Laman

Rabu, 19 Desember 2012

Ekonomi Penyedot Debu - Jawapos 17 Desember 2012


Apa pesan di balik puji-puji yang diberikan lembaga dunia terhadap masa depan perekonomian Indonesia? Ya, betul. Tetaplah berkonsumsi, belanja, dan belanjakan terus uang Anda, wahai konsumer. Jangan tunggu uang Anda mengendap di Bank. Belanjakan terus.


Pesan itu seperti masuk ke alam bawah sadar kita. Sehingga setiap kali habis gajian semua mesin ATM penuh dengan antrean, dan setiap tanggal muda, jalan-jalan keluar kota dari Jakarta ke Puncak, Semarang ke Bandung atau dari Surabaya ke Batu selalu macet selalu macet dengan kelas menengah baru yang rindu menghabiskan uang.  Dari hawa gunung, beralih ke luar negri, dari Singapura kini sudah di Hongkong, LA dan entah mana lagi. Dan Anda mungkin masih ingat saat orang-orang yang mabuk berbelanja, bahkan nyawa menjadi taruhan untuk mendapatkan Blackberry terbaru?


Atau kejadian 3 tahun lalu saat antrian berjajar dari lantai terbawah di Mall Senayan City terus berputar seperti ular menuju counter sandal/ sepatu Crocs di lantai paling atas? Salah seorang GM Crocs berkebangsaan Malaysia bahkan terkekeh-kekeh. Katanya ini pertama kali terjadi di dunia, bapak-bapak di sini memelopori trend berebut sandal sisa berwarna pink, dan benar-benar di pakai.


Konsumsi dipercaya menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia yang penting. Bahkan dalam sebuah forum, Gubernur BI, Darmin Nasution mengatakan konsumsi sebagai salah satu sumber resiliensi (ketahanan) ekonomi Indonesia dari ancaman krisis global. Indonesia telah menjadi negara dengan tingkat pertambahan ekonomi ke-2 terbesar di dunia setelah China.


Tetapi sabar dulu, konsumsi juga menjadi ancaman terbesar ketika barang-barang inipun terus membanjir mulai dari tepung terigu hingga kedelai, dari batik China sampai gadget. Semua yang mahal-mahal kita simpan. Kalau dulu orang memesan (reserve) meja makan untuk 3 orang memesan meja untuk bertiga, sekarang menjadi berempat, siapa yang duduk di kursi yang ke-4 itu? Itulah “Tuan” Louis Vuitton, atau “Nyonya” Hermes. Ya, maklum rata-rata tas orang Indonesia sudah di atas 10 juta rupiah. Barang mewah sudah biasa.


Lain di kota, lain di desa. Tetapi semua orang bergaya sama: konsumsi. Tak punya uang, perut kosong, tetapi handphone harus berbunyi.  Ini sungguh ironi. Inilah ekonomi vacum cleaner, ekonomi penyedot debu.


iPhone 5


          Di Amerika Serikat, kendati ekonominya belum pulih dari krisis, penjualan iPhone 5 ternyata juga sama saja. Antrean begitu panjang. Bahkan sebagian konsumen antre sejak dini hari. Apalagi setelah majalah Time menobatkan gadget ini “The most artfully polished gadgets anyone’s ever built”. Penjualan gadget menembus angka 5 juta dalam minggu perdananya.


            Masih kalah memang dengan Samsung Galaxy S III yang sejak peluncurannya Agustus lalu telah terjual 18 juta unit. Bahkan di China, Android mengusai 90% pasar Smartphone. Hanya saja, dari pengamatan saya, mereka yang antre benar-benar punya penghasilan yang layak. Antreannya pun tak sepadat di sini.  Sabar menanti dan tertib.


            Bagaimana disini?  Memasuki abad 21, smartphone baru selalu menjadi gaya hidup. Di dunia maya saya membaca celotehan eksekutif muda bercerita tentang kebahagiaan membeli iPhone, kendati harus pergi ke Hongkong atau Singapura sebelum produk itu dirilis disini. Bahkan sejumlah anggota DPRD dari Makassar tanpa malu-malu menunjukkan gadget barunya kepada wartawan. Inilah peradapan Conspicuous Consumption, yang dalam ilmu prilaku dipahami sebagai belanja  yang ditonjol-tonjolkan kan untuk menunjukkan “Saya juga bisa memilikinya”.  Kalau saya menjadi yang petama memiliki, "berarti saya pelopor, trend setter, risk taker, dan saya lebih dari yang lain".


            Mengapa kaum mapan yang sudah kaya raya dan punya jabatan itu masih memerlukan “konsumsi” untuk membangun citra terhadap jatidirinya?


            Para ahli berpendapat, Comsumption conspicuous itu dilakukan sebagai alat “signal”. Ya, seperti ponsel yang tak ada manfaatnya kalau tak mampu mengirim signal, manusia-manusia seperti itu lemas kala tak bisa mengirim signal “Bahwa saya punya uang”. Barang-barang dan konsumsi dijadikan acuan untuk menunjukkan “Saya telah sukses, lihatlah saya”.


            Dengan kata lain sebenarnya, masih banyak orang yang kurang mampu menunjukkan karya, sehingga Comsumption conspicuous pun dijadikan sasaran. Apa boleh buat. Inilah beban yang masih harus dipikul para guru, dosen, ulama, pendidik, pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi janganlah bicara pengetahuan melulu, atau ayat-ayat melulu, bahkan aturan-aturan melulu. Ajarkanlah cara berkarya, berbuat sesuatu yang menimbulkan dampak besar dan jadilah role model. Negeri tanpa role model hanya akan menghadapi energy drain, dan kalah menghadapi mesin-mesin penghisap debu. 

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Role Model dan Conflict of Interest - Sindo 13 Desember 2012


Tanggal 15 Agustus 2011, tiga orang warga negara Indonesia -- Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah – mengajukan permohonan untuk menguji UU no 27 (2009) ke Mahkamah Konstitusi. Bila berhasil, maka sebenarnya Indonesia punya kesempatan untuk membangun “budaya baru”, yaitu budaya bersih yang amat dirindukan bangsa ini.

Sayang pengajuan ini sepi dari perhatian masyarakat, dan sayang pula MK “gagal” melihat esensi dibalik pengajuan itu, atau memiliki pandangan lain, atau ada pertimbangan hukum yang lebih kuat sehingga permohonan ketiganya tidak dikabulkan. Anda mungkin bertanya, apa sih yang mereka persoalkan?

Conflict of Interest
UU no 27 (2009) adalah UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dan Pasal-pasal yang mereka uji adalah Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 (2), Pasal 327 ayat (2) dan Pasal 378 ayat (2). Menurut ketiga warga negara ini, telah terjadi kerugian dan ada potensi kerugian dari Pasal-pasal itu. “Wakil-wakil rakyat dan Wakil-wakil daerah tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyat, terutama untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara karena adanya pekerjaan lain selain menjadi anggota DPR maupun anggota DPD dan DPRD, ” demikian yang dicantumkan dalam surat permohonan pengujian ketiganya.  "Pekerjaan lain" yang dimaksud tentu bukan sekedar pekerjaan sambilan, melainkan pekerjaan lain yang memungkinkan seorang  pejabat publik mengalami konflik kepentingan.

Tentu saja tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuka perdebatan hukum yang bukan menjadi keahlian saya (dan tidak akan saya tanggapi), melainkan untuk membangun kesadaran bahwa negeri ini tidak bisa tumbuh menjadi besar dan kuat tanpa landasan yang kokoh. Dan landasan itu adalah terbebasnya para pengambil keputusan dari Conflict of Interest. Hanya dengan itulah Indonesia akan memiliki role model yang dapat ditiru kaum muda, baik dalam kegiatan ekonomi maupun politik.

Saya sendiri mengetahui uji materi UU ini karena diminta oleh para pemohon untuk menjelaskan efek “Conflict of Interest” sebagai saksi ahli. Tentu saja saya melihatnya dari sisi ekonomi. Sebenarnya mudah saja melihatnya. Saya misalnya, tidak pernah “menang” dalam setiap kali mengikuti proses tender sepanjang panitia lelang atau orang di belakang mereka sudah punya jago-jagonya sendiri. Anak saya tidak akan pernah diterima bekerja di sebuah lembaga negara hanya karena panitia penerimaan pegawai sudah menerima komitmen (beserta fee-nya) dari calon-calon lainnya. Seseorang mengalami conflict of interest ketika mengambil "janji" atau komitmen lain yang membuatnya sulit bertindak secara objektif.

Di gedung parlemen kita saat ini juga miskin role model. Sejak bertemu saja, setiap kali mendengar seseorang berkedudukan sebagai anggota parlemen, rakyat berkasak-kusuk menggunjingkan sesuatu. Di dalam gedung parlemen bukan satu-dua orang yang megatakan kepada saya aroma perubahan sikap sahabat-sahabat yang dulu dikenal sebagai orang yang santun dan jujur menjadi garang dan unpredictable. Mereka bisa memarahi anda di depan sorotan kamera televisi, bahkan mengusir anda hanya karena anda cenge'ngesan.

Lantas apa sih yang digunjingkan masyarakat? Apakah sedemikian bodohnya sahabat-sahabat, orang tua, murid atau mahasiswa kita yang sekarang duduk di parlemen itu sehingga berpura-pura tidak mengetahuinya?

Para penguji UU itu mempersoalkan bebasnya “rangkap jabatan” dan absennya penegakan etika. Ini juga sangat kasat mata dan mudah dilihat kendati ada juga yang samar-samar, tetapi di zaman ini masyarakat mudah menelusurinya. Tengok saja bisnis-bisnis apa saja yang ditekuni masing-masing anggota palemen baik di pusat maupun di daerah. Hampir semua anggota palemen yang berada di bawah komisi yang membawahi energy berbisnis energy, dan hampir semua anggota parlemen yang bergerak di bidang hukum mempunyai kaitan dengan kantor-kantor pengacara (baik langsung maupun tidak langsung).  Akhirnya publik menyaksikan  ruang usaha dipenuhi oleh jalur koneksi ke parlemen, mulai dari catering hingga PJPTKI, dari buku cetakan hingga kitap suci, dari impor alkohol hingga konstruksi. Bahkan dari dana CSR sampai bantuan sosial.  Ini belum termasuk dana yang dicuri oleh eksekutif yang juga melakukan hal serupa.
Di berbagai kabupaten dan kota madya kita juga menyaksikan perebutan bisnis kontruksi hingga pertamanan yang membuat eksekutif sulit bekerja. Seorang direktur salah satu BUMN menyebutkan sulitnya mengganti crane di pelabuhan dengan satu merek yang sama. Masalahnya, masing-masing crane harus disewa dari orang-orang yang di back up oleh oknum anggota parlemen. Bila hal itu dilanggar, mereka akan diminta mengikuti rapat dengan pendapat di gedung parlemen, lalu bersiap-siap lah menerima semprotan minyak panas.

Lain bisnis, lain lagi penegakkan etika. Ketika Dahlan Iskan melaporkan sejumlah oknum anggota parlemen yang diduga telah memeras BUMN, saya pun teringat dengan pengujian materi UU 27 tahun 2009 itu yang diajukan oleh tiga warga negara Indonesia tadi. Ketiga pemohon juga meminta agar MK meninjau Pasal 123 dan Pasal 124 ayat (1) tentang keanggotaan Badan Kehormatan DPR dan Pasal 234 ayat (1) huruf f, Pasal 245 ayat (1), Pasal 302 ayat (1) huruf f, dan Pasal 353 ayat (1) huruf f yang menyangkut Badan Kehormatan di DPD dan DPRD.

Masalahnya, badan-badan kehormatan itu diisi oleh orang-orang yang berasal dari kalangan sendiri, yang bersifat “perimbangan dan pemerataan” jumlah anggota dari tiap-tiap fraksi. Sekarang, bisakah etika ditegakkan dari kalangan yang sangat berkepentingan terhadap “nama baik” keluarga besarnya sendiri?  Artinya, berapa kuatkah nama-nama besar setinggi Siswono atau dr Prakosa kalau mereka mengabdi pada dua "atasan" sekaligus?   Atasan pertama adalah pimpinan fraksinya sendiri, sedangkan atasan kedua, ya hati nuraninya.  Apalagi kalau yang diadili rekan atau sahabat sendiri.  Bukankah kita lebih baik mengacungkan tangan, mengaku ada conflict of interest ketimbang haus mengambil langkah yang tak enak dihati.
Itulah masalah yang dipersoalkan ketiga orang itu. Andaikan MK saat itu mengabulkannya, mungkin Indonesia sudah memiliki kultur politik yang sedikit lebih baik. Kultur tentu tidak bisa dibentuk oleh hanya satu elemen, namun dalam ilmu perubahan, kita percaya seseorang yang diberi pulpen bagus  akan diberitahu oleh anggota keluarganya agar memakai baju yang bagus pula. Kalau bajunya sudah bagus, istri/suaminya mungkin akan memberikan celana dan sepatu yang matching pula. Satu elemen tidak otomatis merubah semuanya, tetapi ia bisa memicu perubahan.

Tetapi Indonesia tidak bisa maju dan mencapai posisi 6 besar dunia seperti yang diramalkan Standard Chartered Bank pada tahun 2030, atau posisi nomor 7 menurut Mc Kinsey Global Institute kalau membiarkan dunia usaha berjalan diatas politik yang sarat dengan konflik-konflik kepentingan. Indonesia tak juga menpunyai role model dari figur-figur  yang "lain di depan-lain di belakang".  Role model yang demikian pandai berbohong,  semakin berani melawan kendati salah.  Tanpa role model yang bebas dari kepentingan, kita hanya akan melahirkan bangsa yang kalah,  bangsa pecundang

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Generation Gap 3 - Jawapos 3 Desember 2012

Beberapa hari yang lalu saya membaca tulisan Dahlan Iskan yang berjudul “Ada brigade 200K di Pertamina” (Jawapos 25 November 2012). Yang menarik perhatian saya, untuk menaikkan produksi minyak 200.000 barrel perhari dalam waktu 2 tahun, pertamina menurunkan generasi mudanya.

Dahlan menulis: “Brigade ini sepenuhnya terdiri dari anak muda Pertamina yang umurnya paling tinggi 29 tahun! Bahkan diantaranya ada yang umurnya 25 tahun.”  Generasi baru inilah yang diberi tanggung jawab terhadap kenaikan produksi minyak Pertamina. Selain mereka juga ada Brigade 100K yang juga terdiri dari kaum muda yang diberi tanggung jawab lahirnya energy terbarukan (geothermal) sebesar equivalent 100.000 barrel setiap hari.  Mengapa tanggungjawab ini diberikan pada kaum muda?  Apakah mereka sudah cukup mampu?  Sebaliknya kemana para senior mereka?

Baik brigade 100K maupun Brigade 200K adalah generasi baru Indonesia yang baru lahir pasca 1980-an. Berbeda dengan Anda pembaca, rata-rata mereka lahir  dengan menggenggam mouse di tangan kanannya. Adik-adiknya bahkan lahir dengan gadget “touch screen” dengan “keypad buta, tanpa tulisan.” Mereka bisa mengirim pesan (text) SMS tanpa menoleh pada keypad itu karena jari-jarinya sudah diprogram  ibundanya masing-masing  saat mereka masih dalam kandungan.

Tua-Bermasalah
Di Berbagai kesempatan saya  sering terkecoh menghadapi para manajer  yang saya pikir lebih tua dari saya. Setelah saya manggut-manggut, belakangan baru saya tahu makin banyak orang  yang  wajahnya boros. Ya, maaf, wajahnya  lebih tua dari umurnya. Sudah begitu, mereka  mngaku menyimpan segudang masalah, mulai dari kekhawatiran terhadap kinerja (KPI) hingga masa depan anak-anaknya. Anak-anakku, ketahuilah orangtua kalian menghadapi segudang masalah. Bukan hanya kompetisi, melainkan juga kecepatan kalian mengadopsi teknologi.

Di setiap organisasi disfungsional, hampir pasti masalah banyak bertumpuk pada generasi setengah tua yang stuck di layer ke 3.  CEO atau direksi umumnya punya dorongan kerja yang lumayan kuat. Eselon 1 juga relatif banyak yang baik. Nah, mereka yang terlihat lebih tua dari umurnya itu ada banyak di layer ke 3. Merasa mampu duduk di layer ke 2 atau 1, tetapi atasan dan bawahannya berkata lain. Selain menggerutu,  banyak yang makin sensitive dan temperamental. Padahal untuk berprestasi mareka butuh kaum muda.
 Saya tentu sangat bertanya-tanya mengapa Karen Agustiawan dan Dahlan Iskan menyerahkan kepercayaan untuk mempercepat kenaikan produksi para generasi C itu. Saya tentu cukup paham apa yang terjadi, tetapi apapun juga, ini adalah cerminan respon dari adanya generation gap.

Minggu lalu saya juga bertemu dengan CEO Pelindo 2 (Tanjung Priok), RJ Lino. Dalam sebuah forum, putra Rote itu bercerita bagaimana ia menangani generasi tua yang “menguasai organisasi”. Saya mengirim mereka ke luar negri untuk sekolah lagi,” ujarnya. Ya, satu generasi yang mungkin dapat saja dianggap “feodal” oleh generasi di bawahnya dibukakan jendelanya untuk tanggal 1-2 tahun di negeri yang pelabuhannya ramai dan modern.

 “Selesai, bukan?,” Ujarnya. Ya, satu masalah lumayan diatasi. Selain memberi ruang bagi generasi yang lebih muda untuk naik ke atas tanpa diganggu, generasi yang diatasnya juga diberikan kesempatan belajar. Toh begitu kembali, masa kerjanya tidak panjang lagi. Ya paling lama, mungkin hanya 5 tahun, tetapi mereka tidak mengganggunya lagi. Mereka yang punya pengalaman belajar di luar negri sudah punya wawasan yang lebih baik, lebih pede.

Jembatani
Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan sebuah pesan bahwa alih generasi saat ini bukanlah soal alamiah lagi. “Gapantara yang tua dengan yang muda” jelas, riil, tegas, dan kalau diabaikan akan cukup mengganggu. Beda lembaga, tentu saja berbeda kultur dan climatenya.

Tetapi yang jelas ini bukan soal sederhana. Para CEO harus berpikir keras bagaimana menangani gap ini. Bisa jadi, kesulitan transformasi bermula dari soal ini, yaitu kosongnya kepemimpinan yang menjembatani generasi tua dengan generasi muda, bahkan ruwetnya masalah di layer ke 3 yang diduduki generasi lama yang menyimpan segudang persoalan

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Jumat, 07 Desember 2012

Generation Gap (2) - Jawapos 26 November 2012

Santap malam di Pendopo Aceh bersama Gubernur, dr. H. Zaini Abdullah (9/11-2012 lalu) sungguh mengasyikkan. Dokter keluarga lulusan Universitas Sumatera Utara (1972) dan spesialis dari Kerolinska Universiteits Swedia berusia 72 tahun ini menghabiskan lebih dari 20 tahun hidupnya di Swedia. Ia menawarkan saya durian dan penganan khas Aceh, timpan sebagai penutup hidangan. Di kepala meja, duduk mentroe (sebutan bagi menteri negara) Tengku Malik Mahmud (73) yang ikut memberikan pandangan-pandangan dan berbagi cerita.

Keduanya adalah tokoh karismatis Aceh, orang tua yang suaranya sangat didengar. Dari mulut keduanya saya bisa menyimpulkan betapa sejuk Aceh di tangan mereka. Keduanya visioner, dan bagi mereka syariat Islam adalah penegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Itu sebabnya keduanya menginginkan merit system (sistem kepegawaian berbasiskan kecepatan) dalam proses kerja pemerintahannya.

Belajar dari keduanya, saya ingin mengatakan satu hal ini: Generasi tua tidak melulu menjadi ancaman feodal. Mereka dapat menjadi sumber inspirasi, sumber pembaharuan.

Gap itu Riil
Menunjuk saya sebagai assesor untuk memiliki eksekutif-eksekutif di kawasan pelabuhan bebas Sabang tentu bukanlah hal yang mudah. Anda pun tahu saya sangat sibuk dan memegang teguh prinsip-prinsip GCG. Tetapi itu tidak menyurutkan tokoh-tokoh Aceh untuk mencari saya. Sewaktu bertemu di Jakarta, Gubernur hanya memesan hal yang sangat singkat: merit system. Ia ingin Aceh dipimpin oleh putra-putri terbaiknya. Bukan semata-mata karena keluarga dan bukan pula karena kenalan. Saya tentu paham, setelah 3 kali menjadi panitia seleksi calon pimpinan KPK dan terlibat dalam proses pemilihan sejumlah direksi, saya sangat maklum dengan cara berpikir masyarakat kita yang amat “bersiasat”.

Menempatkan publik sebagai “atasan” yang harus dilayani tidak sulit, sepanjang Anda mau berkorban, bekerja dengan aturan yang jelas, dan mendidik kerabat menghargai prinsip-prinsip merit system.
Dr. Zaini Abdullah menghadapi generasi-generasi muda yang terpaut 20-30 tahun dibawahnya. Wakil Gubernurnya (Muzakir Manaf) berusia 48 tahun. Walikota Sabang Zulkifli Adam, berusia 37 tahun dan Bupati Aceh Besar Mukhlis Barsyah, 41 tahun. Ia memimpin tiga generasi sekaligus. Generasi sebayanya yang lama di luar negeri kita sebut saja sebagai generasi tua. Lalu generasi yang lahir antara 1955-65, dan antara 1965-1975. Ketiganya amat berbeda.

Kalau Anda melihat dengan kaca mata orang kota, Anda mengatakan yang satu generasi tatap muka (“see me”) dan dua generasi dibawahnya adalah generasi telefon (“call me”) dan generasi SMS atau email (“text me”). Anda tentu merasakan betapa orang-orang tua masih ingin sering-sering melakukan meeting yang menuntut kehadiran fisik anda di ruang rapat. Dan banyak yang beranggapan kalau secara fisik tidak hadir diartikan tidak mendukung, tidak respek.

Sebaliknya generasi-generasi muda banyak bertanya apa masih perlu secara fisik ke sana? Mengapa tidak rapat menggunakan skype saja? Bukankah Virtual Office juga office? Mengapa tidak bertemu di kedai kopi saja? Mengapa tidak ada wifi? Demikian seterusnya. Cara inilah yang kini ditempuh Dahlan Iskan yang meski sudah tak muda, sejak ganti hati,  jadi lebih muda.

Tetapi di Aceh, kita melihat sebaliknya. Generasi tua yang lama di luar negeri justru amat menghargai merit system dan ingin membangun profesionalisme. Sebaliknya kaum muda yamg dibesarkan di era konflik dan bergerilya di gunung-gunung belum terbiasa dengan merit system. Dalam hal inilah kaum tua yang berpengalaman bisa memberikan kontribusi dan wisdom nya untuk membimbing generasi-generasi muda agar lebih siap menghadapi masa depan. Sebab kalau bisa disatukan, bekerja lintas generasi adalah sebuah kekuatan besar.

Button Theory
Namun demikian harus diakui umumnya, generasi tua adalah generasi yang linglung. Linglung adalah orang yang banyak bingung, mudah lupa, dan prosesornya mulai melambat karena memory nya mulai penuh dan aus. Kita semua akan mengalami hal serupa. Di sebuah kota kecil di Jawa Barat, kemarin saya sempat mengintervensi panitia yang meminta saya berbicara agar mereka merampingkan acara. Maklum generasi tua banyak membiarkan agendanya diisi mereka dengan banyak sambutan. Padahal panitia dan MC nya adalah generasi muda. Saya tak habis berpikir bagaimana orang muda membiarkan dirinya tidak menghargai waktu. Sewaktu saya sampaikan bahwa kita telah menghabiskan lebih dari sejam untuk pembukaan saja, barulah sebagian orang tersadar.

Dalam generation gap juga dikenal istilah button theory. Ya, button atau kenop yang biasa dijumpai pada hampir semua alat elektronik. Generasi yang lahir sampai tahun 1975-an sangat terbiasa bekerja dengan alat yang ada button nya. Namun di era touch screen dewasa ini, anak-anak muda yang lahir pasca 1975 sudah mulai bekerja dengan gadget tanpa button.

Lantas apa kata button theory dalam generation gap? Begini. Ketika diberi gadget, orang tua selalu mencari button nya, dan sebelum menanganinya, orang tua selalu memulainya dengan bertanya. Mereka banyak tanya kepada kaum muda dan minta dijelaskan ini dan itu. Sementara bagi anak-anak muda, begitu diberi gadget mereka langsung mengutak-atiknya. Bahkan melakukannya tanpa membaca manualnya terlebih dahulu. Learning by doing. Maka ketika ditanya kaum tua, mereka pun berteriak, “waaaaa... mengapa tidak dicoba dulu?”

Kalau sudah berbeda begini, biasalah kita berbeda pendapat. Tetapi generation gap bukanlah rintangan bagi pembaharuan

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan