Laman

Sabtu, 13 Oktober 2012

OUTSOURCING - Sindo 3 Oktober 2012

Jalan-jalan tertentu di Jakarta pada Rabu (3/10) kemarin  tak sepadat hari-hari biasanya. Banyak karyawan memilih meliburkan dirinya karena demo buruh secara massal. Di pusat-pusat industri di pinggiran Jakarta dan kota-kota industri lainnya, ribuan buruh tumpah ke jalan untuk menuntut kesejahteraan. Salah satu yang mereka tuntut adalah menghapuskan sistem outsourcing.

                Sudah sekian lama buruh di Indonesia menuntut penghapusan outsourcing yang dinilai lebih banyak merugikan, mengganggu rasa keadilan dan kesejahteraan dan dianggap menguntungkan sebagian pengusaha. Betulkah outsourcing ini harus dihapuskan agar buruh bisa lebih sejahtera atau sebenarnya ada masalah lain yang lebih penting dan  harus diselesaikan terkait outsourcing ini?

FENOMENA GLOBAL

             Perlu dipahami para buruh bahwa outsourcing merupakan sebuah gejala global yang terjadi di seluruh dunia. Outsourcing muncul karena dunia usaha semakin menyadari siklus bisnisnya bergerak semakin pendek. Dari 30 tahun sekali menjadi 20 tahun sekali, lalu 10 tahun sekali. Krisis semakin cepat terjadi, semakin berat. Perusahaan yang memiliki sendirian ribuan karyawan terlalu riskan bila terjadi gangguan dari luar, termasuk siklus krisis.  Di lain pihak manajemen modern mengajarkan, perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang fokus pada kompetensi intinya.   Perusahaan tidak mau susah payah mengurusi terlalu banyak hal yang tidak dikuasainya.  Seperti bank yang keahliannya mengurus aspek keuangan, dulu mengurus banyak hal termasuk secutity dan catering.  Sekarang dunia usaha ingin fokus ke core competency atau kompetensi inti, dan memilih menyerahkan hal-hal yang bukan keahlian intinya ke perusahaan lain.

                Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri sebenarnya telah menetapkan 5 jenis pekerjaan yang diperbolehkan outsourcing yakni cleaning service, keamanan, transportasi, katering dan pemborongan pertambangan. Selain 5 pekerjaan tersebut, pemerintah melarang penggunaan tenaga kerja outsourcing. Padahal gejala outsourcing di negeri ini sudah merambah ke segala bidang mulai dari R&D, sekretariat, desain, travel, pengawalan, riset pasar, distribusi dan sebagainya. Outsourcing telah terjadi begitu luas disini dan di seluruh dunia.

Sejumlah perusahaan kemudian memilih menggunakan jasa outsourcing untuk jasa-jasa tersebut dengan harapan bisa lebih fokus pada kompetensinya, efisien sekaligus meminimalkan risiko ketika terjadi krisis.  Namun buruh bertanya apakah semua ini semata-mata ditujukan untuk kpentingan pengusaha?

                Praktik-praktik outsourcing banyak ragamnya dan banyak diterapkan di berbagai negara maju. Misalnya nearshoring yang berarti mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ke perusahaan-perusahaan negara tetangga karena dianggap memiliki kedekatan baik dari segi budaya, zona waktu maupun peraturan. Praktik nearshoring ini umumnya diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Eropa Barat dengan menyerahkan outsourcing kepada negara-negara Eropa Timur.  Atau praktik offshore sourcing yakni mencari outsourcing ke negara-negara lain yang upahnya lebih rendah namun kualitasnya cukup baik. Ada pula Crowdsourcing yang menyerahkan pekerjaan kepada sekelompok orang.

                Yang ingin saya tekankan disini adalah bahwa outsourcing merupakan praktik yang lumrah diterapkan berbagai perusahaan di dunia untuk merespons krisis. Hanya saja, praktik outsourcing ini harus dikelola dengan baik agar tidak memunculkan masalah terutama berkaitan dengan kesejahteraan buruh.  Buruh yang tidak sejahtera berarti bangsa juga tidak sejahtera.

KOMPETENSI OUTSOURCING

Yang harus dicermati sekarang adalah mengapa outsourcing di Indonesia kerapkali mendapatkan penolakan. Saya kira salah satu penyebabnya adalah karena tenaga kerja outsourcing yang disewa perusahaan banyak menimbulkan persepsi bahwa mereka adalah warga ‘kelas dua’. Perusahaan seringkali menerapkan dualisme: karyawan tetap dan karyawan outsourcing. Para karyawan outsourcing kerap dipandang sebelah mata karena tingkat kesejahteraannya jauh di bawah kesejahteraan pegawai tetap di perusahaan tersebut pada kualifikai prkerjaan yang sama.

Tentu saja halin menmbulkan rasa  ketidakadilan. Fasilitas dan imbalan yang diterima pegawai outsourcing tidak setara dengan kesejahteraan pegawai tetap. Mirip perbedaan yang dialami pekerja-pekerja lokal di perusahaan-perusahaan asing yang kesejahteraannya dibedakan. Masalah tunjangan kesehatan pun tidak diperhatikan oleh perusahaan pengguna jasa tersebut. Mereka menyerahkan masalah tunjangan kesehatan, kesejahteraan pekerja kepada perusahaan outsourcing. Dan demi mendapatkan eisiensi, perusahaan outsourcing banyak yang menghapuskan tunjangan kesejahteraan buruhnya, bahkan menekan upahnya. Sebuah ketidakadilan yang kemudian sangat merugikan buruh. Selama dualisme itu ada, rasa ketidakadilan sulit dihilangkan.

Selain itu, banyak perusahaan yang melakukan outsourcing semata-mata untuk mencari untung karena bisa menyewa tenaga kerja yang lebih murah, bukan karena ingin fokus kepada kompetensi inti. Sementara perusahaan outsourcing juga mencari untung dengan mencari tenaga-tenaga kerja murah yang kompetensinya tidak sesuai. Jika sudah begini, maka buruh outsourcing lah yang paling menderita. Padahal niat semula dengan outsourcing adalah perusahaan bisa fokus pada kompetensi intinya sehingga bisa lebih fokus, kinerja lebih baik, bisa berekspansi yang pada akhirnya bisa membuat semua pihak semakin sejahtera.

Di tengah globalisasi saat ini, praktik outsourcing tidak mungkin dihapuskan. Para buruh pun harus melihat outsourcing sebagai sebuah realita yang harus dihadapi. Namun yang lebih penting adalah sistem outsourcing harus dibenahi, ditata ulang. Outsourcing yang baik adalah yang efisien, menguntungkan kedua belah pihak dan menyejahterakan buruh. Tidak boleh ada perusahaan yang membayar tenaga kerja outsourcing di bawah standar. Perusahaan outsourcing sebaiknya memiliki kompetensi dan akreditasi dan dibuat standarnya secara nasional sehingga pada akhirnya semua pihak tidak merasa dirugikan dan negeri ini kembali kompetitif.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar