Laman

Selasa, 19 Maret 2013

Silence Day, Sindo 14 Maret 2013

Setelah Car Free Day, ada baiknya kota-kota besar Indonesia juga memberlakukan Silence Day.Orang Bali menyebutnya Nyepi. Tujuannya adalah pembersihan diri, fisik maupun spiritual. Bumi pun ikut bernafas lega, alam semesta merayakan ketenangan. Suara burung, angin dan air jauh lebih indah dari klakson sepeda motor dan cacian  pengemudinya.

Televisi yang menyiarkan kegaduhan berhenti sejenak, juga gosip-gosip yang meng-entertain kesusahan orang lain.  Banyak orang yang tak menyadari keluhan-keluhan dan rasa bencinya telah mempengaruhi perputaran hormon orang-orang lain. Kegelisahan dan rasa iri begitu mudah diedarkan, dengan akun palsu yang dibuat sendiri, gratis pula. Tak banyak yang menyadari bahwa energy negatif itu tak lepas dari hukum kekekalan energy, terus menekan tiada henti.
Beberapa kali saya berada di tengah-tengah masyarakat Bali menikmati hari Nyepi. Saya merasa tengah berdialog dengan Tuhan dan penuh kedamaian. Esok paginya, udara jauh lebih bersih. Oksigennya banyak dan segar sekali.

Namun seperti biasa, bagi orang kota yang terperangkap dalam suasana itu, apakah karena pesawatnya tak bisa terbang, atau tugas butuh waktu lebih lama berada dalam suasana itu, suah pasti menimbulkan kegalauan. Bagi orang kota, perubahan selalu disambut dengan kegaduhan dan perlawanan. Khususnya, saat lampu di lorong-lorong hotel dipadamkan, diganti lilin-lilin kecil. Sejumlah orang mengeluh. Beberapa orang yang ingin berlibur merasa telah tertangkap dalam kesunyian. Mau pulang tidak bisa, jadi yang keluar hanya keluhan. Namun begitu selesai, mereka lah yang pertama-tama menyebarkan rasa bahagia. Setiap pengorbanan selalu ada imbalannya, demikian juga setiap amarah ada karmanya.

Aura Negatif
Kerabat-kerabat saya di Pulau Dewata sering mengucapkan kata “aura positip-aura negatip”. Menurut sahabat-sahabat saya di Desa Kedewatan-Ubud, hampir setiap upacara, Umat Bali secara simbolik melakukan pembersihan diri, sekaligus menjinakkan aura-aura negatif. Nafsu duniawi, ankara murka, semua yang jahat dilambangkan dengan warna hitam dan wajah-wajah yang menakutkan. Semua itu harus dijinakkan. Di Jakarta kita menyebutnya setan atau iblis. Roh-roh jahat pembawa penderitaan.
Sedangkan yang baik-baik, suci dilambangkan dengan segala yang serba putih dan berwajah ceria. Hitam dan putih selalu berjalan beriringan. Tanpa ada hitam, tak ada keindahan putih.

Bagi saya, sehari saja orang-orang kota berhenti beraktivitas dan menjalankan silence day,manfaatnya akan banyak sekali. Apalagi bila Catur Brata juga dijalankan: Amati geni, amati karya, amati lelungan, amati  lelanguan. Berhenti menyalakan api (tidak mengobarkan hawa nafsu), berhenti kerja rohani (fokus pada Tuhan, menyucikan rohani), tidak bepergian (instrospeksi diri, kontemplasi), dan tidak mengobarkan hedonism. Bayangkan berapa ton carbon hitam yang bisa kita hemat, dan berapa juta ton dosa umat manusia, termasuk segala sampahnya bisa kita bersihkan.  Kapitalisme hanya bisa berhenti kalau semuanya berhenti  konsumsi bersama-sama. Walau cuma sesaat.

Buat orang desa, diam berarti emas. Tetapi buat orang kota, bicara itu emas. Seorang penyiar radio berkelakar, "saya dibayar hanya kalau saya bawel."  Entah bicara positif, entah negatif. Pokoknya bicara. Tetapi bagi orang-orang  yang mendengarkan, emas itu baru berkilauan kalau banyak orang diam. Sesuatu yang berkilauan itu hanya tampak dari aura-aura yang positif.

Aura-aura positif dan negatif sama-sama saling menularkan. Orang tak senang terhadap sesuatu hal akan didukung oleh orang-orang yang juga tidak senang. Provokator pun laris manis, disambut umpatan-umpatan baru. Di sosial media, seorang yang yang menyebarkan kalimat-kalimat negatif, jarang dibantah. Yang ada hanya gulungan-gulungan aura negatif. Hanya orang yang punya lentera jiwa yang terang yang berani mematahkan aura-aura negatif itu.

Kicauan negatif biasa dijawab dengan umpatan-umpatan yang lebih negatif. Seorang dokter yang memasang foto kepala seekor anjing di Facebook-nya bisa-bisanya mengeluarkan umpatan-umpatan liar sambil mengutip kalimat seorang imam (yang juga beraura negatif). Ia seperti tengah melupakan profesinya. Tetapi begitu dikritik, ia dengan lantang menyebutkan, “Saya dokter di rumah sakit ‘X’.”

Indonesia Yang Lebih Sejuk
Kalau orang kota menjalankan silence day sehari saja, rasanya Indonesia akan lebih sejuk. Polusi udara dan polusi pikiran akan membuat bangsa ini lebih sehat. Toh kita sudah lihat, orang-orang yang bersuara negative ternyata “penjahat” pula. Dulu kita pikir mereka hebat, pemberani, kritis dan jujur.  Ternyata mereka menyimpan agenda-agenda terselubung. Menyerang untuk bertahan. Banyak persoalan yang mereka sembunyikan. Dan begitu dibuka, marahnya minta ampun. Bahkan bisa memperkarakan orang lain.
Aura-aura negatif ini sudah terlalu banyak ditabur, dan memperangkap banyak orang.  Kita pikir itu demokrasi, padahal democrazy.

Wartawan saja bisa terkecoh, karena mereka pandai membuat “framing”. Pandai menjerat tokoh-tokoh besar untuk meng-endorse langkah-langkah itu. Kalau manusia kota berhenti berbicara, berhenti menaburkan aura-aura negatif, maka manusia introspektif akan terbentuk. Seperti kata Deepak Chopra. “Alam semesta saling berinteraksi, pikiranmu adalah pikiran alam semesta, energimu adalah cerminan dan energi alam semesta”. Fan alam semesta adalah representasi dari pikir manusia yang tinggal di dalamnya, yang berinteraksi dengannya.

Jadi, orang Jakarta, seperti juga Surabaya, Semarang, Solo, Jogja, Bandung dan Serang. Dan kota-kota besar lainnya, perlu membudayakan silence day cukup sehari saja setahun untuk menciptakan kerukunan dan kebahagiaan. Semua berhenti, kecuali suara adzan, lonceng gereja atau panggilan memuja Allah.  Siapa mau memulainya?


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Lentera Jiwa (2) - Jawa Pos, 11 Maret 2013


Ketika seseorang bertanya bagaimana caranya menjaga kebugaran agar selalu tampak segar dan bersemangat, maka sebenarnya jawaban terbaik ada pada menyala atau tidaknya lentera jiwa seseorang.  Di rumah, kala saya sedang mengalami tekanan psikologis, istri saya selalu mengatakan "wajah saya sudah berubah menjadi seperti pak dosen".  Lama saya tak mendengar lagi kalimat itu, tetapi saya pernah memikirkannya.

Rupanya ia tak mau wajah suaminya menjadi mirip rata-rata dosen yang kata dia "menjadi lebih tua dari usianya".  Saya baru menemukan jawabannya ketika suatu waktu Najwa Shihab mempertemukan saya, Prof Emil Salim  dengan Ninik L Karim, dosen Fakultas Psikologi UI untuk menyambut mahasiswa baru. Di atas panggung auditorium UI, kami bercerita tentang kehidupan kami bagaimana meniti karier dan menembus tembok-tembok kesulitan sepanjang masa. Saat jeda, saya sempat bertanya pada Ninik, apakah sosok seperti dia klaim berada di kalangan dosen? Apakah tidak mengalami masalah dengan pola karier seperti ini?

Di luar dugaan saya, pemain teater yang pernah meraih beberapa kali piala Citra di layar lebar itu justru bertanya balik ke pada saya.  Saya katakan, justru itulah saya bertanya, karena sesungguhnya saya ingin tahu apakah orang seperti saya di fakultas lain juga mengalami hal serupa?  Selain mengajar, Ninik dikenal sebagai selebritas, dan dulu sering muncul di layar lebar.  Kalau sekarang anda menyaksikan akademisi menjadi pengamat dan sering masuk TV adalah biasa, tidak demikian sepuluh-dua puluh tahun lalu.

Ninik bercerita panjang lebar bagaimana ia dianggap aneh oleh komunitasnya.  Bahkan yang lain bercerita, mereka seperti digunjingkan, tak diinginkan oleh komunitasnya. Tetapi Ninik kemudian mengatakan, "Tetapi saya bahagia Mas, saya lakukan semua ini karena panggilan jiwa saya.  Sementara ada ratusan dosen yang melakukan profesinya bukan karena panggilan jiwanya”. Maka layaklah mereka menjadi dosen killer, mudah tertekan, cepat tersinggung, sulit mengungkapkan mau hatinya, bahkan sulit berprestasi optimal.  Padahal, seorang guru sejati bukanlah orang yang senang marah, mempersulit orang lain, mengatakan orang lain tak mutu, bahkan mengatakan hanya dirinya yang bisa bernalar.  Bagi saya semua in hanyalah cerminan dari tak menyalanya lentera jiwa.  Mereka bahkan the caged life (perangkap jiwa) atau bahkan sudah comfortable life (mempertikai kenyamanan).

Pertanyaan Jiwa

Maka sampai di usia 30-40 an, seorang yang sedang meniti karier perlu bertanya pada jiwanya dan pertanyaan itu adalah cermin dimana ia berada.  The Caged Life, kata Brendon Burchard, akan selalu diwarnai perasaan-perasaan takut setiap menyaksikan perubahan apa saja. "Apakah saya bisa survive"? Dan fokusnya hanya pada "aman atau tersakiti".
The comfortable life sebaliknya akan bertanya, "Apakah saya akan diterima dan berhasil"? Dan fokusnya pada penerimaan.  Sedangkan pemantik lentera jiwa akan bertanya, "apakah daya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualiasikan potensi diri saya?  Apakah saya telah melakukan hidup yang inspiratif dan mengirai oang lain".

Bagi saya, maaf, percuma saja  berteriak kejujuran dan etika, bila diri sendiri menjalani hidup yang terpenjara.  Orang yang terpenjara tidak hidup dalam apa yang ia inginkan, ia banyak menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang sulit ia jawab sendiri.  Sementara bagi pemantik lentera jiwa, credo yang dianutnya asalah, " ask not what you are getting from the world but, rather what you are giving to the world".

Maka, mereka tak pernah merasa keletihan karena setiap hari selalu menyaksikan hal-hal baru.  Ini berbeda dengan The Comfortabe Life yang selalu menjalani rutin dengan kebosanan.  Bagi pemantik lentera jiwa, "life is magical and meaningful". Mereka tak takut menghadapi gelombang-gelombang ancaman, mereka hanya peduli" apakah ini benar atau tidak" dan "apakah ini meaningful".  Selamat menyalakan lentera jwa masing-masing...


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Selasa, 12 Maret 2013

Kurikulum baru dan Kritik dalam Pembaharuan - Sindo, 07 Maret 2013


“Criticism may not be agreeable, but it is necessary. It fulfills the same function as pain in the human body. It calls attention to an unhealthy state of things.”
― Winston Churchill

Dahlan Iskan pernah menyebutkan dalam setiap perubahan selalu saja ada kelompok 10% yang baiknya "dieman-eman" (istilahnya) saja. Pokoknya mereka akan selalu menentang.  Di komunitas perubahan, kami biasa menyebut kelompok itu sebagai "oposan abadi".  Kelompok ini unik dan kalau kita mengerti cara berpikirnya, sebenarnya bisa menjadi hiburan ketimbang menjadi lawan yang menegangkan. Mereka terdiri dari orang-orang yang bereaksi paling keras setiap kali ada perubahan.  Namun begitu hasil perubahan ada, pelahan-lahan mereka diam juga, lalu mengangkat kritik pada topik lain. Tetapi dasarnya tetap sama, senang diperhatikan, senang memarahi, senang dianggap pandai atau penting.  Ganggu sedikit, colek yang banyak, sukur-sukur bisa masuk tv, walau cuma sekali-kali. Itu sudah menghibur hati.  Sudah masuk dalam daftar CV untuk kegiatan lebih jauh.

Tetapi Winston Churchill seperti kutipan di atas menyebutkan, sekalipun Anda tak setuju, kritik itu perlu. Ngga apa- apa, apalagi di abad transformasi, abad perubahan di negeri demokrasi.  Kritik katanya, ibarat rasa sakit dalam tubuh manusia, pertanda perlunya perhatian untuk merawat kesehatan. Hanya saja, ia juga pernah mengatakan kritik itu ada lima macam. Pertama, kritik yang tulus, bertujuan mengingatkan.  Kedua kritik yang bertujuan cari keuntungan. Ketiga, kritik untuk mengatasi rasa takut. Keempat, kritik cari perhatian. Dan kelima, kritik untuk menunjukkan identitas.

Demikianlah kritik terhadap kurikulum baru.  Saya kira lima-limanya ada.  Mereka hanya dapat dibedakan dari apa yang mereka kerjakan.  Kalau orangtua yang punya anak gelisah menghadapi kurikulum baru yang tidak jelas, saya kira wajar.  Tapi juga ada khawatir yang besar dari ketidakpahaman sesuatu yang baru, sehingga seakan-akan nasibnya akan terlunta-lunta. Sejumlah ilmuwan yang melihat subjeknya "tak ada lagi" dalam susunan mata ajaran segera bereaksi.  Tetapi benarkah subjeknya dihapuskan? Mungkin ini cara berpikir saja.  Atau mungkin ini pertanda pemerintahan tidak sehat, kejelasan tidak ada, sehingga alih-alih menimbulkan dukungan, yang terjadi justru kritik yang tajam.  Saya sendiri ikut kecipratan amarah, meski hanya menulis dari apa yang saya pelajari dan saya alami. Lumayan, belajar meregangkan urat syaraf.

Tapi benar kata Dahlan Iskan. Ini layak dieman-eman, lumayan bisa menghibur.  Kalau ilmuwan marah, selain ada yang benar, ada juga yang lucu.  Bukan logika yang dicari seperti layaknya ilmuwan sejati yang open mind, tapi kalimat nggak penting yang menyinggung perasaannya.  Kalimat itu dikutip dalam pesan twitter, lalu dikomentari dengan gaya dosen zaman dulu yang uring-uringan memeriksa paper mahasiswa.  Lalu dari situ diharapkan mendapat dukungan dari komunitas yang tentu saja menjawab dengan jenaka dan lucu-lucuan juga.  Sebuah pergumulan yang indah yang kadang membingungkan bagi yang lain.

Menghujat Kurikulum Lama 
 Kalau Anda sempat mengumpulkan tulisan-tulisan saya tentang pendidikan, maka Anda mungkin tahu sudah lama  saya  menunjukkan perhatian tentang pentingnya reform pada sistem ini.  Kalau Anda googling nama saya dengan kata-kata kunci berikut ini, maka Anda akan menemukan pemikiran-pemikiran itu: Encouragement, Race of Going Nowhere, Sekolah 5 cm, Myelin, Passport, Sekolah untuk Apa, Tallent Merrit Vs Exam Merrit, Generasi Bingung Bahasa, RSBI, Generasi Baru, dan seterusnya.

Di media ini saya juga berulang kali menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran yang diberikan kepada para siswa di sini sudah kelewat batas, bahkan yang terbanyak di dunia.  Saya berulangkali mengatakan akibat-akibatnya sangat menyengsarakan anak didik: siswa yang bingung, tidak kreatif, tidak bisa mengungkapkan isi pikiran dengan baik, dan kecemasan yang tampak dari tingginya angka kesurupan menjelang UN.  Kritik-kritik itu pun disertai jalan keluar yang saya tunjukkan dalam kajian.

Lantas, saat pemerintah meresponsnya dengan hadirnya kurikulum baru, tentu saja saya menyambutnya dengan gembira. Jumlah mata ajaran dikurangi. katanya, suasana gembira harus ditumbuhkan agar anak-anak generasi baru tidak lagi stress dalam belajar di sekolah.  Ini persis sama dengan yang sering saya suarakan.

Saya masih ingat saat diminta Rektor Universitas Andalas Padang, prof. Musliar Kasim  memberi paparan ilmiah di kampusnya, semua akar permasalahan pada dunia pendidikan dan kewirausahaan saya paparkan. Dan tak lama setelah  prof. Musliar menjadi Wakil Menteri Pendidikan, ia pun meresponsnya dengan kurikulum baru.  Saya sendiri tak tahu persis bagaimana Mendikbud merumuskan kurikulum baru, tetapi saya dengar mereka mengumpulkan tokoh-tokoh pendidikan dan kaum cendekia.  Saya sendiri  tak termasuk di dalamnya, tetapi sikap saya tidaklah berseberangan, sebab tujuannya sudah sama.  Namun entah apa yang terjadi, tampaknya banyak juga tokoh pendidikan yang tak diundang bicara, tapi juga tak diajak mengerti. Akibatnya kritik mereka tumpah di berbagai tempat.  Dari kajian change management, pro-kontra ini menarik untuk dikaji.

Dari amarah itu saya menemukan kalimat-kalimat menarik yang diucapkan secara verbal, bahwa "kurikulum baru ini dipastikan gagal".  Ini menarik sekali.  Bagi masyarakat, jelas saja belum, dimulai juga belum, dengar saja cuma dari jauh, apalagi kalau tak terlibat dalam pergulatan perubahan, tetapi sudah ada yang berani menjamin kurikulum ini "pasti gagal". Bisa diduga karena kredibilitas pemerintahan yang didera kasus korupsi terus menerus ini turut memberi imbas.

Dari diskusi internal para pakar yang diselenggarakan Mendikbud itu, saya mendengar ada usulan yang sangat extrem, yaitu bagaimana agar anak-anak di sekolah dasar "dimerdekakan" dari proyek-proyek buku, dari beban yang berlebihan. Usulan extrem-nya adalah, "bila perlu, untuk anak SD mata ajar cukup satu saja, yaitu Manusia dengan Alam Sekitarnya".

Saya teringat lima tahun lalu saya pernah menyampaikan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) agar "rela" memangkas mata ajaran yang sudah kebanyakan.  Korbannya ya tentu saja anak-anak kita, anak saya dan anak-anak Anda.  Tetapi apa respons Dirjen Dikdasmen?  "Itu masalahnya bukan di kami, melainkan ada di UU Sisdiknas". Penasaran dengan itu saya pun membuka UU itu, dan disitu saya membaca masalahnya.  Nama-nama subjek yang disebut harus ada dalam sistem pendidikan nasional (seperti agama, bahasa Indonesia, dan lain-lain) ternyata diterjemahkan jadi mata ajaran, yang tentu saja berarti "proyek" bagi penerbit buku dan politisi yang berhubungan dengannya, dan inilah yang berakibat jumlah mata ajaran di tingkat SMU mencapai 18 hingga 24. Padahal di berbagai negara maju, jumlah mata ajar hanya 6 dengan mata ajar wajib hanya 2 (Bahasa Inggris dan Matematika).

Maka bagi saya, wajarlah saat Mendiknas "berani" memangkas mata ajaran itu.  Politiknya saya tak mengerti. Tapi tentu saja saya was-was karena kabinet ini hanya punya waktu setahun lebih. Was-was kalau kurikulum baru ini kelak dianulir lagi oleh penerusnya pada pemerintahan baru dan anak didik kembali harus berurusan dengan beban lama.  Apalagi kalau filosofinya tidak sama dan biaya politiknya yang harus ditarik kembali lebih besar.  Masih banyak pula yang berpikir kalau anak-anak diberi mata ajar yang banyak maka mereka akan lebih hebat. Banyak yang berpikir belajar itu ya di sekolah. Maka kurikulum sekolah dipadatkan dan peran orang tua diambil alih semua oleh sekolah.

Logika Keaksaraan 
Salah satu ilmuwan yang terganggu oleh kurikulum baru tentu saja mathematician karena mata ajar ini tidak tiba tak disebut dalam kurikulum baru untuk Sekolah Dasar. Saya kira bukan hanya mathematician yang wajib bertanya, melainkan kita semua.  Dalam social science seperti yang saya geluti saja, math menjadi bahasa yang penting.  Maka itu sayapun mengajukan pertanyaan kepada Mendikbud dan juga kepada Wakil Menteri. Namun jawabannya mudah saya pahami:  Matematika tidak dihapus, tetapi melebur terintegrasi dalam kesatuan dengan yang lain.

Saya tentu bukan juru bicara Mendikbud, tetapi saya kira saya bisa mengerti dengan mudah, namun bagaimana awam dan imuwan lainnya? Ini perlu kerja khusus untuk membuat masyarakat paham sebab masih banyak diantara kita yang menggunakan paradigma lama dalam melihat dunia baru, termasuk pendidikan.  Saya masih ingat saat beberapa sekolah tertentu menerapkan metode integratif, pertanyaan juga banyak diberikan oleh orangtua, bahkan banyak yang tiba-tiba menarik anaknya keluar.  Baru belakangan ini masyarakat menyadarinya, memang dunia baru sudah berbeda dan Indonesia butuh lulusan-lulusan baru yang tak hanya pandai bagi dirinya sendiri, melainkan juga gaul, bisa berkomunikasi dengan baik, kreatif, kaya perspektif dan mampu mengendalikan emosinya.

Lantas bagaimana saya memahami hal ini?  Ceritanya begini, salah satu pergulatan yang digumuli Yayasan Rumah Perubahan adalah pendidikan, khususnya anak-anak usia dini dan balita pra sekolah.  Kami menaruh perhatian untuk memberikan fondasi yang kuat pada anak-anak kampung yang kami lihat selalu termarjinalkan, dan kalah dalam pertarungan kehidupan melawan anak-anak kelas menengah. Dari pergaulan dengan para pendidik itulah saya diperkenalkan dengan metode Sentra yang belakangan mulai banyak diadopsi.  Celakanya metode ini sangat tidak dikenal ilmuwan tua.  Meski tak diajarkan membaca dan berhitung, dalam metode sentra, anak-anak sudah biasa diajak bernalar keaksaraan.

Ambil contoh saja dalam sentra bahan alam, diberikan berbagai permainan dengan media tertentu, bisa biji-bijian, bahan cair, tumbuh-tumbuhan, serangga, pasir dan sebagainya.  Pada saat sentra ini diperankan, sekaligus anak-anak mendapatkan banyak hal mulai dari klasifikasi, logika volume, bentuk, ukuran, menemukan warna baru, menghitung, berbahasa, bertutur, imajinasi dan seterusnya.  Saya bisa bercerita banyak dari proses pembelajaran yang hingga hari ini masih terus kami alami yang membuat istri saya tak ingin melepaskan waktu barang sedetikpun mengamati anak-anak didiknya. Logika keaksaraan dibangun dengan fondasi yang menurut hemat saya jauh lebih kokoh daripada menurunkan rumus di papan tulis yang lalu dihafalkan, atau didikte oleh guru spesialis yang hanya paham matematika saja.

Beranjak dari pemahaman metode sentra ( yang harus saya akui ilmu saya belum seberapa ini) mungkin saya bisa lebih mudah memahami makna pendekatan integratif yang sering diucapkan Mendiknas dalam kurikulum baru.

Namun apakah anda masih akan menyangsikan bahwa guru-guru kita akan mampu menjalankannya? Wallahu A'lam, saya tak tahu persis. Apalagi birokrasi kita masih kusut seperti ini.  Tetapi saya mau menyampaikan kepada anda, sekolah yang kami asuh tidak diajar oleh guru-guru bependidikan S1 atau S2.  Guru-guru kami adalah orang kampung yang bersahaja yang disekolahkan kembali. Mereka adalah ibu rumah tangga yang juga punya anak-anak kecil biasa yang mencintai anak-anak.  Nah, kalau mereka saja bisa, apa iya guru-guru kita sebodoh yang diduga para elit? Saya kurang bisa mempercayai itu.  Meski mereka orang kampung, mereka bisa membuka mesin pencari Google dan memberi kita kalimat ini:  “Don't criticize what you can't understand.”  ― Bob Dylan

Dalam peradapan continous improvement, lebih baik kita mengulurkan tangan kecerdasan kita untuk memperbaharui pendidikan daripada adu pandai, saling mengunci.  Kritik itu perlu, bagus buat membuat kementerian lebih bersungguh-sungguh. Tetapi membuat jembatan untuk masa depan jauh lebih indah daripada saling menakut-nakuti.  Kurikulum ini hanya akan jadi bagus kalau ia terus disempurnakan dengan logika baru yang lebih humanistik dan kreatif.  Apalagi masa kerja kabinet ini cuma tinggal setahun lagi.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Lentera Jiwa (1) - Jawa Pos, 4 Maret 2013


Di STM (sekarang namanya SMK) 6 Kramat Raya tahun 1970-an akhir ada seorang siswa yang senangnya membuat puisi dan karikatur. Meski lulus sebagai juara kelas dan dapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke IKIP Negeri Padang, ia justru memilih kuliah di sekolah jurnalistik. Kalau ia mengambil opsi pertama, ia tentu sudah menjadi guru STM.  Tetapi meski tak punya biaya untuk bayar kuliah sendiri, hatinya berkata lain.

Setelah lulus, ia magang di sebuah majalah berita dan dilatih melakukan investigasi berita dengan prinsip “tak ada tokoh yang tak punya kesalahan”. Dengan bekal itu, setelah bertahun-tahun menjadi reporter, di sebuah stasiun TV, pada awal reformasi ia menjadi host talkshow politik yang sarat konflik. Tokoh-tokoh yang berseberangan ia pojokkan sehingga tak berkutik dan saling menyalahkan. Tontonannya sangat menarik, ratingnya tinggi. Tetapi setelah beberapa tahun menjalankan peran itu ia bertanya: “apakah ini yang saya cari dalam hidup saya?". Ia merasa ada yang salah telah ikut menaburkan kebencian dan permusuhan.

Berawal dari pertanyaan itulah ia berhenti dari seluruh kegiatannya dari talkshow politik dan mengundang orang-orang biasa, pejuang perubahan sosial yang inspiratif. Anda mungkin tahu siapa yang saya maksud. Ya, itulah Andy Noya dengan Kick Andy show-nya. Sewaktu saya gali untuk program TV yang saya asuh di TVRI, Ia mengatakan “Saya seperti tengah bercermin. Saat tamu-tamu itu bercerita, saya seperti melihat diri saya sendiri di sana”.

Chef Seno
Apa yang dilakukan Andy agak mirip dengan sahabat saya di UI yang suskses menjadi direktur keuangan di sebuah bank. Sebagai akuntan senior ia punya semuanya: Keluarga yang harmonis, rumah yang besar, anak-anak yang sehat dan karir yang bagus. Tetapi setelah krisis moneter berlalu dan ia selamat, Ia justru meminta pensiun dini dan lama menghilang.

Akhirnya tahun lalu secara tak sengaja kami bertemu di sebuah lorong pertokoan di depan sebuah restoran Jepang di kawasan Takapuna, dekat Auckland, New Zealand. Delapan tahun yang lalu ia berimigrasi kesini dan memulai profesi baru. Ia mengambil kursus memasak selama 2 tahun, membeli alat-alat, dan memulai kariernya sebagai tukang masak dari restoran-restoran kecil. Sekarang Chef Seno sudah menjadi koki di sebuah hotel terkenal dan menemukan lentera jiwanya.

Saat kami diundang makan malam Saya melihat ia begitu piawai memotong dan menyajikan hidangan. Karakter masa lalunya sebagai akuntan yang kritis mulai tak kelihatan.  Memasak adalah kecintaannya sejak kecil, namun sepertinya tak begitu macho bila dijalankan oleh pria, apalagi bila anda mengatakan itu adalah cita-citanya di tahun 70-80an. Ini mirip dengan Harland Sanders yang sudah gemar menggoreng ayam sejak usia kecil, namun setelah mendapat julukan kolonel, di usia 40-an Ia baru menggoreng ayam dan usahanya baru meledak saat usianya 60-an dengan nama KFC. Chef Seno dan Harland Sanders bukan memasak seperti ibu-ibu yang dipaksa nilai-nilai masyarakat berada di dapur: buku resep, kumpulkan bahan-bahan lalu masak. Mereka bisa memasak tanpa resep, mengikuti naluri dari bahan-bahan yang ada di dapur.

Sekolah STM bagi Andy Noya, menjadi akuntan bagi Chef Seno, atau menjadi tentara bagi Harland Sanders bukanlah lentera jiwa mereka. Brandon Burchard menyebut fase itu sebagai “The Cage” (kurungan jiwa). Di seluruh dunia, hampir semua kaum muda kesulitan menyalakan lentera jiwanya dan hidup terkurung menjalankan kehendak orang lain.

Saya juga melihat di usia dewasa, ribuan orang yang berkarir ternyata juga terperangkap dalam hidup yang sama. Bahkan ada yang masuk ke fase ke dua: The Comfortable life seperti yang dirasakan Chef Seno saat menjadi direktur keuangan, atau Andy Noya saat menjadi pemimpin redaksi dan Wakil Pemimpin Umum di Media Indonesia dan Metro TV. Mereka beruntung mempertanyakannya: Inikah yang saya cari?

Hidup dalam The Cage membuat manusia patuh dan menjalankan sesuatu atas ekspektasi dan kehendak orang lain sehingga sulit sekali mencapai prestasi tertinggi karena selalu terjadi pertentangan jiwa. The Caged life hidup dalam kotak “belief” yang sempit yang banyak membatasi hidupnya. Ia membangun hidup dari sesuatu yang didiktekan orang lain, dan tak pernah berani keluar dari garis-garis maya yang membatasinya, untuk mengeksplorasi dunia baru. The Caged life sangat takut bertentangan dengan aturan yang dibuat masternya, meski itu hanya ada dalam pikirannya. Sebegitu dalamnya peran “sang master” sehingga bila dilanggar, merasa “sangat berdosa”.

Lantas bagaimana keluar dari ke 2 fenomena itu? Tentu saja diperlukan upaya massif,  sebuah revolusi kehidupan seperti kembali ke titik nol dengan meghidupkan lentera yang oksigennya mungkin sudah ada. Saya akan melanjutkan minggu depan, tetapi anda bisa menyaksikan pergulatan-pergulatan itu setiap Selasa malam di TVRI dengan tamu saya Andy Noya atau tamu-tamu inspiratif lainnya. Kalau kita bisa menghidupkan lentera jiwa kita masing-masing, maka bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Bahkan saya percaya, iri, dengki, saling menghujat akan jauh berkurang. Artinya Persatuan Indonesia akan lebih ideal kita rasakan.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Minggu, 03 Maret 2013

Perubahan Selalu Bising - Sindo 28 Februari 2013


“Change will not come if we wait for some other person, or if we wait for some other time. We are the ones we've been waiting for. We are the change that we seek.” Barrack Obama.

Tak dapat disangkal bahwa saat ini banyak orang menyenangi kata perubahan. Tetapi apakah mengerti konsekuensi-konsekuensi dari perubahan? Rasanya belum tentu. Masih banyak orang yang berpikir “Change” atau Perubahan adalah “ganti orang”, atau ganti pimpinan. Maka tak heran kata perubahan bukan cuma laku dalam dunia usaha, melainkan juga dalam pilkada atau pemilu.

Dan kalau dibawa ke ranah itu, hampir pasti perubahan dibaca dari sisi politik. Atau bisa jadi kaum profesional yang sedang melakukan transformasi berpotensi menjadi korban politisasi. Lagi asyik melakukan transformasi yang bukan main banyak musuhnya, malahan dapat "musuh baru", yaitu kandidat pejabat publik yang butuh suara. Mengapa begitu?

Selalu Ada Resistensi
            Saya kira publik sudah semakin cerdas dan mengerti bahwa perubahan selalu berhubungan dengan adanya “kelompok yang melawan”. Kaum resisten ini jumlahnya tidak banyak, tetapi mereka sangat vokal dan berjuang agar tidak kehilangan. Di bumi yang perasa, orang yang pernah menduduki posisi terhormat bila kehilangan jabatan karena tidak lolos fit and proper test bisa berarti kehilangan muka.

            Dan “kehilangan muka” bisa berarti “tsunami” bagi pelaku-pelaku transformasi. Padahal transformasi tidak bisa jalan bila tidak mendapatkan energy yang kuat. Transformasi butuh suasana persatuan dan kepercayaan.

            Banyak orang yang tak menyadari bahwa setiap langkah transformasi sangat beresiko bagi jabatan seseorang. Kalau hanya kehilangan kursi saja itu belumlah seberapa. Dalam banyak kasus, kelompok yang resisten tidak hanya mengungkit kursi, melainkan mencari cara untuk menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang bisa diperbesar. Padahal dalam era VUCA, manusia bekerja dalam iklim yang complex dan mudah mengambil langkah yang salah, lupa atau ada saja kekurangananya.

The Burning Platform
Dalam buku ChaNgE! yang saya tulis tahun 2005, Robby Djohan memberikan kata pengantarnya. Ini mungkin kata pengantar terpendek yang pernah saya terima, tapi isinya sungguh mengena pada sasaran. Saya kutipkan saja sebagian: “Perubahan adalah bagian yang penting dari manajemen dan setiap pemimpin diukur keberhasilannya dari kemampuannya memprediksi perubahan dan menjadikan perubahan tersebut suatu potensi.”

Lalu, pada alinea kedua Robby menulis catatan yang menurut saya sangat penting bukan saja karena pengakuannya yang jujur, tapi memang sering kita alami: “Sering kali seorang CEO, termasuk saya sendiri, berhadapan dengan perubahan setelah dia sudah berada di ambang pintu. Situasi seperti ini mungkin dapat diatasi, tetapi hasilnya pasti bukan sebagai suatu potensi ataupun kegunaan.”
Robby memang selalu bicara to the point.

Perubahan, bagi sebagian kita, adalah sesuatu yang menakutkan. Namun, manakala kita berhasil mengendalikan rasa ketakutan itu, perubahan menjadi energi yang luar biasa untuk membuat kita bangkit kembali.  Namun manakala kita kalah, maka betapa bisingnya suara di luar.  Apalagi bila anda melakukan perubahan pada lembaga yang ada hubungannya dengan negara, milik negara atau milik pemerintah daerah.  Anda akan menyaksikan banyak "peluru nyasar" yang tidak jelas hendak ditembak kemana. 

Perhatikan saja betapa "bisingnya" keributan di seputar Bank BJB yang muncul justru pada saat pemungutan suara.  Itupun bisa jadi ajang perpecahan sesama aktivis yang mulanya sama-sama mau memberantas korupsi.  Ada peluru yang ditujukan pada salah satu kandidat, meski informasi awalnya mungkin berasal dari orang dalam yang ditujukan pada salah satu calon direksi yang jabatannya diinginkan orang lain. Lalu ada lagi peluru yang disasarkan kepada CEO.  Penembak yang lihay ternyata juga tak bisa menembakkan peluru ke sasaran yang tepat karena  begitu masuk ke ranah politik, masing-masing pihak punya kepentingan yang berbeda dan sulit dikendalikan. Akhirnya tsunami terjadi betulan, bukan hanya change maker yang terlibat, melainkan juga lembaganya akan sulit dibangun kembali.

Belajar dari berbagai perubahan yang dilakukan di sejumlah lembaga publik maupun BUMN besar yang rumit,  kemudian mengingatkan saya pada sosok panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq bin Ziyad.  Kisahnya kurang lebih begini.

Thariq  yang lahir  sekitar tahun 670 Masehi dibesarkan kabilah Nafazah di Afrika Utara.  Perawakannya tinggi, keningnya lebar dan kulitnya putih kemerahan. Thariq adalah murid seorang komandan perang di Afrika Utara yang dikagumi karena kegagahannya, kebijaksanaannya dan terutama keberaniannya.

            Suatu ketika seorang pangeran Spanyol, Julian, meminta bantuan pembimbingnya untuk menaklukkan Raja Roderick yang berkuasa di Spanyol. Lalu, Thariq diutus  untuk mengintai kekuatan bangsa Visigoth dan menjajaki kemungkinan pengiriman pasukan dalam jumlah besar.

            Akhirnya, waktunya pun tiba. Ketika Raja Rodercik sedang sibuk menghadapi pemberontakan di kawasan utara kerajaannya, Thariq datang dengan  7.000-an prajuritnya untuk menyerbu Spanyol. Pengiriman pasukan dilakukan melalui laut. Pasukan ini mendarat di dekat gunung batu besar yang kelak dinamai Jabal (gunung) Thariq. Orang-orang Eropa menyebutnya Gilbraltar.

Ketika sampai di Spanyol, Thariq mengambil keputusan yang sangat mengejutkan seluruh prajuritnya dan dikenang sebagai langkah fenomenal hingga saat ini. Ia membakar semua perahu yang digunakan untuk mengangkut para prajuritnya. Para prajuritnya tentu saja terperangah. Kaget, dan sebagian bahkan marah.
Setelah membakar semua perahu, Thariq berdiri di hadapan prajuritnya dan berkata, “Di mana jalan pulang? Laut ada di belakang kalian. Musuh ada di depan kalian. Mereka sudah siaga. Sementara, kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, tidak ada makanan kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian.”

Dalam ilmu manajemen, apa yang dilakukan Thariq dikenal dengan istilah the burning platform. Dan, itu pulalah yang dilakukan para change maker yang piawai kala  dipercaya memimpin Transformasi.  Kebanyakan pemimpin mau tak mau harus menciptakan kondisi yang membuat semua orang tidak punya pilihan lain, tidak bisa mundur lagi, sama seperti yang Thariq lakukan. Kalau mau bertahan hidup, Thariq dan para prajuritnya hanya punya satu pilihan, yakni maju terus.

Begitu pula yang terjadi dengan kebanyakan perusahaan milik negara yang sarat politisasi. Kalau para karyawannya ingin bertahan hidup, maka mereka harus maju membenahi bersama. Hanya itu pilihannya.  Masalahnya, apakah para aktivis  kebijakan publik mengerti bahwa mereka bisa dipakai kaum resisten untuk menaburkan peluru amarah  mereka yang sedang  kehilangan muka?  Pilihannya hanya dua: bersekutu dengan the losers yang resisten, atau memperkuat the winners agar menghasilkan transformasi yang berujung kebaikan.  Atau mungkin mereka berpikir ada opsi ketiga yang kita tak pernah tahu apa itu. Kala keributan menjadi mahal, maka semua ada ongkosnya, dan tentu saja ada tukang catutnya.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Bahasa Kamera Cinta Laura - Jawa Pos 25 Februari 2013


Tanpa kamera, selebritas akan berpakaian sama seperti Anda: tanpa make up, rambut palsu,  pakaian ciri “khas”, dan tentu tanpa gaya bicara mereka yang biasa anda lihat di layar kaca.

Saat Barack Obama berkunjung ke Indonesia, sejumlah orang membandingkan bahasa Indonesia yang ia ucapkan dengan bahasa Indonesia selebritas remaja Cinta Laura. Di situs berita inilah.com (10 November 2010) saya menemukan komentar yang dikutip dari pengguna twiter:

"Mendengar Obama bisa bahasa Indonesia membuat saya makin benci sama Cinta Laura," tulis akun Twitter Syzdasyz. Yang lainnya membuat lelucon jika Cinta Laura menjadi Obama. Mungkin Cinta Laura akan bilang 'Bhineyka Cunggal Ikya',  tulis Nurri . "Bahasa Indonesia Obama tidak berlebihan tetapi kok Cinta Laura berlebihan sekali ya?" tanya Eliazer.

Namun benarkah Cinta Laura tidak mampu mengucapkan kata-kata dalam lafal bahasa Indonesia yang baik? Cara bicaranya yang unik ini bahkan menjadi pembahasan di salah satu blog, yaitu: http://jerryhadiprojo.wordpress.com/2008/02/21/analisis-perilaku-dan-perkataan-cinta-laura/.
Dalam film layar lebar ternyata Cinta Laura bisa berbicara dalam bahasa Indonesia yang normal.  Coba buka potongan film pada link di situs YouTube.com berikut ini (Cinderella Rp 156, Part 4/6),   September 30, 2007:
 http://www.youtube.com/watchv=8S7RRYRbDac&feature=youtube_gdata_playerSeorang kameramen televisi  melaporkan, dalam percakapan biasa Cinta Laura ternyata juga berbicara dalam lafal bahasa biasa, normal-normal saja. Ia baru berubah saat kamera infotainment menyalakan lampu-lampu sorot dan bertanya kepadanya.

Saat mendiskusikan topik Camera Branding, seorang follower saya (@Rhenald_Kasali) di Twitter,  menulis begini:
“Prof @Rhenald_Kasali saya pernah mkn, meja samping saya CinLau w/ her fam. Bicaranya biasa kok, wlo sskli ngmg Jerman ke bpknya & English”

Hidden Camera
Demikianlah akting manusia dalam peradapan kamera.  Saya yakin akting bukan hanya ada di kalangan artis.  Tanpa kehadiran kamera di ruang parlemen, saya kira anggota-anggota perlemen yang terhormat tidak akan ber-“akting” seperti layaknya pemain sinetron. Mereka tidak akan saling menunjuk jari, mengepalkan tangan, menggebrak-gebrak meja, atau menuding-nuding tidak santun. Buktinya, selesai sidang mereka bisa dengan mudah berangkulan dan menyatakan, “Kami tak ada masalah kok!” Dan saat tertangkap tangan oleh KPK, publik terkejut: mereka yang berseteru di layar kaca saat sidang berlangsung ternyata bersahabat dalam menggarap proyek-proyek tertentu.

Demikian pula saya yakin Hotman Paris dan Ruhut Sitompul tak akan berbicara seperti tengah berkelahi.  Sama seperti anda, ketika berfoto anda yang jarang tersenyum bisa menjadi sumringah dan anak-anak Alay menjadi tampak gembira bergaya, sementara direksi yang tengah difoto untuk company profile menegakkan dagunya agar tampak berwibawa.

Inilah dunia yang serba salah. Tak ada kamera orang bisa memeras tanpa alat bukti, uang negara dikuras koruptor dan kejahatan sulit diungkap. Tapi bila ada kamera manusia langsung berakting. Maka tak heran kalau manusia umumnya lebih percaya pada hidden kamera. 

Sosiolog  Erving Goffman mencatat kehidupan ini tak ubahnya  "a never-ending play" yang menjadikan semua orang pemain sandiwara dengan berbagai peran.  Ia membedakan panggung depan  dengan panggung belakang.  Namun manusia modern senang menghabiskan waktu sehari-hari di panggung depan, menampilkan kemampuan dan peran secara terbuka: Perayaan perkawinan, memberi penjelasan, memimpin, mengajar, mengemudi, melayani dan seterusnya. Tetapi siapa yang tidak letih terus menerus berada di panggung depan?  Goffman menyarankan agar pemain panggung sedia keluar secara berkala, kembali ke belakang panggung  menjalani kehidupan normal.

"In these private areas, we don’t have to act. We can be our real selves. We can also practice and prepare for our return to the front stage" - Erving Goffman.
Bila ini diteruskan, manusia yang ber-acting terus menerus, dapat menjadi aktor yang manipulatif, memanipulasi orang lain untuk kepentingan pibadi.  Inilah yang disebutnya sebagai Impression Management.

Coba buka video rekaman video Wakil Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat memimpin  rapat resmi dengan kepala dinas PU-Pemprov DKI.  Di situ ia terkesan marah-marah saat  menuntut agar biaya pembangunan infrastruktur dipangkas 30%.

Namun di lain kesempatan, juga di Youtube.com kita membaca  bahwa dirinya tidak benar-benar marah ketika itu. Menganalisis kedua video yang berbeda kesan ini mungkin anda akan bingung.  Tetapi Inilah peradapan kamera dan peradapan advanced dramaturgy.  Semua pemimpin hanyalah ber-acting saat berada di panggung depan. Dalam studi tentang camera branding yang saya lakukan, kami banyak menemukan bahwa kamera telah banyak digunakan untuk membentuk personal dan corporate brand.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan