Laman

Senin, 28 Januari 2013

Cracking Televisi - Jawa Pos 27 Januari 2013

Saya menggunakan istilah cracking untuk menggambarkan rekahan-rekahan (cracks) yang muncul dari berbagai perubahan dalam dekade ini.  Setelah menulis buku Cracking Zone (2011), Cracking Values (2012) dan Cracking Entrepreneurs (2012), minggu ini saya mulai memasukkan catatan terakhir buku Cracking Behavior ke tangan penerbit,  yang menggambarkan rekahan-rekahan yang muncul dari cracking yang terjadi di seputar televisi.

Tak dapat dipungkiri bahwa hidup kita begitu kuat dipengaruhi oleh televisi.  Bukan tidak mustahil cara anda beriklan, berpromosi, berpublik relations, bahkan membangun personal branding dan melakukan inovasi pun sangat dipengaruhi oleh rekahan-rekahan yang ditimbulkan dunia televisi.  Saya juga mengharapkan perubahan yang lebih besar bisa dipicu oleh televisi publik kita, TVRI.

Studi yang dilakukan MTV Asia menemukan waktu rata-rata anak muda Asia telah berubah dari 24 jam menjadi 38 jam, lalu menjadi 46 jam sehari.  Dan sepanjang waktu itu, waktu terbanyak yang dipakai kaum muda di depan TV, walaupun cara menontonnya sudah berubah, dari menonton pasif dan aktivitas tunggal menjadi aktif, berkomentar, melakukan penilaian, menyebarluaskan, hingga multitasking.  Anda bisa mengatur sendiri kapan dan dimana ingin menonton.  Diunggah ke situs video, dan dikomentari di sosial media.

Social TV
Maka peradapan televisi pun berubah menjadi Social TV.  Perhatikanlah gejala citizen jurnalism yang di Indoneia dimulai dari sebuah rekaman video amatir mahasiswi kedokteran  Bandung yang tengah berlibur di Aceh, Cut Putri.  Ia merekam momen badai Tsunami yang terjadi begitu cepat dan videonya disiarkan oleh Metro TV, CNN, BBC dan sebagainya. Sejak itu televisi mulai membuka akses informasi kepada publik lebih luas.

Di lain pihak, program hiburan dan kontes yang dulu sangat mengandalkan penilaian  dewan juri yang terdiri dari para ahli, kini beralih ke tangan pemirsa. Dari sekedar perolehan SMS, sekarang melebar sampai ke tayangan situs video Youtube, Twitter, Facebook, Path, Pinterest, Google Plus+, Instagram, Multiply, MySpace, dan sebagainya. Dengan demikian televisi bisa merasakan denyut nadi suara pemirsanya, berkomunikasi lebih intens, dan memberikan ruang bagi mereka yang tak sempat menonton.

Di luar negeri, BBC menggunakan on-air Twitter hashtag sehingga pemirsanya bisa memberikan komentar dan mendeskripsikan show yang ditayangkan. Produsen TV  pun mulai menempatkan Social media di layarnya seperti Sony Google TV.  Di dalam masyarakat sendiri, sebuah berita penting tidak otomatis menjadikannya mampu menggerakkan perubahan bila tanpa melibatkan gabungan dari multimedia. Viral sensation berkembang dari masa ke masa dan inilah saatnya Social TV.

Impak Horizontal
Rekahan lain juga terjadi dari hadirnya TV-TV swasta.  Sejak tahun 24 Agustus 1962 hingga pertengahan November 1988, masyarakat Indonesia hanya bisa menikmati tayangan dari satu stasiun TV, yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI).  Retakan (cracking) pertama industri televisi terjadi pada 13 November 1988 dengan hadirnya stasiun TV swasta pertama, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dengan siaran percobaannya. Kemudian, pada Agustus 1989 RCTI pun memulai siaran komersialnya, namun masih bersifat terbatas. Selanjutnya kehadiran TV swasta tak dapat direm, ia begitu cepat menjamur, di pusat maupun daerah.

Untuk memberikan gambaran tentang dampaknya ada industri lain saya ingin mengajak anda ke   kawasan wisata pantai Ancol di  Jakarta. Logikanya, secara bisnis  Ancol tak punya kaitan sama sekali dengan persaingan antara sesama TV swasta. Nyatanya tidak. Ancol pernah merasakan imbas dari hadirnya stasiun TV swasta.

Budi Karya Sumadi, direktur utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, perusahaan yang mengelola kawasan wisata Ancol, bercerita bahwa salah satu sumber penerimaan Ancol datang dari pertunjukan musik di panggung terbuka yang digelar di sana. Setiap kali ada pertunjukan musik, pengunjung berduyun-duyun datang ke Ancol. Untuk bisa menyaksikan pertunjukan, mereka mesti membeli tiket pertunjukan dan tiket masuk Ancol. Inilah salah satu sumber penerimaan Ancol. Jika sebelum menonton pertunjukan, para pengunjung berkeliling Ancol terlebih dahulu dan menikmati sejumlah wahana di sana, penerimaan Ancol tentu bertambah.

Namun, penerimaan dari pertunjukan musik ini kemudian merosot dengan tajam. Ada apa? Rupanya pengunjung kian enggan datang ke Ancol untuk menyaksikan pertunjukan musik. Untuk apa repot-repot ke sana, kalau pertunjukan musik kini bisa dinikmati lewat layar kaca. Memang, kian banyak stasiun TV swasta yang menayangkan acara pertunjukan musik, baik berupa rekaman atau malah siaran langsung. Lagu-lagunya masih baru dan penyanyi atau musisi yang ditampilkan pun lebih banyak dan terkenal. Jadi, tak usah repot-repot datang ke Ancol hanya untuk menikmati pertunjukan musik atau penampilan dari artis-artis terkenal. Semua bisa disaksikan dari rumah. Ancol pun jadi sepi pengunjung.

Kondisi semacam Ancol juga pernah dialami oleh para pengusaha bioskop, termasuk jaringan bioskop milik Grup 21 yang juga menjadi salah satu pemilik stasiun TV swasta. Ketika stasiun-stasiun TV swasta marak bermunculan pada periode 1989-2000-an, gedung-gedung bioskop menjadi sepi pengunjung. Para penonton menjadi lebih suka menonton TV di rumah bersama keluarga. Apalagi sebagian besar stasiun TV swasta juga kerap menayangkan film-film buatan Hollywood, kendati bukan termasuk film-film terbaru.

Begitulah, persaingan di antara sesama stasiun TV swasta ternyata berimbas ke mana-mana. Ia berimbas ke Ancol, ke bisnis bioskop, bisnis radio (berapa banyak orang yang masih suka mendengarkan radio pada malam hari, sementara melalui televisi mereka bisa mendengarkan suaranya dan menyaksikan gambarnya?), bisnis media cetak-orang menjadi lebih suka menonton ketimbang membaca, dan bisnis-bisnis lainnya.



Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Jumat, 25 Januari 2013

Nikmatnya Televisi Publik - Sindo 24 Januari 2013


Waktu menjadi mahasiswa saya pernah ikut program pendidikan pers kampus dengan pengajar tokoh-tokoh pers perjuangan. Salah satu favorit saya adalah topik wawancara yang saat itu diberikan wartawan senior TVRI, Toeti Adhitama. Ketika wartawan-wartawan lain tengah asyik dengan investigative news report yang agak provokatif, Toeti justru memberikan prespektif yang berbeda. Baginya, wawancara “is a love story”.

Ya, love story. Wawancara dilakukan dengan cara empati dan tidak bertendensi mengadili, apalagi sudah berprasangka. Tetapi pertanyaannya, masih adakah ruang “untuk tidak mengadili” di negeri ini? Dimana-mana saya melihat televisi lebih senang mengikuti cara berpikirnya sendiri. Konflik, adu kuat, bahkan adu pintar. Pewawancara adalah model pencitraan yang dibentuk oleh produser sebagai orang yang berpengetahuan, pandai, namun sama sekali tidak netral.

Kita pun larut dalam kekuatan “personal branding” program dan host, sedangkan narasumber berebut kekuatan. Ada kesan kalau ingin sering diundang televisi maka narasumber harus kuat dengan retorika, berani mengadili rekan bicaranya, berani tunjuk, ngomong yang seolah-olah faktual, cerdas dengan kemampuan argumentasi tak terkalahkan. Pengamat menjadi tak mau kalah kuat dari ahli hukum dan politisi yang sangat berani “berkelahi” dan genit di depan kamera.

Tak ada lagi “love story” disana. Yang ada adalah saling mem-bully. Kata musisi Iwan Fals, “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap ada keadilan”. Seperti itulah yang terjadi. Kita pun senang melihat tokoh-tokoh publik diadili, di bully karena setahu kita pengadilan tidak bekerja, politik tak punya perhatian pada kita, kejujuran telah sirna. Dan “love story” itu pun lenyap.

Media lebih senang menyajikan konflik dan ketegangan, pertempuran antar orang yang bertengkar. Makin kuat tengkarnya, makin tinggi share dan ratingnya televisi. Yang saya khawatirkan sebenarnya lebih dari ruang televisi, yaitu apa akibatnya terhadap kehidupan kita sehari-hari? Yang saya rasakan bukannya assertiveness yang muncul, melainkan aggressiveness.

Resistance To Change
Apa bedanya?
Jelas keduanya berbeda. Masyarakat demokrasi harus dibayar dengan assertiveness, yaitu manusia-manusia yang mampu mengungkapkan isi pikirannya dengan jelas, respek pada dirinya sendiri, namun tetap respek terhadap orang lain. Respek itu dinyatakan dengan mendengarkan, berempati, dan waktu yang cukup untuk menjelaskan. Sedangkan aggressiveness  sama sekali tidak mengedepankan respek terhadap orang lain. Manusia agressive hanya tertarik dengan self-interest nya. Ia ingin terlihat pandai, cantik, hebat, kaya, paling tahu dan seterusnya namun tak peduli orang lain yang dipermalukan atau tidak, tidak punya waktu yang cukup untuk mengungkapkan isi pikirannya dengan jelas.

Lantas bisakah ini dibangun dari pertelevisian komersial? Tentu saja sulit. Televisi komersial memiliki cara kerja sendiri, yang mengacu pada kepentingannya untuk hidup, yaitu program rating, share dan seterusnya. Dan celakanya, semakin sensasional, semakin kental konfliknya, maka ratingnya semakin tinggi. Semakin hari semakin banyak orang yang terkubur dalam retorika konflik karena terbukti menjadi semakin terkenal.
Dalam dunia hiburan hal senada juga tengah terjadi. Artis saling memukul, menampar betulan di depan kamera, saling melapor polisi, mengumbar masalah keluarga dan anak, test DNA, sampai calon-calon artis yag membuka aibnya di depan publik.

Di jalan raya, saya sering menyaksikan umpatan-umpatan serius yang semakin mudah diucapkan orang untuk mengutuk orang lain. Di dunia akademis saya semakin sering melihat orang yang mudah berucap hanya dengan fakta sepenggal yang belum tentu ada kebenarannya. Validitas dan reliabilitas yang menjadi acuan dunia ilmiah tak lagi dipegang. Ini adalah modal besar bagi terbentuknya resistensi-resistensi terhadap perubahan. Semakin agresif, semakin resisten dan menolak pembaharuan tanpa alas an jelas.

Rhoma Irama
Nah minggu lalu saya mengambil inisiatif untuk menggali narasumber yang penuh kontroversial. Sejak mewacanakan dirinya menjadi capres,  nama Rhoma Irama kembali jadi perbincangan publik.
Untuk keperluan program tivi yang saya asuh di TVRI tentu saja saya tidak akan keluar dari title program, yaitu perubahan. Sedangkan pada sosok Rhoma saya menyaksikan sosok yang merevolusi musik irama melayu yang dulu hanya menggunakan akustik biasa (gendang, akordion, suling) menjadi musik dengan power listrik yang begitu kuat bahkan dikawinkan dengan rock yang diterima secara luas.
Rhoma tentu sudah tak muda dulu, usianya sudah 66 tahun. Era dangdut yang dulu ditimpuki batu sudah ia lewati. Dari music yang dituding “tahi anjing” oleh kalangan pecinta rock di tahun 1970-an, menjadi “sesuatu”. Dan Wamendikbud, Wiendu Nuryanti saya mendengar dangdut ia daftarkan sebagai warisan kekayaan budaya asli Indonesia tak benda ke UNESCO.

Namun bicara tentang Rhoma tentu saja mustahil tak membicarakan tentang wacana pencalonan dirinya sebagai Presiden. Ini tentu mustahil. Tetapi saya beruntung program saya disiarkan oleh Lembaga Penyiaran Publik TVRI yang tak punya kepentingan-kepentingan komersial. Saat itulah “love story” bisa digunakan. Untuk apa?

Untuk menjual Rhoma agar menjadi Presiden? Tentu bukan. Untuk meningkatkan nilai jual ke ”raja” annya? Juga tidak! Lantas? Tentu saja untuk mengedepankan perdamaian. “Love story” interview bisa digunakan untuk mereduksi salah tafsir, ekstreemitas dan tentu saja konflik-konflik kepentingan. Saya sungguh merasakan nikmatnya hidup tanpa prasangka. Dari mulut sang raja mengalirlah ungkapan hatinya. Yang boleh Anda curigai, namun dari jarak dekat saya merasakan kejujuran. “Kalau seorang rasis, dia bukan Islam,” begitu ujarnya.

Indonesia perlu menata pribadi-pribadi manusia-manusianya, menata hati, menata karakter. Dan televisi punya peran yang sangat besar membentuk karakter-karakter bangsa. Kita perlu mengubah manusia-manusia aggressive menjadi assertive yang cerdas dan berhati mulia. Dan itu hanya bisa dilakukan kalau televisi publik kita terus diperbaiki seperti saat ini.

Emas Diuji dengan Api (Manusia Diuji dengan Uang) - Jawa Pos 21 Januari 2013


Pepatah Cina kuno itu sudah lama saya dengar, namun keduanya menjadi masalah besar belakangan ini. Dimana-mana di atas cincin api ini tiba-tiba orang menemukan emas. Dari daerah yang tenang saat pertama kali saya menjejakkan kaki hampir 2 tahun yang lalu, Pulau Buru tiba-tiba berubah bak desa kota yang siap ribut. Apalagi penyebabnya kalau bukan emas.

Hanya dengan bekal mimpi saja, seorang desa yang lugu bisa benar-benar menemukan emas. Namun berita itu cepat menyebar. Dari pulau terpencil dengan 2 kabupaten berpenduduk sekitar 100.000 jiwa, datanglah penduduk dari pulau-pulau seberang untuk mengadu nasib. Jarak 8 jam yang biasa ditempuh dengan kapal Fery dari Ambon bukan halangan bagi orang-orang Maluku untuk erngadu nasib di Gunung Botak - Pulau Buru.

Ekonomi Porak Poranda
Tetapi pendatang-pendatang itu tak memiliki keahlian mendulang, apalagi mencari emas. Maka muncullah investor-investor swasta yang kerjanya mendatangkan buruh-buruh penambang dari daerah-daerah emas. Dari Sulawesi Utara tiba-tiba merapat ratusan orang hingga ribuan. Lalu datang lagi dari Bombana (Sulawesi Tenggara) yang juga biasa mencari emas. Ledakan penduduk yang datang dengan tiba-tiba merubah segala-galanya.

Rumah penduduk berubah menjadi losmen. Di tepi-tepi jalan muncul kegiatan mengayak emas. Air raksa-nya dibuang begitu saja ke tanah dan menembus ke mata-mata air yang kelak diminum anak-anak. Buruh-buruh tani yang dibawa para transmigran, yang biasa bekerja di sawah tiba-tiba menghilang. Mereka semua beralih profesi menjadi penambang emas. Hanya berbekal seratus ribu rupiah, sepuluh gram emas minimal bisa didapat. Apa akibatnya? Padi-padi yang sudah menguning dibiarkan hancur karena tak ada buruh tani yang bekerja. Sawah tak terurus. Lumbung padi Maluku itu tiba-tiba tak menghasilkan apa-apa. Harga beras pun melonjak 4-5 kali lipat. Tetapi entah mengapa inflasi besar-besaran di Pulau Buru tak pernah jadi diskusi ekonomi nasional.

Orang-orang tambang yang datang sporadis itu memborong apa saja. Ya sepeda motor, mobil, alat-alat berat, pakaian, penginapan sampai makanan. Harga-harga melambung cepat sekali. Dan begitu jumlah pendatang tak terkendali masalah keamanan pun muncul. Jalan menuju Gunung Botak rusak berat, sementara manusia histeris melihat emas. Konflik tak dapat dihindarkan, lalu polisi pun berdatangan. Tetapi sudah menjadi rahasia umum kalau dalam suasana ini selalu ada oknum aparat yang ikut bermain.
Pendatang diusir paksa, dinaikkan ke atas kapal. Tetapi esoknya datang lagi rombongan yang lebih besar.

Kali ini rombongan didatangkan dari Tasikmalaya. Konon mereka lebih bisa diterima karena “bagi hasil” yang ditawarkannya lebih masuk akal. Lagi-lagi semakin banyak pendatang, dan konflik tak dapat dihindarkan. Hanya dalam tempo setahun masyarakat adat yang semula begitu lugu dan bersahabat dengan alam mulai mengerti uang. Perangainya pun berubah. Ketika seseorang tewas tertombak, pecahlah kerusuhan hebat. Gunung Botak pun ditutup, pendatang diusir. Tetapi mereka tidak pergi, mereka hanya beristirahat sejenak di rumah-  rumah penduduk. Dari rakyat biasa, tambang dikelola siapa yang kuat.  Jalur-jalur baru dibuka.

Masalah Sosial-Lingkungan
Saya mengatakan kepada Raja Dataran Rendah Pulau Buu bahwa emas ini bisa jadi sebuah kutukan. Pak Eddy, panglima perang, putra kepala suku setuju. Ia pun menjauh dari area tambang mengurus adat. Bagaimana saudara-saudaranya? Mereka semua berlomba-lomba mengangkut tanah yang katanya mengandung emas itu. Semua orang beralih profesi menjadi pengangkut tanah. Air menjadi rebutan. Tak lagi dipakai untuk memasak, mandi atau mencuci, melainkan untuk mendulang emas.

Bahan-bahan kimia pun merusak tanah. Pohon-pohon minyak kayu putih pemberian Tuhan tak lagi diurus. Para pengepul minyak kayu putih kebingungan. Tak ada lagi yang menyuling minyak kayu putih. Bahkan sekolah-sekolah pun ditinggalkan para guru. Sekolah yang bangunannya bagus-bagus kini sepi ditinggal para guru dan murid.

Pekerja seks komersial pun berdatangan. Dan bersamaan dengan itu datanglah penyakit-penyakit menular. “Kutukan” yang dulunya saya katakan pada bapak raja mulai jelas terlihat, namun kini bapak raja hanya bisa menangis. Ikatan sosial melemah. Mereka lebih mendengarkan suara emas, dan seperti pepatah Cina di atas, manusianya diuji dengan uang.

Mengapa pemerintah pusat mendiamkan segala kerusakan ini? Bukankah sekarang emas muncul dimana-mana, dan pertambangan-pertambangan kian merusak banyak hal. Ya masalah sosial, politik, kesehatan, keamanan, ya ekonomi. Semuanya merugi. Bahkan seorang kepala dusun yang dulu menjadi panutan masyarakat desa saja kini lebih senang menjadi penambang liar. Saat anggota keluarganya terserang penyakit kaki gajah, masyarakat adat menyebutnya sebagai lepra, dan itu sudah cukup menakutkan karena lepra dianggap kutukan yang serius di masyarakat adat.

Tetapi banyak kepala dusun sudah mabuk emas. Mereka tengah bermimpi membeli mobil dan membangun rumah baru. Sayangnya uang ratusan juta yang dulu bernilai tinggi, kini tak ada artinya. Mereka hanya bisa membangun gubuk kecil yang mudah hancur diterjang gempa.

Kala pemerintah daerah gagal merespon, harus ada kekuatan yang lebih berwibawa untuk membantunya.  Ujian sudah dijalani dan banyak orang yang kalah, tetapi anak-anak tak boleh menanggung kutukan yang dilakukan orangtua mereka.

Kamis, 17 Januari 2013

Program Studi Internasional Bagaimana? - Sindo 17 Januari 2013


Hari masih pagi saat rombongan peer reviewer dari beberapa negara mengunjungi MMUI Senin minggu lalu. Mereka menjalankan tugas dari sebuah badan akreditasi internasional untuk mereview manajemen dan kualitas proses lembaga yang saya pimpin. Ketika mendengar kata world class university, mereka pun mengajukan pertanyaan sangat mendalam.  Apa yang dimaksud world class?  Seorang pimpinan di tingkat universitas menyebutkan kata world class sebagai "go international".  Tentu saja kata world class bisa bermakna lebih dari sekedar go international.  Namun peer dari luar negeri tidak puas dan bertanya lagi, bagaimana diversity?  Berapa jumlah student internasional, dan seterusnya.  Bagi mereka, world class bukanlah sekedar berbahasa inggris, melainkan bagaimana pendidikan kita bisa bertarung dalam standar internasional.

Anda tahu minggu lalu Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan sekelompok anggota masyarakat terhadap pasal 50 ayat 3 UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan 1300-an sekolah berlabel Rintisan Sekolah Berbasis Internasional (RSBI). Dengan keputusan MK ini, berarti status RSBI harus dihapus.  Tetapi sesungguhnya pasal itu pula tak bisa dilepaskan dari gejala internationalisasi universitas-universitas negeri di sini.  Bisakah kita mengisolasi diri dari standar internasional?

Sudah bukan rahasia umum belakangan ini kampus-kampus universitas negeri pun pembuka  program-program studi internasional yang ditawarkan dalam bahasa Inggris, dengan nilai sumbangan orangtua yang tinggi, ruang lebih nyaman, dan ada kerjasama internasional.  Beda program-beda biaya, beda pelayanan dan beda kulturnya.  Sudah bukan rahasia umum pula bahwa kampus universitas negeri tidak hanya diisi anak- anak rakyat jelata yang butuh subsidi, melainkan juga kaum berduit yang berangkat ke kampus naik mobil mahal.  Bila para politisi dan pengamat menilai keadilan hanya bisa diciptakan kalau uang kuliah dibuat sama rata dengan harga rendah, anak-anak kaum jelata justru bertanya, "mengapa mereka yang mampu membayar sama dengan kami?"  Beda ruang membuat pikiran berbeda, kemiskinan perspektif melahirkan pahlawan yang tersesat dalam hutan belantara opini.

Tantangan Dunia Pendidikan Indonesia
Masyarakat kita sungguh mendua.  Di satu pihak marah-marah kalau membaca berita bahwa ranking universitas atau posisi pendidikan kita mengalami kemerosotan, dan bangganya minta ampun kalau nama kampusnya masuk dalam top list kampus dunia. Namun di lain pihak dalam diskusinya  menuntut agar jangan "go internasional".  Bangga jadi anggota G20, tapi tak merasa sudah hidup di negara kaya.  Bayar pulsa telepon dua ratus ribu rupiah setiap bulan, tapi merasa tak mampu membayar listrik dua ratus ribu rupiah buat sekeluarga. Menuntut harga bensin tidak naik, tetapi merasa sedih ketika melihat saudara-saudaranya yang tinggal di perbatasan tak punya jalan yang bagus.  Semua itu sebenarnya akibat dari pilihan-pilihannya sendiri, baik ketidakmampuan pemimpin mengarahkan, maupun keinginan kelompok tertentu yang terus menekan.

Bagaimana di era globalisasi Anda bisa mengisolasi dunia pendidikan kita dari kurikulum Internasional?  Tahukah Anda, bahwa sebentar lagi pasar bersama Asean bersama beberapa mitranya (Cina, Jepang, Uni Eropa dan lain-lain) akan bergabung sehingga hampir semua bangsa bebas bersaing dengan SDM kita di sini?  Tahukah Anda bahwa para tenaga kerja wanita kita pun sudah berbahasa asing?  Ada lebih dari 150 ribu bekerja di Taiwan dan lebih besar lagi di Hongkong.

Tahukah para pendidik, nilai seorang tenaga kerja diukur dari kemampuannya melakukan pekerjaan dengan standar internasional?  Tahukah anda bahwa universitas terkenal dan terbaik di dunia sekarang telah berpindah ke Google University?  Tahukah Anda kesulitan yang dialami Indonesia dalam mendaftarkan warisan kekayaan budaya tak benda (seperti angklung dan batik) bukan karena pada kualitas budayanya, melainkan jarangnya karya-karya itu ditulis secara ilmiah dalam bahasa Internasional?  Bahkan salah satu warisan budaya itu diterima berkat kerja keras seorang dalang bule yang tidak dididik di sini yang menulis untuk kita di jurnal ilmiah internasional.

Di zaman seperti ini, memiliki sumber daya alam yang berlimpah saja belum bisa dipakai untuk menciptakan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat.  Punya minyak bumi, belum bisa dipakai menjadi BBM, sebab untuk menjadi BBM diperlukan manusia berpengetahuan yang didukung oleh teknologi tinggi.  Ada teknologi, riset, pendidikan, bahasa internasional, dan manajemen yang sophisticated untuk menghasilkan itu semua.  Tak ada bangsa yang mampu menciptakan sebuah teknologi hanya dari rasa lesukuan, dari pikirannya sendiri.  Setiap bangsa saling berketergantungan dan saling mmbutuhkan untuk mengekspoitasi kekayaan alam, menghasilkan kesejahteraan.

Program Studi Internasional
Saya sering bertanya mengapa belakangan ini banyak kampus kelas dunia yang datang  saling menawarkan kerjasama.  Ada yang motifnya komersial, namun juga banyak yang motifnya mendapatkan manusia-manusia berbakat terbaik  dunia.  Mereka sadar betul, daya saing dan keunggulan suatu bangsa sudah tidak ada urusannya lagi dengan otot, melainkan bakat.  Dan untuk membentuk bakat yang kuat, bangsa itu harus masuk ke dalam kecapakan bakat ( bukan kecakapan nilai ujian), merit system, bukan etnik atau golongan. Hasilnya sudah kita lihat dalam sepakbola dan basketball.  Atlit-atlit manca negara menjadi rebutan, tak perduli apapun kewarganegaraan mereka.

Di negara-negara itu, ilmuwan-ilmuwan yang berasal dari sebuah desa di Pakistan atau Iran, dari Seoul atau Moscow, berbaur meneliti tentang hal yang sama, menciptakan inovasi-inovasi kelas dunia.  Bahasa apa yang bisa menyatukan mereka?  Bisakah mereka membangun teori baru tanpa bahasa asing yang diterima secara luas?  Apakah mereka yang sudah berbahasa asing itu akan melupakan bahasa ibunya?  Jawabnya adalah tidak.  Bahkan Cinta Laura pun yang tengah belajar di luar negeri tetap mampu berbahasa Indonesia, kendati lidahnya tetap sulit dibentuk seperti lidah kita.

Banyak pendidik dan penegak hukum yang tak menyadari bahwa kemampuan berbahasa Inggris tak bisa dibentuk hanya oleh mata pelajaran bahasa Inggris yang hanya mengajarkan grammar.  Mengajarkan grammar sama dengan membentuk atlet hanya melalui teori olahraga.  Tahu banyak, tapi tak bisa menggunakannya.  Bahkan dengan bahasa yang diajarkan secara intensif sekalipun, kemampuannya berbahasa asing yang diajarkan dalam bangsa yang tak berbahasa itu paling tinggi hanya mampu menyerap sekitar 40 persen.  Namun, apakah secara otomatis sebuah program internasional mampu menjadi seperti yang dikehendaki?  Jawabnya sederhana saja, tak ada perubahan yang bisa dibangun dalam satu malam seperti legenda Sangkuriang.  Dunia riil dibangun dengan pergulatan dan perkelahian-perkelahian intelektual, dan pertarungan managerial, yang membutuhkan bimbingan,coaching, pengendalian dan disiplin.  Bayangkan saja apa jadinya bila suatu bangsa melakukan transformasi tanpa disiplin, tanpa kerelaan berkorban.  Apalagi bila kecemburuan tinggi, dan orang-orang yang merasa ahli hanya ingin menjadi substitusi, bukan komplemen dari sebuah kekuatan yang dibangun bersama.

Saya tidak tahu bangsa ini mau bergerak ke arah mana membangun masa depan, selain mengajak para ahli hukum dan politisi (termasuk aktivis guru) lebih  terbuka menatap masa depan.  Hidup terus bergerak ke depan, dan anak-anak kita berhak mendapatkan standar yang lebih baik dari apa yang pernah kita dapatkan.  Dan saya tak akan diam menerima kenyataan ini.  Kita harus terus membuka ruang, baik bagi anak-anak di kota, maupun yang terpinggirkan.  Semua berhak mendapatkan peningkatan

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Memimpin Diri Sendiri - Jawapos 14 Januari 2013


Pepatah lama mengajarkan kebijaksanaan: “Sebelum memimpin orang lain, pimpinlah dirimu lebih dulu.” Sedangkan pepatah lainnya mengatakan: ”Taklukanlah dirimu sebelum menaklukan orang lain.” Di buku Recode Your Change DNA, saya pernah menulis, “Kala kita bodoh kita ingin mengendalikan orang lain, kala kita  pintar kita justru ingin menaklukan diri sendiri.”

Mengapa memimpin orang lain tidak mudah? Salah satu jawabannya manusia sulit menaklukan dirinya sendiri. Ya, orang-orang yang sulit menaklukan dirinya sendiri akan sulit mempengaruhi orang lain.
Di atas Galata Bridge yang menyambungkan kawasan Golden Horn di selat Bosphorus, Turki, 31 Desember 2012, saya menemukan ratusan orang yang tengah bertarung melawan dirinya sendiri. Masing-masing orang, berebut sepotong kapling di sisi jembatan. Ya, kapling sempit, sesempit diri masing-masing dengan celah 20-30 cm untuk memutar badan menarik kail. Masing-masing orang itu memang menggenggam  sebatang kail yang dilengkapi umpan. Seperti bertarung melawan burung-burung laut, mereka tekun menunggu umpannya di telan ikan-ikan kecil. Pertarungansegitiga: menaklukan ikan-ikan yang kelebihan makanan, memperebutkannya melawan burung-burung laut dan satu lagi, tetangga yang melempar kail di sisi kiri dan kanan. Oh iya, ada satu lagi, dan ini yang terpenting: bertarung melawan kenikmatan-kenikmatan diri. Bagi Anda yang ingin dapat cepat hasil tentu saja hal ini membosankan.

Hari sudah petang, saat ribuan orang justru tengah berdandan menuju Taksim Square, tempat pusat keramaian pesta menyambut Tahun Baru. Udara semakin dingin, sekitar 3 derajat celcius dan angin bertiup sejuk-sejuk – basah. Lampu kelap-kelip, bunyi terompet, bau aroma parfum Turki, lengkap dengan toko-toko yang tetap buka di sepanjang jalan Istiqlal menyambut ribuan orang dan turis asing. Sementara di Galata Bridge, kelompok yang lain menyatakan, “Ini saatnya menaklukan diri.”

Di bawah jembatan, ratusan pedagang Arab yang meneruskan tradisi dagang rempah-rempah sejak abad ke 6 Masehi tetap bergeming melayani pembeli. Seakan lupa, malam ini adalah malam yang penting. Suara adzan magrib mengisyarakatkan mereka untuk berhenti, tetapi gairah berdagang sulit ditahan. Waktu bergerak terus saat saya mendatangi mereka. Dan satu persatu seakan tersadar toko harus segera ditutup. Dan ribuan orang segera meninggalkan Egyptian, Bazaar.

Tak seperti jutaaan orang lainnya yang menunggu detik-detik pergantian tahun dengan kedinginan, kaum pedagang di Turki seperti tengah kepanasan. Tak sulit menemukan siapa jati diri mereka. Mereka adalah keturunan tentara Ottoman yang dulu mahir memainkan senjata hingga menaklukan Romawi. Di tangan mereka kerajaan Islam berjaya, namun di tangan mereka pula modernisasi digalakkan. Mereka pedaganag yang ulet, sekaligus bangsa yang tak terkurung di masa lalu.

Sulit bagi saya melupakan dua kelompok manusia yang dipisahkan oleh jarak yang sangat sempit. Hanya sejauh dua kilometer, dua pemandangan berbeda saya temui, yang satu (di Taksim Square) menikmati, yang satu berjaga (di Galatta Bridge). Seperti itulah kehidupan. Seorang pengail ikan yang bertarung menahan lapar di atas Galata Bridge berkata begini, “Jangan terkecoh oleh dandanan orang Turki. Di sini, bahkan pengemispun berpakaian rapi bak nyonya besar. Setiap orang hanya bisa dibedakan dari apa yang mereka lakukan, bukan oleh apa yang mereka kenakan.” Di Galata Bridge orang bekerja. Di jalan Istiqlal orang berbelanja. Begitulah kehidupan di negeri dua benua. Di satu sisi mereka adalah Eropa, di sisi yang lain Asia. Sebagian besar orang Turki bekerja di Eropa, bertempat tinggal di Asia. Bagi orang Asia, Turki adalah Barat, sedangkan di Barat mereka di anggap Timur. Mereka yang di Barat ingin ke Timur dan yang di Timur  ingin ke Barat.  Bertemunya di Galata Bridge itulah.

Anak saya yang masih duduk di sebuah kolese di New Zealand menimpali: “Sebenarnya sama saja dengan orang Indonesia. Apa yang dimiliki tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan siapa dia. Mobil boleh saja BMW seri 5 atau Daihatsu yang termurah, yang satu anak menteri yang satunya lagi anak rakyat biasa. Saat menabrak dan menghilangkan nyawa orang, keduanya sama-sama bertarung melawan batin masing-masing. Yang membedakan mereka hanyalah tanggung jawab. Yang satu turun menyelamatkan korban, yang satunya lari dari tanggung jawab, bahkan mencetak korban-korban baru akibat melarikan diri.” Tapi bukankah orang sering terkecoh dengan label. Tengok saja komentar-komentar di bawah setiap berita, anak menteri seolah dikesankan lari dari hukum. Padahal mereka dibentuk dari self, bukan label. Itulah yang membedakan manusia, yaitu apa yang bergejolak dalam diri masing-masing.

Di media massa saya membaca berbagai komentar. Sudah pasti lebih banyak amarah dan pikiran-pikiran negatif. Rasa anti pasti terhadap anak menteri lebih kuat dari anak biasa-biasa saja. Ada semacam luka batin yang menganga kuat di masyarakat kita, yang dibentuk oleh ketidakadilan yang tidak bisa diberikan sistem penegakkan hukum sejak zaman kemerdekaan yang semakin parah pasca reformasi. Di awal tahun ini saya ingin menjajah eksekutif-eksekutif Indonesia, juga para guru dan rakyat biasa untuk tidak sekedar menaklukkan orang lain. Kematangan kita terletak dalam cara kita menyalahkan kata-kata jahat yang ada dalam diri kita. Itulah self leadership.

Rhenald Kasali
Founder RUmah Perubahan

Selasa, 08 Januari 2013

Chicken Stays, Eagle Flies - Jawapos 7 Januari 2013


Kisah persahabatan antara ayam dengan burung elang pernah saya bahas dalam buku Cracking Zone. Kisah persahabatan keduanya selalu menarik perhatian, termasuk penerima hadiah Nobel Desmond Tutu, penulis Avelynn Garcia, eksekutif Christopher Gregorowsky dan kartunis Niki Daly. Belum lama ini, bahkan Gregorowsky menulis buku yang sangat inspiratif: Fly, Eagle, Fly: An African Tale.

Dan akhir tahun lalu, di tengah-tengah konversi manajemen mutu di Surabaya, saya juga ditanya soal yang sama. Soal itu tak lain tentang sulitnya “mengkandangkan” elang. Dan ini menjadi tantangan besar pengelola UKM di tahun 2013. Masalahnya elang adalah satu-satunya burung yang berburu sendirian. Mereka bukan makhluk kandangan. Mereka terbang tinggi, dan semakin tinggi saat badai menerjang. Kalau makhluk-makhluk lain berhenti terbang saat badai datang, elang justru menggunakan badai agar bisa terbang lebih tinggi lagi.

Elang adalah simbol dari manusia produktif, intrapreneur, pekerja profesional yang melanglang buana dengan helicopter view, dan menerkam peluang secepat kilat. Larinya lincah. DNA nya dibentuk dari mengamati, belajar dan berbuat. Bukan Cuma tengok kiri-tengok kanan. Elang adalah risk taker, pemberani, penjelajah berkaki kuat, meski dia sendirian dan sulit dikandangkan.

Dua Sahabat
Dalam buku Wren (Wren’s World) diceritakan persahabatan kedua makhluk ini. Dan coba renungkan siapakah anda, ayam atau elang, dan tanyakan siapa yang anda “pelihara” atau siapa yang jadi rekan-rekan kerja anda, ayam atau elang. Sekali lagi jangan tersinggung, ini hanya metafora.

Diceritakan kedua sahabat itu pergi beriringan (meski elang bisa menerkam si ayam, tetapi keduanya bersahabat). Setiap kali elang terbang, si ayam lari pontang-panting, terbang-terbang sedikit. Tetapi elang suatu ketika berhasil mengajak terbang tinggi dan si ayam buru-buru minta turun karena perutnya mual. Dan matanya dipenuhi rasa takut. Mereka lalu berhenti di sebuah kandang sapi bertemu dengan hewan tambun yang biasa diberi makan enak.

Mereka terkejut ternyata paman sapi baik hati dan mau berbagi jagung-jagung yang dimakannya. Mengapa begitu? “Di sini makanan berlimpah, mudah didapat, tuan kami baik hati, setiap hari kami diberi makan,” jawab paman sapi. Ayam betina memutuskan tinggal di sana dan meninggalkan sahabatnya. Ia berpikir enak tinggal di lumbung jagung, makan diberi. “Capek cari makan sendiri,” ujarnya.

Elang terkejut. Baginya aneh ada makhluk yang bisa makan tanpa melakukan apa-apa. Diberi rumah dan makan cuma-cuma. Persahabatan mereka berakhir. Elang memilih terbang bebas, ayam memilih tinggal di kandang sapi, makan sepuas hati. Ia tak pernah beberja keras. Sampai suatu pagi ia mendengar ibu petani mengatakan ingin makan ayam goreng. Si ayam gelisah. Ia memutuskan kabur secepatnya. Ingin kembali terbang, tetapi badannya telah kegemukan. Sayap-sayapnya tak mampu membawanya terbang jauh. Ia hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya.
Esoknya, hidup si ayam selesai di meja makan, menjadi santapan pemberi makan

Paradigma Turn Over
Moral story dari kisah itu tentu tak jauh dari prinsip driver-passenger yang sering saya ulas. Manusia punya pilihan: bekerja keras menjadi elang, terbang merantau, melatih kaki yang kuat-mata yang tajam, setajam para bikers di kota New York yang bertugas mengantar surat dalam hitungan detik (lihat film Premium Rush) atau menjadi “penumpang” yang hidup enak tanpa tuntutan, tanpa keterampilan hidup. Menjadi “ayam” adalah sama dengan bekerja pada perusahaan yang membiarkan anda bekerja atau tidak, tidak ada evaluasi, target atau genjotan-genjotan.

Dan ini tentu berkaitan dengan cara berpikir para manajer SDM, dan para pemberi kerja. Paradigma lama dalam administrative people management menekankan pentingnya menjaga agar turn over SDM diupayakan tidak tinggi. Ini tentu bagus bagi perusahaan-perusahaan besar dimana karier bisa dibangun berlapis-lapis.

Namun di era Cracking Zone, sebuah fakta baru perlu diperhatikan, turn over yang rendah (normalnya di bawah 2%) justru bisa menimbulkan efek “Chicken Stays.” Ya, seperti yang kita rasakan di dunia pelayanan publik. Chickennya kurus-kurus, meski makannya banyak, tetapi matanya redup, daya juangnya rendah. Chicken adalah simbol dari pegawai yang kemungkinan besar penakut dan pemalas, bukan pejuang.
Lantas apa yang harus dilakukan?

Saya kira tak ada cara lain, metode recruitment mesti diubah, dari rekruitmen setahun sekali menjadi rekruitmen sepanjang waktu. Dari rekruitmen berdasarkan signal ijazah kepada tata nilai. Dari mental passenger menjadi driver. Letih tapi membuat hidup lebih mudah di hari tua. Inilah yang saya ulas dalam buku Cracking Values yang menunjukkan pentingnya nilai-nilai dalam mempertahankan keunggulan di abad 21. Jangan merasa susah ketika dibuat susah perusahaan atau negara dan sebaliknya jangan bersenang-senang ketika dimanjakan keadaan.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

If You Want To.... - Jawapos 31 Desember 2012

Di ruang kerja saya di kampus saya pernah memajang kata-kata mutiara berikut ini:  "If you want to, you'll find a way.  If you don't want to, you' ll find excuses."
Kalimat itu tentu saya tujukan kepada anak-anak didik saya yang ingin hidupnya berubah dan yang tanpa menyadari terperangkap dalam banyak kesulitan.  Tidak sulit membedakan mana orang yang mau maju dan mana yang terperangkap.  Yang satu mencari jalan, sedangkan yang lain mencari  alasan.  Yang satu akan menjadi pemenang, yang satunya pecundang.

Orang-orang yang mau maju selalu bergerak ke depan apapun rintangan yang dihadapi.  Mereka biasanya tidak menghindar dari pekerjaan-pekerjaan atau dosen-dosen yang menyulitkan hidup mereka. Tentu mereka berhitung dan memilih jumlah kesulitan, tetapi bukan melulu mencari jalan yang mudah.    Mereka perlu membaca dan menganalisis apa yang akan dihadapi, tetapi apapun kesulitan atau ancaman yang ditemui, selalu dihadapi.  Mereka teguh menggapai objective.  Dan orang terpenting yang harus dihadapinya adalah dirinya sendiri.

Sedangkan orang-orang yang terperangkap dalam kesulitan selalu berorentasi pada orang lain, yaitu mengharapkan pemakluman.  Orang-orang ini pada dasarnya adalah orang yang "tidak mau" dalam arti yang seluas-luasnya.  Tidak mau susah, tak mau pusing, tidak mengerjakan hal-hal yang sulit, tidak bekerja keras, tidak menerima hukuman, tidak mau disiplin, tidak mau membayar biaya yang harus dikorbankan dan seterusnya.  Ia hanya akan datang kepada anda membawa alasan, bukan solusi atau hasil dari kerja kerasnya.

Maka bisa diterka kemana muara mereka.  Yang satu selalu menemukan jalan karena mereka mencarinya, sedangkan yang satu selalu menemukan jawaban berupa alasan-alasan. Dan harap maklum, tak ada manusia yang membuat alasan untuk memperbaiki kesalahannya.  Mereka membuat alasan semata-mata untuk mendapatkan pemakluman dari orang lain.

Anak-anak Kita 
Di akhir tahun ini anak-anak bisa berkumpul bersama orang tua. Dan diantara mayarakat  yang berlibur, selalu ditemukan jalan untuk berbagi dan menanamkan values kepada anak-anak.  Pada saat itulah sebenarnya anda bisa bebagi pengalaman hidup tentang apa yang telah anda lakukan dan apa yang membawa anda ke sini, atau apa yang telah membuat hidup anda penuh kesulitan.

Salah seorang anak saya yang masih duduk di bangku SMU baru saja memutuskan untuk mengubah mata pelajarannya yang diambil tak lama setelah ia membaca kata-kata mutiara itu.  Tidak seperti sekolah di sini yang memisahkan IPA dan IPS, di New Zealand ia dibebaskan memilih 4 mata pelajaran selain dua mata ajaran wajib.  Ya, cuma 6.  Beda sekali dengan jumlah mata ajaran yang diambil rata-rata anak di Indonesia: 17!  Karena pilihan, maka otomatis anak-anak remaja akan mengambil mata ajaran yang termudah, yang paling mereka suka.  Ini persis sama dengan kebiasaan mahasiswa kita berwirausaha, selalu memilih bidang usaha yang gampang (gorengan atau rebusan kuliner) sekalipun sekolahnya teknik nuklir atau fisika.
Namun seperti saran ilmuwan Carol Dweck, anak-anak jenius ternyata tidak menjadi apa-apa di masa depannya kalau selalu dipuji karena mudah mengerjakan mata ajaran yang diambilnya.   Dan seperti yang kita duga juga, wirausahawan muda yang usahanya gampang-gampang akan gampang ditiru juga. Ibarat membangun rumah di padang pasir, fondasinya rapuh, perintang agar orang lain tidak masuk-- seperti hak paten, keunikan teknologi atau keterampilah khusus--tidak ada.  Bayangkan apa jadinya bila usaha gampang-gampangan ini segera diberi award dan dibanggakan pemerintah.

Maka, lanjut Dweck, orangtua perlu mengatakan, "kalau mudah itu tidak fun!". Saya pun menantang anak saya.  Tetapi seperti biasa pikirannya selalu tertuju pada gampang atau sulit.  Rupanya ia trauma dengan guru-guru yang banyak mempersulitnya selama sekolah di sini.  Dan setiap kali menemukan kesulitan, ia tak menemukan pintunya.  Tetapi kali ini saya mengajak anak saya menatap jauh ke depan.   "Kalau semua subjek yang diambil yang mudah-mudah, engkau tak akan memiliki keunggulan di masa depan.  Maka selagi muda, lakukanlah hal yang sulit, berani hadapi kesulitan karena engkau akan mendapatkan kemahiran."
"Kemahiran apa, ayah?", tanyanya.  "Minimal kemahiran mengatasi masalah," jawab saya.  Esok paginya, ia memberikan jawaban.  Ia mengubah pilihan mata ajaran yang diambilnya.  Sewaktu saya tanya lebih jauh ia memberikan jawaban, "aku harus bekerja dengan prioritas.  Yang ini sulit, tapi kalau tidak kuambil sekarang nanti hidupku yang akan sulit.  Yang ini mudah, tapi kalau tidak aku ambil sekarang, nanti pun bisa kuambil dan tetap mudah."


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Saatnya Liburan - Sindo 27 Desember 2012


Di atas pesawat yang membawa saya ke Turki, seorang pria berkebangsaan Malaysia duduk melamun memandangi hujan yang membasahi kaca jendela.  Sebelum turun di Kuala Lumpur ia bercerita betapa dongkolnya mengunjungi Jakarta.  Tiga jam duduk di atas taxi dari hotel menuju Mangga Dua tak kunjung tiba, akhirnya ia meneruskan perjalanan ke bandara dan kembali pulang.

Kisah terjebak banjir dalam berwisata bukan hal yang baru di dunia ini.  Di Amerika saja Anda bisa terperangkap banjir atau terhadang badai tornado.  Saya juga pernah kehilangan waktu dan uang saat tur menuju Lake Tahoe di California  karena terhadang badai salju yang tebal.  Juga bukan hal aneh bila anda terhadang banjir atau kebakaran hutan  di Australia.  Bahkan dua tahun yang silam saya meninggalkan Suriah hanya satu hari sebelum terjadi konflik bersenjata.

Hari-hari ini jutaan orang pergi berlibur, berdoa, melakukan ziarah, bersilaturahmi, berbelanja dan sebagainya.  Data terbaru dari World Tourism Organization menunjukkan, tahun ini jumlah pelancong lintas negara telah menembus satu miliar manusia.  Ini berarti satu dari enam penduduk dunia telah bepergian lintas negara. Dan kalau yang lima sisanya bepergian domestik, berarti hampir semua penduduk dunia adalah konsumen wisata.  Siapkah Indonesia menjadi penghasil devisa pariwisata yang penting?

Pemburu Perdamaian 
Manusia yang berwisata pada dasarnya bukanlah manusia yang senang konflik. Juga tak ada bangsa yang lebih bodoh daripada yang menghamburkan anggaran promosi wisatanya sebelum menurunkan angka kiminalitas dan memperbaiki sanitasinya, termasuk pembuangan sampah.  Maka dari dulu saya pikir mengurus pariwisata  bukanlah urusan pasang iklan, dan ikut pameran di luar negri, melainkan memperbaiki produk seperti yang dilakukan Turki yang dulu juga tidak aman, atau walikota Palembang yang membersihkan preman sehingga kita kini merasa nyaman berwisata di jembatan Sungai Musi.  Bahkan sejak terjadi konflik, Syria yang dulu sedang giat beriklan berhenti berpromosi.   Padahal di sana banyak situs peninggalan sejarah, termasuk bekas pasar yang pernah didatangi Nabi besar Muhammad SAW.

Memang ada banyak motif manusia berwisata, tetapi semua orang ingin mendapatkan sesuatu, ya pengetahuan, keindahan alam dan budaya, pengalaman, getaran jiwa, oksigen, kesehatan dan sebagainya.
Di Istanbul-Turki saya bertemu sepasang dokter berkebangsaan Pakistan yang sudah 30 tahun membuka praktek di Wisconssin-USA, seorang investment banker asal Singapura dan seorang tua asal Spanyol yang menggandeng seorang wanita muda yang tak henti -hentinya berpelukan di depan keramaian.  Di depan menara Blue Mosque yang sangat terkenal, dokter asal Pakistan itu menanyakan kebenaran tentang arsitek yang kepalanya dipenggal Sultan karena membangun masjid yang tak sesuai dengan keinginannya.
Ahmed,  sejarawan muda yang mengantar kami menjelaskan, "Ada beberapa versi sejarah.  Memang Sultan tidak senang ketika melihat bangunan Masjid tak sesuai dengan keinginannya.  Setelah itu arsiteknya hilang.  Tetapi versi lain menyebutkan, mereka hanya menghilang selama 6 bulan, pergi ke Mekkah untuk melihat Ka’bah, lalu kembali dan menambah satu menara lagi sesuai keinginan Sultan," ujarnya.

Di museum Aya Sofia (Hagia Sofia) yang indah kami kembali tertegun.  Gereja Katedral ortodox terbesar di timur yang berada di seberang Blue Mosque itu, dulu dibangun kaisar Konstantinopel pada abad ke 4.  Tetapi di era kejayaan kerajaan Ottoman, oleh Sultan Mehmed 2, bangunan ini diubah menjadi masjid.  Bel gereja dan altar dipindahkan, ornamen-ornamen khas gereja ditutup.  Kaligrafi Arab dipasang di bagian dalam bangunan.  Mimbar, menara masjid dan mihrab ditambahkan.

Namun setelah Turki menjadi Republik, bapak bangsa Turki, Mustafa Kemal Ataturk mengembalikan bangunan kuno itu menjadi museum.  Dan selubung  ornamen gereja yang ditutup sejak tahun 1453 dilepas.  Kini pengunjung museum bisa menyaksikan  jerih payah perjalanan manusia mencari Tuhan.  Di puncak altar, ada  ornamen gereja yang dilukis seniman Bizantium berupa Bunda Maryam yang memangku Isa.  Dan di kiri kanan nya terpampang kaligrafi arab yang indah tentang kebesaran Tuhan.

Kepada seorang profesor Turki saya menanyakan keberadaan Turki dalam EU.  Ia menjawab sambil tersenyum, "Lima belas tahun kami berjuang agar bisa diterima EU, sampai kini tak jelas rimbanya.  Sekarang kami bersyukur tak masuk ke dalam EU.  Kini merekalah yang butuh Turki.  Kini semua orang Eropa ingin menghabiskan uangnya di Turki yang aman dan ekonominya sehat"

Berwisata, Berpengetahuan 
Sudah sejak lama saya mempercayai  berwisata merupakan wadah pembelajaran yang penting.  Maka saya sering tersenyum -senyum membaca komplain masyarakat terhadap prilaku  anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang senang berjalan-jalan. Melancong itu sehat, sah dan bagus untuk merubah manusia.  Sayangnya tak semua manusia senang dengan perubahan.  Yang pasti, hanya yang masih mau belajarlah yang bisa berubah, dan itu akan tampak dari apakah ia memakai uang sendiri atau tidak.

Saya sendiri sejak lama mewajibkan mahasiswa saya memiliki passport.  Punya passport itu sehat, apalagi sekarang biaya tiket pesawat banyak yang murah.  Di luar negeri, saya sering melihat anak-anak sekolah biasa diajak gurunya melancong ke luar negeri.  Mereka belajar tentang gunung berapi ke Hawai, batu-batuan alam ke Samoa, dan sejarah Hindu ke Candi Borobudur.  Sebelum memasuki perkuliahan, calon-calon mahasiswa dari negara-negara di Eropa bergerombol memburu tiket lelang.  Mereka menjadi backpackers, menginap di hotel-hotel bertarif murah.  Semuanya memakai uang pribadi, bukan subsidi, bukan perjalanan dinas.

Dari para backpackers lah saya mengerti betapa banyak persoalan pariwisata yang belum diurus pemerintah.  Ribuan makalah tentang pariwisata yang ditulis mahasiswa asing di luar negeri menyebutkan arah patiwisata Indonesia tidak jelas, cuma berpromosi saja.  Mereka juga menyoroti kelucuan  daftar 30 makanan asli Indonesia yang akan dipromosikan.  Nasinya saja ada tiga (tumpeng, goreng kampung dan liwet).  "Memangnya kami harus makan semua?," tanya mereka.  Belum lagi kesemrawutan lalu lintas, sampah dan keamanan.

Tetapi apapun juga harus diakui di beberapa lokasi kita masih bisa menikmati suasana wisata yang  berbeda. Naik becak di Cirebon sambil makan nasi jamblang dan belanja batik, makan nasi liwet dan borong batik di Solo, menikmati angklung Ujo di Bandung, mengelilingi sawah di Ubud, membeli gelang baja putih ex pesawat tempur Sekutu di Morotai, menikmati ikan jelawat di Pontianak, atau menembus hutan pala di Maluku.

Jadi, bersyukurlah anda yang masih diberi waktu, kesehatan dan uang untuk berlibur.  Ini saatnya bercengkerama bersama keluarga.  Berikanlah kesempatan bagi anak-anak anda menjadi guide, memilih hotel, dan menentukan rute perjalanan.  Hanya dengan cara itulah kepala anda bisa menjadi ringan, dan liburan benar-benar bisa dinikmati.  Dan dengan cara itu pula anak-anak bisa menjadi driver bagi hidup mereka sendiri, bukan passenger yang selamanya menumpang dalam kehidupan orang lain.  Selamat berlibur.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan