Laman

Senin, 28 November 2011

The Cute And The Hot - Jawapos 28 N0vember 2011

Banyak Lelaki berpikir harus ganteng dulu supaya bisa dapat pacar. Tetapi saya justru banyak menemukan lelaki keren mentereng yang kesulitan mendapatkan pasangan. Kejadian seperti ini sama persis seperti yang dialami anak-anak muda, yang baru merintis usaha yang habis-habisan fokus pada produk kebanggaannya.

Seorang remaja misalnya, komplain kepada adik-kakaknya yang kesemuanya perempuan. Sebagai satu-satunya anak lelaki ia merasa ada yang kurang beres. Ia lalu bertanya kepada adiknya, “apakah saya kurang keren?” Adiknya berkata dengan bahasa gaul “kakak cute kok!” Cute berarti keren, tidak jelek, si adik menyimpulkannya setelah bergunjing dengan “geng”-nya di sekolah, tetapi mengapa kakak “cute” tidak dapat cewek?

HOT: Action
Mudah saja dijawab, ternyata cewek-cewek itu bukan mencari yang cute, melainkan yang hot. Cowok-cowok yang keren sering kali tidak hot, manja, menunggu dilamar, tinggi hati, dan hanya sibuk berdandan. Sekarang Anda jadi mengerti bukan, mengapa banyak perempuan cantik yang tidak jatuh ke pelukan laki-laki cute? Bahkan Anda sering menghujat, “lha kok cowoknya parah banget? Nggak selevel?” Masalahnya, merekalah yang berani mendatangi, bolak-balik tak kenal lelah.

Itulah reality show. Sekali lagi bukan yang cute, melainkan  yang hot-lah yang dicari. Ini sama persis dalam dinamika bisnis di era Cracking Zone. Pasar bukan mengejar produk yang cute, melainkan yang hot. Barang-barang yang cute tidak beredar, sedangkan yang hot, meski kurang-kurang sedikit, bahkan maaf, kadang juga yang kurang bagus, melenggang lancar di pasar karena ia digerakkan, pemikiknya aktif mendatangi pasar.

Saat menulis kolom ini saya pun sedang berada di Banda Aceh, menghadiri Festival Kopi Aceh tak jauh dari Masjid Raya kesohor itu. Di antara tenda-tenda peserta, saya mendatangi UMKM binaan Rumah Perubahan secara on the spot. Dengan jelas kami bisa membedakan mana saja UMKM yang akan maju dan mana yang akan diam di tempat: Mereka yang diam itulah yang tendanya bagus dan asyik sendiri. Sedangkan yang hot, aktif mendatangi. Ini sama persis dengan UMKM yang dibawa pemda-pemda ikut pameran ke luar negeri.

UMKM yang hot sudah siap dengan aneka brosur dan kartu nama, sedangkan yang cute sibuk menyiapkan display produk dan stand. Kita tahulah bagaimana kerja birokrasi yang masih banyak digerakkan prinsip “sekedar menghabiskan anggaran.” Dengan prinsip itu, pemerintah sudah pasti tidak mendapatkan lokasi pameran yang “hot”. Jadi letaknya tidak pada posisi yang strategis, menyempil di dalam-dalam kotak yang tersudut. Pada posisi seperti ini, Departemen Perdagangan lebih senang menghabiskan uangnya untuk membuat desain stand yang ”cute”, ditambah sejumlah kegiatan Public Relations yang ditopang wartawan dari dalam negeri.

Wartawan yang tidak kritis “tertipu” habis karena hanya menyajikan berita betapa “cute”-nya stand  pameran Indonesia. Seakan-akan yang cute itulah yang sukses. Statistik yang diberikan pemerintah juga amat impresif. Tapi tanyakanlah kepada pelaku-pelaku UMKM yang “cute” tadi, apakah betul mereka mendapatkan order?

Beberapa tahun yang lalu ada anak muda yang ikut pameran pariwisata yang amat terkenal di Berlin. Sewaktu saya kunjungi saya tertegun karena ia tak berada di dalam area stand pemerintah Indonesia. Ia berkeliling sambil membawa sebuah hand luggage  beroda dan bersama temannya membagi-bagikan brosur pada para pengunjung yang keluar dari area standpemerintah Malaysia, Turki, Thailand, atau Israel. Maklum itulah empat negara yang gencar berpromosi dan paling banyak dikunjungi calon-calon “buyer” dan travel agents.

Sementara pelaku-pelaku pariwisata Indonesia mengeluh pada pemerintah karena pamerannya gagal, anak muda itu justru mendapatkan “pacar”, yaitu order dari mancanegara.

Jadi, cracking zone ini memang penuh jebakan batman, kita mengira segala yang cute akan digemari, nyatanya tidak demikian. Sama juga dengan wirausahawan-wirausahawan muda yang hanya sibuk dengan pengembangan produk tok.Produk yang cute tak akan otomatis bergulir. Malaysia saja alamnya tak se-“cute” Indonesia bisa mendapatkan turis lebih banyak. Tentu bukan karena prinsip “the cute”. In real life, the hot is the darling!

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Minggu, 27 November 2011

Medali Emas - Sindo 24 November 2011

Berjalan mengelilingi Kota Namlea, tiba-tiba seseorang menyebut nama mantan seorang atlet sepak bola terkenal,yang pernah jaya di era tahun 1970-an. Semua orang lalu hanyut menceritakan prestasinya.

Saya masih ingat namanya sering disebut radio dan koran.Tetapi, benarkah itu atlet yang dulu menjadi pujaan masyarakat? Berambut gimbal, baju compang-camping, dan lusuh, kaki penuh debu. Seorang teman menyebutkan persoalan yang dia hadapi. Setelah masa kejayaan,dia harus kembali ke masyarakat. Ijazah sekolah tidak ada, pengalaman kerja apalagi.Yang ada di sakunya hanya medali emas yang pernah didapatkan tim PSSI saat dia bergabung.

Tetapi, sekarang medali itu sudah tidak ada lagi. Depresi, gila, atau entah apa namanya.Hidup terlunta- lunta tak ada perhatian. Nama besar tinggal sejarah. Lain lagi dengan Jumain, mantan atlet dayung nasional yang sering meraih medali emas. Meski tidak seburuk pemain bola tadi, Jumain yang pernah memperkuat SEA Games XV (1989) hanya bisa bekerja sebagai penjaga kapal di pantai Marina–Semarang dengan upah Rp500.000.

Nasib Jumain tidak lebih baik dari Marina Segedi yang meraih medali emas pencak silat pada SEA Games XIII (1981) di Filipina. Meski perempuan, Marina kini berprofesi sebagai sopir taksi di Jakarta. Nasib atlet-atlet tua yang saya sebut di atas sungguh menyesakkan dada, selain gelanggang olahraga nasional pasca-SEA Games atau PON yang tak terurus, ternyata atlet-atlet yang pernah berprestasi juga kurang mendapat perhatian.

Saya juga pernah membaca mantan juara tinju kelas Bantam Yunior (1987) yang menjadi pemulung dan sebagainya. Nasib mereka tak sehebat Rudy Hartono, Liem Swie King, atau Icuk Sugiarto yang sukses hidup sebagai pengusaha. Sementara hari ini, 24 November 2011, atlet-atlet peraih medali emas SEA Games akan mendapatkan insentif sebesar Rp200 juta per orang per medali. Kita perlu mengingatkan bahwa uang sebesar itu bisa saja mengubah hidup menjadi lebih baik, namun bisa juga sebaliknya.

PLC 
Ibarat produk, setiap atlet juga memiliki PLC (product life cycle) yang relatif pendek. Atlet adalah profesi yang ”cemerlang” di usia muda.Paling panjang, seorang atlet di dunia amatir dapat bertahan antara 10–12 tahun.Lewat usia tertentu, siklus hidupnya akan berakhir. Padahal usia muda hanya sementara, dan untuk meraih prestasi, seorang atlet harus mengabdikan hampir seluruh masa mudanya untuk olahraga.

Seperti atlet golf perempuan asal Korea Selatan, Seri Park, yang meninggalkan dunia sekolah, atlet-atlet kita juga banyak yang melakukan hal serupa. Selain fokus, sebagian atlet diketahui juga berasal dari kalangan kurang mampu yang memperbaiki nasib keluarga melalui olahraga. Kalau olahraga yang ditekuninya favorit, dia bisa mencetak prestasi setiap tahun dalam kurun waktu tertentu.

Dan kalau wajahnya khas dan ceritanya unik, mereka bisa mendapat rezeki sampingan, baik sebagai bintang iklan,bintang layar lebar, atau yang lebih beruntung lagi mendapat kan mertua yang hebat. Tetapi berapa banyak atlet yang beruntung seperti Ade Rai, Taufik Hidayat, atau Rudy Hartono? Tentu tidak banyak,bukan? Dalam kurun waktu PLC yang pendek itu kita perlu mengingatkan para atlet agar mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum masa emasnya berakhir.

Jendela emas yang hanya berlangsung 10–12 tahun itu berlangsung begitu cepat, dan mereka perlu berpikir keras agar tidak bernasib seperti seniorsenior mereka yang kurang beruntung. Sikap setiap orang terhadap masa depan tentu berbeda- beda.Ada yang jauh-jauh hari sudah berpikir dan mempersiapkan diri, namun ada juga yang masih ingin bersenang- senang menikmati masa muda dengan uang yang berlimpah dan penuh pujapuji.

Kalau seorang atlet meraih empat medali emas ditambah beberapa medali perak dan perunggu, dia hampir pasti akan membawa bonus minimal sebesar Rp1 miliar.Ini tentu bukan jumlah yang kecil. Namun, seperti orang pensiunan yang selama bertahuntahun hanya terlatih menjadi pegawai,sudah pasti seseorang akan mudah terjerumus dan kebingungan, seorang yang tidak bisa mengelola uang perlu dibekali dengan perencanaan keuangan yang sehat.

Lakukanlah Investasi 
Orang-orang dulu percaya bahwa ”hemat adalah pangkal kaya”. Meski saya hampir tak pernah melihat orang yang menjadi kaya karena hidupnya sangat hemat, saya juga tidak melihat ada masa depan di tangan orang-orang yang boros. Atlet-atlet yang cerdas tentu perlu merencanakan tindakannya dengan penuh kehati-hatian. Yang jelas, konsumsi yang berlebihan bukanlah hal yang disarankan.

Atlet yang cerdik dapat menggunakan uangnya untuk berinvestasi, baik dalam bidang pendidikan, bermain saham, atau investasi dalam usaha-usaha tertentu.Tetapi, sebagai seorang pemula, semua investasi itu harus melewati masa belajar yang panjang. Karena itu, tak ada hasil yang diperoleh dalam sekejap.

Semua butuh kerja keras dan mampu mengelola rasa frustrasi, mengelola kesabaran. Apa yang diinvestasikan hari ini baru akan berbuah lima– enam tahun ke depan. Itu pun hanya akan berbuah kalau jalannya benar. Saya ucapkan selamat kepada para atlet yang berprestasi dan berhati-hatilah dalam mengelola uang karena dia bisa menjadi sumber harapan masa depan, namun juga bisa menjadi sumber masalah.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Leadership PNS - Jawapos 21 November 2011

Banyak PNS muda yang curhat kepada saya mempertanyakan kapan birokrasi Indonesia berubah dari kucing (yang maaf ,”malas”) menjadi Cheetah (yang gesit dan cepat). Mereka gundah setelah membaca pernyataan Wapres Budiono yang menjanjikan transformasi birokrasi bisa berlangsung empat-lima kabinet. Ini berarti 20 tahun ke depan nasib dan cara kerja mereka belum berubah. Dan seperti Bandara Ir H. Juanda yang butuh waktu 12 tahun dari desain sampai peresmian, maka begitu selesai, ia juga harus sudah diperbaiki lagi: kapasitas sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, dan berubah lagi.

Maka, kepada rekan-rekan PNS saya ingatkan bahwa perlu dilakukan terobosan leadership supaya hidup dan kerja tidak membosankan. Bukankah bekerja tanpa memberikan impak sosial tidak membahagiakan? Apa artinya mempunyai banyak proyek kalau martabat diinjak-injak masyarakat dan dianggap tak berguna?

Terobosan Leadership
Dalam banyak hal, leadership di kalangan PNS sebenarnya sudah harus banyak berubah. Ketika desain birokrasi diperbaiki, celakanya sebagian besar PNS terjangkit inertia, yaitu terikat belenggu-belenggu tradisi yang memenjarakan kaki-tangan-dan pikiran-pikirannya. Cara bekerja dan berpikir manusia Orde Baru, yaitu sangat  mengedepankan kesetiaan pada atasan, stabilitas, menunggu arahan dari atas, setor muka, membacakan naskah pidato yang dibuatkan orang lain, membagikan alat-alat yang tidak sesuai dengan kebutuhan  si penerima di lapangan, terlalu prosedural dan seterusnya.

Selain itu manajemen birokrasi adalah manajemen yang terkunci pada  model perilaku I –Centric yang berakibat buruk pada hereditas  (DNA) unit organisasi tersebut. Organisasi seperti itu bekerja seperti berikut ini: hanya melayani (berbicara) dengan atasan satu tingkat di atasnya (one level up), strategi dan informasi dikuasai pejabat senior tertentu, jabatan dipakai untuk meng-impresi dan menciptakan jarak (hirarki), pintu ruangan tertutup  - dijaga beberapa petugas administrasi dan ajudan, kritik terhadap hasil kinerja orang lain sangat judgemental (menghakimi), fokus pada “apa yang tidak bisa dikerjakan), cenderung blaming (menyalahkan), kesalahan adalah ketakutan, takut tidak bisa melaksanakan, sulit mendapat dukungan pelaksanaan, informasi tidak di sharing dengan yang lain, dilarang “cross the line” atau menjembatani diri dengan anak buah orang lain tanpa melalui atasan masing-masing, otokratik, atasan selalu benar, bawasan selalu merasa kurang diperlakukan secara adil, ada bagian “kering” – ada bagian “basah”, menunjukkan (bukan “membagi”) “apa yang saya tahu”, memberi pengarahan (bukan mendengarkan), bekerja dengan sarat prosedur dan tujuan utamanya adalah compliant (kepatuhan) – bukan hasil, yang membuat Anda tidak bisa bekerja lebih jauh adalah constraint dan aturan yang dibuat sendiri, dan perintah atau arahan adalah dibuat dogma.

Panjang sekali ya? Ya, seperti itulah model leadership sebagian besar PNS yang belum melakukan transformasi. Prosedur memang sulit kita ubah sendiri, namun leadership adalah urusan kita masing-masing. Inilah yang membedakan Anda sebagai leader  atau follower. Leader mengambil inisiatif, menetapkan nada dan lagu, mengambil keputusan. Follower maaf, cuma ikut-ikut dan mengeluh saja, agendanya ditetapkan orang lain dan ia hanya menunggu perintah. Otaknya tidak aktif berpikir karena semua pekerjaan digariskan dari atas, sehingga lama-lama orang pintar lulusan UI, ITS, dan Unair pun jadi bodoh.

Maka saat ini diperlukan leadership breaktrough,  sudah ataupun belum reformasi birokrasi menyentuh para PNS di lingkungan masing-masing. Leadership breakthrough ini pada dasarnya adalah suatu transformasi dari cara-cara yang berpusat pada diri sendiri (I-Centric) menjadi We-Centric. Manusia I-Centric hanya bekerja untuk dirinya sendiri dan atasan satu level di atasnya saja. Ia disconnect terhadap dunia di sekitarnya. Setiap orang bekerja pada silosnya masing-masing.

Manusia I-Centric tidak akan bisa menolong pemerintah memberikan pelayanan. Sebaliknya , organisasi customer centric harus dimulai dari manusia-manusia We-Centric. Inilah manusia-manusia yang berorientasi pada konteks yang lebih besar dari dirinya sendiri. Manusia We (kami) adalah manusia yang connected (terhubung) dengan sekitarnya.
Perhatikanlah pemerintahan-pemerintahan daerah yang maju, atau negara-negara yang sukses. Mereka memiliki cara kerja seperti perusahaan-perusahaan yang sukses. Sebut saja Starbucks atau Microsoft. Mereka sukses bukan karena teknologi atau capital,  melainkan oleh manusia-manusia yang mampu bekerja sama dan secara kreatif dan kritis membentuk lingkungannya. Mereka melihat semua orang sebagai mitra yang menyampaikan “experience” kepada jutaan pelanggan setiap saat.

Breakthrough itu akan menghasilkan manusia-manusia yang berbagi ¬(sharing) apa saja, mulai dari informasi sampai pengetahuan dan pekerjaan, terlibat dalam pengambilan keputusan, inclusive, open-door policy, saling mendukung dan memberi semangat, fokus pada apa yang bisa dikerjakan, berani belajar dari kesalahan, sharing hope, dreams dan aspiration, mendukung risk taking, mau mendengarkan, dan memberi reward terhadap sukses.
Dalam buku Record – Your Change DNA, saya menemukan pegawai-pegawai yang sukses adalah pegawai-pegawai yang aktif berpikir dan mengerjakan apa yang dipikirkannya, bukan yang dipikirkan orang lain. Maka penting bagi kita menghidupkan kembali otak-otak PNS agar mampu memberi impak yang sehat. Selamat berubah

Rhenald Kasali

Kamis, 17 November 2011

Conflict of Interest

Dalam literatur, conflict of interest terjadi ketika seseorang terlibat dalam multiple interest (beberapa kepentingan) yang mengakibatkan seseorang harus mengorbankan (dan berpotensi korupsi) kepentingan lainnya.

Kepentingan yang “dikorbankan” itu menjadi sorotan, terutama dalam area pekerjaan publik, di mana seorang pejabat atau pengemban tugas publik tidak mampu memisahkan antara kepentingan personal (pribadi)-nya dan kepentingan publik (rakyat). Dalam mengemban tugas publik, setiap orang pasti akan mengalami konflik itu, dan hampir pasti kepentingan publik selalu dikalahkan,sehingga conflict of interest harus dikelola, dimitigasi dengan aturan-aturan dan kode etik yang memadai.

Menurut Mac Donald & Norman, sebagaimana ditulis dalam Journal of Business Ethics (Agustus 2002),“The integrity of public sector officers and processes is fundamental to the rule of law, and as conflict of interest are a major risk in all areas of government it is crucial that they be identified and managed. If they are not, and public officials put their private interest above the public interest there is the potential for serious misconduct and corruption” 

Aturan-aturan dan undangundang harus mengedepankan kepentingan publik dan dikawal pelaksanaannya,karena sejak dari awal proses pembuatan setiap undang-undang itu terdapat proses conflict of interest, yang memungkinkan berbeloknya kepentingan publik ke dalam kepentingan masing-masing personal.

Demikian pula dalam pelaksanaannya. Karena itu, mengembangkan aturan atau undangundang yang mampu membentuk budaya pelayanan publik yang bebas conflict of interest menjadi sangat krusial demi terbentuknya kepercayaan yang besar pada lembagalembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Budaya organisasi yang sangat mengedepankan kepentingan pribadi di gedung parlemen telah menjadi tontonan rakyat sehari-hari.Adalah hal yang biasa disaksikan, dua orang wakil rakyat,bahkan yang berasal dari fraksi yang sama, bertengkar menyerang pejabat publik yang diundang dalam rapat dengar pendapat karena masing-masing memiliki kepentingan pribadi terhadap kebijakan yang dibuat pihak eksekutif.

Dalam interaksi saya dengan para pemimpin (CEO) badan usaha milik negara,saya sering mendengar keluhan kesulitan menghadapi wakil rakyat yang tak henti-hentinya mengundang rapat dengar pendapat, yang sebenarnya merupakan sarana lobi untuk memasukkan atau menggolkan kepentingan-kepentingan bisnis pada BUMN tersebut.

Conflict of interest seperti ini telah sangat mengganggu arah pembangunan masa depan bangsa dalam segala hal. Pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang mengkhawatirkan tentang arah masa depan pengembangan energi nasional misalnya mudah ditelusuri dari resistensi yang diberikan sekelompok anggota Dewan yang berbisnis pada bidang energi konvensional yang merasa terganggu oleh kebijakan dalam energi terbarukan.

Dari sebab itulah, peraturan dan perundang-undangan yang ada harus mampu membentuk budaya bebas kepentingan pada masyarakat luas,khususnya pada lembagalembaga publik. Tontonan tentang perilaku conflict of interest yang dominan di gedung parlemen, yang menjadi perhatian media massa, dapat membentuk budaya yang sama dalam masyarakat luas.

Masing-masing anggota masyarakat hanya akan mengedepankan kepentingan masing-masing karena meniru apa yang dilakukan para pemangku kepentingan, yang akhirnya akan memupuskan ikatan (bonding) pada masyarakatsebagai bangsa yang mempunyai hak sama di hadapan hukum. Ini akan berakibat memudarkan ikatan sebagai komunitas dan bangsa.

Masingmasing orang hanya akan fokus pada dirinya masing-masing, yaitu “apa akibatnya bagi diri saya pribadi?” dan bukan “apa akibatnya bagi kita semua?” (Glasser,2002). Budaya bebas kepentingan akan sulit dicapai bila suatu bangsa membiarkan atau seakan-akan membenarkan seorang pejabat publik menghadapi situasi yang jelas-jelas dia sendiri tidak dapat bertindak adil karena terkena akibat dari kepentingan yang diambilnya.

Menarik juga diperhatikan, dalam beberapa tahun terakhir, pascaberakhirnya pemerintahan Orde Baru, sistem kelembagaan tata negara Indonesia mulai mengarah pada pembentukan budaya bebas kepentingan. Mahkamah Agung sudah mulai mandiri dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, lepas dari pengaruh eksekutif dan legislatif.

Peranan DPR yang dulu dimandulkan (legislasi, budget, dan pengawasan) sudah mulai dihidupkan dan seterusnya. Pada tingkatan yang lebih mikro, di berbagai institusi eksekutif, mulai dilakukan pemisahan-pemisahan pada bagian-bagian yang berpotensi mengalami conflict of interest.

Di Kantor Pajak telah dipisahkan antara unit yang menagih pajak dan unit yang menangani pemeriksaan dan kebenaran. Namun, ketika lembagalembaga publik mulai membebaskan diri dari konflik kepentingan, saat ini kita menyaksikan pemandangan yang tidak menyejukkan dari lembaga legislatif, yang justru sangat sarat dan terlena dalam tradisi yang penuh dengan konflik kepentingan.

Lembaga legislatif (DPR) jelas perlu melakukan transformasi mendasar untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah merosot sebagai akibat keterlenaannya terhadap pengambilan-pengambilan keputusan yang sarat conflict of interest. Namun, seperti yang dialami organisasiorganisasi publik lain,lembaga yang sangat berkuasa,atau memiliki kekuasaan yang sangat strategis, selalu saja mengalami inertia, yaitu ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu yang mengikat dirinya sendiri.

Organisasi seperti ini lalu berubah menjadi “musuh masyarakat”, yang biasanya justru malah membentengi dirinya lebih kuat lagi bila diberikan feedback untuk memperbaiki dirinya demi mempertahankan status quo. Selain berbagi kenikmatan, masuk ke dalam zona nyaman (comfort zone), mereka juga cenderung saling melindungi satu sama lain kendati rekan-rekannya melakukan perbuatan-perbuatan melanggar etika.

Organisasi seperti ini akhirnya akan menjadi beban bagi suatu komunitas kumuh dan menimbulkan persoalanpersoalan sosial serta kesulitan beradaptasi secara mandiri. Kita sudah pernah menyaksikan persoalan-persoalan serupa di TNI, kepolisian, dan hampir seluruh jajaran birokrasi di era Orde Baru yang dibiarkan berlarut-larut sampai bangsa ini sangat kesulitan melakukan pembaruan.

Mereka cenderung saling menutupi kesalahan dan pelanggaran berat yang dilakukan anggotanya. Karena itu,diperlukan breaktrough (terobosan-terobosan) yang datang dari luar untuk mengembalikan organisasi pada relnya dan menjadikan lembaga legislatif sebagai organisasi berintegritas yang dicintai rakyatnya.

Organisasi seperti DPR ini hanya akan dapat kembali dipercaya kalau organisasi ini memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bebas dari kepentingan. Maka itu,kemarin di hadapan Mahkamah Konstitusi, saya meluangkan waktu menjadi saksi ahli untuk memperjuangkan agar budaya conflict of interest di negeri ini dapat dihalau, dimulai dari gedung parlemen.

Saya melihat harapan dari gedung Mahkamah Konstitusi yang dapat melihat dan meninjau kembali pasal-pasal UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD yang sarat dengan masalah conflict of interest. Pertama, tentang susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan (Pasal 124).Pasal ini telah membuat lembaga legislatif yang terhormat gagal melakukan self correction yang diperlukan untuk menjaga integritas dan kehormatannya.

Badan kehormatan yang hanya terdiri atas kelompokkelompok yang sama dengan orang-orang yang melanggar etika hanya akan mempersulit geraknya sendiri dalam memperbarui dan membersihkan diri dari persoalan-persoalan serius yang dihadapinya.

Hal ini terbukti dari gagalnya BK DPR menangani sejumlah anggotanya yang diadukan masyarakat karena persoalan-persoalan serius pelanggaran etika. Norbiss (1989) dalam Moral Hazards of an Executive mengatakan, prinsip-prinsip moralitas demokrasi hanya akan berjalan bila para wakil rakyat peduli terhadap public values.

Kenyataannya, kita menyaksikan BK DPR yang hanya diisi para anggota DPR (perwakilan dari fraksi) justru semakin menjauh dari public values, bukan karena tidak paham,melainkan karena “tidak memungkinkan” lantaran conflict of interest.

Untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan publik, BK DPR justru diisi orangorang yang berasal dari luar lingkungannya yang bebas dari kepentingan, netral, dan tidak memiliki multiple interest. Hal ini sudah dilakukan di Dewan Pers, dan terakhir di Komisi Etika KPK yang mendapatkan sambutan positif dari masyarakat.

Kedua, tentang larangan jabatan rangkap. Saya berkeyakinan jabatan rangkap yang sekarang marak dijalankan para wakil rakyat telah menimbulkan ketidakpercayaan yang sangat luas dalam masyarakat terhadap lembaga legislatif.Sudah menjadi rahasia umum ada tendensi di masyarakat untuk menggunakan jabatan sebagai wakil rakyat demi kegiatan “power marketing”.

Sebagai wakil rakyat yang dibebaskan terlibat conflict of interest¸ kebebasan menekan dan memanfaatkan hubungan dengan eksekutif telah menimbulkan praktikpraktik bisnis yang tidak sehat, persaingan tidak sehat, dan tentu saja korupsi yang terselubung.

Karena itu, saya merekomendasikan agar larangan rangkap jabatan (apa pun) yang sudah diberlakukan lembaga-lembaga publik lain hendaknya juga menjadi tradisi dan ketentuan tertulis yang dapat dituntut secara hukum pada lembaga legislatif.

Larangan jabatan (apa pun) yang saya maksud apakah segala jenis kegiatan profesi apa pun selain menjadi wakil rakyat.Wakil rakyat yang tidak berbisnis, tidak menjalankan kegiatan profesional, tidak menjadi makelar,atau kegiatan ekonomi lain akan memudahkan peran untuk sepenuhnya fokus menjalankan amanah konstituennya.

Wakil rakyat yang “fokus” dan bebas dari kepentingan akan menjamin integritas, netralitas, disiplin, dan perilaku positif dalam bernegara.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

ARTIKEL INI DIMUAT DALAM HARIAN SEPUTAR INDONESIA, 17 NOVEMBER 2011

Rabu, 16 November 2011

Ekonomi Kemenangan

Tak banyak pemimpin dan politisi yang mengerti,  bangsa ini  rindu kemenangan. Hampir setiap detik. Anda pasti melihat dan mendengar kata-kata yang merupakan cerminan dari kerinduan itu.  Perhatikanlah penggalan lirik  lagu Bola (Slank)  yang dinyanyikan dengan semangat memotivasi:  

Indonesia. 
Indonesia harus menang.  
Indonesia yakin menang.
Indonesia pasti menang!.....

Lirik  itu diputar televisi berulang-ulang, baik  menang maupun kalah.  Maka sekalipun Kontingen Indonesia  hanya menang kalau bertarung di kandangnya sendiri, rakyatnya pun tetap senang.  Aneh memang,  begitu melangkah keluar sedikit saja, kita selalu kalah.  Ada masalah psikologis dan manajerial yang harus dibenahi di sini.

Secara psikologis,  sejak menapak kehidupan, rata-rata anak Indonesia selalu kalah menghadapi gurunya.  Guru-guru lebih senang memberi kesulitan daripada dorongan dan harapan.  Tak mengherankan bila anak-anak yang "kalah" di sekolahnya menyalurkan kekuatannya di jalan lewat tawuran atau di sekolah dengan bulying. Pengalaman saya bersekolah di luar negeri jauh lebih mudah mendapatkan nilai A ketimbang di sini.   Apakah ini semua ada hubungannya dengan raport merah kita pada hampir semua index yang mencerminkan posisi kita di dunia global, atau hanya kepemimpinan yang buruk?

Raport Merah

Mari kita lihat index-index merah itu.  Pada logistic performance index, peringkat Indonesia 2010  turun dari posisi no 43 ke nomor 75 dari 155 negara, kalah jauh dari Singapura  (2), China (13), Malaysia (29), Thailand (35), Filipina (44), dan Vietnam (53). Dari segi kualitas manusia -  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia  (UNDP) berada pada urutan 124 dari 187 negara, jauh dibawah Malaysia (61).   Kita tertinggal di semua sektor.  Tingkat harapan hidup orang Indonesia, misalnya, rata-rata adalah 69,4 tahun. Sedangkan Malaysia 74,2 tahun.  Begitu juga dengan indeks pendidikan, indikator angka harapan rata-rata tahun sekolah orang Indonesia hanya 0,584, jauh dibawah Malaysia 0,730. 

Belum lagi masalah korupsi, Transparancy International melaporkan, persepsi terhadap korupsi di Indonesia mengalami eskalasi yang signifikan.  Bila pada tahun 2006 hanya 84% orang Indonesia yang disurvey mengatakan korupsi telah meluas di pemerintahan maka tahun ini jumlahnya naik menjadi 91%.   Sedangkan di dunia bisnis angkanya naik dari  75 % menjadi 86%.  Demikian pula dengan Bribe Payer Index (BPI 2011) yang  memotret praktek suap yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap penyelenggara negara di luar negara domisili pengusaha  menempatkan Indonesia pada peringkat ke-25 dari 28 negara.

Meski di saat yang sama  FDI yang masuk di Indonesia (2011) mencapai 32.20 persen dari  PDB,  kemudahan berusaha di Indonesia menurut Doing Business turun dua peringkat ke  posisi 129.  Wajarlah bila semuanya bermuara pada  daya saing Indonesia yang pada tahun ini indexnya ikut turun  dari peringkat 44 menjadi 46. Meski menang atau kalah adalah hal biasa, harus diakui ketidakpedulian para pemimpin dan kekonyolan karakter yang dipertontonkan para koruptor dan politisi membuat kita kehilangan role model dan  teladan. Kalau ini didiamkan maka bukan mustahil bila rakyatnya frustasi dan mengabaikan instruksi resmi dari negara.

Perangkap Kekalahan

Setiap bangsa yang sehat ternyata tak hanya fokus pada kemenangan.  Mereka juga mempersiapkan bangsanya dalam menghadapi kekalahan. Dari jaringan tivi CNN saya melihat  Yunani yang tengah dihajar badai krisis ekonomi  menyikapi kekalahan dengan memberikan latihan yoga yang dikombinasi dengan latihan-latihan tertawa untuk menghilangkan stres kepada para profesional yang kehilangan pekerjaan.  Beda benar dengan bangsa ini yang saat krismon menghibur diri dengan program-program tivi yang berhubungan dengan dunia goib seperti tuyul, kuntilanak, Pemburu Hantu dan Uka-Uka. 

Di Jepang, saat badai tsunami menghancurkan harapan, mereka memilih cara gambaru, memotivasi diri agar jangan putus asa dan  menyerah.  Sedangkan di Amerika Serikat, asosiasi para coach  mengeluarkan pedoman agar para pelatih tidak melacurkan diri dengan kemenangan jangka pendek.  Apa maksudnya?
Para coach itu menunjuk sebuah studi yang menemukan bahwa kekalahan harus dikelola untuk menumbuhkan karakter bagi kaum muda.   National Federation of Interscholastic Coaches Association menuturkan para coaches di Amerika Serikat selalu menghadapi dilema karena masyarakat hanya mengapresiasi pemenang.  Namun dilain pihak sport atau kompetisi adalah alat pendidikan yang efektif untuk menguji kehidupan, membangun karakter dan kepemimpinan.

Maka dari itu coaches  selalu dibekali dengan buku pedoman yang menandaskan bahwa objektif setiap kompetisi bukanlah mengalahkan orang lain (surpasing performance of others) melainkan melewati atau melebihi batas capaian pribadi  (own goals). 
Saya ingin mengajak Anda kembali ke tahun 1992 yang mungkin pernah saya ceritakan tentang Olimpiade di Barcelona yang dikenang sepanjang sejarah.  Sprinter  Derek Redmon  mendapatkan standing applause bukan karena kemenangannya, melainkan karena jiwa besarnya.  Ia kembali ke dalam race kendati tertinggal jauh karena paha kanannya cidera.  Ia kembali ke race bukan untuk merebut medali  emas,  melainkan untuk menghormati pertandingan.  Ia berlari tertatih-tatih diiringi tepuk tangan yang meriah dan airmata kesakitan.  Meski tidak meraih medali emas, dunia mencatat Derek Redmon dengan kehormatan.

Ia menorehkan kata WIN  yang diartikan great leaders sebagai What’s Important Now. Kalau ingin maju, para pemimpin harus mulai bekerja dengan goals dan dreams  yang jelas.  Tanpa itu kita hanya akan berputar pada pusaran air yang sama, sekalipun kita meraih juara umum Sea Games sesaat.  Tanpa goals dan dreams yang jelas kita tak akan kemana-mana.  Dengarkanlah nasehat Lou Holtz berikut ini, 
"Hidup ini penuh tantangan.  Suatu hari kita minum wine, besoknya kita bisa saja memetik anggurnya.  Kita semua mengalami hal yang sama.  Semua orang mempunyai kesempatan dari enam puluh detik ke satu menit, enam puluh menit ke satu jam, dua puluh empat jam ke satu hari.  Yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah apa yang Anda kerjakan dengan waktu itu dan siapa yang Anda ajak bicara.  Seperti yang dikatakan Harrington, “if you’re killing time it’s not murder, but pure suicide.”

Wahai para pemimpin, dunia ini tak mengenal Ekonomi Sangkuriang yang segalanya bisa selesai dalam satu malam.  Dunia ini memerlukan manusia yang tidak membuang waktu dan mau berkelahi menuntaskan setiap masalah dalam details dan proses. Tanpa goals anddreams, kita tak akan kemana-mana

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

ARTIKEL INI DIMUAT DALAM HARIAN JAWA POS, 14 NOVEMBER 2011

Surfice Dog

Di akhir tahun ini,  perhatian para eksekutif banyak tertuju pada  seekor anjing golden retriever yang dirawat oleh  pelatihnya, Judy Fridono.   Ia menjadi perhatian, bukan karena harganya atau karena orang berebut ingin  memilikinya, melainkan karena ceritanya.  Para eksekutif menaruh  perhatian setelah mengetahui  kehidupan hewan peliharaan ini mampu mengubah cara berpikir manusia dalam menghadapi masa-masa sulit.  

Saya sengaja memilih topik tentang anjing penuh cinta yang kaya cerita ini untuk mengantarkan Anda menghadapi tahun 2012 yang jauh lebih menantang bila dibandingkan dengan situasi yang Anda hadapi di tahun ini. Seperti kata pepatah -- kita tak mungkin mendapat hasil yang lebih baik dengan cara yang sama berulang-ulang -- maka kitapun pelu mempersiapkan team yang jauh lebih tangguh, yang siap berubah. 
Beginilah ceritanya.

Service Dog Yang Gagal
Anjing kecil yang lahir 25 Januari 2008 ini diberi nama Ricochet atau sebut saja Ricky.  Meski bernama laki-laki, ia sebenarnya anjing betina.  Dan sejak lahir, Ricky sudah mengikuti program yang akan membawanya menjadi service dog, yaitu anjing penuntun orang cacat, khususnya kaum tunanetra.

Dari videonya yang saya pelajari, Ricky sudah diprogram sejak matanya belum terbuka.  Ia dilatih mengikuti inderanya. Badannya bergerak mengikuti stimulus yang diberikan pelatih, dan setiap kali menjalankan tugas, ia diberi usapan kasih sayang yang membuat hidupnya penuh kehangatan.

Pet yang cerdas ini dengan cepat menangkap segala  latihan yang diberikan kepadanya.  Mengambil payung, membuka pintu, membunyikan bel, menyalakan lampu rumah, membuka kulkas, mengambil makanan, menuntun majikannya melakukan perjalanan  rutin dan seterusnya.  Pokoknya ia hewan yang cerdik dan siap dilepas.

Masalahnya, di usianya yang ke satu setengah tahun, Ricochet diketahui memiliki kegemaran yang membahayakan tunanetra, yaitu suka mengejar burung.  Tak peduli tugas apapun yang sedang dijalankan ia pasti berlari mengejar kumpulan burung yang ada di dekatnya, lalu menghalaunya.   Bayangkan apa jadinya kalau ia sedang bertugas mengantar majikan menyeberang jalan, tiba-tiba ada seekor burung di jalan raya yang sedang ramai.  Tentu berbahaya.
Menurut Judy Fridono, keadaan ini memaksanya untuk mengeluarkan Ricochet dari programnya. Dengan berat hati ia mulai menghentikan latihan dan bersiap-siap melepas Ricky dan melatih anjing lain yang baru lahir.  Namun menjelang pelepasan ia berpikir kembali.  "Mengapa harus fokus pada kelemahannya?  Bukankah kita semua mahluk hidup memiliki kelemahan?."


Fokus Pada Kekuatan
Bagi Anda yang pernah terlibat dalam program transformasi, pasti masih ingat pesan yang sering saya sampaikan, jangan berfokus pada kekurangan atau kelemahan pada team Anda.  Dan itu pulalah yang diyakini oleh pelatih Ricochet.  Daripada berfokus pada kelemahan anjingnya, ia pun berfokus pada apa yang bisa dilakukan dan menjadi kekuatan Ricky.

Kekuatan itu pasti ada dan tugas setiap coach adalah menemukan elemen-elemen kekuatan itu. Saya tak tahu persis apa yang menjadi kekuatan Anda, karena sebagai atasan kita hanya menyiapkan Anda - membuat program untuk Anda- sesuai dengan kebutuhan kita, kebutuhan organisasi.   Kita melatih seseorang untuk kebutuhan kita, bukan untuk kebutuhan mereka.

 Bahkan sepanjang kita melakukan pekerjaan rutin seringkali kita tidak berpikir tentang kekuatan-kekuatan itu.  Kita hanya terpaku pada job description, yaitu deskripsi tugas dari job yang kita dapatkan saat rekrutmen.  Sekali seseorang berada di sana - sepanjang ia tak membuat ulah - ia akan terkunci di situ sekian tahun, lalu ia dipindahkan ke tempat lain sesuai keperluan organisasi.  Kita jarang sekali menaruh  pada kekuatan-kekuatan personal, selain kekuatan-kekuatan massal yang kita dapatkan dari berbagai alat ukur.

Lalu para eksekutif terbiasa mengembangkan program bukan berdasarkan kekuatan yang dapat dikontribusikan anak buahnya, melainkan pada kebutuhan organisasi.  Dan hasilnya tentu bisa diduga, ada sebagian orang yang tidak bisa mengikutinya.  Apalah jadinya kalau Albert Einstein dipaksa ikut kursus menyanyi oleh orangtuanya, atau bila Picasso diwajibkan ikut program fisika?

Kembali ke program yang dicanangkan untuk Ricochet, saat kesedihan datang, Judy Fritono justru menemukan satu kekuatan yang tidak pernah ia eksplorasi, yaitu kemampuan melakukan keseimbangan di atas papan selancar.  Ia menemukannya saat Ricochet dilatih di atas sebuah kolam kecil. Ia dengan lincah melakukan counter balance.

Maka menurut pelatihnya,  "rather than focus on what she couldn't do, I focused on what she could do, which was surfing." Judy fokus di sana dan menjadikan Ricochet surfing dog, yaitu anjing yang melakukan surfing di atas gelombang ombak di bibir pantai.  Ternyata ia memiliki kehebatan dan keseimbangan yang luar biasa.  
Kabar itu segera menyebar ke berbagai penjuru.  Dalam hitungan bulan permintaan sudah datang dan seorang anak yang mengalami cidera tak bisa berjalan minta. Ia diminta diajak tandem berselancar dengan Ricochet.  Permintaan dikabulkan, mereka tandem sungguhan, bahkan event itu digunakan untuk melakukan fundraising.  Mereka berhasil menangguk donasi di atas 10,000 dolar plus terapi selama tiga tahun.

Video ini saya putar berkali-kali dihadapan para peserta program transformasi, dan mereka semua mngatakan ini adalah video terindah yang pernah mereka lihat, yaitu video yang menggugah mereka untuk berubah. Berfokuslah pada kekuatan, maka Anda akan mendapatkan kehebatan. Selamat mempersiapkan tahun yang lebih menantang.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

ARTIKEL INI DIMUAT DALAM HARIAN SEPUTAR INDONESIA, 10 NOVEMBER 2011