Laman

Rabu, 19 Juni 2013

Sebuah Awal dari Kesulitan Besar-Sindo 20 Juli



Kalau Prof. Jagdish Sheth menulis buku dengan judul Self Destructive Habits, maka tangan ini gatal menulis "Awal dari Sebuah Kesulitan Besar”.  Awal itu adalah soal pencarian  bangsa ini terhadap energi.
Ketika semua bangsa-bangsa sibuk mencari dan mengembangkan  energi-energi baru, kita justru terperangkap dengan politik populis yang seakan akan masih kaya minyak. Sudah tahu cadangan minyak dunia semakin menyusut tetapi andalannya masih tetap saja minyak. Sudah tahu kilangnya tidak besar, tetap saja foya-foya minyak. Gampang, tidak perlu minyak mentah, beli saja yang lebih mahal: Minyak yang sudah jadi.
Bagaimana energy alternatif?
Pola Pikir kita adalah negeri kaya minyak. Minyak itu seakan-akan tersedia gratis seperti air cebok. Harganya sepertiga dari harga sebungkus rokok. Meski untuk mendapatkannya butuh teknologi, pengetahuan tingkat tinggi, proses yang panjang, dan merusak lingkungan pula. Bahkan di negeri kepulauan yg miskin infrastruktur ini kita butuh biaya angkut yang mahal untuk mengirimnya dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dengan paradigma itu rusaklah semuanya ketika realitasnya sudah berubah. Sumur-sumur minyak yang ada semakin hari semakin menyusut, produksinya turun. Bisa saja sumur-sumur itu disedot lagi, tetapi diperlukan investasi baru yang sangat besar. Investasi-baru itu ternyata tidak dilakukan. Deviden dari keuntungan usaha minyak diambil buat menambah pemasukan APBN, bukan buat reinvestasi untuk kemakmuran di masa depan.
Akibatnya kita tak punya uang. Alternatifnya, cari teman, cari investor. Tetapi mental kita mengatakan kita tidak ingin dikuasasi asing, karena perusahaan asing sudah terlalu banyak. Karena asing dikesankan menguasai. Karena asing mengambil terlalu banyak dalam bentuk cost recovery dan sebagainya. Tetapi sekali lagi, yang punya modal dan teknologi ya siapa lagi kalau bukan asing?  Bukannya melatih diri agar lebih cerdik, tetapi kita selalu hanya ribut.   Sementara itu mencari sendiri sumur-sumur baru selain beresiko gagal, biaya investasinya sangat besar.
Kata para ahli minyak, ada sih minyak itu. Tetapi terpendam di laut dalam, atau terperangkap di dalam bebatuan (shale oil & gas). Namun, untuk menangkapnya lagi-lagi butuh teknologi: Ya, tanpa pengembangan teknologi, tidak bisa kita dapatkan minyak itu.
Lalu ada gagasan mencari minyak di negeri lain. Tetapi lagi-lagi dukungan negara minim. Padahal negeri-negeri pemilik ladang-ladang minyak terus didatangi taipan-taipan minyak dari Malaysia, China, India, Thailand, Rusia, Amerika, Korea, dan Jepang. Mereka berebut memberi “pemanis” agar saling menguntungkan. Yang satu membangunkan kilang sehingga mendapatkan jaminan supply minyak mentah. 

Yang lain memberikan harga pasar yang menggiurkan. Demi mendapatkan keberlangsungan energy sambil mendidik warga negara agar tahu bahwa barang ini sudah berubah menjadi barang mewah.
Karena kita tidak melakukannya, maka pilihannya hanya impor. Dari minyak mentah lalu minyak jadi dan semakin hari semakin besar. Dan ketika harganya di dunia internasional semakin mahal, kita pun menutup mata. Harganya di dalam negeri harus tetap murah. Tak peduli sekalipun akan digunakan untuk mabuk-mabukan, trek-trekan, untuk pacaran, pesta dan sebagainya. Rakyat kita sama sekali tidak dididik memahami bahwa minyak telah berubah menjadi barang mewah. Bahkan tak banyak yang diberitahu bahwa Indonesia sudah 5 tahun ini keluar dari keanggotaannya di OPEC (2008). Kita bukan lagi anggota dari negara-negara kaya pengekspor minyak, tetapi prilaku kita masih bak raja minyak.
Menjadi penjelajah energy. Sebab tanpa energy kita tak bisa menyimpan vaksin, tak bisa mendidik anak-anak, apalagi merawat kesehatan.
Pikiran kita adalah pikiran lama yang using, yang seakan-akan Indonesia kaya minyak. Atau kalaupun tidak, pikiran kita mengatakan dunia ini masih kaya minyak. “Tidak akan pernah habis.” Produsen otomotif pun masih terus menjual kendaraan-kendaraan baru berbasiskan fossil fuel karena itulah energy yang paling efisien dan mudah dibawa. Dan kita pun terlena.
Energy Aternatif
Apakah alternatif yang sedang kita cari? Tenaga surya? Ternyata Indonesia bukan wilayah yang bagus buat energy tenaga surya karena matahari yang bersinar 12 jam di sini tidaklah tajam cahayanya. Kita mendapatkan “Light” tetapi tidak “Heat” nya
Tenaga angin? Ternyata juga tidak cocok. Angin di negeri ini ternyata tak sekencang angin di negeri Belanda atau Swiss. Walaupun penduduknya sering dilanda “masuk angin" misalnya.
Adapun panas bumi, sesungguhnya sangat menarik. Indonesia adalah segeri yang dikelilingi oleh cincin-cincin api. Tetapi sayangnya panas bumi itu melewati kawasan-kawasan hutan lindung yang belum tentu ramah bagi lingkungan. Di sini perkembangan agak tersendat.
Lalu pilihannya ada pada bio diesel seperti minyak sawit, minyak kemiri sunan, dan sejenisnya. Tetapi selama harga minyak yang utama murah (BBM) maka sulit energi alternatif ini hidup dan berkembang. Sama sekali tak ada insentif untuk berubah.
Kita bisa teruskan perdebatan ini dengan energi-energi alternative lainnya seperti batu bara, gas, nuklir dan seterusnya. Semuanya kita tentang, kita tertahan, terbelenggu, sulit bisa mewujudkannya.
Padahal di seluruh dunia bangsa-bangsa besar, termasuk negeri-negeri tetangga yang hanya sebesar Malaysia dan Thailand sekalipun sibuk membangun pertahanan energi. Diam-diam mereka membuat rakyatnya tidak mabuk minyak. Harga yang mahal bukan untuk menindas si miskin melainkan untuk mendidik kesadaran sebelum bencana besar itu tiba. Yaitu saat minyak sudah tak terbeli lagi sementara teknologi rumah tangga dan transportasi yang dipakai masih fossil fuel -based. 
Dan diam-diam mereka melakukan riset secara mendalam demi mendapakatkan energi-energi baru yang lebih terjamin pasokannya. Diam-diam mereka memberi insentif agar perusahaan-perusahaannya rajin menjelajahi dunia dan menabung energy untuk masa depan. Diam-diam mereka mengikat dengan kerjasama yang saling menguntungkan. Diam-diam mereka menyusun kekuatan-kekuatan baru.
Sayangnya di sisi kita justru bertengkar. Kita hidup dalam alam pikiran yang tidak sama. Dalam egoisme ideologis partai yang semu. Dalam kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok yang bodoh. Dalam arahan yang sama sekali tak ilmiah dan tidak logis. Dalam permainan yang memanipulasi pikiran-pikiran rakyat. Dalam angan-angan bahwa kita punya segala-galanya. Kita dibiarkan mabuk. Dan bagi saya ini semua adalah awal bagi kesulitan yang lebih besar. Ayo putus mata rantainya. Bukalah pikiran-pikiran yang lebih sehat untuk berubah.

Selasa, 18 Juni 2013

Keluar dari Sangkar Emas - Jawa Pos 18 Juni 2013



Ibarat sebuah buku, dunia dan isinya ini kaya pengetahuan. Tetapi bagi Agustinus dari Hippo, “Those who do not travel  read only one chapter."  Ya, mereka yang tak melakukan perjalanan, alias cuma belajar di kelas dan mengurung diri dapat diibaratkan hanya baca satu bab saja. 

                Itulah yang mendorong saya mengirim mahasiswa-mahasiswa saya pergi ke luar negeri. Bukan bergerombol, tetapi kali ini harus sendiri-sendiri pada setiap negara yang berbeda. Tanpa orang tua, saudara, kenalan atau jemputan. Pokoknya pergilah ke tempat yang jauh dan cari uang sendiri. Kalau dulu dosennya yang subsidi, kini mereka harus cari sendiri. Dan ajaib, semua bisa pergi.

                Maklum harus diakui, semakin ke sini, generasi baru Indonesia adalah generasi service. Mereka dibesarkan dengan service yang dibeli orang tua yang bekerja. Yang punya uang sedikit membesarkan dengan pembantu rumah tangga. Yang lebih sejahtera, membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru les yang bisa disewa orang tua. Pergi keluar negri pakai travel. Urus paspor saja pakai calo.  Akibatnya anak-anak kurang kaya potensi.
                Maka mengirim mereka keluar dari sangkar emas adakah sebuah kebutuhan.

Orang Tua Jangan Membelenggu
                Kita orang tua seringkali khawatir, bahkan khawatir lebih dari seharusnya. Kita khawatir anak-anak akan menderita di masa depan, maka kita pun memberikan segala yang mereka butuhkan. Padahal mereka bisa mencari sendiri. Bahkan kalau mereka sudah mendapatkan semua, mereka akan mencari apalagi?

                Saya pun tertegun, mahasiswa usia 19-20 tahun yang saya bimbing ternyata  punya nyali yang besar untuk menembus berbagai rintangan. Seorang mahasiswa saya menembus perbatasan Thailand dan tinggal bersama para biksu di Laos. Yang lainnya menyambangi Myanmar. Bahkan ada yang kesasar di Turki, India dan New Zealand.  Ada yang sampai Belgia, Jerman dan seterusnya.

                Semuanya kesasar dan semuanya belajar. Prinsip orang bekerja adalah berpikir, namun kalau setiap hari melakukan hal yang familiar/rutin atau dibimbing orang lain, maka manusia punya kecenderungan menjadi "penumpang" bagi orang lain dan tidak berpikir lagi.  Namun di lain pihak, orangtua juga punya tendensi mengawal dan menuntun anak secara berlebihan. Anak-anak yang berusia dewasa dilarang bepergian sendirian. Khawatir kita sangat berlebihan. Padahal di Vietnam, Thailand, Bali dan Laos, anak-anak bimbingan saya bertemu dengan mahasiswa asing yang sudah berkelana pada usia yang jauh lebih muda.

            Mahasiswa saya tak semuanya punya uang yang cukup untuk bepergian ke luar negeri, tetapi begitu dipicu untuk berpikir mereka pandai mencari uang sendiri.  Salah seorang mahasiswa saya mencari uang dengan menjadi calo tiket pada Java Jazz, atau saat bintang-bintang asing datang. Dengan uang itu saja mereka bisa pergi ke Jerman, Prancis atau Italia.

          Tak banyak orangtua yang menyadari bahwa anak-anak mereka punya potensi yang sangat besar untuk menjadi sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan. John Maxwell mengatakan, kalau saja manusia bisa membangunkan 25 persen dari potensi yang ia miliki, maka ia dudah bisa disebut sebagai genius.  Jadi bisa dibayangkan kalau Albert Einstein saja baru mengoptimalkan sebanyak 25 persen dari potensinya, berapa persen yang dioptimalkan kita yang biasa mengandalkan orang lain, menjadi penumpang atau menjalani kehidupan dengan belenggu yang dibuat orang tua?

          Mahasiswa saya mengatakan, bukan mereka yang tak ingin, melainkan terlalu banyak kekhawatiran dan larangan dari orangtua yang membuat mereka takut menjelajahi alam semesta dan dunia ini. Sebagian mereka yang memutuskan berangkat terpaksa bertengkar dengan orangtua, bahkan tak jarang orangtua menghubungi relasi-relasinya di luar negeri untuk mengawal anak-anaknya.  Bahkan ada yang menyabot hak anak untuk pergi mandiri dengan melibatkan anak-anaknya ke dalam perjalanan wisata yang diorganisir oleh tour company.  Ini tentu saja. Semakin mengunci potensi yang harusnya bisa dikembangkan.

          Kalau saja orangtua mau memberi ruang dan kepercayaan pada anak-anaknya, maka saya percaya mereka bisa membaca lebih dari sekedar kata pengantar atau Pendahuluan dari sebuah buku. Travelling adalah salah satu caranya.