhubungan dengan tradisi menjaga kesehatan, dan demografi.  Dan dalam dunia perasuransian Indonesia, ada Surat Keputusan Menteri Keuangan (Nomor 426/KMK.06/2003) yang mewajibkan setiap perusahaan  asuransi jiwa untuk mengangkat  aktuaris  yang memiliki kualifikasi yang ditetapkan dan disertifikasi oleh Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI).  Dan  diijinkan pula pemegang sertifikasi dari asosiasi sejenis  luar negeri yang terdaftar sebagai anggota penuh International Association of Actuaries.

          Dengan melihat langkanya jumlah aktuaris yang dapat menghambat pertumbuhan industri asuransi Indonesia,   Minggu lalu MMUI yang saya pimpin membuka program MM aktuaria. Bukannya apa-apa. Data dari PAI (Perusahaan Aktuaria Indonesia) menunjukkan negeri ini butuh sekitar 600-an aktuaris. Namun yang tersedia baru 170-an. Itupun, menurut alumnus kami yang menjadi ketua PAI, Budi Tampubolon, setiap tahun selalu ada anggota yang pensiun atau meninggal dunia.  Kalau MMUI meluluskan 20 orang saja setahunnya, dalam 10 tahun, sudah pasti kebutuhan itu belum terkejar.  Memang ada program S1, tetapi proses ujian untuk menamatkan status sebagai Fellow Society of Actuaries of Indonesia (FSAI) membutuhkan waktu yang panjang.  Hanya memiliki keahlian menghitung (matematika) saja ternyata belum mencukupi.

            Padahal kebutuhan aktuaris di Indonesia terasa semakin meningkat. Saat ini industri asuransi jiwa Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Apalagi 2-3 tahun lagi diramalkan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia akan menjadi $6.000, Deutche Bank bahkan meramalkan GDP Indonesia akan menjadi kekuatan ke 6 dunia pada tahun 2030, mengalahkan Jerman. Kalau Anda rajin berkeliling Indonesia Anda akan terheran-heran, dimana-mana kelas menengah baru memenuhi bandara, hotel, tempat-tempat rekreasi, sekolah-sekolah internasional dan seterusnya.

            Pertumbuhan kelas menengah yang tinggi ini mengakibatkan dunia perasuransian tumbuh terus. Para CEO perusahaan asuransi asing yang saya temui brlakangan ini mengakui ruang besar untuk tumbuh hanya ada disini. William Kuan, CEO Prudential Indonesia misalnya, tak melihat ruang pertumbuhan industri perasuransian di Singapore, atau Inggris sekalipun. Itu sebabnya Indonesia harus terus memperbarui sistem pendidikannya. Bayangkan saja, industri asuransi jiwa Indonesia baru sekitar 1,3% dari GDP. Padahal Malaysia-Singapura dan Thailand sudah sekitar 3-4%, Jepang 10% dan di Amerika Serikat sudah di atas 10%.

            Dunia asuransi Indonesia tumbuh karena pergerakan ekonomi dan saya yakin dapat tumbuh lebih besar lagi bila pemerintah mengeluarkan paket-paket regulasi yang membuat industri ini lari lebih kencang.  Di Amerika Serikat sendiri industri ini tumbuh karena digerakkan peraturan-peraturan pada level state dan county.  Bahkan untuk merayakan pesta di taman saja, panitia harus membeli asuransi.  Belum lagi profesi-profesi tertentu yang rawan dituntut oleh pengacara-pengacara yang lihai. Ada berita oang terpeleset saja, atau pahanya tersiram air panas minuman di sebuah restauran, sebuah tuntutan hukum segera di layangkan. Dan untuk menghindari hal itulah pengusaha menutup premi asuransi.

           Namun di pasar yang besar-besar itu,   ruang untuk tumbuh sudah stagnan. Dan bila Indonesia tidak segera menghasilkan aktuaris-aktuaris handal, maka ia akan diisi oleh aktuaris-aktuaris dari negeri tetangga. Di MMUI, program kami didukung oleh salah satu perusahaan asuransi jiwa terkemuka dunia yang berkedudukan di Inggris. Perusahaan ini menawarkan berbagai bantuan mulai  fasilitas gedung, kurikulum serta bantuan teknis.   Dan program ini di desain untuk mengisi kebutuhan industri sehingga memberi ruang bagi praktisi dari segala perusahaan untuk berkarir dimanapun.

Sepuluh Tahun
            Seorang calon aktuaris memberi tahu saya, salah satu faktor yang membuat langkanya aktuaris di Indonesia adalah kurangnya pengetahuan dalam matematika keuangan dan ekonomi makro. Padahal, untuk mendapatkan sertifikasi dari PAI, mereka harus mengikuti 10 buah ujian. Dari ketua PAI yang pernah mengambil program serupa di MMUI, saya mendapatkan keyakinan lulusan-lulusan MM aktuaria bisa jadi hanya tinggal menyelesaikan 2-3 ujian, khususnya yang berkaitan dengan industri. Ketua PAI meyakinkan ujian dari mata kuliah yang diketahui lebih dalam diberikan di UI akan lebih mempercepat masa kelulusan.

Tentu saja tantangan ini harus dijawab dengan kesungguhan mengembangkan program berkualitas. Setahun ini kami telah menjembatani pogram dengan industri dan pihak  regulator yang kebetulan dulu adalah mahasiswa atau dosen-dosen  kami sendiri. Selain itu kami juga mendatangkan profesor-profesor terkemuka dari luar negeri. Dua bulan yang lalu misalnya, mereka mengirimkan Prof. Keng Seng Tan, Ketua program studi aktuaria dari Waterloo University – Canada.



Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan