Laman

Sabtu, 15 September 2012

Merosotnya Daya Saing - Sindo 13 September 2012


Setiap kali mengalami penurunan saya saing, bangsa-bangsa besar selalu ribut. Demikianlah ketika peringkat daya saing global Indonesia turun dari posisi 46 ke 50. Beda benar dengan negara-negara yang selalu berada di peringkat paling bawah: Haiti, Sieraleone dan Burundi. Seperti tak bertenaga dan tanpa daya, dari tahun ke tahun diam di sana.

Keributan-keributan kecil tentu bukan hanya menjadi milik Indonesia. Di televisi saya melihat sejumlah diskusi yang menyebutkan walaupun peringkat Indonesia turun, investasi di bidang-bidang usaha tertentu (khususnya perkebunan) naik terus. Diskusi-diskusi baru berkisar seputar nilai investasi, belum pada produktivitas. Demikian pula belum ada yang mempersoalkan mengapa Malaysia lebih menarik bagi Tonny Fernandes untuk menjadi home-based Air Asia ketimbang Indonesia yang jelas-jelas marketnya jauh lebih besar.  Demikian pula mengapa Lion Air lebih tertarik menggandeng Malindo untuk menjadi hub-nya ke bisnis penerbangan internasionalnya. Kalau ini dimasukan pasti akan lebih menarik.

Dari Thailand Tharong Khanthong menulis pendapatnya di harian The Nation. Ia mempersoalkan mengapa peringkat Thailand ( peringkat no 38) bisa dinilai di bawah negeri yang tengah kesulitan dilanda ketidakpercayaan, Spanyol (peringkat ke 36). Spanyol baru saja meminta bail out fund sebesar 100 miliar euro. Kondisi ekonomi Spanyol sedang amat berat, sama seperti kondisi ekonomi Thailand saat dilanda krisis ekonomi di tahun 1997. Demikian pula bagaimana menjelaskan Rusia yang menguasai bisnis energy senilai USD 2 trilyun hanya menduduki posisi ke 67 dan India hanya di posisi 59. Bagaimana kita bisa menerima daya saing Israel (peringkat ke 26) lebih tinggi dari China (29) yang menguasai cadangan devisa terbesar di dunia?

Namun satu hal yang perlu dipahami oleh pemimpin Indonesia, ekonomi dan bisnis sudah tidak dapat lagi dipisahkan, dan untuk membangun ekonomi atau kesejahteraan diperlukan pendekatan lebih dari sekedar kebijakan ekonomi makro.

Kultur Ekonomi Vs Kultur Bisnis

Meski bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi, secara keilmuan semakin hari keduanya bergerak  menurut landasan berpikir yang berbeda. Bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang mampu mengintegrasikan keduanya secara simultan. Yang satu menjaga kestabilan pada level negara, yang satu mengurus dunia usaha. Cara berpikirnya memang berbeda, namun begitu disatukan, hasilnya bisa  menjadi produktivitas.

Dalam hal inilah Indonesia perlu meninjau kembali konsep pembangunan ekonomi yang dibebankan pada Bappenas. Bappenas tidak bisa bekerja tanpa prinsip-prinsip strategic management karena perekonomian Indonesia telah berubah menjadi sebuah system yang kompleks. Indonesia telah berubah menjadi sebuah kekuatan besar dengan aktor yang amat beragam dengan pola pikir, cara bekerja atau kepentingan yang berbeda-beda dalam spektrum yang sangat luas. Tanpa strategic  planning yang baik, apa yang telah dituangkan belum tentu dijalankan, dan apa yang dijalankan, belum tentu memenuhi apa yang diinginkan. Kalau bukan Bappenas, siapa yang memegang peran strategic  planning di negeri ini?

Kalau kita mengintip cara yang ditempuh bangsa-bangsa yang unggul, yang selalu menduduki peringkat atas, yang meski dilanda krisis tetap optimis menatap hari esok dan cepat kembali, maka kita bisa menyaksikan peran strategic planning yang begitu intensif. Negara bukan hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri, melainkan bekerja sama dengan dunia bisnis agar mampu menghasilkan kegiatan ekonomi yang lebih bernilai tinggi, lebih mampu menciptakan kesejahteraan melalui lapangan pekerjaan.

Swiss dan Singapura misalnya, menduduki peringkat 1 dan 2, secara faktual bukanlah negara yang kaya dengan sumber daya alam. Namun mereka bisa keluar dari perangkap keterbatasan-keterbatasan, keluar dengan rangkaian strategi yang produktif. Tentu saja bukan tanpa masalah, namun negara yang dikelola dengan strategic planning yang baik berhasil mengambil alih keresahan yang dirasakan warganya (ketidakpastian) kedalam program-program yang adaptif dan mampu menjadi pemenang.
Pembangunan ekonomi memiliki cara pandang tersendiri yang berpengaruh luas dalam pilihan-pilihan yang diberikan. Bila paradigma ekonomi melihat kekayaan dari segi sektor dan komoditi, strategic planning melihatnya dari kacamata segmen dan brand.

Tengok saja judul-judul berita surat kabar-surat kabar di berbagai negara. Bila suatu negara perekonomiannya masih sederhana dan konsep pembangunannya masih economic based, maka judul-judul berita ekonomi selalu tentang sektor (seperti pertanian, pertambangan, dan keuangan) dan komoditi (beras, karet, kopi, emas dan seterusnya). Sedangkan di negara-negara yang perekonomiannya memiliki keunggulan daya saing, judul-judul berita sudah bukan lagi sektor dan komoditi, melainkan segmen dan brand. Pokoknya segala nama perusahaan dan merk sudah tak bisa dihindari oleh media. Di Korea Selatan selalu ada berita dengan judul Samsung, Hyundai atau Daewo.

Di China ada judul Cnoock, atau Cinopec.  Demikian pulalah kalau Anda ke Malaysia, Singapura atau negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Bahkan di negara-negara itu jarang sekali Anda temui judul-judul berita ekonomi yang mengedepankan sektor dan komoditi.  Semuanya berbicara nama, yaitu nama economic powerhouse.

Komoditi adalah hasil sumberdaya alam yang nilai tambahnya belum diolah menjadi kegiatan ekonomi produktif. Bila panen raya terjadi, pasokan berlebih, maka harga akan turun, dan kesejahteraan seluruh mata rantainya terganggu seperti yang sedang terjadi terhadap komoditas pertambangan di Kalimantan dan Sulawesi dewasa ini. Sebaliknya, masyarakat yang lebih sophisticated tidak lagi membeli kopi, atau cacao. Mereka membeli Starbucks, Kapal Api atau Torabika. Silver Queen, Van Houten, Lindt, atau Godiva. Begitu suatu bangsa membangun merek, inovasi mulai bekerja, paten mulai bermunculan dan infrastruktur diperbaiki.  Suratkabar pun tak malu-malu menjadikan nama itu sebagai judul berita.  Itulah yang diukur dalam indeks-indeks daya saing yang menyangkut banyak hal.  Merek dan economic powerhouse memerlukan iklim usaha yang sehat sehingga kompetitif dan mampu menjalankan peran pendukung pemerintah sebagai job security.

Ekonomi berbasikan merek berdampak luas, mulai dari reputasi, standarisasi, kualitas SDM sampai infrastruktur dan birokrasi.
Itulah sebabnya perencanaan ekonomi tidak bisa hanya dibangun di atas landasan berpikir yang datar. Perencanaan ekonomi perlu dibuat dengan manajemen modern yang sophisticated, dengan berupaya bersungguh-sungguh agar sumber daya alam Indonesia mampu menghasilkan merek-merek yang unggul dengan reputasi yang tinggi.

Saat ini masih banyak terjadi pengusaha-pengusaha nasional yang memindahkan kantor operasionalnya di luar negeri dan mengoperasikan global brand­-nya dari negara tetangga. Basis produksinya yang bersifat commodity-based ditempatkan di Sumatera atau Kalimantan, tetapi packaging, marketing dan risetnya ada di negara lain. Merek-merek global ini tersebar luas di berbagai pasar dari Afrika hingga Amerika Latin, dan di sana sama sekali tidak tertulis kalimat “Made In Indonesia

Jadi saya pikir Indonesia perlu cara berpikir baru dengan mengedepankan logika-logika bisnis untuk memajukan kesejahteraannya. Indonesia perlu membangun puluhan Power House ekonomi yang mandiri, yang mampu menarik 52 juta sektor informalnya ke dalam sistem pertarungan global yang lebih bermartabat. Dan untuk itu, logika modern management dan strategic planning harus ada dalam pengorganisasian negara.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Pertemuan Orang-orang Gila - Jawapos 10 September 2012


Di Semarang, malam minggu 8 September 2012 saya mengikuti rapat pimpinan asosiasi yang setelah saya pikir-pikir terdiri dari "orang-orang gila".  Dalam buku John Elkinton dan Pamela Hartigan mereka disebut insane, bahkan unreasonable.  Kalau sesuatu sudah dibilang tidak bisa, tidak menguntungkan, atau tidak menarik, mereka malah tertarik dan ingin membuktikan sebaliknya.  Dan yang diurus sebenarnya bukanlah hal yang menarik bagi orang lain: sampah, orang sakit, orang-orang yang dilahirkan cacat,  miskin dan dibuang oleh keluarga, bahkan WC, kaum adat yang terpinggirkan atau pertanian yang dianggap perbankan beresiko tinggi tidak untung dan seterusnya.

Dan hari Minggunya, 9 September, pemikiran-pemikiran orang-orang gila ini kami pamerkan kepada kaum muda.  Saya sendiri datang dengan membawa 20 orang mahasiswa UI yang tergabung dalam Young Fellow Rumah Perubahan.  Kelak anak-anak muda ini akan memimpin gerakan social entrepreneur, bukan kewirausahaan biasa.

Panggilan dan Terpanggil

"Orang-orang Gila" yang saya maksud adalah orang yang suka "mendengar" suara-suara yang tak didengar banyak orang, dan bisa melihat yang tak terlihat.  Tapi kata pendiri asosiasi yang saya ketuai ini (AKSI), Bambang Ismawan, sebenarnya semua orang "dipanggil" dan "ditunjukkan" untuk melihat, tetapi hanya orang-orang gila inilah yang terpanggil.  Makanya, bagi manusia normal mereka ini bisa dianggap gila. Mereka mau berbagi walaupun belum punya mobil atau rumah sendiri.  Memiliki bakat kewirausahaan, tapi untungnya tidak dipakai buat melayani orang-orang yang bisa membayar atau kelas menengah.  Juga tidak dipakai untuk memperkaya diri sendiri,  melainkan untuk melayani rakyat miskin.  Walaupun mereka sudah membayar pajak dan tugas itu harusnya dijalankan pemerintah, mereka ikhlas saja mengambil peran dan melakukannya.

Orang-orang yang terpanggil itu, katanya lagi, ketika bekerja seperti sedang kerasukan.  Awal kerasukannya juga bermacam-macam.  Ada yang dipanggil karena cacat seperti Irma  Suryati, orang Kebumen  yang melamar kerja kesana kemari selalu ditolak, sehingga lalu mengambil kain perca sisa dari sebuah pabrik garmen di Semarang yang biasanya hanya dibakar begitu saja.   Dari situ ia buat keset yang dikerjakan bersama-sama  kaum difabel.  Namun ketika hasilnya banyak, ia kesulitan menjual. "Saya bawa ke jakarta dengan truk besar, sampai di Tanah Abang pukul dua dini hari saat Jakarta sedang dilanda banjir besar tahun 2006," kenangnya.  Tapi dari Tanah Abang ia belajar menghadapi pasar dan mengenal pedihnya berurusan dengan preman Jakarta.

Irma kini menjadi usahawan difabel yang melayani kaum difabel.  Peserta rapat lainnya adalah Sumadi yang pergi ke pelosok-pelosok Nusantara mengajarkan kaum miskin agar punya jamban sehat (WC) dan hidupnya lebih bersih.  Ia mengajarkan cara arisan agar penduduk kampung memiliki sanitasi yang bersih.  Sama seperti Sugeng yang sering kita lihat di program tivi Kick Andy, si pembuat kaki palsu yang sejak kecil kehilangan kakinya.

Ada Haji Idin, jawara dari Betawi yang kadang disebut si Pitung.  Dia bilang jawara itu orang yang berilmu, murah hati, lapang dada dan menghormati pemikiran orang lain.  Walau hanya berpendidikan kelas empat SD, ia sudah mendokumentasi tanaman Bambu Nusantara dengan segala karakternya.  Dia tak menggunakan masanya untuk memeras, melainkan memperbaiki pikiran para pengembang yang membuang sampah sembarangan atau merampas aliran tepi sungai Ciliwung untuk mendapatkan air bersih.  Semua itu dipakai untuk mensejahterakan masyarakat yang tinggal dan mencari makan di pinggir kali.

Jadi Tuhan memanggil mereka dengan berbagai cara dan dalam bidang yang beragam. Ada yang "terpanggil" mengurusi kaum miskin di tepi sungai, ada yang mengurus  anak-anak autis tak mampu, pedagang kaki lima, orang cacat, dan seterusnya.  Panggilan itu, kata Robert Greanleaf (1970) adalah sebuah panggilan suci yang datang secara original dari dalam jiwa, untuk melayani sesama.  Katanya lagi, panggilan itu berawal dari kemampuan berempati, melihat perspektif dari sisi lain, ketrampilan mendengarkan, menangkap foresight, dan punya kesadaran untuk bertindak.

Perspektif Kaum Miskin

Belakangan perhatian terhadap pasar kaum miskin lumayan cukup besar, namun sayangnya perspektif yang dibangun adalah perspektif "pasar" yaitu kumpulan massa yang jumlahnya besar dengan kekuatan konsumsi sebagai obyek pemasaran.  Bagi mereka, the poor (kaum miskin) adalah the have not yang memerlukan bantuan pemerintah.  Mereka akan berdaya kalau pemerintah meningkatkan subsidi dalam aneka bidang.  Namun sayangnya subsidi ini sering tidak tepat sasaran, dan kalaupun ada, lebih membuat mereka sebagai human passengers yang hidup dalam ketergantungan dan kemiskinan berkelanjutan.

Pandangan baru menyebutkan mereka harus dipandang sebagai kelompok bukan tidak memiliki apa-apa, melainkan sebagai kelompok yang memiliki sesuatu. The poor is the have little.  Mereka punya tenaga, otak yang waras, kesehatan (meki tak sesempurna kelas menengah), kegigihan, adat budaya, tanah (meski sedikit), sahabat dan sebagainya.  Nah, orang-orang yang saya sebut gila ini, di AKSI (Asosiasi Kewirausahaan Social) menjadi sahabat-sahabat mereka untuk memberi kekuatan dengan jaringan dan inisiatif agar masyarakat semakin mandiri.  Kalau kita perhatikan, perekonomian sektor informal Indonesia saja jumlahnya sudah mendekati seperempat jumlah penduduk nasional.

Mereka juga bisa menjadi mandiri dan berkontribusi kalau semakin banyak orang "gila" yang saya sebut diatas yang mau menjadi sahabat kaum miskin.  Sektor informal itu, bagi Bambang Ismawan bukanlah the have not, melainkan kelompok ekonomi yang aktif.  Saatnya bagi Indonesia memperbaiki cara pandang, mendidik lebih banyak manusia yang punya kepedulian dan empati, dan mau mendengarkan yang tak terdengar.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sunk Cost Trap - Jawapos 3 September 2012


Anda mungkin pernah membaca kata-kata yang diucapkan Warren Buffet yang bunyinya begini: “Kalau Anda terpuruk masuk ke dalam sebuah lubang, cara terbaik yang bisa Anda lakukan minimal berhenti menggali tanahnya.”Kalimat ini begitu powerful, terutama untuk menjelaskan betapa banyak CEO yang menggali lubang terus menerus ketika berhadapan dengan masalah, dengan mendiamkannya.  Mendiamkan masalah dapat menjadikan masalah bak bakteri pembusuk yang dapat menularkan kerusakan. Menuruti Warren Buffett, tentu saja minimal kita harus bisa menghentikannya.  

Tiga orang psikolog, Hammond, Keeney, dan Raiffa (2011) baru-baru ini melansir temuannya yang dalam metode pengambilan keputusan dikenal sebagai sunk-cost trap. Anda yang pernah belajar akutansi mungkin familiar dengan kata sunk-cost yang oleh sebagian penulis diterjemahkan (maaf, ini agak lucu bunyinya) menjadi biaya tenggelam.Maksudnya ya biaya yang sudah dikeluarkan (dan begitu besar) yang tak bisa diambil kembali. Ya dia hilang begitu saja. Nah disebut  trap atau perangkap karena tidak lain, para pemimpin sering kali berputar-putar menyesali biaya itu dengan membiarkannya ada, padahal assetnya sudah hilang, tenggelam.

Hilang, lenyap, atau ?
 Beberapa hari lalu saya melihat siaran berita di televisi yang menunjukkan bagaimana antusiasnya warga Cina menyaksikan perobohan dua buah gedung bertingkat tinggi di wilayahnya. Gedung bertingkat lebih dari 30 lantai itu dirobohkan dengan menggunakan dinamit sehingga dalam sekejap berubah menjadi puing-puing bebatuan.Mengapa para eksekutif pengelola gedung berani merobohkan kedua gedung itu? Bukankah masih bisa dipakai? Dan kalaupun sudah kumuh, apa sih susahnya direnovasi? 

 Begitu pikiran banyak orang.Sementara itu di banyak kota saya menyaksikan gedung-gedung kumuh dibiarkan begitu saja, bahkan sudah tidak dipakai sama sekali. Dibilang antik ya tidak, bahkan menjadi angker dan penuh sarang laba-laba.Tetapi saya pikir semua itu terjadi karena manusia selalu mengalami sunk-cost trap dalam pengambilan keputusan. Daripada dirubuhkan, ya lebih baik kita perbaiki saja, atau diamkan sajalah.  Walaupun kita harus membayar biaya-biaya perawatannya.Hammond, Keeney, dan Raiffa memberi beberapa contoh  yang saya kira ada banyak benarnya. Mereka menyebutkan apa yang dialami oleh para bankir yang menghadapi nasabah-nasabah bermasalah. Setelah kredit diberikan beberapa waktu kemudan kredit itu macet. Apakah Anda berpikir para bankir akan menghentikan dan menjualnya kepada pihak ketiga? Ternyata tidak, rata-rata bankir di seluruh dunia ternyata justru menyalurkan  kredit-kredit baru dengan harapan usaha yang dibantu itu bisa hidup kembali. Padahal kredit yang macet itu adalah sunk-cost, dan kredit macet itu bertemu dengan bankir yang tersandera sunk-cost trap.

Di sini lain, saya juga melihat ada begitu banyak CEO yang menghadapi karyawan-karyawan yang bermasalah dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Kadang saya berpikir rumah mereka mungkin sudah bukan di sini lagi dan tentu saja mereka membutuhkan program karir kedua (the second career). Namun berapa banyakkah CEO yang berani melakukannnya dan membuatkan program pensiun dini agar karyawan-karyawan itu bisa segera pindah? Anda benar, ternyata sangat sedikit. Mayoritas CEO justru memilih cara-cara lain yang bisa membuat para karyawannya tetap bertahan, bahkan menggali lubang-lubang besar pada perusahaan, yang ibarat kapal berpenumpang besar lambat laun bisa mengakibatkan kapal benar-benar tenggelam.

Setelah membaca cerita di atas, saya harap Anda pun mulai mengerti mengapa semua pemimpin partai politik mendiamkan eksekutifnya yang bermasalah tetap menjadi pengurus partai. Mereka mendiamkannya sama sekali, bahkan justru membelanya. Dan kalau sudah ditangkap KPK dan dijadikan tersangka, paling-paling kalau mengerti orang-orang bermasalah itulah yang akan mengundurkan diri sendiri. Bukan diberhentikan. Ini jelas sekali.Pemimpin-pemimpin yang kita hormati itu, maaf, bukanlah good decision maker. Mereka terperangkap sunk-cost trap.  Dan sunk-cost trap adalah perangkap yang dialami oleh decision maker yang lemah yang kurang memiliki kemampuan multi-perspektif.Lantas apa yang dapat mereka lakukan? 

Mungkin sebaiknya Anda tunjukkan saja kolom ini pada mereka yang terperangkap di sana dan kalau ini terjadi pada Anda, saya minta agar Anda mulai berani melihat sebuah masalah dari berbagai perspektif. Namanya asset, kalau sudah tidak ada nilainya hendaknya Anda bijak menerimanya. Asset itu telah tenggelam dan Anda tak perlu berharap lagi, kecuali untuk alasan-alasan kemanusiaan.  Sunk-cost trap adalah psychological trap yang mungkin dialami oleh banyak pengambil keputusan yang buruk.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Senin, 10 September 2012

Perang Ginseng - Sindo 30 Agustus 2012


Kalau Anda mengenal watak orang Korea dan  Amerika, mungkin Anda akan sepakat dengan saya bahwa Samsung tak akan menyerah ditekan Apple.  Meski minggu lalu Samsung didenda sebesar $ 1 miliar atas tudingan telah mengambil tanpa hak beberapa elemen kekayaan intektual Apple (yang tak diakui Samsung) dan minggu ini Apple meminta pengadilan melakukan injunction agar melarang 8 produk Samsung beredar di seluruh pasar Amerika Serikat.  Di lain pihak, Samsung baru saja mengumumkan rencana ekspansinya dengan membuka pabrik besar-besaran di Amerika Serikat untuk memasok kebutuhan memory chip bagi Apple.

Orang Korea yang saya kenal bersuara halus, namun berwatak keras. Daya juangnya  seakan tak pernah habis, sekuat tenaga yang dijanjikan akar ginseng.  Mental menembusnya sangat kuat, sekalipun medan yang dihadapi berbahaya untuk dimasuki.
Seperti itulah mereka menempati kawasan berbahaya di Los Angeles yang tak berani didiami warga Amerika sekalipun.  Anda mungkin masih ingat bagaimana mereka mempersenjatai diri tatkala LA dilanda kerusuhan berat pada tahun 1992.  Bukannya lari seperti kebanyakan kelas menengah kita yang mengalami hal serupa di Jakarta tahun 1998, mereka justru menghadapinya  dengan senjata laras panjang.  Padahal bahasa Inggris mereka pas-pasan.  Dengan modal bahasa isyarat mereka menguasai titik-titik strategis di berbagai pelosok dunia.  Sekeras baja itulah pegolf perempuannya, Seri Park, dididik ayahnya menjadi juara dunia turnamen Golf.

Dua Perspektif Berbeda
Pada sisi lain mari kita lihat perspektif Apple.  Langkah yang diambil Apple adalah cerminan watak orang Amerika yang saya kira mudah Anda kenal.  Mereka sangat straight to the point, apa yang dirasakan itu yang diungkapkan, pegangan mereka adalah aturan hukum,  kompensasi kerugian tanpa perasaan,  dan sangat kompetitif.  Orang Amerika yang kita kenal memang amat beragam, tetapi dunia mengenal mereka sebagai bangsa yang ingin mengatur dunia, dan merasa pusat dunia ada di rumah mereka.

Sejak kecil anak-anak di sekolah  Amerika dibiasakan berbicara terbuka, menghargai kesetaraan, berkompetisi dan berinovasi.  Melakukan plagiat  adalah haram.  Kalau mengutip kalimat orang lain sekalipun, maka harus disebutkan sumbernya.  Itupun belum cukup.  Para pelajar dan mahasiswa wajib mengolah kembali kutipan milik orang lain itu dengan kata-kata buatan sendiri.  Mereka menghargai originalitas ide dan kreativitas.  Tapi begitu ada yang meniru,  jangankan bangsa lain, bangsanya sendiri pun dikenakan sangsi berat. Seorang plagiator yang tertangkap tak akan pernah bisa berkarier di dunia akademis sepanjang hdupnya, dan seorang pencuri karya cipta didenda sangat berat.

Di lain pihak Korea Selatan memasuki pasar dunia yang sudah lebih dulu dikuasai Jepang yang menjadi obsesinya.  Seorang ilmuwan Korea pernah mengatakan, jalur yang harus mereka lalui adalah inovasi melalui imitasi.  Sedangkan bagi masyarakat Amerika, imitasi adalah perbuatan kriminal yang berarti mencuri kekayaan orang lain dan bisa menghancurkan daya saing bangsa karena imitasi menghalangi niat orang lain berinovasi. Imitasi adalah disinsentif bagi inovasi, sehingga ujung-ujungnya konsumen sendiri yang dirugikan.
Namun badan orang Korea terlalu kecil untuk melompat sejauh inovasi yang sudah dibangun Amerika selama dua abad. Maka imitasi yang dulu dilakukan Jepang kini mereka ikuti.  Hanya saja dunia telah berubah menjadi lebih kompleks, industri  berteknologi tinggi semakin ruwet, dan Amerika sudah semakin licin memagari dirinya dengan jeratan-jeratan hukum.

Jadi sesungguhnya bukan Amerika yang ingin mereka tundukkan, melainkan Jepang.  Kalau Jepang bisa buat Honda, Korea buat Hyundai dan bunyina mirip.  Platform pengembangan teknologinya mirip-mirip Jepang, tetapi  diawali dengan tangan besi militer di bawah kekuasaan Jendral Park Chung He.   Nah begitu pasar otomotif dan konstruksi memasuki tahap saturation, Korea mengkopi cara Jepang mengembangkan platform IT.

Dulu Jepang, melalui korporasinya, Fujitsu juga pernah mempermalukan Intel saat mengembangkan micropocessor chip di tahun 1980-an.  Meski hak patennya ada di Intel, Fujitsu selalu mampu meluncurkan chip yang kapasitasnya dua kali lebih besar dalam waktu enam bulan lebih cepat dari kemampuan Intel memasuki pasar.  Toh Intel bukannya menyeret Fujitsu ke ranah hukum, melainkan melakukan switching ke chips komputer dan membiarkan Fujitsu berjaya dalam industri game dan entertainment.  Tetapi mengapa sekarang Apple begitu marah pada Samsung?

Nazar Keras Kepala
Beberapa menit yang lalu, saat transit  di bandara Sydney, saya menyaksikan sejumlah orang  mendebatkan kasus Samsung.  Seorang warga Korea menunjukkan tablet Samsung berlayar kaca anti gores yang tak bisa dibuat Apple.  Baginya Samsung  pahlawan. Samsung bukanlah plagiat sejati karena juga mengembangkan  teknologi hardware.  Dan baginya, konsumen telah diuntungkan. Buktinya produk berteknologi sama bisa dipasarkan Samsung separuh harga Apple.

Orang amerika yang berada disampingnya ternyata tak membela Apple, ia justru mengutuknya.  Ia tidak bisa menerima langkah sweeping yang diajukan Apple yang melakukan injunction sebagai lanjutan dari putusan peradilan yang memenangkan gugatannya.  Injunction itu berupa permintaan agar 8 produk Samsung dilarang beredar di seluruh pasar Amerika.  Seperti biasanya, setelah itu lawyer Apple yang jeli melihat uang akan melakukan hal serupa di negara-negara lain.

Memang kalau diperhatikan, denda sebesar US$ 1 miliar yang diajukan kelihatan impresif. Tetapi bagi perusahaan global yang sedang tumbuh jumlah sebesar itu hanya menarik di mata media.  Harap maklum budget pomosi tahunan Samsung  $ 2,75 miliar, Samsung adalah penguasa pasar hardware Android terbesar di benua Amerika (33%) mengalahkan LG, Moto, Sony dan HTC.  Bahkan Samsung menjadi pemasok komponen dan memory chip yang penting bagi Apple.  Samsung menguasai 70% pasar memory chip untuk handset berbasiskan Android dan Apple, jauh melebihi Toshiba.  Bahkan 40 % pasokan DRAM Apple datang dari Samsung.

Maka, seperti yang saya duga, Samsung memilih bertempur ketimbang menarik diri. Cara Samsung memang berbeda dengan yang biasa ditempuh korporasi Jepang yang mudah menyerah kalau ditekan Amerika.  Beberapa detik yang lalu CEO Samsung sudah membuat pernyataan yang sangat mengejutkan.  "Kita akan terus bertempur dan bersungguh-sungguh menghadapi kenyataan ini.  Kita akan melakukan banding dan kami nyatakan akan terus berupaya untuk menjamin keberadaan barang-barang ini di berbagai jaringan retail di Amerika Serikat dan dunia," ujarnya dalam sebuah press release.

Saya kira selain berwatak keras, Samsung juga paham bagaimana cara menghadapi lawyer Amerika Serikat.  Menghadapi bangsa besar ini Anda tak bisa bermain dengan perasaan.  Bangsa ini harus dilawan dengan argumentasi.  Bila Anda diam berarti  tidak mengerti atau kalah. Dan bagi yang kalah, pintu terbuka lebar.  Bukan dengan sowan, cium tangan atau membuat pernyataan maaf di koran seperti yang menjadi ciri khas tuntutan para lawyer kita, melainkan membayar.  Beberapa waktu saja Apple juga membayar ganti rugi sebesar 600 juta dolar kepada Nokia karena dianggap lalai  menyalahgunakan perjanjian hak cipta dalam kasus IP.  Selain itu Apple juga sepakat membayar sebesar $11,5 dari setiap penjualan iphone-nya kepada Nokia.

Nah sekarang Apple wajib mencari dana penggantinya.  Mudah saja bukan?  Kalau Samsung tak bisa membayar, mereka akan mengalihkannya kepada  pelanggannya.  Itu saja. Mereka tak pernah bepikir konsumen itu perasa, punya pertimbangan lain dan seterusnya.  Mereka juga tak berpikir hubungan jangka panjang dengan vendor-vendornya. Amerika adalah bangsa seperti yang saya sebutkan di atas.  Mereka pragmatis dan main logic, bukan win-win dan bukan hubungan saling membantu.

Media massa di Amerika menyebut cara yang ditempuh Apple sebagai cara pemungut pajak.  Denda ini kini dikenal dengan istilah sebagai "Apple Tax".

Jadi bagi Samsung buat apa bawa-bawa perasaan atau memakai budaya Asia lainnya.  Hadapi saja dengan perang ginseng, toh dengan beredarnya kasus ini brand power Samsung naik beberapa kali lipat.  Kendati harga sahamnya sempat anjlok dan platform baru bermunculan, Samsung masih punya kekuatan pasar yang besar.  Samsung juga mulai mengincar Nokia dan Microsoft yang akan masuk besar- besaran ke dalam kategori produk yang sama.

Jadi bagi saya Perang Ginseng masih panjang.  Ini adalah bagian dari perjuangan yang diajarkan guru-guru sekolah bisnis Amerika Serikat sendiri pada bangsa-bangsa Asia.  Mereka mengajarkan cara menyaingi korporasi dunia Amerika, bahkan cara menaklukkannya.  Mereka mengajarkan pentingnya inovasi dan memiliki paten teknologi.  Dan bagi negara seperti Indonesia, penting agar menciptakan sophisticated corporate yang mampu menggantikan peran negara dalam penciptaan kesejahteraan.  Ini berarti penting bagi kita melakukan  transfomasi dari factor-based economy (ekonomi berbaikan SDA) menjadi innovation-based economy. Dan dalam transformasi itu, intrik, saling menuntut dan menuduh dalam business law adalah hal yang biasa. Kata Ross Perot semua itu ada aturannya, kecuali bila Anda memasuki ranah politik.  Jadi adu pintar saja.

Mari kita pantau terus perang ginseng ini.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Gu dan Bappenas - Sindo 23 Agustus 2012


Bisakah perencanaan ekonomi dipisahkan dari aspek- aspek nonekonomi? Tentu saja bisa,tetapi di era perencanaan strategik seperti saat ini sungguh tak lazim.

Kecuali Bappenas masih bekerja seperti 30 tahun yang lalu, saat persoalan ekonomi belum sekompleks sekarang. Ibarat gerbong kereta api yang tak terangkai, sulit mencapai tujuan. Inilah yang dikhawatirkan China.Maka itu,penegakan hukum tidak dibiarkan jalan bebas sendiri.Penegakan hukum in-line dengan pembangunan daya saing bangsa.Lihatlah apa yang terjadi di China saat hakim memutuskan Gu Kailai bersalah telah meracuni investor Inggris yang berbisnis dengan putranya, Bo Guagua. Gu divonis hakim dengan hukuman mati yang pelaksanaannya ditunda dua tahun.

Pemerintah Inggris dan rakyat China sama-sama menuntut keadilan, namun motifnya tidak sama. Pemerintah Inggris mengaku bisa menerima.Hukum terhadap orang penting bisa ditegakkan dan investor senang. Apalagi, para analis politik mengatakan bahwa hukuman ini sekaligus menuntaskan rivalitas politik tingkat tinggi, yang berarti regenerasi aman. Suami Gu, Bo Xilai yang kariernya pernah cemerlang itu,sebaliknya terhalang untuk menduduki posisi tertinggi di partai.Mengapa semuanya berjalan smooth seperti terorkestrasi dengan baik?

Capital Outflow 

Memang masih ada yang luput dari blueprintstrategi itu. Namanya juga bukan negeri demokratik seperti di sini. Rakyat China menggerutu. Bukan karena menentang hukuman mati, melainkan kalau hukuman mati bagi rakyat bisa segera dieksekusi, mengapa istri pejabat harus ditunda? Lantas, apa hubungannya dengan investasi asing yang susah payah dibangun bertahun-tahun?

Bagi investor asing, China sangat menarik. Namun, apa artinya pasar dan daya beli kalau sistem hukumnya bobrok? Di mana peranan rencana strategis? Perencanaan bukan sekadar bagi-bagi alokasi dan membuat usulan kebijakan, melainkan mengatur hubungan antar semua elemen, melakukan persiapan-persiapan, dan mengorkestrasinya ke dalam sebuah simfoni yang indah dan saling mewarnai. Maka jangan heran, kalau praktik penegakan hukum di Indonesia juga menjadi pantauan investor dan pemerintah negara-negara industri.

Hukum yang mandul,yang penegakannya terseok-seok, dan menjadi rebutan antara elite, bisa membalikkan semua kemajuan ekonomi dalam sekejap. Mungkin Anda masih ingat bagaimana investor ”menghukum” Indonesia melalui krisis moneter 1997–1998.Dibandingkan negara-negara Asia lainnya, Indonesia adalah negara yang mengalami ”hukuman” yang sangat berat dalam rentang waktu yang paling panjang. Bekas- bekasnya masih tampak hingga hari ini dengan teralihnya aset-aset milik pengusaha Indonesia ke tangan asing, pengangguran besar-besaran,dan selama hampir sepuluh tahun perusahaan-perusahaan domestik tidak merekrut pegawai-pegawai baru.

Akibatnya, generation gap di banyak perusahaan nasional masihbanyakdirasakansampai hari ini.Sekitar 70% pegawai di perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN saat ini berusia di atas 45 tahun dan hanya sekitar 20% yang berusia muda (27–32 tahun). Di antara kedua generasi itu kosong melompong.Ke mana yang di tengah? Kemungkinan besar, yang kesulitan mencari kerja dan menjadi korban PHK telah mengisi sektor informal dan dunia usaha. Jumlahnya dewasa ini ada di atas 50 juta orang. Namun, dampak yang paling dirasakan saat itu terutama adalah terjadinya pelarian modal secara besar-besaran.

Kita tentu berharap kesemrawutan penegakan hukum di Indonesia bisa segera dibenahi, dan investor tidak memberikan hukuman yang sama seperti yang dialami sepanjang 1997–2005. Mari kita bandingkan dengan Rusia yang dipandang sebagai negara yang sama menariknya dengan China, India, dan Indonesia. Bila penegakan hukum di China terus ditingkatkan, pemerintahan Vladimir Putin agak mirip dengan di sini, kedodoran menangani mafia peradilan. Ia kurang menaruh perhatian mengorkestrasi penegakan hukum.

Masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri, terpisah antara hukum dan ekonomi.Apa akibatnya? Menurut Credit Suisse, akibatnya, capital outlow di Rusia terus terjadi.Apalagi,beberapa hari lalu investor tidak puas terhadapputusanpengadilanyang menjatuhkan tiga orang pelaku kerusuhan (pussy riot) hanya dua tahun penjara. Hukuman itu kurang mampu menyiutkan nyalikaumholigansRusiadalam mengganggu ketenteraman. Agak mirip dengan ketidakmampuan pemerintah menangani ormas-ormas berjubah agama yang semakin hari semakin meresahkan masyarakat di sini.

Kualitas penegakan hukum yang buruk telah mengakibatkan capital outflow di Rusia tahun lalu mencapai USD81 miliar, meningkat 100% dari tahun sebelumnya.Tanpa perbaikan kualitas penegakan hukum, diduga tahun ini capital outflow Rusia masih akan terus terjadi. Sebaliknya, penegakan hukum yang membaik di China dipercaya mampu mempertahankan appetite investor, bahkan financial inflow mencapai tertinggi sejak 12 bulan terakhir.

Perencanaan Strategis Ekonomi 

Mengapa China, Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam dan banyak negara lagi bisa melenggang ringan dalam perekonomian dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini? Jawabnya adalah karena mereka telah menggunakan pendekatan strategic management dalam mengelola perencanaan ekonominya. Singapura bahkan terang-terangan menggunakan pendekatan yang banyak dipakai oleh dunia bisnis. Bangsa-bangsa yang menciptakan kesejahteraan baru itu sadar betul, peran negara telah berubah dan negara saja tak bisa menciptakan kesejahteraan.

Dalam old school, perencanaan ekonomi dimotori oleh negara melalui policy dan incentive. Dalam new school, perencanaan ekonomi merupakan sebuah rajutan bersama (a colaborative process) yang melibatkan banyak aktor pada berbagai tingkatan, dan tentu saja melibatkan institute for collaborations.Pertanyaannya, siapa yang menjalankan peran sebagai kolaborator itu? Apakah KEN (Komite Ekonomi Nasional) yang salah satu anggotanya kini menjadi tersangka di KPK, atau Bappenas, menko perekonomian atau siapa? Ini sangat memusingkan.

Institute for collaborations jelas tidak bisa jalan kalau hanya menjadi urusan pembuat kebijakan ekonomi.Ini paradigma lama yang sama dengan rangkaian gerbong kereta yang tak dirangkai. Ekonomi tak bisa hanya diurus orang-orang ekonomi, apalagi cuma melulu kebijakan makro. Dalam new school, aktor utama penggerak ekonomi itu bukanlah pemerintah, melainkan dunia usaha, perusahaan-perusahaan besar dan kecil yang menjalankan peran inovasi dan penciptaan nilai. Jadi, buat apa memperbanyak PNS? Bukankah lebih baik memperkuat dunia usaha seperti Malaysia yang memperkuat Petronas untuk menjalankan peran energy security.

Petronas yang inovatif dan creating value dibuat menjadi besar dan modern,tetapi aktor-aktor lainnya paham ke mana arahnya. Salah satunya ya penegakan hukum tadi,tetapi jalannya tak bisa sendiri-sendiri.Ibarat tidur di atas kasur yang sama, doktrinnya kemerdekaan, tetapi igauannya tidak sama. Mimpi saja berkelahi

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Bersiasat - Kompas 22 Agustus 2012

Manusia bersiasat adalah biasa. Namun, di dunia akademis, pemimpin yang bersiasat identik dengan ”berpolitik”.

Pada tingkatan tertentu, bersiasat mengandung arti pengkhianatan terhadap kebenaran atau bermuslihat. Dan, dalam kepemimpinan akademis, hal seperti ini sangat tak disukai, bahkan menciptakan kegelisahan.

Namun, ketika politik menjadi panglima dan suara menteri menjadi sangat menentukan, sulit dihindari calon rektor tidak ”berpolitik”. Suara menteri sangat menentukan dalam segala hal: sejak pemilihan sampai penurunan atau saat rektor melakukan kejahatan sekalipun.

Hubungan dengan kementerian menentukan anggaran dan karier seorang rektor di masa depan. Orang yang diinginkan warga kampus bisa tidak terpilih dan yang bersiasat tak bisa segera diganti sepanjang pemerintah berpendapat lain.

Demikianlah kisruh yang diawali dari Universitas Indonesia (UI). Seperti Merapi yang terbatuk-batuk, ia hanya bisa menggetarkan bumi, sampai magmanya berhasil diletupkan. Selama katup pelepasnya disumbat, ia hanya bisa meleleh dan berceloteh. Sementara mereka yang tidak paham hanya melihat dua kubu berseberangan dan rencana kudeta, yang seakan-akan pula bisa diselesaikan penengah dari luar.

Namun, alih-alih melepas katup, penyumbatnya justru ditambah sehingga energi di bawah menguat dan ledakan tak terhindarkan.


Perspektif Penengah

Suka atau tidak suka, siasat akan berhadapan dengan siasat. Kultur akademis adalah mempertanyakan sesuatu dan menguji hipotesis sehingga pemimpin yang bersiasat cepat terungkap. Namun, sekali masyarakat akademis dipimpin oleh rektor yang bersiasat, penyelesaiannya menjadi rumit. Yang satu berpolitik, yang lain menguji dan membongkarnya.

Maka, para wali amanah dan penguasa perlu mereposisi perspektif. Dari perspektif pecundang menjadi perspektif pemenang, merebut hati dan pikiran warga kampus yang muak pada kultur bersiasat.

Seorang rektor yang berkuasa dengan pola pikir ”bersiasat” akan menempuh banyak cara untuk menghindari kontrol dan tata kelola. Padahal, tata kelola adalah prasyarat bagi terbentuknya universitas kelas dunia yang diabdikan untuk kepentingan rakyat dan bangsa. Tanpa tata kelola yang baik, universitas hanya menjadi menara gading. Perubahan berorientasi pada bangunan fisik, sementara sumber daya berubah menjadi beban dan prestasi menjadi prestise. Seperti kerajaan ”kebenaran” Yunani yang beralih menjadi ortodoks, lalu berevolusi menjadi heresies (juragan kebenaran).

Kepemimpinan berbasiskan ”siasat” di kampus akan menyesatkan dan mengadu domba. Arah dan tujuan tidak konsisten. Kemarin bersekutu dengan kelompok mahasiswa beraliran keras, tetapi saat kedudukan terancam, beralih kepada kelompok moderat yang punya pandangan lebih humanis. Akan tetapi, ini hanyalah skenario pertahanan yang tidak didasarkan karakter. Sama halnya dalam menghadapi pemerintah. Dulu membela otonomi, tetapi begitu kedudukan terancam, otonomi ditukar satuan kerja kementerian.

Lantas, bagaimana penengah yang didatangkan dari luar? Rektor yang bersiasat tak akan membiarkan penengah menemukan kebenaran. Di UI, Majelis Wali Amanat (MWA) yang mewakili masyarakat bukanlah hadir karena kehendak mereka. Sebagian besar hadir karena ”ada kelompok berkepentingan yang membawa”, baik calon rektor maupun yang ingin mempertahankannya. Sampai di sini para anggota MWA tentu perlu melakukan refleksi: siapa yang membawa saya ke sini dan apa yang dituntut orang itu dari saya?
Apakah saya telah ikut menjadi bagian dari masalah dan ikut bersiasat atau menjadi solusi dengan memperbaiki perspektif?

”Siapa yang membawa” membentuk perspektif dan gambaran penyelesaian. Bila perspektifnya status quo, dapat dipastikan sama-sama bersiasat memadamkan pemberontakan. Bila perspektifnya adalah tata kelola, dapat dipastikan arahnya adalah penyelesaian. Jadi, sudah tepatkah perspektifnya dan sudah diujikah kebenarannya?


Bukan Kekuasaan

Banyak orang berpikir kekuasaan adalah sumber korupsi. Saya tidak menyanggahnya. Namun, Aung San Suu Kyi mengatakan, ”Bukanlah kekuasaan yang membuat seseorang korup, melainkan rasa takut. Takut mempertanggungjawabkan perbuatan membuat seseorang takut kehilangan jabatan.”

Warga UI tentu tak ingin kekisruhan berumur lama seperti penderitaan Suu Kyi. Namun, pjs rektor utusan pemerintah yang baru mulai bekerja punya banyak pilihan. Mempertahankan kekisruhan dengan perspektif mereka yang takut ”kehilangan” atau dengan perspektif kebenaran dan mengembalikan tata kelola.

Jika ingin mengembalikan kultur akademik, menghentikan kisruh, mengembalikan UI sebagai kampus rakyat kelas dunia, ”dengarkanlah” dari para pendidik berdedikasi yang sehari-hari menyaksikan kepemimpinan yang bermasalah. Mereka adalah akademisi yang jauh dari ambisi jabatan, tidak suka bersiasat, selain ingin berkarya dan menciptakan impak. Mereka tahu apa yang harus diperbaiki.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Berebut Rp. 50 T Uang Mudik - Jawapos 13 Agustus 2012

Sekitar 15,4 Juta orang, akan melakukan perjalanan mudik. Berbeda dengan pemudik migran di negara-negara lain yang cenderung turun, di Indonesia justru naik 4,17% dibandingkan 1432 H. Ini berarti lapangan pekerjaan masih terpusat di kota-kota besar dan pembangunan masih tak merata. Memakai bell curve, maka diperkirakan akan berputar sekitar 50 triliun rupiah hanya dalam dua minggu. Dan jumlah ini bisa naik 2-3 kali lipat, dipicu oleh hutang.

Hitungannya begini, 60% rata-rata pemudik (9,2 juta orang) adalah karyawan kerah biru yang minimal menerima Rp. 1 juta rupiah THR dan membawa minimal dua bulan dari tabungannya setahun bekerja. Jadi rata-rata bisa membawa Rp. 3 juta rupiah. Totalnya mencapai 27,6 triliun.

Lalu 20% pemudik berstatus sosial atas yang menggunakan mobil pribadi, kereta api eksekutif dan pesawat terbang, diperkirakan ada 3,1 juta orang dan masing-masing akan menghabiskan minimal Rp. 9 juta sehingga mencapai 27,9 triliun rupiah. Sedangkan kelompok yang kurang beruntung, yaitu 20% terbawah, juga 3,1 juta orang akan membawa pulang rata-rata Rp. 500.000,- sehingga menjadi 1,53 triliun rupiah. Jadi totalnya sekitar Rp. 57,03 triliun. Ditambah pengeluaran kartu kredit dan hutang jumlahnya bisa menjadi sekitar 150 triliun rupiah. Namun angka konservatifnya, sepertiganya, yaitu sekitar Rp. 50 triliun.

Uang sebesar itu terutama akan mengalir ke bisnis telekomunikasi, transportasi, hiburan, pakaian (fashion), dan makanan melalui anak-anak dan remaja. Perputaran uang dalam jumlah besar ini berlangsung cepat sehingga membuat lonjakan permintaan dan sekaligus kekosongan beberapa hari setelah itu. Celakanya, sebagian besar dinikmati oleh merek-merek asing dalam bentuk royalti, bunga, pulsa, dan sebagainya. Belum ada pemimpin yang menggugah kesadaran memakai merek lokal, menabung atau berinvestasi.
Enduransi Perusahaan
Rezeki sebesar itu disikapi bisnis dengan perspektif yang berbeda-beda. Ada perspektif aji mumpung, dan ada yang sebaliknya, yaitu kesempatan membalas budi.
Perspektif pertama ada di kepala pengusaha-pengusaha di bidang usaha yang saya sebutkan di atas. Menggenjot iklan, promosi penjualan dengan tawaran-tawaran yang menggoda bahkan menjerat pelanggan. Diskon, potongan harga, display, kredit, tukar mobil bekas dengan yang baru dan seterusnya. Intinya adalah agar konsumen cepat-cepat mengambil keputusan dan membeli lebih banyak. Bahwa setelah itu Anda harus mencicil, menanggung hutang, itu bukan urusan mereka.

Seharusnya aparat pemerintah, pelayan-pelayan publik dan lembaga watch dog bekerja lebih gencar saat konsumen menjadi sasaran “vacum cleaner” yang menyedot kesejahteraannya. Peringatan-peringatan harus banyak diberikan agar konsumen tidak jatuh miskin setelah hari raya berlalu.
Perspektif kedua melihat lebaran sebagai sarana berbagi, yaitu opportunity untuk mengikat “kesetiaan”. Sulit dikatakan berbagi dalam marketing adalah murni spiritual, namun hal ini juga tidak dimungkinkan kalau eksekutifnya tidak memiliki kepekaan sosial.

Tahun ini Sido Muncul misalnya, mengirimkan mudik gratis sebanyak 300 bis atau sekitar 12.000 – 16.000 orang. Selain itu  Holcim, BNI, BRI, Jasa Raharja, Carefour, Giant, Honda, Yamaha, Sariwangi, Indofood, Alfamart, dan Indomaret masing-masing mengirim antara 20-200 bis. Tercatat juga Pemda Jawa Tengah yang menyediakan 190 buah bis. Dari Gresik saya mendengar baru  1 perusahaan, yaitu Wiharta Karya Agung. Padahal di kawasan industri ini ada lebih dari 1.500 perusahaan yang mampu mengantarkan para buruh dan pekerja informal pulang mudik.

Perspektif berbagi sendiri baru bisa dinilai kesungguhannya dari enduransinya. Saya mengamati, kebanyakan pengusaha dan pemimpin tidak memiliki enduransi yang panjang. Pemda Banten misalnya, gencar membantu para pemudik gratis tahun lalu. Namun tahun ini tiba-tiba tidak ada lagi. Saya tidak tahu persis apakah pemprov Jateng masih akan melakukannya kembali tahun-tahun depan kalau tidak mendekati pilkada.  Hal serupa terlihat pada banyak perusahaan yang ganti CEO ganti perspektif. Jelas tindakan ini tidak didorong oleh falsafah korporat dan tidak ada guidance dari  corporate values.

Sepanjang pengamatan, hanya Sido Muncul dan Indofood yang memiliki enduransi yang panjang. Indofood telah melakukannya lebih dari 5 tahun, sedangkan Sido Muncul telah 22 tahun. Wajar bila ditemui Mbok-Mbok jamu asal Wonogiri yang sudah ikut mudik lebih dari 20 kali.

Perspektif berbagi memerlukan keteguhan. Berbagi adalah sikap mulia yang diajarkan para nabi besar, apapun agama pemberi dan siapapun yang menerimanya. Anda tak harus beragama Islam untuk berbagai di hari raya Idul Fitri, dan Anda tak harus beragama Kristen untuk  berbagi di hari Natal. Tak perlu melihat warna kulit, agama/kepercayaan atau suku untuk membahagiakan, atau mengurangi beban orang lain. Sebab berbagi itu indah. Bahkan, jika usaha atau kesehatan Anda sedang susah, berbagilah. Maka Anda akan sehat.

Namun satu hal yang membuat enduransi menjadi penting adalah, berbagi itu menuntut pengorbanan. Mengurus ribuan orang tidak mudah, tetapi disitulah ujian bagi iman dan persaudaraan. Selamat Hari Raya Idul Fitri, Maaf lahir dan Batin.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan