Laman

Rabu, 19 Desember 2012

Ekonomi Penyedot Debu - Jawapos 17 Desember 2012


Apa pesan di balik puji-puji yang diberikan lembaga dunia terhadap masa depan perekonomian Indonesia? Ya, betul. Tetaplah berkonsumsi, belanja, dan belanjakan terus uang Anda, wahai konsumer. Jangan tunggu uang Anda mengendap di Bank. Belanjakan terus.


Pesan itu seperti masuk ke alam bawah sadar kita. Sehingga setiap kali habis gajian semua mesin ATM penuh dengan antrean, dan setiap tanggal muda, jalan-jalan keluar kota dari Jakarta ke Puncak, Semarang ke Bandung atau dari Surabaya ke Batu selalu macet selalu macet dengan kelas menengah baru yang rindu menghabiskan uang.  Dari hawa gunung, beralih ke luar negri, dari Singapura kini sudah di Hongkong, LA dan entah mana lagi. Dan Anda mungkin masih ingat saat orang-orang yang mabuk berbelanja, bahkan nyawa menjadi taruhan untuk mendapatkan Blackberry terbaru?


Atau kejadian 3 tahun lalu saat antrian berjajar dari lantai terbawah di Mall Senayan City terus berputar seperti ular menuju counter sandal/ sepatu Crocs di lantai paling atas? Salah seorang GM Crocs berkebangsaan Malaysia bahkan terkekeh-kekeh. Katanya ini pertama kali terjadi di dunia, bapak-bapak di sini memelopori trend berebut sandal sisa berwarna pink, dan benar-benar di pakai.


Konsumsi dipercaya menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia yang penting. Bahkan dalam sebuah forum, Gubernur BI, Darmin Nasution mengatakan konsumsi sebagai salah satu sumber resiliensi (ketahanan) ekonomi Indonesia dari ancaman krisis global. Indonesia telah menjadi negara dengan tingkat pertambahan ekonomi ke-2 terbesar di dunia setelah China.


Tetapi sabar dulu, konsumsi juga menjadi ancaman terbesar ketika barang-barang inipun terus membanjir mulai dari tepung terigu hingga kedelai, dari batik China sampai gadget. Semua yang mahal-mahal kita simpan. Kalau dulu orang memesan (reserve) meja makan untuk 3 orang memesan meja untuk bertiga, sekarang menjadi berempat, siapa yang duduk di kursi yang ke-4 itu? Itulah “Tuan” Louis Vuitton, atau “Nyonya” Hermes. Ya, maklum rata-rata tas orang Indonesia sudah di atas 10 juta rupiah. Barang mewah sudah biasa.


Lain di kota, lain di desa. Tetapi semua orang bergaya sama: konsumsi. Tak punya uang, perut kosong, tetapi handphone harus berbunyi.  Ini sungguh ironi. Inilah ekonomi vacum cleaner, ekonomi penyedot debu.


iPhone 5


          Di Amerika Serikat, kendati ekonominya belum pulih dari krisis, penjualan iPhone 5 ternyata juga sama saja. Antrean begitu panjang. Bahkan sebagian konsumen antre sejak dini hari. Apalagi setelah majalah Time menobatkan gadget ini “The most artfully polished gadgets anyone’s ever built”. Penjualan gadget menembus angka 5 juta dalam minggu perdananya.


            Masih kalah memang dengan Samsung Galaxy S III yang sejak peluncurannya Agustus lalu telah terjual 18 juta unit. Bahkan di China, Android mengusai 90% pasar Smartphone. Hanya saja, dari pengamatan saya, mereka yang antre benar-benar punya penghasilan yang layak. Antreannya pun tak sepadat di sini.  Sabar menanti dan tertib.


            Bagaimana disini?  Memasuki abad 21, smartphone baru selalu menjadi gaya hidup. Di dunia maya saya membaca celotehan eksekutif muda bercerita tentang kebahagiaan membeli iPhone, kendati harus pergi ke Hongkong atau Singapura sebelum produk itu dirilis disini. Bahkan sejumlah anggota DPRD dari Makassar tanpa malu-malu menunjukkan gadget barunya kepada wartawan. Inilah peradapan Conspicuous Consumption, yang dalam ilmu prilaku dipahami sebagai belanja  yang ditonjol-tonjolkan kan untuk menunjukkan “Saya juga bisa memilikinya”.  Kalau saya menjadi yang petama memiliki, "berarti saya pelopor, trend setter, risk taker, dan saya lebih dari yang lain".


            Mengapa kaum mapan yang sudah kaya raya dan punya jabatan itu masih memerlukan “konsumsi” untuk membangun citra terhadap jatidirinya?


            Para ahli berpendapat, Comsumption conspicuous itu dilakukan sebagai alat “signal”. Ya, seperti ponsel yang tak ada manfaatnya kalau tak mampu mengirim signal, manusia-manusia seperti itu lemas kala tak bisa mengirim signal “Bahwa saya punya uang”. Barang-barang dan konsumsi dijadikan acuan untuk menunjukkan “Saya telah sukses, lihatlah saya”.


            Dengan kata lain sebenarnya, masih banyak orang yang kurang mampu menunjukkan karya, sehingga Comsumption conspicuous pun dijadikan sasaran. Apa boleh buat. Inilah beban yang masih harus dipikul para guru, dosen, ulama, pendidik, pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi janganlah bicara pengetahuan melulu, atau ayat-ayat melulu, bahkan aturan-aturan melulu. Ajarkanlah cara berkarya, berbuat sesuatu yang menimbulkan dampak besar dan jadilah role model. Negeri tanpa role model hanya akan menghadapi energy drain, dan kalah menghadapi mesin-mesin penghisap debu. 

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Role Model dan Conflict of Interest - Sindo 13 Desember 2012


Tanggal 15 Agustus 2011, tiga orang warga negara Indonesia -- Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah – mengajukan permohonan untuk menguji UU no 27 (2009) ke Mahkamah Konstitusi. Bila berhasil, maka sebenarnya Indonesia punya kesempatan untuk membangun “budaya baru”, yaitu budaya bersih yang amat dirindukan bangsa ini.

Sayang pengajuan ini sepi dari perhatian masyarakat, dan sayang pula MK “gagal” melihat esensi dibalik pengajuan itu, atau memiliki pandangan lain, atau ada pertimbangan hukum yang lebih kuat sehingga permohonan ketiganya tidak dikabulkan. Anda mungkin bertanya, apa sih yang mereka persoalkan?

Conflict of Interest
UU no 27 (2009) adalah UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dan Pasal-pasal yang mereka uji adalah Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 (2), Pasal 327 ayat (2) dan Pasal 378 ayat (2). Menurut ketiga warga negara ini, telah terjadi kerugian dan ada potensi kerugian dari Pasal-pasal itu. “Wakil-wakil rakyat dan Wakil-wakil daerah tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyat, terutama untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara karena adanya pekerjaan lain selain menjadi anggota DPR maupun anggota DPD dan DPRD, ” demikian yang dicantumkan dalam surat permohonan pengujian ketiganya.  "Pekerjaan lain" yang dimaksud tentu bukan sekedar pekerjaan sambilan, melainkan pekerjaan lain yang memungkinkan seorang  pejabat publik mengalami konflik kepentingan.

Tentu saja tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuka perdebatan hukum yang bukan menjadi keahlian saya (dan tidak akan saya tanggapi), melainkan untuk membangun kesadaran bahwa negeri ini tidak bisa tumbuh menjadi besar dan kuat tanpa landasan yang kokoh. Dan landasan itu adalah terbebasnya para pengambil keputusan dari Conflict of Interest. Hanya dengan itulah Indonesia akan memiliki role model yang dapat ditiru kaum muda, baik dalam kegiatan ekonomi maupun politik.

Saya sendiri mengetahui uji materi UU ini karena diminta oleh para pemohon untuk menjelaskan efek “Conflict of Interest” sebagai saksi ahli. Tentu saja saya melihatnya dari sisi ekonomi. Sebenarnya mudah saja melihatnya. Saya misalnya, tidak pernah “menang” dalam setiap kali mengikuti proses tender sepanjang panitia lelang atau orang di belakang mereka sudah punya jago-jagonya sendiri. Anak saya tidak akan pernah diterima bekerja di sebuah lembaga negara hanya karena panitia penerimaan pegawai sudah menerima komitmen (beserta fee-nya) dari calon-calon lainnya. Seseorang mengalami conflict of interest ketika mengambil "janji" atau komitmen lain yang membuatnya sulit bertindak secara objektif.

Di gedung parlemen kita saat ini juga miskin role model. Sejak bertemu saja, setiap kali mendengar seseorang berkedudukan sebagai anggota parlemen, rakyat berkasak-kusuk menggunjingkan sesuatu. Di dalam gedung parlemen bukan satu-dua orang yang megatakan kepada saya aroma perubahan sikap sahabat-sahabat yang dulu dikenal sebagai orang yang santun dan jujur menjadi garang dan unpredictable. Mereka bisa memarahi anda di depan sorotan kamera televisi, bahkan mengusir anda hanya karena anda cenge'ngesan.

Lantas apa sih yang digunjingkan masyarakat? Apakah sedemikian bodohnya sahabat-sahabat, orang tua, murid atau mahasiswa kita yang sekarang duduk di parlemen itu sehingga berpura-pura tidak mengetahuinya?

Para penguji UU itu mempersoalkan bebasnya “rangkap jabatan” dan absennya penegakan etika. Ini juga sangat kasat mata dan mudah dilihat kendati ada juga yang samar-samar, tetapi di zaman ini masyarakat mudah menelusurinya. Tengok saja bisnis-bisnis apa saja yang ditekuni masing-masing anggota palemen baik di pusat maupun di daerah. Hampir semua anggota palemen yang berada di bawah komisi yang membawahi energy berbisnis energy, dan hampir semua anggota parlemen yang bergerak di bidang hukum mempunyai kaitan dengan kantor-kantor pengacara (baik langsung maupun tidak langsung).  Akhirnya publik menyaksikan  ruang usaha dipenuhi oleh jalur koneksi ke parlemen, mulai dari catering hingga PJPTKI, dari buku cetakan hingga kitap suci, dari impor alkohol hingga konstruksi. Bahkan dari dana CSR sampai bantuan sosial.  Ini belum termasuk dana yang dicuri oleh eksekutif yang juga melakukan hal serupa.
Di berbagai kabupaten dan kota madya kita juga menyaksikan perebutan bisnis kontruksi hingga pertamanan yang membuat eksekutif sulit bekerja. Seorang direktur salah satu BUMN menyebutkan sulitnya mengganti crane di pelabuhan dengan satu merek yang sama. Masalahnya, masing-masing crane harus disewa dari orang-orang yang di back up oleh oknum anggota parlemen. Bila hal itu dilanggar, mereka akan diminta mengikuti rapat dengan pendapat di gedung parlemen, lalu bersiap-siap lah menerima semprotan minyak panas.

Lain bisnis, lain lagi penegakkan etika. Ketika Dahlan Iskan melaporkan sejumlah oknum anggota parlemen yang diduga telah memeras BUMN, saya pun teringat dengan pengujian materi UU 27 tahun 2009 itu yang diajukan oleh tiga warga negara Indonesia tadi. Ketiga pemohon juga meminta agar MK meninjau Pasal 123 dan Pasal 124 ayat (1) tentang keanggotaan Badan Kehormatan DPR dan Pasal 234 ayat (1) huruf f, Pasal 245 ayat (1), Pasal 302 ayat (1) huruf f, dan Pasal 353 ayat (1) huruf f yang menyangkut Badan Kehormatan di DPD dan DPRD.

Masalahnya, badan-badan kehormatan itu diisi oleh orang-orang yang berasal dari kalangan sendiri, yang bersifat “perimbangan dan pemerataan” jumlah anggota dari tiap-tiap fraksi. Sekarang, bisakah etika ditegakkan dari kalangan yang sangat berkepentingan terhadap “nama baik” keluarga besarnya sendiri?  Artinya, berapa kuatkah nama-nama besar setinggi Siswono atau dr Prakosa kalau mereka mengabdi pada dua "atasan" sekaligus?   Atasan pertama adalah pimpinan fraksinya sendiri, sedangkan atasan kedua, ya hati nuraninya.  Apalagi kalau yang diadili rekan atau sahabat sendiri.  Bukankah kita lebih baik mengacungkan tangan, mengaku ada conflict of interest ketimbang haus mengambil langkah yang tak enak dihati.
Itulah masalah yang dipersoalkan ketiga orang itu. Andaikan MK saat itu mengabulkannya, mungkin Indonesia sudah memiliki kultur politik yang sedikit lebih baik. Kultur tentu tidak bisa dibentuk oleh hanya satu elemen, namun dalam ilmu perubahan, kita percaya seseorang yang diberi pulpen bagus  akan diberitahu oleh anggota keluarganya agar memakai baju yang bagus pula. Kalau bajunya sudah bagus, istri/suaminya mungkin akan memberikan celana dan sepatu yang matching pula. Satu elemen tidak otomatis merubah semuanya, tetapi ia bisa memicu perubahan.

Tetapi Indonesia tidak bisa maju dan mencapai posisi 6 besar dunia seperti yang diramalkan Standard Chartered Bank pada tahun 2030, atau posisi nomor 7 menurut Mc Kinsey Global Institute kalau membiarkan dunia usaha berjalan diatas politik yang sarat dengan konflik-konflik kepentingan. Indonesia tak juga menpunyai role model dari figur-figur  yang "lain di depan-lain di belakang".  Role model yang demikian pandai berbohong,  semakin berani melawan kendati salah.  Tanpa role model yang bebas dari kepentingan, kita hanya akan melahirkan bangsa yang kalah,  bangsa pecundang

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Generation Gap 3 - Jawapos 3 Desember 2012

Beberapa hari yang lalu saya membaca tulisan Dahlan Iskan yang berjudul “Ada brigade 200K di Pertamina” (Jawapos 25 November 2012). Yang menarik perhatian saya, untuk menaikkan produksi minyak 200.000 barrel perhari dalam waktu 2 tahun, pertamina menurunkan generasi mudanya.

Dahlan menulis: “Brigade ini sepenuhnya terdiri dari anak muda Pertamina yang umurnya paling tinggi 29 tahun! Bahkan diantaranya ada yang umurnya 25 tahun.”  Generasi baru inilah yang diberi tanggung jawab terhadap kenaikan produksi minyak Pertamina. Selain mereka juga ada Brigade 100K yang juga terdiri dari kaum muda yang diberi tanggung jawab lahirnya energy terbarukan (geothermal) sebesar equivalent 100.000 barrel setiap hari.  Mengapa tanggungjawab ini diberikan pada kaum muda?  Apakah mereka sudah cukup mampu?  Sebaliknya kemana para senior mereka?

Baik brigade 100K maupun Brigade 200K adalah generasi baru Indonesia yang baru lahir pasca 1980-an. Berbeda dengan Anda pembaca, rata-rata mereka lahir  dengan menggenggam mouse di tangan kanannya. Adik-adiknya bahkan lahir dengan gadget “touch screen” dengan “keypad buta, tanpa tulisan.” Mereka bisa mengirim pesan (text) SMS tanpa menoleh pada keypad itu karena jari-jarinya sudah diprogram  ibundanya masing-masing  saat mereka masih dalam kandungan.

Tua-Bermasalah
Di Berbagai kesempatan saya  sering terkecoh menghadapi para manajer  yang saya pikir lebih tua dari saya. Setelah saya manggut-manggut, belakangan baru saya tahu makin banyak orang  yang  wajahnya boros. Ya, maaf, wajahnya  lebih tua dari umurnya. Sudah begitu, mereka  mngaku menyimpan segudang masalah, mulai dari kekhawatiran terhadap kinerja (KPI) hingga masa depan anak-anaknya. Anak-anakku, ketahuilah orangtua kalian menghadapi segudang masalah. Bukan hanya kompetisi, melainkan juga kecepatan kalian mengadopsi teknologi.

Di setiap organisasi disfungsional, hampir pasti masalah banyak bertumpuk pada generasi setengah tua yang stuck di layer ke 3.  CEO atau direksi umumnya punya dorongan kerja yang lumayan kuat. Eselon 1 juga relatif banyak yang baik. Nah, mereka yang terlihat lebih tua dari umurnya itu ada banyak di layer ke 3. Merasa mampu duduk di layer ke 2 atau 1, tetapi atasan dan bawahannya berkata lain. Selain menggerutu,  banyak yang makin sensitive dan temperamental. Padahal untuk berprestasi mareka butuh kaum muda.
 Saya tentu sangat bertanya-tanya mengapa Karen Agustiawan dan Dahlan Iskan menyerahkan kepercayaan untuk mempercepat kenaikan produksi para generasi C itu. Saya tentu cukup paham apa yang terjadi, tetapi apapun juga, ini adalah cerminan respon dari adanya generation gap.

Minggu lalu saya juga bertemu dengan CEO Pelindo 2 (Tanjung Priok), RJ Lino. Dalam sebuah forum, putra Rote itu bercerita bagaimana ia menangani generasi tua yang “menguasai organisasi”. Saya mengirim mereka ke luar negri untuk sekolah lagi,” ujarnya. Ya, satu generasi yang mungkin dapat saja dianggap “feodal” oleh generasi di bawahnya dibukakan jendelanya untuk tanggal 1-2 tahun di negeri yang pelabuhannya ramai dan modern.

 “Selesai, bukan?,” Ujarnya. Ya, satu masalah lumayan diatasi. Selain memberi ruang bagi generasi yang lebih muda untuk naik ke atas tanpa diganggu, generasi yang diatasnya juga diberikan kesempatan belajar. Toh begitu kembali, masa kerjanya tidak panjang lagi. Ya paling lama, mungkin hanya 5 tahun, tetapi mereka tidak mengganggunya lagi. Mereka yang punya pengalaman belajar di luar negri sudah punya wawasan yang lebih baik, lebih pede.

Jembatani
Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan sebuah pesan bahwa alih generasi saat ini bukanlah soal alamiah lagi. “Gapantara yang tua dengan yang muda” jelas, riil, tegas, dan kalau diabaikan akan cukup mengganggu. Beda lembaga, tentu saja berbeda kultur dan climatenya.

Tetapi yang jelas ini bukan soal sederhana. Para CEO harus berpikir keras bagaimana menangani gap ini. Bisa jadi, kesulitan transformasi bermula dari soal ini, yaitu kosongnya kepemimpinan yang menjembatani generasi tua dengan generasi muda, bahkan ruwetnya masalah di layer ke 3 yang diduduki generasi lama yang menyimpan segudang persoalan

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Jumat, 07 Desember 2012

Generation Gap (2) - Jawapos 26 November 2012

Santap malam di Pendopo Aceh bersama Gubernur, dr. H. Zaini Abdullah (9/11-2012 lalu) sungguh mengasyikkan. Dokter keluarga lulusan Universitas Sumatera Utara (1972) dan spesialis dari Kerolinska Universiteits Swedia berusia 72 tahun ini menghabiskan lebih dari 20 tahun hidupnya di Swedia. Ia menawarkan saya durian dan penganan khas Aceh, timpan sebagai penutup hidangan. Di kepala meja, duduk mentroe (sebutan bagi menteri negara) Tengku Malik Mahmud (73) yang ikut memberikan pandangan-pandangan dan berbagi cerita.

Keduanya adalah tokoh karismatis Aceh, orang tua yang suaranya sangat didengar. Dari mulut keduanya saya bisa menyimpulkan betapa sejuk Aceh di tangan mereka. Keduanya visioner, dan bagi mereka syariat Islam adalah penegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Itu sebabnya keduanya menginginkan merit system (sistem kepegawaian berbasiskan kecepatan) dalam proses kerja pemerintahannya.

Belajar dari keduanya, saya ingin mengatakan satu hal ini: Generasi tua tidak melulu menjadi ancaman feodal. Mereka dapat menjadi sumber inspirasi, sumber pembaharuan.

Gap itu Riil
Menunjuk saya sebagai assesor untuk memiliki eksekutif-eksekutif di kawasan pelabuhan bebas Sabang tentu bukanlah hal yang mudah. Anda pun tahu saya sangat sibuk dan memegang teguh prinsip-prinsip GCG. Tetapi itu tidak menyurutkan tokoh-tokoh Aceh untuk mencari saya. Sewaktu bertemu di Jakarta, Gubernur hanya memesan hal yang sangat singkat: merit system. Ia ingin Aceh dipimpin oleh putra-putri terbaiknya. Bukan semata-mata karena keluarga dan bukan pula karena kenalan. Saya tentu paham, setelah 3 kali menjadi panitia seleksi calon pimpinan KPK dan terlibat dalam proses pemilihan sejumlah direksi, saya sangat maklum dengan cara berpikir masyarakat kita yang amat “bersiasat”.

Menempatkan publik sebagai “atasan” yang harus dilayani tidak sulit, sepanjang Anda mau berkorban, bekerja dengan aturan yang jelas, dan mendidik kerabat menghargai prinsip-prinsip merit system.
Dr. Zaini Abdullah menghadapi generasi-generasi muda yang terpaut 20-30 tahun dibawahnya. Wakil Gubernurnya (Muzakir Manaf) berusia 48 tahun. Walikota Sabang Zulkifli Adam, berusia 37 tahun dan Bupati Aceh Besar Mukhlis Barsyah, 41 tahun. Ia memimpin tiga generasi sekaligus. Generasi sebayanya yang lama di luar negeri kita sebut saja sebagai generasi tua. Lalu generasi yang lahir antara 1955-65, dan antara 1965-1975. Ketiganya amat berbeda.

Kalau Anda melihat dengan kaca mata orang kota, Anda mengatakan yang satu generasi tatap muka (“see me”) dan dua generasi dibawahnya adalah generasi telefon (“call me”) dan generasi SMS atau email (“text me”). Anda tentu merasakan betapa orang-orang tua masih ingin sering-sering melakukan meeting yang menuntut kehadiran fisik anda di ruang rapat. Dan banyak yang beranggapan kalau secara fisik tidak hadir diartikan tidak mendukung, tidak respek.

Sebaliknya generasi-generasi muda banyak bertanya apa masih perlu secara fisik ke sana? Mengapa tidak rapat menggunakan skype saja? Bukankah Virtual Office juga office? Mengapa tidak bertemu di kedai kopi saja? Mengapa tidak ada wifi? Demikian seterusnya. Cara inilah yang kini ditempuh Dahlan Iskan yang meski sudah tak muda, sejak ganti hati,  jadi lebih muda.

Tetapi di Aceh, kita melihat sebaliknya. Generasi tua yang lama di luar negeri justru amat menghargai merit system dan ingin membangun profesionalisme. Sebaliknya kaum muda yamg dibesarkan di era konflik dan bergerilya di gunung-gunung belum terbiasa dengan merit system. Dalam hal inilah kaum tua yang berpengalaman bisa memberikan kontribusi dan wisdom nya untuk membimbing generasi-generasi muda agar lebih siap menghadapi masa depan. Sebab kalau bisa disatukan, bekerja lintas generasi adalah sebuah kekuatan besar.

Button Theory
Namun demikian harus diakui umumnya, generasi tua adalah generasi yang linglung. Linglung adalah orang yang banyak bingung, mudah lupa, dan prosesornya mulai melambat karena memory nya mulai penuh dan aus. Kita semua akan mengalami hal serupa. Di sebuah kota kecil di Jawa Barat, kemarin saya sempat mengintervensi panitia yang meminta saya berbicara agar mereka merampingkan acara. Maklum generasi tua banyak membiarkan agendanya diisi mereka dengan banyak sambutan. Padahal panitia dan MC nya adalah generasi muda. Saya tak habis berpikir bagaimana orang muda membiarkan dirinya tidak menghargai waktu. Sewaktu saya sampaikan bahwa kita telah menghabiskan lebih dari sejam untuk pembukaan saja, barulah sebagian orang tersadar.

Dalam generation gap juga dikenal istilah button theory. Ya, button atau kenop yang biasa dijumpai pada hampir semua alat elektronik. Generasi yang lahir sampai tahun 1975-an sangat terbiasa bekerja dengan alat yang ada button nya. Namun di era touch screen dewasa ini, anak-anak muda yang lahir pasca 1975 sudah mulai bekerja dengan gadget tanpa button.

Lantas apa kata button theory dalam generation gap? Begini. Ketika diberi gadget, orang tua selalu mencari button nya, dan sebelum menanganinya, orang tua selalu memulainya dengan bertanya. Mereka banyak tanya kepada kaum muda dan minta dijelaskan ini dan itu. Sementara bagi anak-anak muda, begitu diberi gadget mereka langsung mengutak-atiknya. Bahkan melakukannya tanpa membaca manualnya terlebih dahulu. Learning by doing. Maka ketika ditanya kaum tua, mereka pun berteriak, “waaaaa... mengapa tidak dicoba dulu?”

Kalau sudah berbeda begini, biasalah kita berbeda pendapat. Tetapi generation gap bukanlah rintangan bagi pembaharuan

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Selasa, 27 November 2012

Menyatukan Pikiran Direksi - Sindo 22 November 2012


Beberapa waktu belakangan ini saya banyak diminta menyatukan pikiran para eksekutif puncak.  Meski prinsip "one team-one spirit"  mulai banyak diterapkan, mungkin saja ditemukan disfungsi leadership.  Teamnya bagus, tetapi ada luka batin yang membuatnya tidak bekerja secara efektif, bahkan sangat mungkin sudah ada benih-benih  kerusakan sedari awal. Alih-alih memilih superteam, yang terpilih justru superman yang bekerja sendiri-sendiri. Anda mungkin masih ingat dengan  Real Madrid yang skuadnya bertaburan bintang (Zinedine Zidane, Ronaldo, Luis figo, R.Carlos, Raul Gonzales dan David Beckham,dll) tapi sejak tahun 2003-2006 gagal mendapatkan satupun piala.

Demikianlah kerja sebuah team.  Kalau tidak dikelola dengan baik sedari awal, maka ibarat tidur di atas satu ranjang, banyak direksi perusahaan dan komisaris yang mimpinya tidak sama.  Yang satu ingin memeluk, yang lain menendang. Sejalan dengan waktu, ranjang pengantin dapat berubah menjadi ranjang konflik.
Kalau leadership saja sudah disfungsi, bisa dibayangkan bagaimana kinerjanya.  Disfungsional Organisasi ini biasanya ditandai dengan banyak pembiaran.  Peluang dibiarkan berlalu, komplain tidak ditanggapi, klien pergi dibiarkan, orang bagus pergi dibiarkan, sabotase oleh preman dibiarkan, korupsi diabaikan, penindasan apalagi.  Maka memilih superteam harus dimulai dari awal.  Namun katakanlah anda tak mendapatkan superteam, itu bukanlah  akhir dari sebuah penyesalan. Sama seperti leader yang tidak dilahirkan, superteam yang kokoh juga harus dibentuk.

Gagasan One Team
Anda tentu pernah mendengar gagasan Dahlan Iskan tentang "one team one spirit".  Berbeda dengan fit and proper test yang dipilih sendiri-sendiri, Dahlan  menginginkan team yang solid sehingga cukup mengangkat satu orang saja, CEO.  CEO terpilih lalu ditugaskan memilih sendiri teamnya.  Gagasan ini sebenarnya sudah dimulai oleh mentri BUMN di era Habibie, Tanri Abeng, saat ia memberi wewenang pada Robby Djohan dan Abdul Gani untuk masing-masing membentuk team direksi di Bank Mandiri dan Garuda Indonesia.
Jim Collins dalam buku klasiknya Good to Great menyebutkan, tugas utama seorang pemilik dan CEO  adalah mencari orang yang terbaik dan menempatkannya pada kursi yang tepat. Jadi kalau anda berhasil mendapatkannya, dunia ini akan menjadi milik anda.  Namun dalam prakteknya, banyak pemilik perusahaan dan pemimpin yang kesulitan memilih team. Bahkan membiarkan seseorang memilih teamnya sendiri saja tetap beresiko.  Sama seperti sebuah perkawinan suci yang didasarkan cinta mati, tak seorangpun yang bisa menjamin akan kekal abadi.

Demikianlah one team yang dibentuk sendiri harus terus dibangun.  Itu saja ada yang tak mampu mmpertahankan masa kerja yang hanya 4-5 tahun.  Ini berlaku bagi siapa saja, perusahaan publik maupun swasta, baik yang bermotif keuntungan maupun yang nirlaba.

Menurut pengamatan saya, saat ini ada ribuan perusahaan keluarga Indonesia yang tengah struggle menghadapi ketidakharmonisan team direksi.  Demi keharmonisan keluarga, mereka mengabaikan satu dua anggota yang tidak perform, bahkan mengganggu, untuk tetap berada dalam posisinya.  Bahkan tidak jarang dua-tiga anggota keluarga menjalankan peran yang sama sehingga membingungkan karyawan dibawahnya dan menimbulkan gejala disfungsional.  Pembenahan yang dilakukan dengan sistem berbasiskan IT sekalipun tak mampu mengatasi madalah, sepanjang mereka tidak disatupikiran-kan

Di banyak lembaga publik sudah sering kita temui gejala ini.  Anda lihat sendiri, hampir semua gubernur dan bupati berseberangan dengan wakilnya.  Kalau bupati atau gubernurnya sudah tidak "one team" bagaimana kepala-kepala dinasnya? Mereka bermitra dengan pikiran yang tidak disatupikirankan.
Di Mahkamah Agung saja beberapa bulan terakhir ini tampak jelas ketidakharmonisan itu.  Belum lagi di antara para komisioner yang dibentuk parlemen. Bahkan di perserikatan olahraga seperti PSSI saja kisruh.  Di kalangan aparat penegak hukum gejala jalan sendiri sangat jelas terlihat. Antara mentri dalam kabinet yang samapun terjadi. Mereka bukan saling melengkapi,  malah  bberapa berseberangan. Yang satu membuka pintu, yang lain menutupnya.  Di dalam kementrian sendiri hubungan antara mentri dengan wamennya  tidak mustahil saling berseberangan, demikian pula  sesama pejabat eselon satu.  Banyak bank milik pemerintah daerah yang tidak bisa berkinerja optimal bukan karena kurang modal, melainkan teamnya tidak solid.  Mereka masih mempertentangkan antara putra daerah dengan pendatang, antara orangnya bupati, pilihan gubernur dengan kalangan profesional dan seterusnya.  Di atas ranjang yang sama itu, mimpi mereka tidak sama.

Menyatukan pikiran pimpinan di level atas bukanlah hal yang sederhana, namun juga bukan tidak mungkin. Yang jelas anda tidak bisa mendapatkannya secara cuma-cuma. Sebuah team yang baik adalah hasil dari sebuah pembentukan dan dibalik team yang kuat selalu ditemui coach yang kuat.
Orang-orang yang terpilih dalam sebuah team bisa saja bukanlah terdiri dari orang yang hebat, namun apapun hasilnya, sebuah team yang baik sekalipun bisa ber-evolusi menjadi buruk dan mengalami disfungsional kalau tidak berada dalam "tangan" yang baik. Demikian juga sebaliknya, team yang buruk, di tangan yang baik bisa berubah menjadi great performer.  Di dalam perjalanannya team yang bagus pun tidak slamanya perform, di tengah jalan selalu terdapat ujian dan pergantian secara alamiah. Orang datang dan pergi silih berganti membawa luka batin yang saling ditularkan.

Kadang saya menemui CEO yang beruntung seperti  Hasnul Suhaemi yang diberi wewenang penuh team memilih direksi oleh komisarisnya di Axiata. Orang-orang yang beruntung ini mampu menghasilkan kinerja yang baik. Semua orang fokus bekerja mengarahkan tindakan pada pikiran yang sama. Mereka mampu mencegah perselingkuhan masing-masing orang dengan pihak luar. Seperti itu pulalah yang kemarin saya sampaikan kepada enam orang pimpinan Kawasan Perdagangan Dan Pelabuhan Bebas Sabang yang dititipkan kepada saya dan seorang tokoh Aceh terkemuka, Adnan Ganto. Mereka adalah putra-putra terbaik Aceh yang kami pilih melalui fit and proper test secara profesional. Namun begitu jadi, proses pembentukan segera  dimulai.  Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sangat serius menerapkan merit system demi kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.

Kalau anda sempat membaca buku Cracking Zone, anda tentu menemukan Model leardership "X" yang membuat pemimpin kokoh. Seperti huruf "X", kepemimpinan ini bertemu pada satu titik di tengah yang mempertemukan dua garis yang menyilang. Titik itulah yang mempertemukan seorang kepala eksekutif dengan pimpinan yang mewakili pemegang saham (komisaris atau dewan pengawas). Anggota Dewan dilarang berhubungan langsung ke bawah agar tak terjadi "perselingkuhan" eksekutif (disenfranchised execution). Demikian juga sebaliknya. Semua anggota direksi bertemu di satu titik pada direktur utama, dan semua komisaris bertemu pada komisaris utama. Lalu mengapa mereka bisa saling berselingkuh, dan mengapa diperlukan coaching?

Komplementaritas, Bukan Kompetitas
Membentuk one team-one spirit dimulai dengan kesadaran bahwa mereka adalah team yang saling melengkapi, bukan saling bersaing.  Anda pertama-tama memilih orang yang berkomitmen untuk bekerjasama, bukan superstar yang arogan.Complementaity mindset kemudian dibangun dengan berbagai pendekatan: bahasa, simbol, program, sampai strategic planningyang saling bersinergi.
Orang-orang yang bersinergi bukanlah orang yang datang dengan luka batin.  Ibarat orang sakit gigi, luka batin yang tak terobati akan menimbulkan gejolak. Sebelum giginya dicabut atau syaraf sakitnya dimatikan, ia akan tetap terasa sakit.  Gigi yang berlubang tak dapat ditambal tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Alih-alih mendapatkan team yang kuat, anda hanya mendapatkan oang-orang yang memimpin dengan blocking yang kuat. Dapat anda bayangkan bila semua energi hanya dihabiskan untuk membangun blocking. Belum lagi mereka menghadapi tekanan-tekanan dari luar.

Orang yang mampu bersinergi adalah orang yang mampu berbahasa saling melengkapi. Ia tak pernah merasa berkekurangan, makanya ia mau memberi. Namun ia juga tidak boleh merasa amat berkelebihan sehingga mau "meminta" bantuan. Orang bermental kompetisi harus diarahkan energinya untuk membangun competitiveness perusahaan atau lembaganya, jangan bersaing ke dalam. Competition mindset selalu diawali oleh rasa takut kalah, takut kehilangan, karena terjadi kelangkaan. Ini bagus kalau anda bisa membangun dalam bingkai yang tepat. A solid team is not taken for granted.  It is well created.

Rhenald Kasali

Generation Gap (1) - 19 November 2012


Minggu ini saya mendapat tugas untuk berbicara di depan eksekutif perusahaan semen. Di saku mereka, seperti yang saya duga, tersimpan beberapa hape merek Nokia, dan sebagian lagi Blackberry. Tiga orang diantaranya mengantongi tablet Android Galaxy S III dari Samsung. Mudah diduga siapa saja mereka. Itulah tiga generasi yang berbeda, berusia 50¢an, 30¢an dan 20¢an. Ditengah-tengahnya kosong.

Tiga generasi itu mewakili generation gap yang menjadi tugas saya untuk menjembataninya. Bahkan di luar negri, eksekutifnya terdiri dari 4 generasi. Yang satu bilang “tulis” (“write me” generation), yang lain bilang “telfon saja” (“call me”), sedangkan dua generasi lainnya bilang “email saya” (“email generation”) dan “text me” (SMS generation). Harap maklum, rata-rata usia pegawai di BUMN perusahaan minyak nasional kita adalah 49 tahun. Di TVRI, dugaan saya, rata-rata sudah 51 tahun. Di sebagian besar BUMN sudah 50 tahunan.

Apalagi di sektor-sektor yang relatif stabil dan sektor komoditi (kehutanan, perkebunan, semen, baja, kereta api, jalan tol, perdagangan, perkapalan, dan seterusnya). Yang generasinya agak mudaan ada di perbankan, telekomunikasi, consumer goods, jasa, dan tentu saja airlines. Selebihnya, inilah saatnya dimana generasi muda Indonesia (generasi yang menggenggam Android Samsung) bertarung menghadapi generation gap. Bertarung menghadapi generasi yang kata mereka relatif berwatak feodal.

Berwatak Feodal?
            Kaget juga saya, mendengar ucapan anak-anak muda di banyak industri tentang senior-senior mereka. “Feodal, takut menghadapi perubahan, bicaranya satu arah, meeting-nya lama dan tak ada keputusan, semua serba uang, lamban, berubahnya pelan-pelan. Itu artinya tidak ada perubahan sama sekali. Feodal”, ujar mereka.

            Tetapi bagi orang yang dituding feodal, sebaliknya anak-anak muda ini dianggap sebagai self-centered, bahkan narsis dan asyik sibuk sendiri. Mereka punya dunia yang sulit dimengerti, dinilai kurang gigih, kurang berdisiplin dan perilakunya kutu loncat. Sebuah studi yang dilakukan oleh badan riset Kronos menyebutkan generasi baru ini dibesarkan dalam kultur yang berbeda : Sebanyak 13% dilahirkan di luar negrinya, menuntut kebebasan yang lebih besar, 40% pekerja muda bekerja dari rumah, 77% memiliki akun FB, 93% menggunakan ponsel, dan 26% berbicara lebih dari satu bahasa asing

            Rata-rata pegawai yang saya temui di sebuah instansi memang sudah meninggalkan Nokia dan Blackberry, sementara senior-seniornya baru belajar memakai BB. Senior-senior itu sering bertanya apa itu Ipod, apa itu Apps, dan bagaimana melakukan copy-paste, download, belanja online dan seterusnya. Sementara generasi Samsung sudah menghabiskan sekitar US$ 4.12 Miliar belanja online di negeri ini. Mereka belanja gadget, fashion, kamera, barang-barang hobi, pakaian anak-anak, keperluan bayi, vitamin, sampai buku dan tiket. Mereka rapat di kedai-kedai kopi yang dilengkapi Wifi. Sedangkan generasi tua yang masih memegang posisi-posisi penting di banyak pabrik dan kantor masih bisa membeli sate dan tongseng di tepi-tepi jalan.

            Di China, minggu lalu saya mendapat kabar, Android telah menguasai pasar china dengan market share di atas 90% (meningkat dari 58,2% tahun lalu). Sementara generasi sebelumnya yang masih menggenggam Nokia, terus mengalami penurunan yang tajam menjadi tinggal 2.4%. Apalagi Ipod dan Ipad. Ini berarti generasi tua di China mulai beralih pula, belajar menjelajahi dunia baru dengan cara-cara baru. Namun mampukah mereka mengubah watak feodal yang bersifat satu arah dan merasa benar sendiri ?

            Inilah persoalan terbesar dalam generation gap yang dihadapi berbagai bangsa. Rata-rata perusahaan di Indonesia, berhenti merekrut pegawai sejak krisis moneter menerpa ekonomi Indonesia (1997-2007). Birokrasi kita bahkan lebih lama lagi (sejak awal 1990), sudah melakukan prinsip zero growth. Praktis birokrasi dan dunia usaha sama-sama mengalami kegalauan, tak tahu apa yang harus diperbuat.

            Sudah hampir pasti banyak senior menutup pintu terhadap kehadiran generasi baru. Di Eropa, hal serupa juga dilakukan dunia usaha dan birokrasi dalam 3 tahun terakhir ini. Demikian juga di Amerika Serikat. Padahal kaum muda adalah sumber inovasi dan change. Di tangan merekalah pembaharuan dibebankan. Maka ketika muncul orang yang benar-benar muda, apakah mereka tiba-tiba menjadi CEO, GM, professor, staf khusus, mentri, atau apa saja jabatan elit lainnya, kalangan tua umumnya menyambut dengan sinis dan dingin. Persis seperti anak-anak kita yang lama dibesarkan tanpa adik dan tiba-tiba mendapat adik baru. Adik baru itu bukan dibimbing, malah bisa jadi dicemburui, dicubit dan disepak.

            Generasi baru ini secara demografis disebut generasi M, atau Millennium generation. Secara psikografis disebut generasi C (connected generation) dan berada dalam lintas cohort. Namun bisa juga mereka disebut generasi Android (Samsung) karena dibesarkan dalam teknologi yang menembus generasi baru. Kata Samsung masih terasa janggal bagi sebagian orang yang kini masih gandrung dengan Apple yang bertahan dengan produk-produk canggih peninggalan mendiang Steve Jobs : Ipad dan Ipod. Mereka sering menyindir, “jangan samakan dong BMW dengan KIA !”
Bersambung. .

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Assessment - Jawapos 12 November 2012

Dari orang marketing beralih ke change management dan strategic management membuat saya harus banyak berurusan dengan soal-soal seputar assessment. Setelah tiga kali terlibat dalam penilaian calon pimpinan KPK saya makin paham betapa rumitnya cara berpikir manusia Indonesia. Ya, mungkin serumit pikiran kita masing-masing.  Kerumitan itu tak ubahnya manusia yang terpenjara, a prisoner of belief.
Hari ini saya baru kembali dari salah satu propinsi terujung untuk menjalankan misi assessment yang juga tidak mudah. Beberapa waktu terakhir kantor saya juga banyak diminta oleh lembaga-lembaga strategis untuk menilai calon-calon pemimpin baik perusahaan maupun pemerintahan. Kesan saya, banyak orang yang belum paham bahwa Indonesia tengah berada dalam arus perubahan yang maha penting. Untuk itulah diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang sangat mendalam. Kita menemui banyak “kelucuan” yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk menciptakan “talent pool” dalam jumlah besar.

Passenger & Losers
Saya selalu membedakan calon-calon pemimpin yang mengikuti calon seleksi kedalam dua kategori: Passengers (penumpang) dan Drivers (pengemudi). Passengers adalah tipe orang-orang yang menjadi beban bagi organisasi, kurang memiliki tanggung jawab, kurang berdisiplin cenderung tidak berinisiatif, menunggu, tak berani mengambil resiko, tidak kreatif, kendati berasal dari sekolah-sekolah atau kampus terkenal. Mereka benar-benar pecinta jabatan.

Sedangkan drivers adalah karakter yang sebaliknya: berinisiatif, mencari jalan baru, pengambil resiko yang berhitung, merawat “kendaraannya”, bekerja dengan selfnya (self discipline, self confidence, self awareness dan self initiative). Drivers adalah orang yang memiliki spirit kewirausahaan yang tinggi kendati bekerja menjadi pegawai.

Namun kedua kategori itu harus kita bagi lagi sehingga membentuk 4 kuadran. Yakni karakter pecundang (losers) atau yang disebut psikolog Carol Dweck sebagai fixed mindset dan karakter pemenang atau growth mindset. Jadi ada Passengers berkarakter pecundang dan ada Passengers berkarakter pemenang. Demikian juga dengan drivers.

Saya pikir ada baiknya para pemimpin yang akan memulai jabatannya melakukan assessment ini untuk mengenali seberapa cepat mereka bisa men-drive­ perusahaan/lembaganya, atau mempercepat transformasi. Pengalaman kami menemukan, pemimpin akan sangat kesulitan bila tidak mampu mengenali potensi-potensi SDM, apalagi bila mayoritas SDMnya adalah Passengers-Losers type.  Ini adalah benih bagi terbentuknya budaya disfungsional.

Orang-orang yang bermental Passenger-Losers adalah penumpang yang menjadi beban karena selalu melihat “masalah pada setiap kesempatan” atau “selalu menemukan/mencari kesulitan dari setiap jawaban”, sudah nyaman dengan posisinya, mereka akan mencari-cari kesalahan, senang membuat-buat alasan, banyak menggerutu (complain), terkurung dalam masa lalu, senang mendramatisasi, menghambat kemajuan dan larut dalam kerumunan, bahkan tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.

Saya baru saja menyelesaikan naskah buku yang akan saya beri judul “human driver” untuk menjawab persoalan-persoalan seperti ini. Bahkan psikolog-psikolog yang saya latih baru saja selesai menciptakan alat-alat pelatihan yang relatif baru yang dapat dipakai untuk mentransformasi perilaku manusia. Eksperimen yang kami lakukan menemukan, Passenger-Losers harus diubah menjadi passengers-winners, bukan drivers-losers.  Manusia pecundang justru akan akan sangat merepotkan bila diberi pelatihan-pelatihan spiritual atau motivasi tertentu tanpa landasan teori yang memadai.  Kesalahan treatment dapat menjadikan mereka sebagai drivers-losers yang merasa dirinya suci, hebat, aktif dan berinisiatif, bahkan berani mengambil resiko, tetapi potensi pecundangnya tetap eksis atau bahkan justru diperkuat.

Akan lebih baik bila secara sadar kita menanamkan sugesti self dengan psychology of winning secara bertahap.  Pertama dilakukan treatment untuk membuang karakter pecundang dan bila berhasil maka baru dijadikan driver. Passenger yang bermental pemenang atau memiliki kualitas mental growth akan lebih mudah dijadikan drivers-winner. Sekedar Anda ketahui saja, drivers-Winners adalah kualitas calon pemimpin yang mewarnai masa depan perusahaan dan negara yang sejahtera. Potensi inilah yang harusnya ditemui dan diperkuat.

Jadi, organisasi disfungsional adalah organisasi yang dibajak orang-orang bermasalah dengan pemimpin-pemimpin Passenger-Losers. Organisasi yang banyak menimbulkan kerisauan adalah organisasi yang melatih pegawai-pegawainya menjadi drivers namun perangainya losers (Drivers-Losers). Organisasi-organisasi yang siap berubah adalah Passenger-Winners, dan organisasi yang berlari kencang adalah Drivers-Winners. Ayo kita perbaiki!

Rhenald Kasali
Founedr Rumah Perubahan

Perangkap Saddam Husein - Sindo 8 November 2012

Saddam Hussein sudah lama ditangkap dan dihukum gantung. Tetapi hantunya masih “bergentayangan” di banyak sanubari pemimpin dan politisi Indonesia. Efek Saddam Hussein ini kini terjadi di sini, persis seperti yang terjadi di kalangan warga Amerika Serikat tak lama setelah terjadi 9/11 yang merobohkan menara kembar di Ney York City, 11 September 2001.

                Perangkap itu dalam ilmu perilaku dikenal sebagai motivated reasoning . Bukannya mencari kebenaran, kata Zira Kunda (1990), manusia-manusia angkuh justru “telah” mempercayai; bahkan menggunakan argumentasi-argumentasi yang ngawur untuk membenarkan kesalahan-kesalahannya. Perhatikanlah ‘gong’ yang berbunyi di antara para politisi begitu mendengar Dahlan Iskan melaporkan nama-nama politisi pemeras BUMN yang berasal dari institusi parlemen.

                Bahkan ketua DPR pun turut berperang membela kolega-koleganya yang seakan-akan bersih, jauh dari conflict of interest. Padahal sudah menjadi rahasia umum mayoritas politisi parlemen berbisnis, mencari peluang atau menghubungkan rekan-rekannya (mendahulukan jaringannya) dalam bisnis yang tersedia di sekitar komisi yang mereka bidangi. Di antara ketua-ketua Partai, kita hanya mendengar suara Prabowo Subianto yang berbicara tegas: “Yang memeras BUMN akan kita tindak.” Sedangkan yang lain semua berbicara sama: Dahlan hanya melakukan pencitraan.

 Hantu Saddam
                Perangkap hantu Saddam pernah dialami oleh masyarakat Amerika Serikat di era George Bush Jr. Perangkap itu dicatat oleh Gostick dan Elton (2012) dari refleksi penyerbuan tentara Amerika Serikat ke Irak untuk menangkap Sadam Hussein pada tahun 2003. Setahun setengah setelah invasi itu, mayoritas bangsa Amerika masih saja percaya bahwa Saddam lah aktor intelektual di belakang serangan gedung WTC. Padahal mereka sama sekali salah. Namun mereka “menolak  untuk mengakui kesalahan” itu. Mereka menolak mengakui bahwa Amerika telah melakukan kesalahan melakukan invasi ke Irak untuk menangkap Saddam.  Berbagai survey yang dilakukan  lembaga independen di Amerika  menyebutkan, sekitar 70 - 85% warga Amerika  percaya bahwa Saddam Hussein terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap penyerangan gedung kembar.

                Mereka menolak menerima fakta-fakta yang sebaliknya. Bahkan setelah presiden George Bush yang memimpin serangan itu menyatakan ia telah melakukan kesalahan. Bush membantah Saddam terkait dalam serangan itu, tetapi warganya menolak kebenaran itu. Komisi independen yang dibentuk pemerintah, yaitu 9/11 Commission juga menyangkal adanya keterkaitan antara Saddam Hussein dengan serangan terhadap gedung kembar. Tetapi masyarakat tetap saja mempercayai hal sebaliknya.

                Sama seperti para petinggi partai politik dan anggota DPR di sini. “Rather than search  rationality for information that either confirms or disconfirms a particular belief, people actually seek out information that endorses what they already belief.”

                Begitulah hantu Saddam bekerja. Saya kira sebagai ilmuwan adalah kewajiban saya untuk menyadarkan politisi-politisi yang sedang kerasukan  hantu Saddam. Mungkin juga terhadap ketua DPR  yang kemarin menyatakan “Justru direksi BUMN yang harus dievaluasi karena menawarkan upeti”.

Fokuslah Pada Tujuan
Orang-orang yang kerasukan hantu Saddam harus bisa diajak kembali berfokus pada  objective. Tujuan penyerahan nama-nama anggota parlemen yang dianggap memeras tentu saja adalah untuk menciptakan tata nilai pemerintahan dan sistem politik yang bersih dan berwibawa.

Sepanjang suap-menyuap menjadi tradisi dalam perselingkuhan legislatif-eksekutif dan yudikatif, maka tak pernah didapat kewibawaan dalam kepemimpinan nasional, tak ada kewibawaan politik, tak ada kesejahteraan sosial dan keadilan. Lagi pula bukankah anggota-anggota DPR sendiri yang menantang Dahlan agar menyerahkan nama-nama itu. Sungguh naïf bila anggota dewan terus membantah. Dalam literature psychology of winning, ditemukan  hanya pecundang (loser) lah yang berbicara dengan nada keras terhadap isi yang tak bermutu.

Demikian pulalah dengan masyarakat Amerika Serikat yang terus menerus percaya bahwa Saddam ada dibelakang tragedi 9/11. Bukannya kembali ke tujuan semula, yaitu menemukan sistem pertahanan yang damai, mereka justru mengambil langkah-langkah destruktif yang bermuara pada krisis ekonomi global.  Dan itulah yang sekarang harus dibenahi presiden Obama.

Hal serupa juga perlu disadari oleh pimpinan-pimpinan partai politik, bahwa pembiaran terhadap praktek-praktek korupsi  yang dilakukan anggota-anggotanya di parlemen merusak masa depan partai itu sendiri dan bangsa ini. Menurut World Economic Forum (2012) penyumbang terbesar menurunnya daya saing bisnis Indonesia (Doing Business Index) adalah birokrasi yang tidak efisien (15.4%) dan korupsi (14.2%).
Steve Hoffan dalam Sociological Inquiry (2009) menulis “kebodohan manusia terjadi bukan karena ketiadaan bukti-bukti (atau informasi yang benar), melainkan karena tendensi kita yang selalu mencari informasi-informasi yang hanya bisa membenarkan tindakan kita." Dan selama itu dibiarkan, jadilah Indonesia negeri kesurupan. Anak-anak sekolah kerasukan setan menjelang ebtanas, dan kini politisi pun ikut kerasukan hantu Saddam.  Hantu Saddam bicaranya minta bukti, tapi sebenarnya itu hanya bahasa "hantu" yang hanya dimengerti orang yang kerasukan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Contohlah Denpasar- Jawapos 5 November 2012


Euphoria Jokowi baru saja berlalu. Setidaknya sekarang rakyat Jakarta menunggu kerjanya gubernur baru DKI yang sarat masalah ini. Saya ingin mengajak pembaca pergi sejenak ke luar Jawa. Di sana saya kira juga ada tokoh-tokoh masyarakat sekelas Jokowi, Pakde Karwo, atau Wagub Jateng Rustriningsih. Ayo kita ke Denpasar.

Minggu lalu saya diundang pemerintah kota Denpasar untuk mendampingi anak-anak muda yang digembleng oleh pemerintah kota ini. Selama 3 tahun mendampingi, di kota ini saya memiliki sekitar 50 orang anak didik yang tak kalah dengan wirausaha-wirausaha muda  dari Surabaya, Jogyakarta atau Bandung. (Saya sengaja tak menyebut Jakarta, karena rata-rata anak Jakarta mimpinya masih ingin bekerja di Bank ataupun MNC).
Kebetulan Walikotanya, Rai Dharmawijaya Mantra, adalah mantan pengurus HIPMI pengusaha yang mengerti bagaimana pentingnya kewirausahaan di antara kaum muda. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mencari dirinya sendiri-sendiri, anak-anak muda sekarang bisa berpikir seluas samudra. Bimbingan diberikan, sehingga usaha bisa berkembang lebih sistematis.

Saya jadi teringat dengan mendiang raja Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati, yang menekankan benih-benih perubahan di Urban Village yang teduh di Ubud dengan mendatangkan pelukis-pelukis terkenal. Sejak saat itulah lukisan anak-anak muda di Bali mulai berwarna. Dari sekedar epos Ramayana dan cerita-cerita perwayangan, menjadi lebih ekspresif.

Demikian juga hentakan yang dilakukan Walikota Rai Dharmawijaya Mantra. Dengan dididik secara tekun, wirausahawan-wirausahawan muda Bali tidak lagi menjadi “murah ekonomi” rakyat. Mereka tidak perlu berkutat pada lahan yang cuma digeluti rakyat jelata. Anda tentu tahu, gairah kewirausahaan kaum muda, kalau tidak diarahkan, alih-alih bukannya ikut menggerakkan ekonomi, malah membunuh usaha rakyat kecil.
Ya, mereka tentu punya cara yang lebih baik, lebih higienis dan lebih memiliki kesempatan yang jauh lebih luas. Di Bali sendiri, para pedagang barang-barang kesenian yang dulu kita kenal ada di pasar Sukawati sekarang perlahan-lahan telah memudar, digantikan toko oleh-oleh modern yang jauh lebih convenient dan tak jauh dari bandara.

Saya selalu mengatakan kepada anak-anak muda yang disekolahkan oleh orang tua yang juga rakyat biasa itu, janganlah “bertarung” melawan ekonomi rakyat , tetapi jadilah mitra mereka. Dan itu tampaknya usaha-usaha yang lebih kreatif mulai bersemi. Bahkan pemerintah kota Denpasar sekarang mencanangkan program “Kewirausahaan Goes to Banjar”. Ini pasti sangat menantang karena di sana masih banyak “kenyamanan” hidup dalam tanggungan keluarga besar. Kalau ada satu saja orang dari setiap keluarga besar itu menjadi wirausaha, niscaya warga Banjar akan jauh lebih sejahtera.

Tentu saja ini tidak mudah. Apalagi selama ini kegiatan mereka sangat padat upacara. Namun kalau kita perhatikan, anak-anak muda di Banjar terlihat sangat antusias bekerja kelompok. Saat membuat ogoh-ogoh menjelang hari raya nyepi misalnya, semua anak muda terlihat antusias. Apalagi jika dilombakan antar Banjar. Gairah itu cepat tertanam. Namun masalahnya kewirausahaan adalah kegiatan yang lebih dari sekedar “gotong royong” dan “bisa membuat”.

Kewirausahaan membutuhkan kerja mandiri, inisiatif perorangan, pengambilan resiko dan spirit komersial. Values kejujuran yang bersumber dari Karmaphala sudah menjadi modal yang penting. Tetapi kewirausahaan tidak boleh dibangun di atas “mood” angin-anginan. Apalagi “andel-andelan”. Ini adalah profesi seumur hidup yang butuh inisiatif dan kemandirian. Nilai-nilai komersial pun harus ditanam secara harmonis dengan nilai-nilai kebaikan. Karena itulah metode jalan pintas, kepepet, cara malas, cara bodoh dan sejenisnya (meski terdengar hebat dan melenakan) jangan dijadikan pedoman. Kalau anak mudah sudah di iming-imingi kekayaan maka akan hilang jiwa kecintaan dan kejujuran mereka. Kaya yang indah adalah kaya yang penuh cinta dan kejujuran.

Kolaborasi
                Saya tidak pernah melihat sebuah kolaborasi harmonis yang dimotori oleh pemerintah kota, selain di Denpasar ini. Aparat birokrasi yang bersih (dapat dilihat dari pengikut GCG nya), kecepatan bertindak, dan kerja birokrasinya yang sangat entrepreneurial.

 Pemkot - Bank Indonesia wilayah Bali dan Nusa Tenggara - HIPMI Bali bergabung bersama-sama dengan anak-anak muda. Pulang dari Denpasar saya dioleh-olehi kaos yang dilukis dengan wajah saya yang sedang menunggang gajah (saya adalah kolektor ornamen-ornamen dari gajah) dan bakpia legong yang rasanya melekat dengan kemasan khas berupa pintu Bali. Anak-anak muda yang saya temui memiliki usaha yang amat beragam dan kelak mereka akan menjadi usahawan-usahawan yang modern.

Saya masih juga punya cerita banyak tentang upaya –upaya Pemkot Denpasar, namun hari ini saya batasi dulu pada aspek kewirausahaan. Kalau Indonesia mau maju, rakyat memang harus dibebaskan dari politik uang agar mereka bisa memilih pemimpin yang peduli terhadap nasib dan masa depan mereka. Mari kita contoh I B. Rai Darmawijaya Mantra, dan bupati-bupati yang pro rakyat.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Orang Dewasa dalam Bentuk Bentuk Mini - Sindo 1 November 2012

Sepenggal kata mutiara dari Kahlil Gibran sering saya baca di sejumlah Taman kanak-kanak.  “Anak-anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran mini” begitu bunyinya. Tetapi seperti itulah yang tengah dibentuk oleh sistem persekolahan kita. Sehingga tepatlah ucapan Wamenbud, Prof. Musliar Kasim bahwa pendidikan kita telah berubah menjadi sangat membosankan. 

Tetapi meski demikian banyak orang tua yang masih berupaya keras mendorong “mesin mogok” anak-anaknya agar mengikuti maunya sistem yang demikian. Walaupun semakin hari sekolah semakin berat, kompetisi materialisme makin menyulitkan, dan anak-anak berbakat luar biasa tak mendapatkan tempat.

Maka kabar bahwa Kemendikbud tengah melakukan evaluasi menyeluruh pada kurikulum pendidikan nasional yang sudah berlalu sejak 6 tahun lalu (2006) perlu disambut dengan baik. Hanya saja antara gagasan dan pelaksanaan perlu pengendalian yang kuat. Dalam kamus penulis buku, dikenal dengan istilah controlling idea, yaitu bagaimana agar hasil dari sebuah ide tidak melantur kemana-mana.

Menghafal yang Tak Penting          
Seperti apakah persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa ini? Kemendikbud benar, jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada anak-anak kita sudah terlalu banyak. Sudah begitu, sebagian besar bukanlah bahan-bahan penting untuk diajarkan. Selain banyak yang tak penting (menurut anak-anak: “hanya menuh-menuhin isi pala gue”). Cara belajarnya pun sungguh membosankan: menghafal. Agama dihafal, fisika dihafal, bahasa Indonesia dihafal, sejarah dihafal, bahkan rumus matematika dan kimia pun dihafal.

Seminggu yang lalu giliran saya kena batunya' saya mendapat pekerjaan menghafal. Disamping saya, ada 2 orang selebriti suami-istri yang masih belia dan biasa berperan dalam layar lebar, sehingga biasalah bagi mereka menghafal skrip naskah. Kepada kami bertiga diserahkan sebuah skrip tebal yang berisi naskah-naskah dialog yang harus kami hafalkan. Tiba-tiba saya jadi ingat kejadian 20 tahun lalu, saat melanjutkan studi. Kepala saya terasa panas, kendati udara  di kaki Gunung Gede-Pangrango begitu sejuk. Setelah saya membasuh muka, setiap kali selesai membaca beberapa lembar kertas dialog, kepala saya kembali panas seperti “tengah mengeluarkan asap”.

Kepada para produser,  saya lalu menawarkan apakah boleh kami menggunakan cara kami sendiri. Tidak disangka kedua rekan kerja saya segera menyambutnya. Produser sempat bingung karena kalau mau mudah, script harus diikuti  dengan kaku. Mudah diedit, tetapi sulit di ingat talent. Setelah beberapa saat berbincang akhirnya putusan diambil: kita gunakan cara bebas saja.

Anda mau tahu peristiwa kimiawi apa yang terjadi di dalam kepala saya? Seperti yg juga anda alami, dengan cepat kepala kami berubah menjadi enteng. Rekan –rekan kerja saya yang semula miskin senyum tiba-tiba berubah menjadi banyak senyum. Kami mrngubah hafalan menjadi pikiran.  Alhasil, waktu rekaman yang saya duga akan berlangsung tiga jam ternyata bisa selesai dalam satu jam.  Hasilnya ternyata lebih bagus dari naskah.

Kejadian diatas mengingatkan saya pada beban yang dialami oleh anak-anak kita yang setiap hari dipaksa menghafal. Anak-anak yang terbiasa menghafal akan menjadi anak-anak yang berpengetahuan. Namun harus saya akui, anak-anak yang lebih menghafal dapat terganggu daya terobosan dan motoriknya. Perhatikanlah anak-anak yang dijuluki si kutu buku. Mareka cenderung menjadi anak rumahan yang malas. Dan maaf, perhatikanlah juga birokrat-birokrat  senior yang direkrut dari kampus-kampus terkenal dengan IPK tinggi. Saya khawatir, “malas bergerak”nya mereka bukan disebabkan oleh beban pelajaran  di masa lalu, melainkan karena terlalu banyak “menghafal”. Kuliah menghafal, peraturan-peraturan pemerintah pun dihafal, bukan ditindaklanjuti. Menjadi  cenderung “ingin dilayani”, bukan menjabat untuk melayani.

Deep Understanding

Setahun yang lalu saya pernah menulis kolom yang bercerita bagaimana anak-anak saya bersekolah dengan penuh sukacita di sebuah kota yang sejuk di New Zealand. Di Jakarta, anak saya benar-benar menghadapi kesulitan. Sulit bagi saya menemukan guru yang memahami bahwa anak saya bukanlah orang dewasa dalam ukuran mini. Ia diperlakukan sama dengan yang lain dan mungkin dianggap bodoh (dan sepertinya sejarah berulang seperti yang saya alami dulu). Padahal Albert Einstein pernah mengatakan bahwa semua orang yang dilahirkan di muka bumi ini pada dasarnya adalah genius. Masalahnya mereka selalu diukur kecerdasannya bukan atas apa yang mereka miliki, melainkan atas hal-hal yang tidak mereka miliki.

Lantas apa yang membuat anak-anak itu belajar dengan senang dan mencapai prestasinya ? Sebagai masukan kepada para perumus kebijakan, mungkin usulan-usulan berikut ini dapat dipertimbangkan. Pertama, betul bahwa jumlah mata pelajaran dan konten perlu dirampungkan dan hanya hal-hal yang dianggap pentinglah yang perlu diajarkan. Kedua, mata ajaran yang tidak banyak bukan berarti membuang subjek-subjek yang dulu dianggap penting. Berikanlah pilihan kepada siswa agar sedari kecil mereka sudah terbiasa membuat pilihan. Jadi, sejak anak-anak diajak mengambil subjek berdasarkan “apa yang disukai” dan “apa yang dianggap penting” bagi hidupnya.

Ketiga, hentikanlah tradisi menghafal dan bangunlah sistem pendidikan berbasiskan kemampuan belajar dan berfikir. Bedanya antara siswa yang dibesarkan dalam sistem pendidikan  berbasiskan tradisi menghafal dengan tradisi berfikir:  yang satu lebih berpengetahuan namun tidak kritis sedangkan yang satu sebaliknya. Pengalaman saya sebagai pendidik menunjukkan siswa siswa yang berpengetahuan (dengan menghafal) ternyata kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang lebih terbuka dan kurang aktif bergerak mendaatangi.

Keempat, alihkan kelebaran menjadi kedalaman. anak anak yang belajar harus dialihkan ke dalam  berpikir mendalam, bukan sekedar tau banyak namun hanya berada di permukaan. Jadi, perubahan memang diperlukan, tetapi idenya harus dikendalikan. Kalau tidak kita terpaksa harus berubah lagi berkali kali tanpa kejelasan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Ekonomi Bambu - Jawapos 29 Oktober 2012


Hari Minggu kemarin Rumah Perubahan hadir di Bantaran Banjir Kanal Timur (BKT) – Jakarta. Hari itu, Komunitas Sangga Buana yang dipimpin Haji Idin bersama Rumah Perubahan melakukan penanaman 2000 batang pohon bambu betung. “Tampang jawara, tetapi hati adem”, begitulah Haji idin, Betawi asli yang mengawal tiga kali di sepanjang Jakarta. Itulah yang membedakan H. Idin dengan jawara-jawara Betawi lain yang belakangan banyak membentuk ormas.

Menurut sejumlah pihak, bambu-bambu besar ini terakhir kali dibudidayakan oleh koloni Belanda. Setelah itu, malah digusur. Tanaman yang memiliki suara angin yang indah, dianggap sebagai sarang kuntilanak. “Padahal sekarang kuntilanaknya udah pindah ke Mall”, ujar H. Idin.

Rumah Perubahan menaruh minat terhadap bambu karena potensi ekonomi kerakyatannya begitu besar. Di Sangga Buana, daun-daun bambu dijadikan bahan pakan kuda pacu dan kelinci. Sementara akar-akar bambu di tepi-tepi sungai menjadi menjadi sarang ikan bertelur. Hampir dapat dipastikan pula, dimana ada bongkahan tanaman bambu, selalu ada mata air yang jernih. Bahkan dulu, orang-orang tua sering memberikan airnya untuk pengobatan. Ada kepercayaan, mata air disekitar tanaman bambu mampu menetralisir segala penyakit, bahkan gangguan roh-roh jahat.Kuliner, Alat Musik dan Bangunan

Hampir tak ada tanaman lain yang mampu menggantikan potensi ekonomi bambu. Di Sumatera, rebung dimasak gulai, di China dijadikan campuran sayuran, di jepang bahkan dijadikan obat, dan di Thailand menjadi makanan yang dimasak dengan bumbu kari kuning yang lezat.

Sewaktu kuliah di Amerika Serikat, saya sering terkagum-kagum menyaksikan rebung basah kiriman dari Thailand yang ukurannya lebih besar dari ukuran paha manusia. Saya membayangkan pastilah itu rebung bambu betung (dendroclamus asper). Sayang sekali, sebagai pemilik bambu terbesar ke 3 dunia (setelah China dan India) Indonesia justru masih impor rebung. Padahal rebung-rebung yang masuk ke Belanda sebagian datang dari Bengkulu. China saja, setiap tahun mampu mengekspor lebih dari 150.000 ton rebung basah, disusul Thailand (sekitar 70.000 ton) dan Taiwan (± 20.000 ton).Dalam literatur kedokteran China, daun bambu dipercayai memberi khasiat yang tinggi untuk menetralisir racun dan asam urat. Di Sangga Buana, ia dijadikan bahan untuk memperbaiki kualitas buah-buahan yang ditanam di pinggir kali, khususnya belimbing.

Sementara, batangnya telah banyak digunakan sebagai bahan-bahan bangunan dan alat-alat musik. Di daerah Ciomas – Bogor, saya bertemu Komjen Purnawirawan Polisi Didi Widayadi yang aktif menanam bambu. Bahkan mantan kepala BPKP yang juga seniman ini berhasil meramu batang-batang dan anyaman bambu (Bambubos.com) yang mampu tahan lama. Setelah diolah, batang-batang bambu dapat dipakai 30-40 tahun tanpa mengalami gangguan.

Di daerah Cibinong juga ada budayawan Sunda, Jatnika yang dikenal sebagai arsitek Rumah Bambu. Jatnika bukan hanya piawai mendesain rumah, melainkan juga menulis sejarah bambu. Di Bandung, Saung Angklung Ujo mampu mempekerjakan ribuan orang membuat angklung, bahkan ratusan remaja dididik menjadi musisi angklung. Setiap hari, diperkirakan sekitar 500 orang turis datang menyaksikan performasi Saung Angklung Ujo. Namun mereka juga gelisah bahan baku bambu mulai sulit didapat.

Ini belum termasuk potensi ekonomi kerakyatan lainnya seperti kursi-kursi bambu, kerajinan asbak, kap lampu, gedek, dan lain sebagainya. Bahkan sebuah desa di Jember, yang orang-orang tuanya sibuk bekerja sebagai TKI, bambu telah mampu berperan sebagai “teman” bagi anak-anak dan remaja. Cici Farha, anggota Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia membentuk kelompok bermain Tanoker (yang dalam bahasa Madura berarti kepompong) dengan egrang bambu sebagai mediumnya. Kini festival egrang yang diperkenalkan Cici telah menjadi icon ke 3 kota Jember (Ledokombo) setelah Jember Fashion Festival dan kuliner khasnya.

Benturan Ekonomi

Partisipasi ekonomi masyarakat yang berwatak sosial di Barat disebut sebagai ekonomi sektor ke 3. Dari pengalaman saya sebagai penggerak Rumah Perubahan, musuh terbesar ekonomi kerakyatan sebenarnya bukanlah kapitalisme (ekonomi sektor kedua), melainkan korupsi dan conflict of interest di sektor pertama (pemerintah dengan APBN dan APBD).Di tepi Bantaran Banjir Kanal Timur, anak-anak pohon bambu setinggi sekitar 1 meter yang ditanam rakyat jelata dengan mudah digusur paksa aparat-aparat pemda, kalau di antara mereka melihat tepi sungai lebih sebagai “wilayah kekuasaan” yang berpotensi mendapatkan rente dari proyek-proyek.

Tentu saja pemerintah berhak membangun dan mengatur, tetapi hanya pemerintah lalim lah yang telinganya tersumbat dan matanya tertutup. Di era ekonomi kerakyatan, saya dapat memastikan tanpa partisipasi rakyat dalam perubahan maka pembangunan ekonomi akan sia-sia. Saya mengerti BKT ada penguasanya, dan saya mengerti pula di sana ada proyek-proyek yang bisa membuat aparat tersumbat telinganya. Tulisan ini ditujukan untuk membukakan mata sahabat-sahabat yang mendapat amanah mengendalikan sektor pertama agar bisa “melihat” dan “mendengar” desiran angin dari gemersik daun-daun bambu partisipasi ekonomi kerakyatan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sabtu, 20 Oktober 2012

Marketing Entrepreneur - Jawapos 15 Oktober 2012

Kemarin di Surabaya saya diminta Menaker, Muhaimin Iskandar dan Gus Ipul (Wakil Gubernur Jawa Timur) untuk bicara tentang kewirausahaan di Atrium Plasa, Surabaya. Di tengah-tengah pameran produk wirausaha Jawa Timur, saya kembali menyampaikan pentingnya bagi kita para mentor agar jangan memaksakan wirausaha produk.

            Suka atau tidak suka, kewirausahaan yang sedang kita bangun adalah kewirausahaan tanah subur. Saking suburnya, produk apapun bisa kita dapatkan disini. Dan saking kreatifnya bangsa ini bisa membuat karya-karya seni dari apa saja: manik-manik, batu akik, permata, emas, perak, kulit, buku, kayu, kain, besi… pokoknya Anda sebut sajalah, pasti ada.

            Di negeri ini pula sampah bisa dijadikan lahan usaha. Bisnis preman juga bisa. Mulai dari yang halal sampai yang tidak. Dari tanpa resiko sampai yang beresiko tinggi. Kita semuanya memulai dari produk, yaitu “Apa yang bisa kita buat” atau “Apa yang akan menjadi produk usaha saya.” Wirausaha produk mengurus banyak hal, banyak mata rantainya.

            Dari bahan baku, lalu didisain, dicarikan kemasannya, dicetak, di-order, dibuat/ diolah, dikumpulkan dan seterusnya. Prosesnya panjang, berliku-liku dan mungkin melibatkan banyak pihak sebelum sampai ke tangan pembeli.

Masalah Pokok

            Anda tentu tahu apa masalah yang dihadapi wirausaha-wirausaha produk ini? Benar! Mereka kemudian akan mengeluh, “Pemasarannya bagaimana?” Kok pembeli yang ditunggu-tunggu tidak datang-datang. Atau, “Kok ternyata sulit menembus pasar?”

            Jika diteruskan, maka daftar keluhannya akan semakin panjang. Mulai dari rugi, tertipu, merasa diperlakukan tidak adil sampai seretnya penjualan. Itulah kewirausahaan produk. Wirausahanya fokus di mata rantai sisi sebelah kiri, fokus pada produk. Energinya habis di seputar produk. Begitu akan memasuki pasar, energi yang dibutuhkan akan sama besarnya, namun sudah terkuras di produk.

            Dunia yang sedang berubah memang tak sesederhana saat wirausaha muda kita masih kanak-kanak. Dunia masa lalu yang diwarnai oleh sistem usaha terpadu dari bahan baku, proses produksi hingga pemasaran sekarang sudah berakhir, dan masing-masing memiliki jagonya sendiri-sendiri. Di sektor riset ada pelakunya, product development ada lagi, juga proses produksi dan pemasaran. Masing-masing sudah  melepaskan diri dari satu mata rantai yang panjang.

            Jadi Anda harus memilih: Ingin jadi wirausaha apa? Wirausaha produk atau wirausaha pemasaran. Wirausaha berbasiskan riset atau penelitian. Demikian seterusnya. Dan karena Indonesia kaya raya, maka terbelenggulah kita pada produk. Mulai dari  kerajinan sampai kuliner. Dan semuanya ingin dikerjakan sendiri, meski pemasarannya sedikit.

Marketing Entrepreneur
            Singapore adalah contoh negara yang tidak bisa mengembangkan wirausaha produk karena alamnya tidak mendukung. Mereka masuk ke kewirausahaan pemasaran, trading, keuangan, dan jasa-jasa lainnya. Produknya bisa darimana saja, ya dari Indonesia atau dari China. Dari Myanmar atau India. Semua ditampung, diperdagangkan.

            Titik awal berpikirnya bukanlah produk, melainkan pasar. Pasar maunya apa, lalu dibangunlah jaringan pemasaran dengan segala perlengkapannya. Mulai dari keuangan dan perbankan, branding dan packaging, sampai logistic. Setelah ini jadi, yang lain tinggal ikut

            Seperti jaringan retail Carrefour atau Giant, mereka sebenarnya tak perlu modal besar. Produk-produk yang mengisi setiap rak jaringan retail itu mereka adalah titipan dari entrepreneur produk yang dibayar kredit di atas 30 hari. Pemilik- pemilik produk itupun dikenakan berbagai biaya untuk sewa tempat, rak, promosi dan seterusnya.

Seorang tukang kue bercerita bagaimana ia berevolusi dari product entrepreneur menjadi marketing entrepreneur. Semula mereka membuat kue di rumah lalu dititipkan ke toko-toko. Lama-lama mereka punya pesanan rutin dan tidak bisa dikerjakan sendiri, lalu pesan pada orang lain. Ternyata pesan bisa lebih murah. Mereka mulai menyebarkan pesanan dan berhenti berproduksi. Lambat laun mereka bisa membeli toko di beberapa pasar. Tokonya menjadi tempat titipan dari berbagai pihak. Sekarang mereka punya dua toko di hampir setiap pasar tradisional di Jabodetabek, menguasai pemasaran.

Dan tahukah Anda, menjadi wirausahawan produk ternyata lebih besar resikonya daripada menjadi wirausahawan pemasaran. Dan saya kira inilah masalah terbesar kewirausahaan Indonesia. Ayo  kawan muda, beralihlah menjadi marketing entrepreneur!

Rhenald Kasali
Founder RUmah Perubahan

Race to Nowhere - Sindo 11 Oktober 2012

Kita semua pernah sekolah, demikian pula anak-anak kita. Diantara anak-anak itu tentu saja ada yang berotak encer dan tak banyak menemui masalah. Namun harus diakui semakin hari sekolah semakin menakutkan bila ujian tiba, bukan hanya murid yang stress, guru dan orang tua pun gelisah. Bahkan setan hitam pun ikut gelisah. Jumlah siswa yang kerasukan di sekolah-sekolah semakin hari semakin besar sekali di sini, dan anehnya selalu terjadi menjelang ujian.

Mungkinkah semua persoalan itu terletak pada sistem pendidikan yang disebut Vicki Abeles sebagai sebuah “Race to Nowhere”. Ya seperti perlombaan besar yang muaranya “ ya, ngga jadi apa-apa juga”.
Hidup kita jadi terbalik-balik. Yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa sedangkan yang sekolahnya main-main malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Sulit kita melawan buku-buku populis yang mengajarkan cara-cara jalan pintas, cara gobloknya Bob Sadino berwirausaha atau bahkan keluguan seorang motivator yang menyebutnya dengan judul besar di cover depan buku karangannya:  The Power  of Malas. Sungguh, ini sangat sulit!  Mengapa sulit?  Tentu bukan karena sekolah tidak penting, melainkan ada yang salah.

Perbaiki Sekolah

Vicki Abeles gelisah. Sebagai ibu rumah tangga ia tak habis pikir mengapa putrinya yang berusia 12 tahun sakit secara fisik hanya karena sekolah. Selama 3 tahun ia mencari jawabannya dengan mewawancarai anak-anak sekolah, dan mahasiswa. Kumpulan wawancara itulah yang dijadikan Vicki sebagai film dokumenter yang diluncurkan tahun lalu.

Di Amerika Serikat sendiri film dokumenter itu memicu perpecahan. Namun Vicki berhasil mencuri perhatian sehingga para politisi dan pendidik  mau memperbaiki persekolahan.  Di banyak sekolah, metode pengajaran dibongkar.  Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan mulai merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir.  Mata ajar biologi, fisika dan kimia ang dianggap momok diubah menjadi mata ajar lab yang lebih fun.  Anak didik dibuat belajar seperti seorang scientist berpikir, bukan menghafal.

Namun di sekolah lain, guru-guru justru merasa sebaliknya:  murid masih terlalu sedikit menghafal.  Di sekolah-sekolah itu kegelisahan terjadi, karena guru menolak cara lain selain hafalan.

Di Indonesia, selain kerasukan setan menjelang ujian, keributan juga terjadi saat sorang siswa SMA 6 Bulungan Jakarta tewas terbunuh. Tawuran antar sekolah, bullying, aksi corat-coret sampai menyontek menjadi masalah sehari-hari.  Anak-anak yang gelisah tak belajar dengan baik.  Anak-anak kita paksa mempersiapkan masa depan lebih dari kemampuan mereka. Orang tua yang berambisi mengirim anak-anak ikut les disana-sini, bahkan mempengaruhi guru agar anaknya tidak mengalami kesulitan di sekolah.  Di Amerika Serikat orang tua murid yang telah "bertobat" dalam membimbing anak-anak dengan cara pabrikasi berbicara lantang. “Saya khawatir kelak anak-anak akan memperadilankan kita, orang tua, karena telah mengambil masa kanak-kanak mereka”.

Maka ketika pemerintah di sini berencana mengurangi beban pelajaran siswa sekolah, ada rasa syukur di hati saya.  Namun kalau pengurangan semata-mata dilakukan hanya sekedar untuk mengurangi jumlah subyeknya saja, bisa jadi kita akan bermuara ke “nowhere” juga.  Apalagi kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan mempertahankan subyek-subyek yang hanya akan disampaikan secara kognitif belaka.

Pengalaman saya sebagai pendidik menemukan, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik.

Latih Berpikir
Maka itu, mata ajar yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, guru-guru harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi berpikir.

Melatih manusia berpikir adalah masalah mendasar yang perlu dipecahkan dalam sistem pendidikan nasional. Berpikir yang baik akan menghasilkan karya-karya besar, meski beresiko tersesat. Tetapi bukankah hanya orang tersesat saja yang berpikir?
Hanya orang-orang berpikirlah yang tidak mudah tertipu yang tidak menjadi manusia sempit yang picik, yang tidak memikirkan diri atau kelompoknya sendiri, dan tentu saja orang yang berpikir akan menjadi manusia kreatif.

Jadi, bukan hanya mata ajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata ajaran pun  perlu disempurnakan. Jadi saya kira pendidikan memang perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orang tuanya.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sabtu, 13 Oktober 2012

Viral Sensation - Jawapos 8 Oktober 2012

Pada era 1960-an, Bung Karno, Kennedy, Gandhi dan Castro menyihir dunia lewat sensasi suara : Radio. Di awal abad 21 perubahan dilindungi juga oleh kekuatan rakyat namun sensasinya sudah jauh berbeda, yaitu Viral Sensation. Ya seperti gerakan hari jumat malam lalu, saat tokoh-tokoh masyarakat berbondong-bondong ke gedung KPK ingin “mengusir” polisi yang akan menjemput paksa penyidiknya. Meski rombongan polisi pergi karena ditelefon atasannya, namun atasan dari atasan-atasannya yang menelefon terimbas Viral Sensation yang dialami tokoh masyarakat.

Viral Sensation terjadi hampir setiap minggu dengan topik yang amat beragam, mulai dari sensasi Negeri Lima Menara hingga nikah siri Limbad. Dari koin untuk Prita Mulyasari sampai Caiya-caiya Briptu Norman Kamaru. Dari Jokowi sampai Kompol Novel Baswedan. Viral Sensation menghancurkan kekuatan-kekuatan lama dan menumbuhkan spirit-spirit baru.
Namun bisakah “Viral Sensation” yang mewakili suara rakyat merubah para politisi yang koruptif?

Ura. Ru
Sekelompok relawan di Rusia mengatakan “harus bisa”. Mereka lalu membentuk sebuah Website yang domainnya diberi nama Ura.Ru. Disitu setiap hari rakyat mengeluh, menceritakan segala kejadian yang diterima dari pelayanan publik. Mereka memberi tag line web nya sebagai “A City Site for A Better City”.

Harap maklum Ura.Ru dibangun oleh relawan-relawan dari Yekaterinburg, kota terbesar ke 4 di Rusia yang sarat perilaku mafia dan politisi-politisi korup yang malas mirip-mirip dengan situasi yang kita hadapi.

Tetapi keluhan saja tak menciptakan perubahan. Anak-anak muda yang lebih cerdas mengusung tema Graphity for Change. Ya betul, mereka menggunakan kemampuan artistik membuat grafiti di tengah kota untuk membongkar watak para politisi. Seorang pakar komunikasi menasehati mereka. “ Kalau tidak dibuat personal, Viral Sensation tidak akan terbentuk. Dan tanpa sensasi itu perubahan akan sia-sia.

Mereka pun sepakat. Tiga buah potholes (lubang besar di jalan raya) yang sudah sering mereka keluhkan dijadikan sasaran. Lubang-lubang besar itu mereka jadikan gambar mulut dari kepala para politisi yang terlalu sering melukai hati rakyat. Ketiganya juga dianggap orang yang sering ingakar janji. Wajah tiga orang itu mereka jadikan grafiti. Bermodalkan tiga kaleng cat semprot, wajah ketiganya digambar pada malam hari tepat di tiga lubang itu. Dan esoknya foto-fotonya sudah di upload di situs Ura.Ru. Di bawah mulut mereka tertera ucapan-ucapan yang sering mereka janjikan.

Bak virus yang cepat mewabah, Viral Sensation menyebar begitu cepat hingga sampai ke telinga ke tiga politisi yang tengah menjadi sasaran. Namun alih-alih melayani kepentingan publik mereka justru menugaskan PNS untuk membersihkan wajah-wajahnya dan janji-janji kosongnya.
Namun para relawan sudah siap dengan beberapa kamera yang dipasang tersembunyi. Langkah para petugas yang membersihkan grafiti mereka rekam dalam kamera tersembunyi dan sekali lagi ditayangkan dalam Ura.Ru. Para relawan pun menulis di lokasi yang sama yang telah dibersihkan petugas: Painting is not fixing it (mengecat ulang bukanlah memperbaikinya). Tulisan berwarna putih di atas dasar hitam, terbaca sangat jelas dari jauh. Popularitas para politisi jeblok total.
Dan anda tahu apa akibat selanjutnya?

Dalam tempo 24 jam, tiga kaleng cat semprot yang digunakan senima-seniman grafiti berhasil mengubah pikiran politisi-politisi malas. Malam harinya lubang-lubang besar itu segera dirapihkan. Hanya dengan cara itulah rakyat Yaketerinburg dapat menikmati kenyamanan jalan yang mereka inginkan.

Perbaiki Nasib Bangsa

Dalam buku Why Nations Failed, Daron Acemoglu  dan James Robinson menjelaskan, bangsa-bangsa yang gagal membangun kesejahteraannya bukan disebabkan oleh alamnya atau budayanya, melainkan sistem politik yang membiarkan para politisi busuk tetap berkuasa. Rakyat yang tak punya kuasa mengganti mereka akan menerima nasib buruk kemiskinan dan kurang gizi.

Ura.Ru dan para relawan di Yekaterinburg mengajarkan, diluar sistem politik ada cara bagi rakyat untuk menciptakan perubahan yang bersifat damai, yaitu Viral Sensation. Serangan-serangan sensasi virus ini harus ditujukan secara personal, tepat di sasaran, lengkap dengan bukti-bukti ucapannya. Sebab pejabat publik hanya peduli pada citra publik dirinya. Ditengah-tengah budaya malu yang sudah hilang, sensasi media sosial masih bisa dijadikan harapan, asal para seniman-seniman grafiti, mahasiswa dan aktivis-aktivis perubahan mau bersatu dan tidak berbuat onar dengan merusak sarana publik, atau menyusahkan pengguna jalan. Ayo ikut menciptakan perubahan!

Rhenald Kasali
Founder RUmah Perubahan

OUTSOURCING - Sindo 3 Oktober 2012

Jalan-jalan tertentu di Jakarta pada Rabu (3/10) kemarin  tak sepadat hari-hari biasanya. Banyak karyawan memilih meliburkan dirinya karena demo buruh secara massal. Di pusat-pusat industri di pinggiran Jakarta dan kota-kota industri lainnya, ribuan buruh tumpah ke jalan untuk menuntut kesejahteraan. Salah satu yang mereka tuntut adalah menghapuskan sistem outsourcing.

                Sudah sekian lama buruh di Indonesia menuntut penghapusan outsourcing yang dinilai lebih banyak merugikan, mengganggu rasa keadilan dan kesejahteraan dan dianggap menguntungkan sebagian pengusaha. Betulkah outsourcing ini harus dihapuskan agar buruh bisa lebih sejahtera atau sebenarnya ada masalah lain yang lebih penting dan  harus diselesaikan terkait outsourcing ini?

FENOMENA GLOBAL

             Perlu dipahami para buruh bahwa outsourcing merupakan sebuah gejala global yang terjadi di seluruh dunia. Outsourcing muncul karena dunia usaha semakin menyadari siklus bisnisnya bergerak semakin pendek. Dari 30 tahun sekali menjadi 20 tahun sekali, lalu 10 tahun sekali. Krisis semakin cepat terjadi, semakin berat. Perusahaan yang memiliki sendirian ribuan karyawan terlalu riskan bila terjadi gangguan dari luar, termasuk siklus krisis.  Di lain pihak manajemen modern mengajarkan, perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang fokus pada kompetensi intinya.   Perusahaan tidak mau susah payah mengurusi terlalu banyak hal yang tidak dikuasainya.  Seperti bank yang keahliannya mengurus aspek keuangan, dulu mengurus banyak hal termasuk secutity dan catering.  Sekarang dunia usaha ingin fokus ke core competency atau kompetensi inti, dan memilih menyerahkan hal-hal yang bukan keahlian intinya ke perusahaan lain.

                Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri sebenarnya telah menetapkan 5 jenis pekerjaan yang diperbolehkan outsourcing yakni cleaning service, keamanan, transportasi, katering dan pemborongan pertambangan. Selain 5 pekerjaan tersebut, pemerintah melarang penggunaan tenaga kerja outsourcing. Padahal gejala outsourcing di negeri ini sudah merambah ke segala bidang mulai dari R&D, sekretariat, desain, travel, pengawalan, riset pasar, distribusi dan sebagainya. Outsourcing telah terjadi begitu luas disini dan di seluruh dunia.

Sejumlah perusahaan kemudian memilih menggunakan jasa outsourcing untuk jasa-jasa tersebut dengan harapan bisa lebih fokus pada kompetensinya, efisien sekaligus meminimalkan risiko ketika terjadi krisis.  Namun buruh bertanya apakah semua ini semata-mata ditujukan untuk kpentingan pengusaha?

                Praktik-praktik outsourcing banyak ragamnya dan banyak diterapkan di berbagai negara maju. Misalnya nearshoring yang berarti mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ke perusahaan-perusahaan negara tetangga karena dianggap memiliki kedekatan baik dari segi budaya, zona waktu maupun peraturan. Praktik nearshoring ini umumnya diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Eropa Barat dengan menyerahkan outsourcing kepada negara-negara Eropa Timur.  Atau praktik offshore sourcing yakni mencari outsourcing ke negara-negara lain yang upahnya lebih rendah namun kualitasnya cukup baik. Ada pula Crowdsourcing yang menyerahkan pekerjaan kepada sekelompok orang.

                Yang ingin saya tekankan disini adalah bahwa outsourcing merupakan praktik yang lumrah diterapkan berbagai perusahaan di dunia untuk merespons krisis. Hanya saja, praktik outsourcing ini harus dikelola dengan baik agar tidak memunculkan masalah terutama berkaitan dengan kesejahteraan buruh.  Buruh yang tidak sejahtera berarti bangsa juga tidak sejahtera.

KOMPETENSI OUTSOURCING

Yang harus dicermati sekarang adalah mengapa outsourcing di Indonesia kerapkali mendapatkan penolakan. Saya kira salah satu penyebabnya adalah karena tenaga kerja outsourcing yang disewa perusahaan banyak menimbulkan persepsi bahwa mereka adalah warga ‘kelas dua’. Perusahaan seringkali menerapkan dualisme: karyawan tetap dan karyawan outsourcing. Para karyawan outsourcing kerap dipandang sebelah mata karena tingkat kesejahteraannya jauh di bawah kesejahteraan pegawai tetap di perusahaan tersebut pada kualifikai prkerjaan yang sama.

Tentu saja halin menmbulkan rasa  ketidakadilan. Fasilitas dan imbalan yang diterima pegawai outsourcing tidak setara dengan kesejahteraan pegawai tetap. Mirip perbedaan yang dialami pekerja-pekerja lokal di perusahaan-perusahaan asing yang kesejahteraannya dibedakan. Masalah tunjangan kesehatan pun tidak diperhatikan oleh perusahaan pengguna jasa tersebut. Mereka menyerahkan masalah tunjangan kesehatan, kesejahteraan pekerja kepada perusahaan outsourcing. Dan demi mendapatkan eisiensi, perusahaan outsourcing banyak yang menghapuskan tunjangan kesejahteraan buruhnya, bahkan menekan upahnya. Sebuah ketidakadilan yang kemudian sangat merugikan buruh. Selama dualisme itu ada, rasa ketidakadilan sulit dihilangkan.

Selain itu, banyak perusahaan yang melakukan outsourcing semata-mata untuk mencari untung karena bisa menyewa tenaga kerja yang lebih murah, bukan karena ingin fokus kepada kompetensi inti. Sementara perusahaan outsourcing juga mencari untung dengan mencari tenaga-tenaga kerja murah yang kompetensinya tidak sesuai. Jika sudah begini, maka buruh outsourcing lah yang paling menderita. Padahal niat semula dengan outsourcing adalah perusahaan bisa fokus pada kompetensi intinya sehingga bisa lebih fokus, kinerja lebih baik, bisa berekspansi yang pada akhirnya bisa membuat semua pihak semakin sejahtera.

Di tengah globalisasi saat ini, praktik outsourcing tidak mungkin dihapuskan. Para buruh pun harus melihat outsourcing sebagai sebuah realita yang harus dihadapi. Namun yang lebih penting adalah sistem outsourcing harus dibenahi, ditata ulang. Outsourcing yang baik adalah yang efisien, menguntungkan kedua belah pihak dan menyejahterakan buruh. Tidak boleh ada perusahaan yang membayar tenaga kerja outsourcing di bawah standar. Perusahaan outsourcing sebaiknya memiliki kompetensi dan akreditasi dan dibuat standarnya secara nasional sehingga pada akhirnya semua pihak tidak merasa dirugikan dan negeri ini kembali kompetitif.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Rhoma Irama Effect - Jawapos 1 Oktober 2012


Sudah banyak yang membicarakan Jokowi Effect, apalagi sejak Jokowi berhasil mengalahkan koalisi hampir semua partai politik.  Melawan incumbent yang relatif kuat di Jakarta dengan dukungan banyak kepentingan. Tetapi belum banyak yang menyoroti Rhoma Irama Effect, si raja dangdut yang memiliki pesona luar biasa.

                Sebuah message saya terima kemarin pagi, di broadcast seorang teman pada beberapa jaringan. Lewat twitter dan BBM, yang menghubungkan kuatnya dukungan publik kepada orang-orang yang terkena semprotan di raja dangdut, dan itu sulit dilupakan. Ada banyak nama yang disebut, tetapi setidaknya kita ingat Inul Daratista dan pasangan Jokowi-Ahok. Ada juga yang menyebut nama Angel Lelga yang kini juga jadi terkenal dan sering tampil bersama tas-tas bermerek mahalnya.

Kekuatan dan Ancaman

                Beberapa tahun lalu saya melakukan sebuah studi di Universitas of Illinois USA. Pertanyaan yang kami ajukan sederhana saja, yaitu mengapa kedatangan perusahaan-perusahaan besar selalu disambut masalah oleh penduduk di daerah-daerah baru. Anda tahu betapa besarnya jaringan dan reputasi yang dimiliki WallMart. Sudah jaringannya banyak, setiap unit tokonya tidak ada yang luasnya kurang dari 1000 meter persegi. Berjalan keliling toko saja bisa pegal kaki anda. Semuanya serba besar dan lengkap, mulai dari gedung sampai tempat parkir, dari snak ringan sampai ikan hias, sepatu, keset, peralatan berkebun, kacamata dan elektronik juga ada.

                Pemerintah Amerika Serikat yang pro persaingan usaha percaya, kehadiran WallMart bagus bagi konsumen, yaitu menyediakan beragam pilihan dengan harga yang jauh lebih murah. Tetapi lain pikiran pemerintah lain pula persepsi masyarakat. Besar itu adalah ancaman, menakutkan, dan menyesatkan.  Kehadiran WallMart di satu sisi dirindukan, tetapi di lain sisi dikhawatirkan.  Bahkan dihadang.
                Seorang Social-Psichologist terkenal memberi insight begini “Bayangkan di sebuah desa yang senyap tiba-tiba puluhan alat-alat berat berdatangan. Betapa takutnya masyarakat.” Sebaliknya, seorang teman yang tengah membangun pembangkit listrik tenaga air (mikro hidro) untuk kegiatan kami di Pulau Baru tak berani menyediakan listrik puluhan watt. “Bagi orang desa yang diafrahma matanya sudah terbiasa melihat gelap, mendapat listrik 5 watt saja sudah terang benderang.” Ujarnya. Kalau dibuat terang benderang mereka pasti terkejut.

        Demikianlah kebesaran nama, reputasi, postur tubuh, suara, cahaya dan kekuasaan bisa menjadi ancaman kalau tidak diimbangi dengan kerendahhatian, kebersahajaan, senyum, sapa dan salam. Suara orang kuat yang meninggi saja bisa menimbulkan kesedihan bagi yang mendengarnya. Apalagi bila mengancam dan membelalakkan mata, simpati berubah menjadi antipati.

                Saya ingat betul suasana tahun 1980-an, di depan kampus UI Salemba, saat kami  berdemo melawan Orde Baru. Saat  itu kebencian terbesar ditunjukkan kepada militer,  yang sekedar menghadapi mahasiswa saja harus turun membawa panser, tameng dan bersepatu Lars. Ini sungguh menciptakan kebencian.
                Di era 1980-an gejala Rhoma Irama Effect sudah muncul. Saat dikontrak oleh Partai Persatuan Pembangunan (P3) untuk menghibur para pendukung kampanye, Rhoma  sering disebut masuk P3. Hari itu di kampus Salemba kami mendengar P3 akan berkampanye di Lapangan Banteng. Semua toko di sepanjang jalan Salemba-Matraman-Senen sudah tutup di siang hari. Jalanan lengang. Dan ribuan rakyat bergerak menuju Lapangan banteng. Sudah hampir pasti bukan P3 yang mereka dukung, melainkan Rhoma Irama. Brand Image Rhoma jauh lebih kuat daripada P3 saat itu.

                Tetapi menjelang sore hari, entah siapa yang membuatnya, sepanjang jalan Senen-Kramat Raya dan Salemba porak poranda. Lampu-lampu traffict light pecah, pot-pot bunga besar terbalik kacau balau. Banyak toko yang rusak. Di beberapa titik saya melihat beberapa mobil masih menyala terbakar api. Seperti biasa polisi dan tentara datang belakangan. Ribuan masa yang beringas muncul dari perkampungan.

Stand Up Commedy
                Rhoma Irama effect mungkin masih terus berlanjut meski si raja sudah mulai menua dan puluhan artis-artis dangdut yang lebih terkenal terus bermunculan. Tetapi karya-karya Rhoma sulit dilupakan.  Namun di sini yang kita bicarakan bukanlah Rhoma itu sendiri, melainkan efek dari sesuatu yang besar, kuat, dan menakjubkan. Sesuatu yang bisa berubah dari simpati menjadi antipati, dari yang terhina menjadi terangkat seperti janji yang disampaikan dalam kitab suci. Atau sebaliknya, “mereka yang meninggikan lehernya akan direndahkan”.

                Sementara itu kecerdasan justru dimiliki oleh komedian-komedian baru. Mereka itu tidak mau mengolok-olok orang lain seperti yang biasa dilakukan para komedian lama. Mereka hanya mengolok-olok diri sendiri. Yang gendut mengolok-olok kegendutannya, yang agak feminim mengolok-olok kaumnya sendiri, yang berlogat Batak atau Madura mengolok-olok etnisnya sendiri, dan yang giginya maju ke depan mengolok-olok kekurangannya. Mereka merendahkan diri untuk ditinggikan.
                Jadi buat apa belajar membuat strong brand,  membangun great company, menciptakan artis hebat, menjadi raja dangdut atau mentraining high performing people kalau hanya menjadi ancaman bagi orang lain dan simpati berubah menjadi antipati? Nama-nama  besar yang menggunakan tone tinggi  bisa menimbulkan efek negatif bagi diri sendiri.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan