Laman

Rabu, 27 Juni 2012

Barefoot College - Sindo 28 Juni 2012

Di Rajasthan, India, ada sebuah plang  petunjuk menuju sebuah kampung yang jauh dari keramaian. Di petunjuk jalan itu tertera arah menuju kolese tanpa alas kaki (Barefoot College).  Saya pikir, Bunker Roy, yang empunya gagasan membuat sekolah ini benar-benar brilian.  Dalam suatu kesempatan, ia mengatakan kolese ini untuk orang-orang yang buta huruf yang pengajarnya semula juga buta huruf. Nama kolese ini  diberikan sebagai simbol bahwa yang dididik di sekolah ini datang dari komunitas yang tak pernah merasakan pakai sepatu. Inilah komunitas yang terpinggirkan oleh globalisasi yang mayoritas diperankan oleh private sector.

Persis seperti kampung-kampung di sini, anak-anak dan orangtua bertelanjang kaki tampak dimana-mana.  Jalan berdebu, lahan kritis yang sulit ditanami pangan, dan tentu saja transportasi yang buruk. Untuk menuju kota, ibu-ibu harus menumpang angkutan umum semacam omprengan tahun 1970an di Jakarta yang tidak ada kursinya dan tidak ada atapnya.  Ibu-ibu berdiri sambil berpegangan tepi kendaraan di bagian belakang.  Dulu biasanya pemandangan ini banyak saya lihat saat mbok-mbok bakul sayur belanja di pasar Senin, sambil membawa dua-tiga karung berisi daun bawang, kentang, cabai dan kubis.  Pukul lima pagi mereka sudah selesai berbelanja dan dengan sigap membuka lapak di pasar di daerah Blok A - Kebayoran baru. Biasanya kalau kebagian kursi tempat duduk mereka langsung tertidur.

Ada juga tentara yang naik kendaraan serupa, yaitu mereka yang dijemput truk besar untuk nonton film India di bioskop Rivoli sore hari.  Tentu saja pemandangan seperti ini sudah jarang kita saksikan di sini. Tapi kalau  pergi ke berbagai pelosok tanah air, saya masih bisa menemukannya.

Sepertinya kemajuan pesat perekonomian India dan juga di sini tak akan mampu memperbaiki nasib kaum papa seperti yang dijanjikan teori ekonomi.  Hal serupa masih akan kita temui 10-20 tahun ke depan di sini,  kalau sistem politik tidak bisa  mengatasi masalah korupsi. Selain government failure, pasar dengan pendapatan dibawah Rp 15.000 sehari tak akan bisa menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak untuk "naik kelas" dalam strata sosial.  Untuk bayar uang sekolah di taman kanak-kanak  saja, seorang tukang ojek atau pedagang kaki lima harus punya uang sebesar Rp 250.000 setiap bulan.  Darimana uangnya?  Bagi pemerintah mungkin tugasnya sudah selesai dengan menyediakan pendidikan gratis dari SD sampai SLTA.  Tetapi tanpa pendidikan TK yang kuat, mana ada anak kampung yang memiliki percaya dii untuk bertarung dengan kelas menengah di Sekolah Dasar?

Pasar BOP
C.K. Prahalad (1994)  menyebut pasar kelompok ini sebagai BOP atau Bottom of the Pyramid.  Tetapi Prahalad tak banyak memberikan solusi untuk memerdekakan pasar BOP yang menurutnya sebuah potensi besar bagi perusahaan-perusahaan MNC kalau mereka bisa  mendapatkan akses.

Ada tiga alasan yang diajukan Prahalad, Pertama, kaum papa mewakili   “pasar yang laten”.  Kedua, BOP merupakan sumber pertumbuhan private sector kalau mereka naik kelas dan bergabung sebagai pasar seperti yang pernah terjadi dengan negara-negara eks komunis.  Tetapi untuk menarik mereka diperlukan inovasi-inovasi mendasar.  Ketiga,  urusan membangun pasar BOP tidak akan selesai dengan mengalirkan dana-dana CSR.  Pasar BOP harus menjadi bagian integral dari kebijakan private sector.

Masalahnya, dominan logic yang dianut kapitalisme, private sector dan pemerintah tentang pasar BOP tidak mendukung mereka untuk keluar dari kemiskinan.  Dalam banyak hal, kebijakan pemerintah di negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan kepanjangan dari kebijakan yang dibangun para penjajah, hanya memelihara kemiskinan dan ketergantungan.

Peran negara yang dominan saja misalnya sangat kental dengan logika moralitas penguasa yang memelihara kemiskinan.  Tak banyak ekonom dan politisi yg menyadari bahwa subsidi besar-besaran terhadap energy dan listrik yang diberikan terus menerus belakangan ini akan semakin memiskinkan penduduk di daerah pedalaman Papua, Maluku, NTT, sebagian Sulawesi dan Kalimantan.  Harga bensin murah dan listrik hanya dinikmati penduduk yang lebih kaya di perkotaan, dan mayoritas penduduk yang tinggal di pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi.  Penduduk di Pulau Buru dan Papua hanya bisa menonton melihat tulisan harga premium Rp 4.500, sementara mereka hanya bisa membeli di tepi jalan seharga Rp 20 ribu.

Bunker Roy dan para social entrereneur menyadari bahwa negara tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Bersama sejumlah orang ia menyewa gedung ex sanotarium TBC di desa berpenduduk sekitar 20 ribu orang dan menjadikannya kolese tanpa alas kaki.  Ia melihat private sector yang ditujukan untuk mencari keuntungan tak akan bisa melayani kaum miskin.  Terjadi market failure yang tak terpikirkan para ahli ekonomi.  Maka solusinya ya harus non-profit sector.  Barefoot College mendidik masyarakat agar mampu memiliki energy dan air bersih sendiri, ada atau tidak ada peran negara.

Di Rajasthan, setiap minggu ratusan ibu-ibu belajar cara merakit solar cell, mengurus sekolah bagi anak-anaknya, kesehatan, limbah dan sebagainya.  Ternyata hasilnya cukup mengagumkan.  Barefoot College belakangan diminati oleh orang-orang berjiwa sosial untuk bergabung.  Mereka memberikan jasa secara non-profit. Insinyur, dokter, pengusaha dan mahasiswa sama-sama memperbaiki kegagalan pasar dengan memberikan jasa sukarela mereka.

Sektor seperti ini baiknya terus ditumbuhkan dan diberikan insentif oleh pemda-pemda atau pemerintah pusat yang belakangan terbukti tidak mampu memeliharanya dengan dominan logic birokrasi.  Kita sudah sering membaca sekolah tak diurus dengan baik, hewan-hewan yang mati di berbagai kebun binatang,  rumah sakit dan  panti jompo yang tak terurus dengan baik.  Kalau di India saja pemerintah mulai berani memberi hibah pada para social entreneur yang terlibat dalam kegiatan non profit, maka di Indonesia pemerintah perlu lebih banyak mendorong keterlibatan sosial warganya.  Indonesia punya lembaga-lembaga non profit yang governance structurenya bagus seperti Dompet Duafa dan Bina Swadaya.   Bukankah sudah cukup dana APBN yang diberikan untuk memperkuat sektor keuangan dan private sector lainnya?

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Selasa, 26 Juni 2012

Seorang Guru di Langit Biru - Jawa pos 25 Juni 2012

Di sebuah stasiun televisi, di pagi hari, untuk kesekian kalinya saya menyaksikan orang-orang yang tak mampu mengukur resiko.  Setelah puluhan "money game" menerkam rakyat jelata,  kali ini terjadi lagi.  Seorang guru yang menjadi korban diwawancara penyiar televisi,  ia kehilangan banyak uang yang di tanam di Koperasi Langit Biru.

Bisa dibayangkan kalau guru saja tertipu, bagaimana dengan murid-muridnya?  Harap Anda paham bahwa etiap hari ada begitu banyak usaha bergaya money game yang dibuat masyarakat dan setiap hari pula ada ribuan orang yang menjadi korban, atau akan menjadi korban.  Sementara itu ratusan cikal bakal money game tengah ditabur dalam inkubasi bisnis, dan gejalanya tampak faham bombastis marketing yang saya ulas setahun yang lalu. Masyarakat umumnya masuk perangkap melalui iming-iming yang menyesatkan.
Reporter televisi pun bingung, bagaimana seorang guru yang tinggal di daerah Tanggerang rela mengambil paket yang ditawarkan hingga ke daerah Depok yang jaraknya hingga puluhan kilometer dari tempat tinggalnya.  Ia mengaku semua itu dilakukan karena mengejar keuntungan yang dijanjikan.  "Tapi Anda kan seorang guru, bagaimana sampai tertipu?" kejar reporter televisi.  "Mereka memberi garansi bahwa program ini ditawarkan untuk mensejahterakan umat.  Bahkan hanya untuk umat yang seiman.  Orang yang beragama lain dilarang ikut," jawabnya.

Tak banyak orang yang menyadari bahwa tipuan yang paling beresiko didunia ini adalah tipuan yang dibungkus dengan tema-tema agama dan spiritual.  Bahkan dukun sakti yang menggunakan kekuatan negatif pun menggunakan ayat-ayat kitab suci yang menurut para ahli kitab diselewengkan demi mengelabui.  Partai-partai berbungkus agama pun banyak menarik minat masyarakat, tetapi belakangan ini kita juga menemukan perilaku-perilaku yang tidak bermoral justru banyak dilakukan mereka yang "menjual" tema agama. Bahkan ketika para ulama banyak menyoroti masalah rok mini, kejahatan seksual yang banyak terungkap justru ada berada tak jauh dari lingkaran itu sendiri.  Dan selain korupsi di lingkaran politik, korupsi yang mengejutkan justru berkaitan dengan pencetakan kitab suci.

Ilmu pengetahuan telah banyak mengungkapkan bahwa semakin besar sebuah resiko maka semakin kuat manusia membungkus dan menyembunyikannya.  Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat dunia perbankan menolak memberikan kredit kepada usaha-usaha beresiko tinggi, seorang lulusan sekolah MBA terkenal di Amerika memperkenalkan produknya yang kelak dikenal dengan sebutan junk bonds.  Surat berharga itu diperjualbelikan dengan cepat di pasar dengan iming-iming return yang tinggi.  Ibarat junk food,  rasanya enak dan gurih, namun lemaknya banyak dan berbahaya bagi kesehatan.  Mereka yang membeli bonds itu pun terlilit bencana, karena surat-surat berharga yang digunakan untuk memberi pinjaman pada toxic investors dengan bunga dan spread yang besar ternyata hampir semuanya macet pada saat yang bersamaan.  Kali ini bukan agama atau kitab suci yang menjadi iming-iming, melainkan janji keuntungan yang besar dan mudah.

Bagaimana money game di Indonesia belakangan ini?  Sepertinya para penipu sadar betul ruang geraknya makin terbatas dan mereka mulai menggabungkan keduanya ke dalam satu paket. Uang dan surga adalah dua janji yang selalu digunakan untuk menjerat.

Mengenal Resiko
Hidup dan kemajuan memang selalu berjalan beriringan dengan resiko. Sebuah kata bijak saya temukan di sebuah situs. Bunyinya begini:  "The person risks nothing does nothing,has nothing and is nothing,   He may avoid suffering and sorrow but he cannot fell, learn, grow and love." Kurang lebih artinya beginilah.  "Orang-orang yang tidak menjalani hidup beresiko akan tak memiliki apa-apa, dan ia nothing (tak ada apa-apanya).  Mereka  menghindari kepahitan dan rasa sakit, tetapi tidak bisa merasa, belajar, tumbuh dan mencintai."

Mungkin Anda pernah membaca kata bijak lain yang bunyinya lebih spesifik lagi.  Kalau diterjemahkan kira-kira jadinya begini.  "Mereka yang tak pernah melakukan kesalahan apa-apa bukan berarti hebat.  Jangan-jangan mereka tak pernah melakukan apa-apa."   Bukankah untuk menyatakan cinta pada lawan jenis saja Anda mnghadapi resiko ditolak?  Bahkan para komedian baru yang banyak muncul dalam setahun belakangan ini di forum Stand up Commedy pun mengakui, mereka menghadapi resiko tidak lucu.  Tetapi sebagai manusia kita memiliki sebuah kehebatan, yaitu belajar.

Siapakah yang harus belajar?  Rakyat biasa, para profesional yang menggerakkan dunia usaha, yang digaji oleh para pelaku money game, atau juga penegak hukum dan pembuat undang-undang?  Saya kira semua pihak harus mulai mewaspadainya.  Orang tua dan guru saja tidak cukup belajar.  Indonesia adalah bangsa yang populasinya sedang tumbuh secara cepat.  Kelas menengahnya juga tumbuh dan semakin banyak orang yang baru mulai naik kelas, mulai punya tabungan dan membeli kendaraan baru.  Selalu akan ada orang-orang baru yang menjadi sasaran penipuan.  Dan yang paling penting sebenarnya adalah bangsa ini harus bergerak lebih cepat untuk menghadang para penipu.

Undang-undang dan peraturan harus dibuat lebih cepat untuk membatasi ruang gerak toxic entrepreneur, dan penegak hukum harus cepat menangkap dan menghukum mereka.  Masalahnya, para penipu sadar betul bahwa uang haram yang mereka dapatkan itu juga diminati oleh ribuan oknum penegak hukum.  Sementara ribuan anak-anak muda tengah diracuni oleh buku-buku yang menyajikan kata-kata jalan pintas seperti:  cara cepat kaya, punya banyak apartemen tanpa modal, kerja cerdas, jangan bekerja untuk cari uang-buatlah uang bekerja sendiri untuk Anda, bagaimana membuat usaha baru langsung difranchise-kan, dan seterusnya.  Mereka belajar bahwa kaya adalah hak mereka, dan jalan pintas boleh dilakukan, sedangkan kerja keras sudah tak zamannya lagi. Padahal dengan cara-cara demikian mereka hanya akan bermuara dalam usaha money games dan berlabuh di rumah tahanan atau pelarian yang mengasingkan. Kalau sudah begini, para penerbit buku pun harus ikut bertanggungjawab.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Jumat, 22 Juni 2012

Assertiveness - Jawapos 18 Juni 2012

Di atas pesawat komersial armada Amerika, seorang pria Asia masuk tergopoh-gopoh membawa sebuah tas besar. Di belakangnya, ikut seorang perempuan muda menggendong bayi yang baru berusia satu setengah tahun. Tangan kanan pria itu menenteng tas besar sedangkan tangan kirinya yang tengah digips menggantung pada kain segitiga, layaknya pasien patah tangan.
Di pintu masuk, pramugari bule menghardiknya. "Itu tak bisa dibawa masuk, terlalu besar" Ujarnya tegas. ""Lalu bagaimana?"tanya pria itu. "I don't know, " Ujar crew bule tadi. "We will call your agent," tambahnya ketus.

Pria itu mencoba memasukkan tas itu ke dalam bak kabin  di atas kepala penumpang. Seorang pria tua berdiri dan menolongnya. Dan seorang pria lainnya ikut membantu. Mereka sudah lebih dulu duduk, dan bak kabin sudah cukup penuh. Mereka bertiga menyusun letak tas dan mati-matian memasukkan tas besar itu karena ukurannya pas sekali. Setelah berupaya keras, tas itu pun berhasil masuk. Dan semua penumpang bersorak gembira, seakan menunjukkan ketidaksukaan  pada pelayanan airlines yang buruk.

Pria tadi beserta istri dan anak bayinya lega duduk di kursi, dan crew tadi tak mempedulikannya.
Pria itu adalah saya, dan perempuan tadi adalah istri saya, yang tahun 1998 kembali ke tanah air setelah lebih dari 6 tahun menuntut ilmu di negeri Paman Sam. Bodoh, lugu, ribet, namun tetap santun. Itu saya alami dan betapa gregetan menghadapi crew yang kaku dan tak melayani.  Kalau saya ingat, saya hanya bisa berbatin, "pantas airlinesnya bangkrut."

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman  sebuah film pendek dari teman-teman saya dari jaringan global Yale School of Management. Di situ tergambar seorang crew yang menegur penumpang yang masih memakai ponsel di dalam pesawat. Pria itu mohon-mohon waktu beberapa detik karena  emergency. Tetapi crew  tak peduli, ponsel diambil dan dicemplungkan ke dalam gelas kopi. Dan ia pun beranjak pergi.  Film itu ditutup sebuah pesan: Be assertive, or you loose customers!

Bukan Agresif
Dalam kamus, kata assertive  diartikan tegas dan assertiveness adalah ketegasan. Namun sebenanya assertiveness adalah sebuah training tentang  keberanian menyatakan apa yang dipikirkan atau dirasakan secara jujur dan terbuka tanpa mengganggu hubungan.  Assertiveness tak dapat disebarkan tanpa latihan, itu sebabnya harus ada dalam kurikulum sekolah dan diajarkan  kepara calon eksekutif.

Celakanya, "tegas" di sini sering diartikan sebagai perilaku yang garang. Tengoklah pendapat-pendapat tentang kepala negara yang sering kita dengar. "Presiden tidak decisive, tidak tegas." Tetapi tengoklah bagaimana mereka menyampaikannya.  Semua itu disampaikan dengan tone tinggi, sangat garang. Agresif. Persis seperti crew airlines yang memasukkan ponsel ke dalam gelas kopi ataucrew yang membentak saya  14 tahun yang silam.

Di jalan-jalan raya di Jakarta, ribuan caci maki juga semakin sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak sabar. Sepeda motor begitu mudah membunyikan "klakson amarah" hanya karena kendaraan lain kurang sigap memacu kecepatan.

Di lain pihak kita juga banyak menyaksikan orang-orang yang membiarkan haknya dilanggar orang lain.
Beberapa hari lalu misalnya, guru-guru TK dan PAUD Rumah Perubahan menyelenggarakan pentas seni kenaikan kelas. Mereka menyewa tenda yang disepakati harganya  dua juta rupiah, dan warnanya biru. Esoknya tenda dipasang, namun bukan berwarna biru. Apa yang dilakukan para guru? Anda benar, mereka memdiamkannya dengan alasan tenda sudah terpasang.

Hal serupa juga sering kita saksikan di check in counter di Bandara. Orang-orang yang tak berbudaya,  merapat ke depan tanpa menghormati antrean, dan petugas membiarkannya, bahkan melayaninya. Di satu pihak ada kelompok agresif, di lain pihak ada kelompok yang susah bilang "tidak." Jadilah kekacauan.


Membangun Bangsa, Bangun Budayanya 


Di banyak negara maju, pemerintah tidak hanya mengurus pertahanan-keamanan dan kesejahteraan saja, melainkan juga kebudayaan. Kebudayaan bukan sekedar seni pertunjukan atau ekonomi kreatif, melainkan bagaimana masyarakat saling mengikat diri, membentukspirit kesatuan. Dan tanpa assertiveness ikatanpun pupus. Assertiveness ditanam sejak usia dini dan dipelihara dalam kehidupan sehari-hari.

Hongkong dan Taiwan beberapa tahun ini gencar mengkampanyekan kata "terima kasih"  dan cara tersenyum. Maklum mereka memang malas tersenyum, padahal ekonominya hidup dari service.  Sebaliknya, pada tahun 1989, masyarakat Jepang digemparkan oleh buku "Japan That Can Say No" ("No" to leru nihon) yang ditulis pemimpin senior LDP, Shintaro Ishihara bersama almarhum pendiri Sony, Akio Morita. Pasalnya, orang-orang Jepang terlalu mendiamkan dan susah bilang "tidak", sehingga mudah didikte barat, dan kalau antreannya diserobot ya mereka diam saja. Pada tahun 1996, buku serupa ditulis di China: China Can Say No. 

Orang-orang yang pasif terlalu toleran terhadap maunya orang lain. Tetapi mereka tidak menghormati dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang agresif memicu konflik. Kalau gilirannya diserobot, mereka rela berkelahi dan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan martabat orang lain. Ia terlalu respek terhadap dirinya sendiri dan tak merubah prilaku buruk masyarakat.

Di tengah-tengah ada kelompok pasif-agresif yang sarkastis. Tidak terima diserobot, tetapi tidak berani menegur atau memperbaiki cara-cara yang tidak tepat. Ngomongnya kasar, sinis, tetapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, beraninya hanya pada lantai, atau dinding atau pada teman-teman lewat gosip atau social media dengan nama samaran.

Di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Skandinavia, juga di Thailand, assertiveness diajarkan di sekolah-sekolah sebagai wadah pembentuk karakter dan  kepribadian. Dengan bekal assertiveness, bawahan tidak akan membiarkan atasannya korupsi.  Bahkan di kampus sekalipun, dosen-dosen yang tidak memiliki assertiveness membiarkan rektornya korupsi. Paling-paling hanya gerundel di belakang. Sedangkan mereka yang berani berbicara terlalu keras. Akibatnya kampus hanya maju dari segi gedung-gedung yang tumbuh cepat, padahal di balik itu terjadi pembiaran dan pengrusakan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Selasa, 19 Juni 2012

The Power of Unreasonable - Sindo 14 Juni 2012

Saya sedang menyiapkan bahan-bahan untuk sebuah seminar international di New York saat diminta berbicara di depan para petani herbal dalam Bogor Organic Festival hari Minggu lalu. Di depan saya berjajar sekitar seratus orang yang disebut Jhon Elkington dan Pamela Hartigan sebagai “unreasonable models.” Mereka duduk di bawah sebuah tenda besar di halaman kampus pasca sarjana IPB.

Mereka disebut unreasonable karena berbagai alasan. Investasi besar-besaran tetapi kok bukan untuk memupuk kekayaan? Investasinya kok seperti orang yang keasyikan konsumsi. Tidak mikir ROI atau ROA. Pokoknya senang diri, sepuas hati. Tetapi mereka ingin merubah sesuatu, memperbaiki atau entahlah kalau menghancurkan sistem yang sudah ada.

Dalam bahasa di ranah inovasi, mereka disebut sebagai destructive innovator. Lihat saja apa yang dilakukan Helianti yang membuat kampung herbal di Yogya dan diam-diam menembus Eropa dengan beras warna-warni asli Indonesia. Ia membangun jaringan perlahan-lahan. Ketika sulit mengklaim status organik karena memerlukan banyak sertifikasi, ia justru menggunakan kata natural. Di kantornya hanya ada 10 orang, tetapi di belakangnya ada ribuan petani yang menanam dengan menghitung biaya bersama-sama.  Mereknya, Javara mulai dikenal seperti arang batok kelapa Cococha yang ramah lingkungan yang dipasarkan Bambang Warih Kusumo.  Kala orang Eropa dilanda krisis, mereka memilih masak di rumah ketimbang makan di luar.

Ratu herbal lainnya siapa lagi kalau bukan Ning Hermanto yang selalu tampil dengan topi mahkota berwarna serba ungu. Media massa menjuluki pelopor mahkota Dewa ini sebagai Ratu Herbal. Ia mengajarkan para petani meracik daun-daunan mulai dari sirsak sampai sukun. Tetapi ketika ia menemukan formula untuk membuat telur asin bebas kolesterol, resepnya justru diobral ke sana kemari.

Hari minggu itu, nenek Ambar yang menjadi pemasok telur asin ke berbagai supermarket yang belajar dari Ning harmanto juga hadir. Mereka sedang menapak agar bisa merevolusi. Dari UMKM menjadi pengusaha besar. Mimpi mereka, 5 tahun lagi kantor Kementerian Koperasi dan UMKM berganti nama menjadi Kementerian Usaha Menengah dan Besar. Bukan untuk gagah-gagahan, melainkan agar pengusaha-pengusaha baru jangan berpikir yang kecil-kecil terus.

Social Enterprise
Orang-orang yang unreasonable itu kini ada dimana-mana. Di Semarang ada, juga di Bali, Aceh, Papua, dan sebagainya. “They seek profit in unprofitable pursuits,” ujar Erlington dan Hartigan. Tetapi cara kerjanya  100% berbeda dengan cara yang ditempuh wirausaha konvensional.

Kalau orang lain selalu melirik usaha-usaha yang sudah jelas dan jelas-jelas untung, mereka justru menciptakan keuntungan dari hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan. Seorang anggota asosiasi yang saya pimpin (AKSI) menyebut usahanya di atas sebuah kali di Semarang sebagai MLM alias Multi Level Manusia.

Caranya agak mirip dengan yang ditempuh oleh Orlando Rincon Banilla, pemuda yang dibesarkan di sebuah perkampungan “drug dealer” di Columbia. Di perkampungan kumuh itu ia memimpin gerakan kaum kiri yang berupaya mengembalikan sistem sosial dan keadilan. Karena leadershipnya menonjol, ia pun ditawari beasiswa untuk kuliah di Universitas Medellin. Di sana ia mengambil double major: Antropologi dan sistem engineering.  Disitulah ia mulai tertarik menjadi wirausaha dan membangun perusahaan yang diberi nama Open System.

Tak pernah ia bayangkan perusahaan pembuat software ini maju pesat. Tv, internet, ponsel, PLN, dan perusahaan-perusahaan besar lain menjadi pelanggannya.  Pada tahun 2004, kekayaan bersihnya mencapai $14 juta. Tetapi ia tidak puas. Ia berkelana ke India, melihat apa yang terjadi di Bangalore, lalu menelusuri surga IT di Irlandia. Tuhan membukakan matanya bahwa sistem business yang ia lihat sehari-hari adalah sistem ketidak adilan yang membuat orang muda terperangkap menjadi buruh atau pegawai.

Open systempun ia tinggalkan.

Mereka ini memang Unreasonable.  Yang membuatnya untung saja tidak membuatnya tertarik. Orang seperti Orlando justru membangun Parquesoft. Ini agak mirip dengan Putra Sampoerna yang meninggalkan bisnis rokok yang menguntungkan dan yayasannya masuk ke sektor pendidikan yang unprofitable dan aktif mengembangkan angel investor. Parquesoft, yang didirikan Orlando adalah non profit innovation park yang mengumpulkan ribuan anak-anak kampung putus sekolah, menjadikan mereka pengusaha IT seperti dirinya.

Anda ingin tahun bagaimana hasilnya? Lima tahun yang lalu saja, software buatan anak-anak kampung itu telah menembus 40 negara dan menjadikan mereka sebagai wirausaha yang terus naik kelas. Bisnis Orlando adalah bisnis Multi Level Manusia,  dan orang-orang seperti mereka disebut adalah Social enterpreneurs yang kini menjadi tren  dan mereka mendirikan social enterprise.

Bagi saya  social enterprise adalah ya enterprise. Namun berbeda dengan business enterprise tradisional. Social enterprise mempunyai social mission yang jelas. Profitnya juga tidak dipakai untuk memperbesar tabungan pendirinya di bank, melainkan diputar untuk kesejahteraan dan memberantas ketimpangan sosial. Seperti air sungai yang keruh sekalipun, sepanjang mengalir ia tak pernah menjadi busuk layaknya air kubangan.  Demikianlah filosofi social entrepreneurs. Biarkan tak besar, asalkan mengalir dan berputar.

Dan berbeda dengan pejuang-pejuang sosial yang berjuang melalui demo dan advokasi-advokasi politik beraliran dialektis-konfliktis, mereka menggunakan market –trading product yang diwirausahakan seperti layaknya pengusaha sejati. Tengok saja bagaimana almarhum Paul Newman yang aktif membiayai anak-anak penderita kanker. Di hari tuanya itu Paul Newman berwirausaha di sektor makanan dalam kemasan berskala besar.

Jadi, social enterprise ya samalah dengan bisnis yang Anda kenal. Ia adalah enterprise dengan social mission. Inilah topik yang akan saya bahas tanggal 19 Juni siang nanti di menara UOB. Orang-orang yang unreasonable ini adalah gabungan dari inovasinya Bill Gates dengan mangkuk sucinya Bunda Teresa. Bagi saya, inilah jalan menuju perubahan sosial yang sudah lama dirindukan para negarawan besar
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Korupsi Orang Kampus - Jawapos 11 Juni 2012

Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis tentang pengalaman saya sebagai guru. Di situ saya teringat dengan cerpen “Oemar Bakri” yang ditulis Fajar Gitarena, seorang guru SD di Jogjakarta. Ia bercerita tentang seorang guru yang sudah 30 tahun mengabdi dan akan segera pensiun. Namun kendaraannya tetap sama: sepeda motor tua yang mogok dan bannya sudah menipis.

Saat motornya akan dijalankan untuk menghadapi pelepasan pensiun, Oemar Bakri menghadapi masalah. Bannya bocor, padahal lubang tambalannya sudah banyak. Di tanggal tua itu ia tak punya uang. Maka ia pergi ke bank. Naik bis tak perlu bayar, karena sopir dan keneknya dulu murid-muridnya. Di bank ia juga ditolong saat antre, karena pimpinan cabangnya mengenalinya sebagai gurunya. Namun saat pulang, uangnya dirampas copet. Ia lapor polisi dan polisi yang menangkap copet beserta copetnya ternyata murid-muridnya juga.

Itulah realita yang dihadapi seorang guru. Murid-muridnya ada dimana-mana. Ada yang sukses menjadi pengusaha dan manager, namun tak sedikit yang harus menguras keringat hidup di jalan. Ada yang jadi penegak hukum namun juga ada yang ditangkap aparat karena melanggar hukum.

Kampus dan sekolah mendidik yang baik-baik, namun hasilnya siapa yang tahu? Anak-anak kita tidak hanya belajar dari kita, melainkan juga pada orang-orang dimana mereka berada. Demikianlah yang saya alami, punya murid di KPK, Kepolisian, dan Mahkamah Agung yang sangat reformis,  namun kemungkinan juga ada yang menjadi tahanan mereka.

Alam semesta tidak berjalan sendiri-sendiri. Kita semua saling berinteraksi, dan apa yang kita lakukan akan menimbulkan akibat-akibat. Seorang yang berbuat harus rela bertanggung jawab. Menerima hukum sebab-akibat berarti menerima karma. Tak bisa menghindar, kendati bisa memutar-mutar menyulitkan pemeriksa, menyeret orang lain yang tak bersalah.  Tetapi seperti obat nyamuk yang tidak basah, ujung kepalanya bisa terbakar juga.

Misalokasi
Korupsi di kampus belakangan juga ramai diberitakan. Dan sebagai pendidik saya tentu ikut merasa malu dan terpanggil untuk menegakkan dan mengembalikannya. Tetapi sistem politik seperti ini tampaknya sungguh merepotkan. Orang-orang kampus yang mau jadi pimpinan harus ikut melobi mentri, karena mentri punya suara yang besar. Melobi mentri berarti menemui tokoh-tokoh politik.

Demikian pula anggarannya. Sejak dunia pendidikan mendapatkan alokasi anggaran yang besar, ada tendensi untuk mengalihkan “spirit of entrepreneurship” yang 10 tahun lalu didengung-dengungkan menjadi “spirit of bureaucracy”. Dulu, anda tentu masih ingat, di baliho-baliho besar di depan kampus-kampus PTN terpampang tulisan pengumuman pemilihan calon Rektor yang isinya mencari orang-orang yang memiliki jiwa kewirausahaan untuk memimpin kampus.

Artinya Rektor harus pandai mencari uang dari fundraising, menjual patent dan seterusnya. Lihat saja bagaimana Business School di NUS (Singapore) memiliki gedung yang megah bernama gedung Mochtar Riyadi, atau Warthon School yang memiliki professor dengan sponsor Sukanto Tanoto.  Mereka mencari dana agar bisa menghasilkan pendidikan kelas dunia yang berbobot.

Tetapi tengoklah apa yang terjadi saat ini? Rektor-rektor tertentu mencoba menjual “independensi” mimbar ilmiahnya agar menjadi satker (satuan kerja) Depdiknas. Alih-alih memperbesar resources secara entrepreneurial, mereka justru beralih ke negara dan melobi ke pejabat dan parlemen untuk mendapatkan anggaran negara. Selebihnya, anda tentu tahu sendiri apa akibatnya.

Melobi  uang negara dewasa ini berarti melobi pengambil keputusan anggaran aparatur negara, berarti mereka harus mendekat pada pelaku-pelaku politik, partai politik dan aroma uang pun tercium. Yang pasti mereka akan bertambah kuat secara politis karena uang sudah berbicara. Teori prilaku mengatakan, penjahat keuangan enggan berhubungan dengan banyak orang. Mereka hanya ingin “memelihara” orang yang sama.

Apa akibatnya sistem yang demikian bagi sistem pendidikan di Indonesia ? Kampus-kampus akan tak bebas lagi berpikir, para pemimpin tak bebas dari kesucian ilmiah, pengelolaan keuangan semakin tersentralisasi, pemimpin tertinggi dapat menjadi sangat otoriter, bahkan akan terjadi pemborosan dan kebocoran keuangan secara besar-besaran.  Kalau ini dibiarkan governance structure akan hanya menjadi bagian dari pencitraan.

Pendidikan Indonesia akan semakin jauh dari pemupukan modal insani. Terjadi misalokasi besar-besaran dari uang untuk mendidik - menjadi uang untuk pembangunan fisik. Beasiswa sulit dikorupsi, tetapi bisa diperlambat pembayarannya. Tetapi gedung-gedung fisik dan peralatan, mudah diambil komisinya, diberi mark up dan seterusnya.  Maka tak mengherankan bila para koruptor lebih tertarik membangun gedung-gedung super besar ketimbang memperbaiki mutu tenaga didik.

Alokasi anggaran pun akan begitu sulit mengalir ke bawah untuk membiayai operasional pendidikan pada tingkat fakultas atau program studi. Jangan berharap gedung-gedung bersih fakultas yang dulu Anda saksikan bisa Anda nikmati di hari esok. Pengalaman saya, saat ini saja untuk mendapatkan tissue toilet saja susah setengah mati.

Di negara-negara yang kaya saja, pemerintah tak mau membiarkan kampus-kampusnya steril dari masyarakatnya. Apalagi di negara yang gedung-gedung SD nya masih banyak yang harus dibangun. Kampus harusnya dipimpin orang-orang berdedikasi tinggi, dengan integritas yang tak bisa dibeli  oleh kekuasaan.

Kalau sudah demikian, orang-orang kepercayaan politisi akan menguasai kampus, dan orang-orang “lugu” yang dipercaya menjadi wali amanah akan repot menghadapi “jago-jago silat” yang pandai menekuk lutut mereka.  Menghadapi orang-orang yang “street smart” itu diperlukan sebuah wawasan dan juri yang tak bisa dibeli pula.

Tak bisa dibeli, bukan hanya oleh uang, tetapi juga oleh mulut manis, cara-cara halus, kiriman bunga, perhatian atau kehadiran dalam acara-acara tertentu. Tengoklah ke bawah, dan bicaralah dengan unit-unit terkecil, maka kebenaran akan ditemukan disana.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sabtu, 09 Juni 2012

Nongkrong - Sindo 7 Juni 2012

Istilah “nongkrong” muncul di halaman depan harian terkemuka dunia.  The New York Times 28 Mei 2012. Nongkrong marak di hampir semua kota besar maupun kecil di Indonesia, mulai dari Banca Aceh (kedai kopi), sampai ke Timika di Papua.  Anak-anak muda dan orang tua gemar nongkrong, atau kata anak muda, hang out!  Segelas besar minuman dingin untuk berlima, camilan tinggal diambil, fresh dan hangat, dan tentu saja free wifi.

Bagi The New York Times, nongkrong adalah sebuah marketing insight yang hanya dilihat oleh segelintir pengusaha.  “Nongkrong itu artinya duduk-duduk, kongkow-kongkow, ngelirik kiri kanan, dan umumnya dipakai untuk mengosongkan diri.”

Saya kira The New York Times ada benarnya.  Kebiasaan “mengosongkan diri” kalau sedikit dipoles bisa berubah menjadi sarana belajar yang efektif.  Lihat saja anak-anak muda di Boston, di seberang kampus Harvard.  Di sudut-sudut jalan Harvard Square Anda menemukan kafe-kafe donat atau kedai-kedai kopi yang buka 24 jam.  Di dalamnya hanya ada anak-anak muda yang asyik berselancar di internet ditemani secangkir kopi dan sepotong donat coklat.

Di meja-meja lainnya Anda temui mahasiswa kedokteran yang sedang mojok membaca buku.  Dan  di kiri kanannya mahasiswa MBA tengah membahas business case.  Mereka lupa jam, sampai beberapa orang terpekur oleh alunan alunan music terus berbunyi.  Tetapi budaya mereka bukanlah budaya nongkrong di warung, setelah masa kuliah selesai mereka kembali menjadi manusia individual yang asyik dengan urusannya sendiri-sendiri.  Budaya komunal yang biasa kongkow-kongkow hanya ada di beberapa wilayah di dunia, seperti masyarakat mediterania dan Indonesia.

Seven Eleven
Adalah Henri Honoris, generasi ke 3 dan penerus dari pemegang hak distribusi Fuji Film di Indonesia yang melihat “marketing insight” itu.  Di usianya yang masih muda Henri dipanggil pulang ayahnya untuk menyelamatkan usaha keluarga yang mulai “dying”.  Siapa lagi yang masih mau membeli film-film rol?  Semua sudah serba digital, dan generation C sudah hadir.

Bisnis fotografi Fuji Film di Indonesia drop dari sekitar 2 triliyun rupiah (2002) menjadi Rp.212 miliar pada tahun 2010.  Itupun lebih banyak cetakan-cetakan saja, baik foto studio maupun perkawinan.  Outlet-outlet Fuji banyak ditutup dan sebagian besar asetnya menganggur.

Prinsip yang dibangun Henri sederhana saja.  Perusahaan keluarga tak bisa diteruskan dengan cara yang sama.  Pilihannya adalah cara yang ditempuh oleh Putra Sampoerna (jual!) atau perbaiki.  Kalau tidak, ya mati! Cuma itu.  Henri memutuskan untuk memperbaikinya: Change!

Pada tahun 2006 ia menyurati Seven Eleven yang berkedudukan di Dallas-Texas.  Tetapi seperti kenyataan yang diterima hampir semua pengusaha kita saat itu, 7-Eleven menolaknya mentah-mentah.  “Kami belum tertarik.  Perhatian kami masih ditujukan ke Brazil, India dan Vietnam,” ujar mereka.
Henri tak putus asa.  Ia terus menghubunginya, kendati saat itu sudah ada perusahaan-perusahaan ternama dunia yang juga meminta hak serupa untuk mengisi pasar Indonesia.

“Saya katakan, kami ini yang paling desperate.  Kalau tidak berubah kami akan mati.  Tetapi saya masih muda dan siap bekerja keras,” Ia meyakini pemegang hak di Dallas.  Ia pun mengajak mereka mendatangi Indonesia dan mengumpulkan fakta-demi fakta, sampai ia menemukan marketing insight itu.
Persoalannya adalah bagaimana menangkap insight "nongkrong" itu dalam bentuk outlet yang cocok dengan kondisi Indonesia namun tidak membunuh yang sudah ada.  Ia harus hidup berdampingan secara damai dengan pasar-pasar tradisional.  Sementara bagi 7-Eleven, membuka outlet di Jakarta memerlukan kehati-hatian.  Mereka tak mau gagal.

Itu sebabnya mereka memilih hati-hati membuka pasar.  Sejak tahun 1993, 7-Eleven hanya membuka outlet-outlet baru di dalam area yang sudah dimasukinya.  Ini berarti, selama 17 tahun mereka tidak memasuki negara baru selain yang sudah ada.  Dengan cara seperti itu saja, 7-Eleven telah menjadi retailer terbesar di dunia dengan 40.000 outlet, melebihi jumlah kedai yang dibangun McDonald’s atau Starbucks.  Di Thailand saja sudah ada 7000 outlet, dan di negara kecil sebesar Singapura saja sudah ada 5000 outlet.

Dari email ke email, ditolak dan digali, sampai mengirim proposal dan foto-foto, akhirnya tahun 2008 Henri diajak berunding oleh 7-Eleven.  Konsepnya sederhana saja, yaitu bagaimana memasukkan tradisi “nongkrong” ke dalam outlet-outlet 7-Eleven.  Anak-anak muda Indonesia sudah biasa belanja di mal dan fasilitas yang lebih higienis, tetapi nongkrong yang ada masih mahal.  Mereka butuh kopi yang harga secangkirnya di bawah Rp.10.000,-, ada nasi goreng di bawah Rp 20.000, namun juga ada hotdog dan softdrink.  Tentu saja bisa membaca, ngobrol bersama dan mendapatkan free wifi.

Konsep itu ia presentasikan dan ternyata diterima.  Maka jadilah 7-Eleven Indonesia sebuah adaptasi baru yang berbeda dengan 7-Eleven lain di seluruh dunia.  Di luar negeri 7-Eleven terkenal dingin, sedingin softdrink dan camilan berpengawet.  Tetapi di sini menjadi tempat nongkrong yang hangat.  Kata Ganto Novialdi, direktur strategic Planning Dentsu Indonesia, 7-Eleven telah membentuk lahirnya generasi Alayeven.  Anak-anak Alay dan orang tua Alay yang gemar nongkrong berkumpul sampai pagi di gerai 7-Eleven. Kalau dulu mereka sekedar omong kosong, sekarang mereka mulai membicarakan pelajaran, buku-buku baru, reuni, dan pekerjaan.

Affordable Luxury”
Konsepnya disebut Henri sebagai affordable luxury atau kemewahan yang terjangkau.  The New York Times menangkapnya dengan melihat “insight” ini: Di parkiran Anda bisa menyaksikan Mercedes-Benz berjajar bersebelahan dengan puluhan sepeda motor.  Anak-anak yang dulu biasa trek-trekkan berkumpul di situ, berinteraksi dengan profesional muda yang sudah lebih dulu naik kelas.  Sambil membuka laptop dan berdiskusi, atau main game.

Jadilah 7-Eleven 50% kafe dan 50% convenience store.  Ini sejalan dengan perubahan gaya hidup urban yang tengah terjadi di sini seperti yang sering saya bahas pada kolom-kolom sebelumnya.  Orang-orang kota semakin penat dan bosan diam di rumah yang lampu listriknya kurang terang atau AC-nya kurang dingin.  Pasangan-pasangan muda semakin jarang masak di rumah karena jendela-jendelanya semakin kecil dan rumahnya berubah menjadi semacam studio.  Mereka beralih membeli makanan siap saji atau makan di luar.
Semua orang semakin sibuk, tetapi butuh higienitas dan kedai sederhana yang buka 24 jam, namun Wireless connected dan  free charging (untuk menambah daya listrik handphone).

Apa yang diadaptasi tak lain adalah budaya warung yang selama ini sudah kita kenal.  Warung yang bersahabat dan harganya terjangkau tentu akan berubah, sejalan dengan munculnya jutaan kelas menengah baru Indonesia.

Di sini mereka bisa menikmati kopi hangat dengan harga seperempat atau sepertiga harga secangkir kopi hangat di kedai Starbucks.  Wajar bila 7-Eleven diterima luas.  Di belakangnya tentu saja ada orang-orang Indonesia yang meraup untung, mulai dari pemasok nasi goreng, kopi dan aneka makanan.
Maka pelajarilah insight dan perbaharuilah usaha generasi para pendahulu, agar bisnis keluarga kekal abadi dan tetap muda!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Selasa, 05 Juni 2012

Mantra

Dalam agama Hindu dan Budha, mantra adalah sebuah kekuatan. Ia terdiri dari kalimat-kalimat indah yang dipercaya mampu menimbulkan transformasi spiritual. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mantra ditafsirkan sebagai kalimat puitis yang mampu menghasilkan kekuatan gaib.

Sebagai social-entrepreneur saya sering didatangi LSM-LSM asing yang melakukan studi tentang gerakan Rumah Perubahan dan kewirausahaan sosial Indonesia. Tentu saja mulai banyak yang melakukan studi untuk memetakan kekuatan "pasar" bisnis sosial ini.  Mereka menawarkan untuk membuat pasar modal sosial, pinjaman maupun bantuan teknis,  dan mereka selalu bertanya apa mission statement kami. Terus terang saya agak gelagapan. Ada yang bilang kami terlalu sibuk bekerja sehingga melupakan hal yang mendasar. Ada lagi yang mencoba menyodorkan dengan bahasa-bahasa yang resmi, tetapi rasanya kok agak kurang klop.

Sampai akhirnya mereka melirik kalimat yang terpampang di lobi ruang tunggu kami dan mengatakan inilah mission-nya. Saya tertegun. Saya katakan ini bukan mission statement, melainkan “mantra” kami.

Janji Suci
John Elkington dan Pamela Hartigan yang menulis buku “The Power Of Unreasonable People” (2008) menulis bahwa social entrepreneur terdiri dari orang-orang yang terinspirasi oleh dua sosok sekaligus, yaitu Richard Branson (Virgin Atlantic) dan Mahatma Gandhi, atau lebih tepat lagi gabungan antara daya inovasi dan kewirausahaan Bill Gates dengan kekuatan hati Bunda Theresa.

Gabungan keduanya itulah yang membuat kami sibuk dalam arti yang sebenarnya. Kami memilih untuk turun ke lapangan, berbuat sesuatu daripada mengikuti rapat-rapat resmi yang menghabiskan waktu berjam-jam. Kata Elkington dan Hartigan, “social entrepreneur itu langsung melompat sebelum memeriksa ketersediaan modalnya.” Mereka hanya mengidentifikasi masalah sosial, menerapkan solusi-solusi praktis, lalu mengubah masalah menjadi peluang dengan inovasi-inovasi praktis dan jejaring yang dimiliki. Mudah sekali, bukan?

Apalagi yang mau dibuat sulit kalau kaum tuna netra yang tak punya uang  saja bisa menampung anak-anak terlantar, atau seorang ibu yang kakinya pincang bisa mengkoordinasi puluhan tukang jahit dalam pemberdayaan yang ia bangun. Rasanya malu menjadi manusia terdidik kalau tak bisa berbuat nyata.  Itulah panggilan yang belakangan menguat di seluruh dunia.

Jadi kami tidak merasa perlu-perlu amat ilmu langit yang sulit dimengerti. Hanya saja, di Jakarta, mengelola hampir seratus orang kalau tidak pakai manajemen modern cukup memusingkan.
Tetapi kalimat yang ada di ruang tamu kami itulah yang sesungguhnya menggerakkan kaki 100 orang di belakang saya. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini, orang-orang yang tak sejalan dengan kalimat itu gugur satu persatu sebelum misi itu tercapai. Tetapi kalau dibilang mission statement rasanya kurang pas. Saya menyebutnya sebagai  janji suci yang kita ucapkan berulang-ulang di dalam hati dan dipakai untuk menggerakkan langkah.

Kalimatnya memang agak puitis dan bunyinya begini. “Apa yang kita lakukan dan bermanfaat bagi diri sendiri akan mati bersama kita. Tetapi, Perubahan yang dilakukan dan bermanfaat bagi orang lain, akan kekal abadi.” Saya sudah tak ingat betul dari mana kalimat itu berasal, apakah mengalir begitu saja atau pengaruh dari buku-buku yang saya baca atau ucapan orang-orang hebat. Saya memang banyak membaca dan bertemu banyak orang sehingga wajar bila kita saling membentuk.  Tapi setiap kali menghadapi masalah atau kesempatan, ya janji itu yang keluar, mengalir seperti air.

Kalimat kedua bunyinya begini: “Perubahan belum tentu menjadikan sesuatu menjadi lebih baik, tapi tanpa perubahan tidak ada pembaharuan, takkan ada kemajuan.” Itulah yang saya sebut sebagai mantra, dan rasa-rasanya ini lebih kuat dari sekedar visi, misi yang sepertinya hanya menjadi symbol formalitas.

Petuah Kawasaki
Pentingnya mantra ternyata tidak hanya disadari oleh social entrepreneur. Dalam bukunya yang berjudul “The Art of The Start Up”, mantan co-founder Apple yang menangani divisi Macintosh, Guy Kawasaki, ternyata mengamininya.

“Tutuplah matamu, dan pikirkanlah bagaimana Anda melayani customer Anda. Apa makna yang ingin Anda buat? Kebanyakan orang berpikir, aspek why ini sebaiknya dituangkan dalam ‘mission Statement’. Lupakanlah,” katanya. “Mulailah bukan untuk mengimpresi, tetapi dengan meaning. Tanyakanlah pada diri sendiri apa yang Anda ingin ciptakan di dunia ini agar hidup Anda menjadi lebih berarti.”
Dengan membuat meaning, Anda akan mendapatkan lain-lainnya. Sebaliknya kalau seseorang diajarkan “harus sukses”, “harus kaya”, maka seseorang tak akan mendapatkan meaning, dan belum tentu juga menjadi kaya. Orang-orang yang hanya berbicara uang tak memiliki janji suci dan tak mempunyai mantra hebat selain bahasa uang.

Mantra memiliki kekuatan gaib yang diikuti oleh karyawan. Sedangkan tag line di pakai untuk pelanggan. Ia mengartikan mantra sebagai sebuah formula verbal yang suci, yang biasa diucapkan berulang-ulang dalam hati, pada sebuah doa atau meditasi, dan mempunyai potensi mistis yang kuat.
Lantas mengapa mulai banyak entrepreneur yang mempertanyakan kekuatan “mission statement”?
Tim Berry menjelaskan, “Mission statement benar-benar sebuah pemborosan. Dibuatnya memakan waktu dan banyak frasa yang tak bermakna sehingga mudah dilupakan, baik oleh pendirinya maupun pengikut dan para penerus.” Kata-kata yang dipakai cenderung klise, seperti kata adil-makmur, mandiri, demoratis, gotong-royong, dan seterusnya yang biasa dipakai oleh calon presiden, gubernur, atau bupati.

Dalam bisnis, sewaktu saya membuka-buka mission statement yang ada, kalimatnya juga mirip-mirip dan cenderung klise. Ada ribuan – bahkan puluhan ribu – mission statement yang menggunakan kata-kata prima (excellence), unggul (competitive), kepemimpinan (leadership), pelanggan (customer), terbaik (best), kualitas, dan seterusnya.

Mana Janji Suci-nya?  Saya kira Andapun tak perlu muluk-muluk membuat mission statement di depan, padahal bisnis Anda belum tentu bergerak.  Buat saja janji suci dan ucapkanlah berulang-ulang agar ia memiliki kekuatan gaib.  Pengalaman saya dalam membangun usaha, justru yang belum apa-apa sudah di visi-misi kanlah yang gugur di depan.  Visi-misi baru Anda perlukan pada tahapan formalisasi, tahap lepas landas setelah keruwetan start-up Anda lewati.  Mari kita buat mantra yang gaib itu.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Keluar Dari “Kecakapan Ujian”

Setiap kali memasuki masa Ujian Nasional (UN), bangsa ini heboh. Sebelum ujian heboh, setelah ujian juga gaduh. Dengan dalih memberi motivasi, guru-guru malah membuat anak-anak stres dan bersedih menjelang UN. Orang tua dipanggil, anak menangis karena suasana yang dibangun para guru adalah para murid itu “banyak dosa” dan telah melakukan kesalahan pada orangtua. Alhasil bukannya plong, malah banyak murid yang mengalami histeria yang disebut “kesurupan” atau “kerasukan” setan.

Mengapa ujian nasional menjadi segala-galanya dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara lain untuk membuka pintu masa depan anak selain ujian?
Saya ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan yang menghasilkan “produk-produk” yang standar, yang seakan-akan anak adalah “output” hasil produksi. Kita seperti sedang melewati sebuah area "ban berjalan" dengan seorang manajer  Jepang, yang mengawasi ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar.

Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut “berbakat khusus” (special talent), namun di pabrik kita sebut “produk gagal”. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah kata “special talent”, maka Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?

Kecakapan Bakat
David McClelland pernah menyatakan bahwa suatu bangsa harus dibangun dengan sistem kecakapan, bukan kekerabatan, apalagi didasarkan warna kulit atau sentimen-sentimen kesamaan lahiriah. Sistem kecakapan itu mulai diperbincangkan oleh Confucius, diterapkan oleh Dinasti Han di China pada abad ke 2 SM, dan dibawa ke dunia barat, lalu disebarkan ke seluruh dunia.

Pada awal peradaban modern, manusia yang dulu percaya pada kecakapan otot beralih ke kecakapan intelegensia (IQ). Di era world 1.0, saat lapangan pekerjaan terbesar hanya bisa diberikan oleh negara, sistem kecakapan dipersandingkan antara IQ dengan ujian pengetahuan. Demikianlah generasi tua Indonesia mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Negeri atau seleksi menjadi PNS melalui pemeriksaan kecapan tertulis.  Yang diuji adalah rumus-rumus, mulai dari bahasa, IPA, matematika, hingga Pancasila. Rumus-rumus itu dihafalkan dituangkan pada kertas.  Sedangkan sekolah swasta dan dunia usaha memilih kecakapan intelegensia.

Ujian tertulis dengan ujian pengetahuan menjadi penting karena jumlah pesertanya massal dan negara harus bertindak secara adil. Negara adalah segala-galanya.
Tetapi itukan dulu. Sekarang ini pilihan masyarakat sudah begitu luas. Pekerjaan bukan hanya ada di pemerintahan, dan sekolah tinggi yang bagus bukan hanya Universitas Negeri. Masyarakatnya boleh memilih, mau hidup di world 0.0, atau menjadi pengusaha global, konsultan, seniman atau professional di world 2.0 (globalisasi dini) atau world 3.0 (lihat kolom saya: Empat Dunia Yang Membingungkan).

Artinya masyarakat bangsa ini tak menggantungkan lagi kehidupannya untuk menjadi PNS. PNS bukanlah segala-galanya.  Dunia ini sendiri begitu terbuka, penuh kesesakan dan pilihan, bahkan persaingan dan saling melengkapi.  Dunia yang sesungguhnya itu bukan membutuhkan kecakapan ujian, melainkan kecakapan-kecakapan impak, yaitu apa yang sebenarnya dapat dilakukan seseorang dari pendidikan yang ditempuhnya. Kalau seseorang belajar tentang pertanian, maka ia bisa buat apa dengan ilmunya itu? Kalau ia belajar membuat robot, apa impak yang bisa diperbuat? Kalau sekolah kedokteran, bisakah berkiprah di sektor kesehatan? Demikian seterusnya.
Kecakapan seperti ini disebut kecakapan bakat (talent merit) dan pernah merisaukan Mendiknas Singapura 20 tahun lalu saat negara merasa segala-galanya. Sekarang ini Singapura telah beralih ke sistem kecakapan bakat yang memungkinkan anak-anak menemukan pintu masa depannya dengan lebih damai dan lebih membahagiakan.

Untuk memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya saat mengajar mata kuliah “International Marketing”. Mata kuliah ini diberikan kepada mahasiswa senior di Program S1 dan sebagai prasyaratnya mereka harus sudah lulus “Dasar-Dasar Marketing”. Suatu ketika saya iseng menanyakan berapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas marketing yang diambil satu dua semester sebelumnya, dan saya minta mereka maju kedepan. Dan sungguh saya tak percaya bagaimana anak-anak yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan dikenal sebagai anak yang berbicara sinis, dan berpenampilan tidak “marketable” dari kacamata rekan-rekannya, bisa diberi nilai A.

Begitulah “the power of exam merit”. Mereka mendapatkan nilai “A” dalam transkrip nilai karena bertemu dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan pendidik yang mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya ok, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan pengetahuannya? Saya jadi teringat kisah seorang teman yang belajar bahasa Inggris di Amerika Serikat supaya bisa kuliah S2 di Amerika.  Belajar bahasa Inggris di masyarakat yang berbahasa Inggris kok di kamar memakai headset?

Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini, maka bisa saya bayangkan mengapa pengusaha mengeluh lulusan-lulusan kita tidak siap pakai, dan mengapa terdapat gap besar antara pilihan sekolah dengan pilihan profesi. Anak-anak mengeluh sekolahnya susah karena mereka tidak bisa mengekspresikan bakat yang mereka cintai. Guru mengeluh murid-murid tak mempersiapkan belajar di rumah dengan baik. Orang tua mengeluh anak-anaknya menjadi pemberang. Dan tentu saja di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan sarjana-sarjana kertas, atau ilmuwan-ilmuwan paper, yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sistem Politik dan Prestasi Ekonomi

Dalam buku “Why Nations Failed”, Daron Acemoglu dan James Robinson membandingkan dua pengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik yang berbeda. Bill Gates mewakili pengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik Amerika Serikat dan Carlos Slim dari Meksiko.

Apa yang membedakan keduanya patut kita renungkan di sini sehingga bisa dijadikan pegangan dalam mengembangkan kewirausahaan di tanah air. Apakah Indonesia akan puas dengan bangunan-bangunan usaha UMKM yang kecil-kecil dan informal dengan tax ratio yang rendah? Atau menjadikan mereka sebagai  industrialis yang inovatif.

Gates dan Slim
Semua sudah tahu, Bill Gates tumbuh dalam sistem pemerintahan yang sangat  mendorong terjadinya inovasi dan kompetisi. Bagi yang pro subsidi dan birokasi, itu namanya sistem yang "liberal". Namun, dalam pemerintahan yang relatif bersih, sistem itu mendorong tumbuhnya sektor-sektor usaha formal, karena perizinan begitu mudah dan transparan. Politisi tidak mengintervensi dunia usaha, semua terlihat transparan.
Bunga bank di Amerika Serikat berkisar antara 2 – 3 persen sehingga memudahkan pengusaha menjadi start up. Infrastruktur begitu bagus sehingga pengusaha beroperasi dalam ekonomi biaya rendah dan SDM hebat mudah didapat asalkan gajinya cocok. Kalau bank tak mau membiayai sebuah investasi inovatif yang pasarnya belum jelas,  ada venture capital atau angel investor. Kalaupun Anda tidak mau menjalankan bisnis sendiri, Anda bisa menjual paten hasil temuan Anda.  Karya cipta Anda dilindungi oleh undang-undang, hakimnya tak bisa disuap, pencuri atau pendomplengnya dihukum berat.

Demikianlah Gates tumbuh menjadi besar walaupun memulainya dari sebuah garasi kecil. Didukung venture capital, lalu go public. Hal serupa juga kita saksikan pada Mark Zuckerberg (Facebook), Larry Page (Google) atau alm. Steve Jobs.  Polanya serupa. Namun kalau mereka membandel, ya tetap saja dikenakan sangsi. Tak peduli apakah mereka orang terkenal, orang kaya, pengurus partai atau selebriti. Mereka tak perlu menaruh mantan jenderal, mantan birokrat senior atau pimpinan partai sebagai komisaris. Mereka adalah mereka, semua dilindungi undang-undang dan bila bersalah, ya dihukum.

Itulah yang dihadapi oleh Gates yang diseret pengadilan pada tanggal 8 Mei 1998 dengan tuduhan menjalankan praktek monopoli saat ini membundling Internet Explorer dengan Windows Operating System. Praktek ini diamati oleh Kejaksaan Agung Amerika Serikat dan FTC sejak 1991. Microsoft dinyatakan bersalah dan didenda besar.

Hal serupa juga pernah dialami oleh orang-orang terkenal seperti Martha Stewart yang bahkan sempat dipenjara karena ketahuan melakukan insider trading dengan menjual sahamnya secara besar-besaran sebelum harganya jatuh.   Karier Stewart pun tamat.

Bagaimana dengan  Carlos Slim yang tahun lalu dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di dunia dengan menyalib Bill Gates?   Slim dibesarkan dalam sistem politik yang korup yang tidak memungkinkan dirinya menjadi usahawan besar selain “berkongsi” dengan penguasa. Negara seperti ini biasanya juga tidak menaruh perhatian pada hak-hak cipta. Usaha-usaha yang tumbuh di dalam sistem seperti ini biasanya hanya usaha-usaha kecil.

Imigran yang ayahnya berasal dari Lebanon ini semula hanya menerima warisan sebuaha toko, yang lalu  merambah ke usaha properti.  Tetapi yang membuatnya kaya  bukanlah usaha yang berbasiskan inovasi, melainkan Telmex. Telmex adalah perusahaan telekomunikasi yang mulanya milik negara dan pasarnya monopoli.

Saat Carlos Salinas menjadi presiden, pemerintah mengumumkan untuk melepas 51% sahamnya kepada publik(1989). Meski Carlos Slim bukanlah penawar tertinggi, ia dinyatakan sebagai pemenang. Tetapi bisakah ia membayar tunai semua deal yang sangat besar itu? Tentu tidak. Saya rasa Anda masih ingat kisah para  pengusaha “nakal” kita yang melakukan praktek yang sama. Mereka menggoreng-goreng saham itu sampai harganya tinggi, lalu membayarnya dari kenaikan harga saham atau dari devidennya.  Karena dekat dengan politisi, mereka bisa menekan penguasa supaya harga belinya murah.  Tetapi kalau  tak kebagian, mereka bikin ribut dan mempersoalkan kenapa harganya murah lewat parlemen.

Di sini ada juga yang lebih pandai dari Carlos Slim. Mereka “mengakali” bupati atau gubernur yang ngiler mendapat dana kampanye.  Gubernur atau bupati disuruh menguasai saham perusahaan asing yang menambang di daerahnya sebagai bagian dari pengalihan saham sesuai undang-undang. lalu operatornya diserahkan pada mereka. Atau mereka yang meminjamkan uang agar pemda menguasai sahamnya, lalu dijanjikan pendapatan tetap.  Setelah dikuasai, pemda digusur, dan pembayaran dicicil.  Lalu alamnya  dikuras habis-habisan.  Harga saham naik, alam rusak, namun rakyat tetap miskin.

Mari kita kembali ke Carlos Slim. Melalui kongkalikong  dengan pada para pejabat, ia menguasai sejumlah area usaha. Namun bagaimana kalau melanggar hukum?   Berbeda dengan Gates yang kena sangsi, Slim selalu lolos. Ketika berhadapan dengan  kasus monopoli di tahun 1996, Slim dibebaskan dan tak dikenai hukuman.

UKM Indonesia
Kisah tentang Carlos Slim mengingatkan saya pada seorang anak muda yang  terinspirasi dengan gagasan-gagasan kewirausahaan. Ketika insinyur-insinyur muda Indonesia lebih tertarik membuat keripik, kebab dan jamur goreng melalui gerobakchise secara UMKM di kaki lima, anak muda ini justru menjalankan usaha kreatif di berbagai mal dan melawan investor asing.  Ia pun berhasil.

Uang sewa ratusan juta rupiah perbulan yang dituntut mal ia bayar. Dan ternyata hasilnya menguntungkan. Ia membuat kaos seperti ini : “I Love Paris”. Tetapi di bawahnya tertulis “Not Hotman”. Bisa saja ia disomasi pengacara yang biasa berhasil mempailitkan lawan-lawan kliennya itu.   Tapi syukurlah itu tak terjadi.
Puncak kreativitasnya mentok saat ia menjual baju-baju yang ia desain untuk pasangan Cagub Jokowi-Ahok yang ternyata laku keras. Saat ia menjelaskan langkah itu, entah mengapa, tangan saya reflex memukul dahi saya sendiri. “Oh My Ghost!”  CEO Mal itu pendukung Foke. Foke, dan juga mantan gubernur DKI sangat dekat dan  biasa duduk bersama para manor mall Jakarta.  Saat bersama-sama memasarkan “Jakarta Great Sale” beberapa tahun terakhir ini,  Saya yang pernah jadi model iklannya melihat keakraban itu.  Pengusaha mal mana yang bisa menjauh dari walikota?

Anda tahu apa yang terjadi?
Sejak saat itu kiosnya digeser ke belakang. Barang-barang dagangannya dikuasai pemilik mal, dan kiosnya yang laku itu diberikan pada orang lain.  Ia dipindahkan ke belakang, meskipun sanggup membayar dan kiosnya digemari anak-anak muda.

“Padahal saya ini jualan Jokowi karena pasar, bukan ideologis", ujarnya. Ia pun sekarang luntang-lantung mencari perlindungan.
Seorang pengacara yang aktif di komisi tiga DPR, teman Jokowi didatangi dan diminta bantuan. Tentu saja anggota dewan yang pro rakyat ini marah mendengar cerita itu. Ia siap membantu, tetapi ada syaratnya. Ia minta saham.
Saham? Bukankah anak muda itu tokoh partai yang membawa harapan Indonesia ke depan?
Apa tidak salah? “Tidak pak, ia bersungguh-sungguh” ujarnya.
Saya ingin menutup kolom ini dengan sebuah pesan moral: Sistem politik seperti ini hanya akan menghasilkan pengusaha-pengusaha kecil, usaha gerobak kaki lima yang sulit untuk maju.  Insinyur kita hanya akan jadi pengusaha camilan saja.  Sementata yang membuat boiler, otomotif, permesinan, apalagi robot yang mampu menjelajahi asteroid, pasti bukan anak-anak kita.

Di bagian atas, usaha-usaha besar yang sarat perizinan dan tanah (pertambangan dan infrastruktur) dikuasai mereka yang berkong-kalikong dengan politisi. Sementara di bagian bawah tak ada yang melindungi entrepreneur untuk naik kelas.  Tak ada akses pada modal besar dengan bunga rendah seperti di negara-negara lain, atau seperti yang dinikmati para konglomerat di era orde baru.  Dan tak ada jaminan hukum terhadap inovasi. Bagaimana mau menghasilkan industri-industri besar? Sistem politik seperti ini sungguh tak menguntungkan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Mereka yang Merombak Usaha Warisan

Donald Trump termenung saat ditanya Steve Forbes tentang apa yang ia persiapkan untuk suksesi bisnisnya. Ia hanya bisa berharap anak-anaknya bahagia dengan pilihan orang tuanya.

”Erick senang dengan klub bisnis dan itu cocok dengan personalitas saya. Adapun Don senang dengan bangunan-bangunan, dia fokus di gedung,”ujarnya. Trump punya tiga anak, dua pria dan satu perempuan. Ia belum mempersiapkan apa-apa untuk anak gadisnya yang katanya masih terlalu dini. Jadi cerita difokuskan pada dua pangeran penerusnya. Seperti Trump, kebanyakan orang tua yang usahanya berhasil di sini juga memandang usaha lebih dari sekadar ”kereta hidup”.

Itulah hidupnya sendiri, personalitas dan identitas diri. Usaha dan bangunannya dilihat sama seperti seorang bikersmemandang Harley-nya atau dokter yang memandang ikan koi hobinya. Lain Trump, lain Peter Gontha yang dikenal dengan Java Jazz-nya. Bersama putrinya, Dewi Gontha, hari Selasa lalu keduanya berbagi cerita di depan kelompok Wanita Wirausaha di Jakarta. Gontha justru bangga dengan anak perempuannya yang sudah 8 tahun membesarkan Java Jazz dan kini mulai menjadi usaha hiburan yang terpandang.


Meneruskan atau Merombak?  
Dalam old school business, orang-orang tua selalu beranggapan anaknya bahagia menjalani pilihan orang tua. Anaknya merupakan ”penerus” bukan ”pembaharu”. Rumah milik orang tua kelak menjadi rumah anak dan usaha yang dibangun orang tua akan diteruskan anak-anak dan keturunannya. Demikianlah kita melihat Charles Saerang, Irwan Hidayat, dan Jaya Suprana ”meneruskan” usaha yang diwariskan satu-dua generasi di atas mereka. Neneknya buka usaha jamu,cucunya ikut.

Tapi bisakah hal itu dilakukan hari ini? Lihatlah fakta-fakta berikut ini. Saat diangkat sebagai CEO pada 1986, tak terlihat tanda-tanda apa pun anak ini akan menjual perusahaan yang didirikan kakeknya pada 1913. Ia begitu tekun membina warisan dari ayahnya dan mulai merekrut tenaga profesional asing untuk mempercepat proses pertumbuhan usaha. Tapi pada Maret 2005 publik dikejutkan, perusahaan berpendapatan bersih (saat itu) Rp15 triliun tersebut dijual kepada pihak asing.

Perusahaan ini sangat besar, posisinya berada di urutan ketiga dalam industri dan merupakan salah satu legenda di sini. Perusahaan yang memproduksi 41,2 miliar batang rokok itu dijual Putera Sampoerna kepada Philip Morris dan ia beralih ke bisnis-bisnis baru, yakni perkebunan sawit, telekomunikasi, infrastruktur, dan microfinance. Tak dapat saya bayangkan hal ini bisa terjadi bila Aga Sampoerna (yang meninggal dunia 1994) masih ada. Ceritanya mungkin akan berubah.

Tapi zaman berlalu, generasi baru pun berubah pikiran. Lebih dari setahun yang lalu saya didatangi seorang anak muda yang tergopoh-gopoh mencari saya. Setelah bertemu ia hanya minta waktu untuk menjelaskan visi usahanya. Namun ada satu hal yang ia wanti-wanti. ”Bapak, tolong jangan ceritakan ini kepada ayah saya sebelum menjadi kenyataan” Fernando, nama anak muda itu, adalah putra Jimmy Iskandar yang dulu dikenal sebagai fotografer istana dan merintis usaha foto cetak kanvas.

Jimmy Iskandar merintis Tarzan Photo sejak tahun 1948 sehingga wajar bila ia merasa bisnis ini sebagai bagian dari personalitasnya dan berharap anak-anaknya dapat meneruskan kejayaannya. Apakah yang diimpikan Fernando? ”Saya sudah membantu papa. Semuanya saya lakukan dengan sungguh-sungguh sampai hari ini.Tapi saya sudah menabung sejak lama, sekarang saya sedang menegosiasi tempatnya. Nanti pada saat peletakan batu pertama, papa dan mama baru boleh melihatnya,”kata dia. 

Dan pada hari yang dijanjikan itu saya melihat orang tua Fernando sungguh terkejut. Sebuah maket besar yang akan segera dibangun muncul di hadapannya. Penerus itu berencana membangun usaha baru yang mirip Disneyland, tetapi digabung dengan pengembangan talenta anak. Usaha orang tua jalan terus, tetapi anak sudah punya mainan baru. Bagaimana ke depan? Apakah pembaharuan itu tidak baik?

Benarkah meneruskan yang sama persis dengan yang dilakukan pendahulu akan lebih menguntungkan? Saya masih memiliki sejumlah kasus lain yang kalau saya ceritakan di sini tentu tak akan cukup mengisi seluruh halaman surat kabar ini yang menceritakan kisah tentang anak-anak yang mengubah arah usaha orang tuanya. Sayang bila orang tua tidak memahami perubahan-perubahan yang terjadi dan talenta yang dimiliki anak-anaknya. Saya ingin mengajak orang tua membaca kembali goresan pena Kahlil Gibran di bawah ini.

Anak kalian bukanlah anak kalian. Mereka putra putri kehidupan yang merindu pada dirinya sendiri. Berikan kepada mereka cinta kalian, tetapi jangan gagasan kalian, karena mereka memiliki gagasan sendiri. Kalian boleh membuatkan rumah untuk raga mereka, tetapi tidak untuk jiwa mereka, karena jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tidak bisa kalian kunjungi, sekalipun dalam mimpi.


Renungan itu saya tunjukkan ke hadapan banyak orang tua yang tak puas dengan apa yang dilakukan anak-anaknya yang mengambil jalan yang berbeda dengan kehendak orang tua. Usaha sudah besar, tetapi anak tak tertarik sama sekali.

Talenta Pembaharuan 
Dalam old school business, anak-anak mampu menjadi penerus karena mereka dicetak melalui sistem persekolahan pabrikan. Metode pabrik yang mencetak murid secara massal dan terstandar adalah metode kuno yang hanya dipaksakan oleh pemerintah yang tidak paham terhadap pendidikan. Biasanya persekolahan seperti itu menerapkan sistem kecakapan ujian (exam merit) sehingga kecakapan murid diukur dari nilai-nilai ulangan dan ujiannya.

Dan supaya efisien, sekolah juga tidak mau repot-repot memahami gejolak lentera jiwa siswa, mereka cuma dibanding-bandingkan dengan angka sehingga didapat peringkat. Angka itu adalah angka kertas, bukan merupakan kesimpulan dari berbagai kecenderungan anak. Suatu ketika misalnya saya pernah mempertanyakan seorang mahasiswa yang diberi nilai A oleh dosen marketingnya.

Tapi setiap kali mengajaknya bicara, saya menemukan fakta lain. Wajahnya, bahasa tubuh, gestur, dan caranya berbicara sama sekali tidak marketable. Bagaimana mungkin anak ini bisa diberi nilai A? Anda tak usah bingung, ia dapat nilai A karena ukuran kecakapan di negeri ini adalah kecakapan ujian. Dosen yang bukan pendidik hanya fokus pada kertas ujian, jadi kecakapannya sulit diandalkan.

Kalau cara mendidiknya demikian, talenta-talenta yang tersembunyi tetap tersembunyi dan sulit berkembang. Sistem ini sudah lama dibongkar di mana-mana,tetapi tampaknya masih berlaku di sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah-sekolah berbasis agama di sini. Sekolah seperti ini cenderung mendidik dan menutup telinga dan mata hatinya pada talenta-talenta ciptaan Tuhan.

Kendati demikian, benihbenih kesadaran yang berlawanan justru tumbuh di sejumlah guru dan sekolah-sekolah tertentu yang diam-diam mereformasi dini dari merit exam ke talent exam. Mereka masih terseok-seok hanya karena satu hal, yaitu ujian nasional yang diberlakukan negara. Tapi baiklah kita kembali kepada anak-anak yang mengembangkan talentanya. Biasanya hal itu justru terjadi pada anak-anak yang dibawa orang tuanya bersekolah di luar negeri.

Putra Sampoerna sempat bersekolah di Hongkong dan Australia, Dewi Gontha di Amerika Serikat, dan banyak lagi para pembaharu justru mendapatkan talenta-talenta asli mereka yang bisa jadi berbeda dengan kehendak orang tuanya. Jadi menurut saya mereka yang menemukan talenta-talenta khusus itu berpotensi memperbaharui usaha orang tua dalam arti yang lebih revolusioner, bisa sekarang, bisa juga setelah Anda tidak ada. Lantas untuk apa mencemaskan mereka?

Bukankah justru yang harus dicemaskan mereka yang sekedar ”numpang hidup” pada bisnis keluarga? Mereka ini mempunyai ciri-ciri persis seperti penumpang bus. Mereka boleh ngantuk, bahkan bisa tertidur, dan tak tahu arah jalan. Bisnis keluarga justru bisa berakhir di tangan mereka. Jadi, berikanlah kesempatan kepada anak-anak untuk mengenal talenta mereka sendiri. Anak-anak ini mungkin akan membongkar usaha yang Anda rintis.

Tapi mereka tak akan membuatnya menjadi museum catatan sejarah yang gelap dan tak bertenaga. Mereka hanya memperbaharui dan merombak arah agar panjang usia. Jangan penjarakan jiwa mereka, sebab mereka mempunyai pikiran seluas cakrawala kosmos ini.

RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan

Inklusivitas

Mungkinkah orang-orang Indonesia menjadi Asteroidpreneur seperti yang saya ulas minggu lalu?
Ketika ekonomi China berjaya, bukan hanya orang-orang Amerika dan Eropa yang “terperangkap” oleh sinarnya. Pengusaha-pengusaha asal Jepang, Korea, bahkan “lawan” psikologisnya, Taiwan juga ingin berinvestasi di sana. Dengan metode Guang Xi, jaringan kedaerahan dan kesukuan, bahkan pengusaha keturunan asal Indonesia juga berinvestasi dan memindahkan sekolah anak-anaknya ke China.

China adalah magnet, sekaligus masa depan. Banyak orang percaya China akan menggantikan peran Amerika Serikat sebagai penguasa dunia. Sama seperti ucapan banyak orang terhadap Jepang sekitar 25 tahun yang silam. Dan saya menduga, pandangan ini kemungkinan akan bernasib sama seperti Jepang ketika Kaname Akatmatsu mengulas paradigma angsa terbang (the flying geese paradigm) dengan Jepang sebagai pemimpinnya di Asia.

Angsa-angsa yang berada di depan selalu diikuti angsa-angsa lain kemanapun ia pergi. Ia menjadi navigator. Tetapi dalam perjalanannya ternyata tak banyak angsa yang bisa terus berada di depan. Ia bisa goyah dan gundah sehingga kedudukannya diganti yang lain.

Begitu halnya dengan Jepang dan China yang kini sedang bergulat menghadapi “kembalinya” kepemimpinan Amerika Serikat dengan energy murah (khususnya shale gas, yang di fraktur dari batu-batu di perut bumi , dan biayanya hanya seperempat dari gas-gas alam asal Qatar atau Indonesia).
Untuk menjadi pemimpin angsa terbang diperlukan Asteroidpreneur, bukan sekedar UKM-Preneur, apalagi kalau hanya coba-coba dan hanya bergelut di bidang usaha yang mudah-mudah saja dengan prinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Kapan menjadi industrinya?

UKM dan Motivator
Salah satu ciri negara yang angsa-angsanya cuma ikut-ikutan terbang adalah pengusahanya kesulitan melompat. Usaha-usaha mikronya terbelengguseperti burung dara yang sayap-sayapnya di jahit. Supaya bisa terbang tinggi, tentu saja belenggu-belenggu itu harus di lepas.

Sejak krisis moneter menghantam Indonesia 15 tahun yang lalu, kita menaruh harapan pada UMKM. Jumlahnya terus meningkat, dari 51,5 juta (2010) menjadi 54,5 juta tahun ini. Tetapi di lain pihak gairah berindustri turun drastis. Tak ada lagi orang-orang seperti Sukanto Tanoto yang di awal tahun 1980-an berani membangun industri pulp and paper. Semua anak-anak muda cuma asyik membuat roti, kue, burger, lele, ikan bakar dan warung gerobak yang di grobak-chise kan.

Bisa diduga kemana muaranya para wirausahawan seperti ini. Ketika jenuh, mereka beralih menjadi motivator atau pembicara UKM. Modalnya apalagi kalau bukan spirit Robert Kyosaki yang mengajarkan “bagaimana menjadi orang kaya”. Tak sedikit pula yang menanamkan cara-cara pemasaran bombastis atau cara-cara spiritual. Kata seorang industrialis, perlu dibedakan benar-benar mana yang merupakan hasil dari suatu percobaan dengan coba-coba. Kelihatannya, lebih banyak yang iseng dengan coba-coba, bukan kesungguhan yang didasarkan bukti-bukti empiris yang dapat digeneralisasikan. Dan tentu saja, bisnis seperti ini lebih banyak hit and run. Tapi tak apa, sepanjang order sebagai motivator masih bisa jalan terus, bukan?

Kita memerlukan UKM untuk menyelamatkan pengangguran, namun untuk memajukan bangsa, negeri ini juga bentuk industri-industri besar yang dibangun berbasiskan pengetahuan, sophisticated management dan profesionalisme. Indonesia butuh banyak pesawat-pesawat kecil yang bisa menembus daerah-daerah pedalaman seperti yang dilakukan Ibu Susi Pujiastuti (Susi Air) atau kapal-kapal penjelajah berbobot ringan yang dibuat dari teknologi material komposit yang dibuat Lisa Lundin di Banyuwangi.

Kita memerlukan UMKM untuk membuat desain-desain baju dan keperluan konsumsi ringan, tetapi untuk membuat energy dan otomotif diperlukan usaha-usaha besar. Usaha-usaha besar adalah lokomotif untuk menarik usaha-usaha kecil.

Inklusivitas
Apa yang membuat anak-anak Amerika bisa menambang di Asteroid sementara kita sibuk melobi Bupati untuk menambang perut bumi? Ekonom MIT, Daron Acemoglu, bersama James A Robinson (Harvard) mencari jawabannya. Dalam buku barunya (Why Nations Failed)  yang saya jadikan bacaan wajib di program doktoral di UI, diungkapkan pentingnya spirit inklusivitas.

Dugaan saya, bangkit kembalinya Amerika bukan karena tangible assets atau kekayaan alamnya. Ketika Inggris masuk ke Benua Amerika pada abad ke 16 (yang kelak menjadi Amerika Serikat) bukanlah karena negeri ini kaya hasil bumi seperti yang dikuasai Spanyol atau Portugis. Melainkan karena hanya itulah yang tertinggal.

Amerika menjadi bangsa besar justru karena prinsip inklusivitas. Abraham Lincoln menghapuskan perbudakan, Luther King menghancurkan segregasi warna kulit. Selera-selera picik terhadap superioritas ras, agama, atau kelompok-kelompok disingkirkan demi penghargaan pada kesamaan hak. Jangankan diskriminasi terhadap ras, terhadap gender saja bisa menjadi masalah besar.

Dengan prinsip-prinsip itulah orang-orang pintar dari mancanegara pindah ke Amerika Serikat. Mereka bisa kuliah dengan tenang dan menjadi ilmuwan-ilmuwan terpandang. Ada kemerdekaan hakiki yang dirasakan, tatapi begitu seseorang mengeluarkan ancaman pada orang lain, hukum selalu ditegakan.
Karena itulah banyak anak-anak pintar Indonesia yang tidak pulang mengabdi disini. Seperti ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang saya temui di Silicon Valley yang hidup tenang bersama dengan anak-anaknya yang sudah mulai berkuliah di kampus-kampus terkenal. Mereka diperlakukan sama dengan orang-orang cerdas lainnya yang datang dari India, Pakistan, Iran, China, Korea, Rusia, Canada dan sebagainya.

Cara ini sepertinya tengah di terapkan pemerintah Singapura yang dulu diduga mempunyai selera ”etnik” terhadap para pelajar berprestasi kaum keturunan Tionghoa di Asia Tenggara. Singapura kini mulai membidik anak-anak pandai dari berbagai etnik, termasuk dari Indonesia. Tak mengherankan tak lama lagi mereka akan menjadi negeri yang tak kalah hebat dari China dan Amerika.

Lantas apa yang akan dilakukan oleh para UKMpreneur Indonesia?  Menurut hemat saya, ini lah saatnya anak-anak muda beralih dari UKM menjai industi.  Dan untuk itu prinsip inkluivitas perlu dibangun.  Ayo melompatlah! Jadilah Asteroidpreneur, jangan berpuas diri!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Perjalanan Dinas

Seorang pembaca menulis, kalau dari 4,7 juta PNS menghabiskan biaya perjalanan dinas sebesar Rp 23,9 Triliun (2012), maka rata-rata perorang PNS hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 5,1 juta rupiah. Namun yang membuat hatinya tersayat-sayat adalah fakta ketika ia membaca perjalanan dinas 560 orang anggota DPR yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp 140 milliar. Kalau dibagi rata, maka setiap orang wakil rakyat yang kaya-kaya dan senang belanja itu menghabiskan sekitar Rp 250 juta.

"Wajar" Katanya, "Bila mereka diprotes mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri."

Perjalanan dinas yang besar telah menjadi ciri birokrasi dan kekuasaan pasca reformasi. Di berbagai media kita membaca, anggaran perjalanan dinas terus dicuri orang-orang tak bertanggung jawab dengan tiket-tiket bodong. Namun anehnya, bukan dikurangi, budget ini justru terus diperbesar. Dari rencana semula Rp 2,9 Triliun (2009) menjadi Rp 15,2 Triliun. Lalu hanya selisih dua tahun, angkanya sudah berlipat dua tahun ini menjadi Rp 23 triliun.

Bagaimana bangsa ini mengatasi masalah ini?

Rampingkan Semuanya
Organisasi pemerintahan yang gemuk adalah ciri pemerintahan World 1.0 yang saya bahas minggu lalu, sedangkan di era early globalization yang ditandai dengan desentralisasi dan deregulasi, pemerintahan yang sehat dan pro rakyat tidak memerlukan PNS dalam jumlah besar. Kalau pemerintahan mau sehat dan rakyatnya memiliki daya juang yang tinggi, berikan ruang yang besar pada masyarakat untuk berpartisipasi. Inilah ideologi pemerintahan di World 2.0.

Tetapi alih-alih menjadi ramping, di era desentralisasi ini, jumlah pejabat ditingkat pusat justru berlipat ganda. Jumlah pejabat eselon satu dalam beberapa tahun terakhir ini telah berlipat dua. Kalau yang diatasnya berlipat dua, otomatis yang dibawahnya ikut berlipat-  sudah begitu jumlah badan dan komisi-komisi terus bertambah, dan maing-masing menuntut tambahan sekretars jenderal dan deputy yang kedudukannya setara dengan eselon 1. Dan sekarang pun ada eselon 1 dan ada eselon 1A.

Sementara jumlahnya terus bertambah, kualitas layanan tidak membaik. Fungsi pemerintah pusat berkurang tetapi orangnya terus bertambah. Di berbagai daerah, masalahnya juga sama saja. Daerah-daerah terus menuntut pemekaran, dan semua pegawai tidak tetap menuntut di PNS-kan.

Di beberapa propinsi saya menemukan kepemimpinan-kepemimpinan buruk yang mengakibatkan PNS adalah satu-satunya pilihan bagi kaum muda untuk bekerja. Industri tidak digerakkan dan pertanian dibiarkan mati suri.

Padahal sejak tahun 1990-an negara-negara yang perekonomiannya sehat telah mengajarkan kita bahwa pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang ramping. Ramping jumlah orangnya, dan ramping strukturnya. Negara harus bertobat untuk mengurus semua hal kalau tidak bisa mengaturnya. Lebih baik bekerja dengan struktur yang simpel dengan orang-orang terpilih yang diberi gaji besar daripada menjadi semacam lembaga sosial yang menampung pengangguran dengan gaji kecil-kecil sehingga banyak orang mempunyai alasan untuk mengambil penghasilan di luar dari pendapatan resmi.

Pegawai yang besar jumlahnya dengan gaji yang kecil telah mengakibatkan tak ada kontrol dan tak ada pembinaan. Orang-orang yang semula bagus, entah mengapa, setelah lima sepuluh tahun bekerja di birokrasi banyak yang terkontaminasi, menjadi kurang produktif dan tidak disiplin.

Birokrasi telah berubah menjadi organisasi yang sangat gugup dan begitu kuat untuk melayani dirinya sendiri.   Boleh dikata apapun yang dibutuhkan para pegawai ada di tempat setiap kantor kementerian atau badan-badan milik pemerintah, meski tidak merata dan tergantung pada power yang mereka miliki.

Banyak kantor kementerian yang setiap level direktorat jenderalnya memiliki balai diklat sendiri-sendiri lengkap dengan prasarana yang hebat, namun sayang kualitas trainernya maaf, masih perlu  di upgrade kembali. Mereka masing-masing memiliki fasilitas ruang rapat yang bagus, termasuk vila yang besar di puncak, tetapi lebih senang menyewa kamar di hotel. Sebagian kementerian  punya lapangan sepakbola, kolam renang dengan kualitas sedikit di bawah stadion nasional dan tentu saja segudang fasilitas lainnya.

Kalau mau bepergian, urus kenaikan pangkat sampai urus kematian ada seksi pembaca doa.  Semuanya lengkap ada didalam. Pendeknya, Birokrasi memiliki kemampuan melayani atasan sendiri yang prima. Par Excellence.

Namun keterampilan melayani keatas yang berlebihan ini  tidak diikuti dengan kemampuan melayani masyarakat dengan baik. Perijinan dan infrastruktur justru mendapat keluhan terbesar. Belum lagi pelayanan-pelayanan rutin. Prosesnya berbelit-belit, lama dan terkesan kurang orang, kurang dukungan prasarana. Padahal birokrasi kita gemuk dan sudah terlalu banyak orang. Bukankah ini sudah saatnya berbenah?

Evaluasi-Eliminasi

Merampingkan birokrasi memang tak semudah membalikkan tangan. Apalagi ditengah-tengah sistem politik seperti ini akan semakin besar tantangannya. Namun apapun bentuk sistem politiknya saya kira sudah saatnya dilakukan 3E, yaitu Evaluasi, Estimasi, dan Eliminasi.
Inilah saatnya melakukan evaluasi apakah kita ingin terus hidup seperti ini atau berubah. Birokrasi tak bisa diperkuat hanya melalui kepemimpinan perseorangan. Ia harus dibongkar, bahkan dirancang ulang. Evaluasi ini hanya meliputi 3R, yaitu Requirement,return, dan reward. Tetapi dengan sistem dan budaya yang seperti ini, umumnya evaluasi hanya dilakukan untuk mengejar kenaikan imbal jasa (reward), sedangkan kinerjanya (return) dan kualifikasi (requirement) diabaikan.

Para pemimpin hendaknya menyadari bahwa dalam setiap lembaga terjadi tiga hal berikut ini dalam pengelolaan SDM, yaitu abuse, diuse dan misuse. Intinya, hanya ada sedikit orang yang melakukan pekerjaan segudang (abuse) dan ada banyak orang yang kerjanya hampir tidak ada atau terlalu sedikit (disuse). Sementara itu, bagian terbesar pegawai di birokrasi justru mengalami misuse:  Terlalu banyak orang melakukan hal yang salah.

Pengalaman saya di birokrasi menemukan ketiga hal diatas menjadi sangat biasa dalam pekerjaan sehari-hari. Menteri-menteri lebih sibuk mengurusi panggilan parlemen dan melakukan perjalanan dinas atau hal-hal teknis. Tak ada yang memikirkan kelembagaan dan masa depan kementerian. Ketika merasa frustasi, menteri-menteri lalu memilih bekerja dengan staf-staf khusus dan pejabat-pejabat tertentu saja, sedangkan sisanya urus diri masing-masing.

Biaya perjalanan dinas yang membengkak bagi saya adalah sebuah alarm peringatan bahaya, bahkan birokrasi kita telah semakin tambun dan sibuk urus dirinya sendiri. Inilah saatnya untuk meremajakan, melakukan transformasi mendasar untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik

Rhenald Kasai
Founder Rumah Perubahanl