Laman

Senin, 30 Juli 2012

FOOD SECURITY - Sindo 26 Juli 2012

Bila dua-tiga bulan lalu bangsa ini heboh membicarakan energy security, maka sebulan terakhir kita sibuk membicarakan pangan. Food dan energy adalah sebuah kesatuan, apalagi sekarang bahan-bahan  pangan mulai dijadikan pengganti energy.  CPO, kedelai, biji bunga matahari, jagung, tebu, ketela, gandum, dan sebagainya kini di dunia mulai dialihkan menjadi bioenergy yang harganya terus melonjak.Kalau harganya terus melonjak, dan sebagian besar tanaman itu bisa ditanam di sini, mengapa justru mengalami kerawanan? Kalau pertanian Indonesia ingin maju, maka berikanlah keuntungan yang positif dan harga jual yang bagus bagi produk-produk pertanian Indonesia. Ini berarti, batasi impor dan jangan manjakan konsumen. Tetapi kita sepertinya ingin mendapatkan keduanya: Pertanian maju, tetapi harganya harus murah dan konsumen harus senang.

Surplus Tetapi Miskin
Ketahanan pangan menjadi masalah besar justru di negara-negara Asia, yang menurut Bank Dunia mengalami pengurangan kemiskinan yang signifikan. Menurut FAO (2009), sepanjang 2003-2005 saja, terdapat 541,9 juta penduduk Asia yang kekurangan gizi.Mengapa pertumbuhan ekonomi disertai kerawanan pangan? Ambil contoh saja di Thailand dan Vietnam yang mati-matian mengembangkan konsep ketahanan pangan sejak 30 tahun lalu. Di kedua negara ini sektor pertanian mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berbeda dengan di Pulau Jawa yang lahan-lahan pertaniannya beralih ke properti dan industri, di kedua negara itu lahan-lahan pertanian justru diperluas dan irigasi diperbaiki.Keduanya surplus pangan dalam jumlah besar. Pada tingkatan makro, pertaniannya maju pesat. Namun pada tingkatan rumah tangga para petani tetap kesulitan hidup dengan layak dari sektor pertanian. Mereka lebih menjadi net buyer yang hanya bisa membiayai sepersepuluh konsumsinya dari hasil pertanian (Isvilonanda & Bumyasiri, 2009).

Demikianlah, pangan adalah masalah yang sangat serius, semakin kompleks dan butuh perhatian lintas sektoral. Tidak cukup diatasi oleh penghapusan bea masuk seperti yang dilakukan pemerintah terhadap impor kedelai. Pangan adalah masalah ketahanan yang rumit.Konsep pertahanan-keamanan yang dulu berarti tentara dan senjata, kini bergeser ke pangan dan energi.  Dan lihatlah betapa kita kedodoran mengelola ketahanan pangan yang menyangkut apa saja.  Tahun lalu cabai saja sampai menjadi agenda  pembicaraan yang hangat di istana. Lalu dalam perekonomian kita muncul masalah daging sapi, gula, garam, ikan kembung, beras, bahkan bawang merah.  Kini kedelai.  Sebanyak 150.000 anggota koperasi tahu tempe hari-hari ini tengah melakukan aksi mogok ketika harga kedelai melonjak dari Rp 5000 menjadi Rp 8000 per kilogram.  Meski semalam saya masih bisa menikmati tahu-tempe, ada rasa was-was, bukan khawatir kehilangan keduanya, melainkan khawatir anak-anak kita kelak akan kesulitan makan karena negeri ini tak memiliki konsep ketahanan pangan yang jelas.

Semakin Kerdil
Selain data yang sudah banyak dipaparkan para ahli, mari kita membaca insight berikut. Menurut kamus, insight adalah a clear or deep perception of a situation.  Atau bisa juga perasaan subjekif yang bisa dibaca dari sebuah situasi.  Namanya juga subjektif, jadi bisa terbaca, bisa juga tidak. Bisa terbaca A, bisa juga terbaca B.  Tetapi mari kita renungkan baik-baik, dan coba lebih gunakan insight  untuk melihat peluang yang mungkin timbul dari masalah besar ini, daripada memperbesar masalah itu sendiri.Kata orang bijak, bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang bisa melihat kesempatan dari setiap kesulitan. Dan pemenangnya adalah bangsa yang berani berselancar dalam gelombang ketidakpastian.  Sedangkan bangsa yang selalu kalah adalah bangsa pengeluh yang hanya mau menjelajahi dunia yang pasti-pasti saja, lalu menyalahkan orang lain atas masalah yang ia buat.  Bangsa yang demikian akan selalu kalah, dan pemimpinnya gemar melempar kesalahan pada orang lain.  Ketimbang mengatakan, "saya yang salah", mereka akan selalu mengatakan, "itu bukan kesalahan saya." Sudah salah dan menyangkal, mereka pun mengulangi kesalahan yang sama bekali-kali. Saya kira tulisan ini tidak dimaksudkan menghadirkan keluhan atau sikap pecundang.Insight dari Dapur Rumah Makan Sunda tempat saya biasa menikmati makan enak menunjukkan, ada sesuatu yang tak beres pada pangan-pangan kita.  Berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang berupaya keras menghadirkan buah-buahan dan sayuran yang lebih besar dan lebih manis,  saya justru menemukan pangan lokal yang sebaliknya.  Kedelai impor semakin hari semakin bagus, sedangkan kedelai lokal semakin kuntet.  Petai padi yang dulu besar-besar, kini semakin mengecil.

Demikian juga dengan ikan pepes (ikan peda) yang dulu besar-besar, kini hanya daun pembungkusnya saja (daun pisang) yang besar. Rasanya semua ini berlaku pada hampir semua panganan kita. Kue pisang juga semakin kerdil dan pisangnya sepet. Sekalipun makannya di hotel berbintang lima. Bakso yang di jajakan keliling juga semakin kecil, dan rasa dagingnya semakin tak terdeteksi lidah.Kata pemilik restoran bukan hanya ukuran yang mengecil. Keharumannya juga berkurang.  Saya berbicara dengan para petambak ikan, mereka pun mengaku alam dan pakan sekarang sudah tidak bersahabat.  Air dari sungai sudah rusak, pencemaran luar biasa ganas karena pabrik celana jeans yang beroperasi tidak jauh dari tambak sering membuang limbah pewarna ke sungai. Ikan-ikan sulit menjadi besar. Di Waduk Jangari-Cirata saja, yang menjadi pusat  ikan mas Jawa Barat, sudah dikepung oleh sampah.  Lebih mengerikan lagi, harga pakan ikan pun sudah terlalu mencekik.  Maka supaya bisa tetap untung panen pun dipercepat.  Itu pulalah yang tampaknya dilakukan petani (termasuk petai dan cabai), memanen hasil tanaman lebih cepat dari yang seharusnya agar bisa meraih untung. Apalagi akibatnya kalau bukan kuntet?Sementara di dunia internasional, perubahan iklim bisa merubah peta suplai secara tiba-tiba. Kalau sudah begini, bangsa yang menang hanyalah bangsa yang proaktif. Artinya menanam jauh-jauh hari. Bukan seperti sekarang, ribut menanam kedelai pada ribuan hektar saat harganya sedang mahal. Lalu apa akibatnya dua-tiga bulan lagi saat panen beramai-ramai?Insight ini menunjukkan bahwa pertanian sudah tidak lagi menjadi sektor yang gurem.

Pertanian justru akan menjadi sektor yang mengalahkan sektor-sektor lainnya. Apa artinya mempunyai emas kalau tak bisa mendapatkan makan? Tetapi dalam masa transisi jelaslah suatu bangsa harus bisa menciptakan kondisi hasil investasi (Internal rate of return) pada sektor pertanian yang positif. Saat ini saja dunia perbankan cenderung alergi pada sektor pertanian. Ini berarti diperlukan perubahan kebijakan agar petani mau kembali menjadi petani. Syaratnya, ya sederhana saja, berikan IRR yang positif dan besar.Saya ingin menutup dengan insight lain dari para pedagang pangan. Bagi mereka kenaikan harga adalah wajar, tetapi khusus mulai 2012, kenaikan pangan yang biasa terjadi di bulan Ramadhan kini bergerak jauh lebih cepat 1-2 bulan sebelumnya. Lebih jauh lagi, bila sebelum 2005 dari 365 hari berdagang mereka kalah sebanyak 80 hari (karena cost lebih besar dari price), maka sejak 2005 ke sini, hari kekalahan terus membesar dan membesar. Tahun ini telah menjadi 150 hari kalah.Masih positif sih. Tetapi itu lampu kuning yang sebentar lagi menjadi merah. Artinya, ada masalah yang harus kita benahi bersama. Artinya food kita sedang tidak secure. Artinya selain banyak masalah, ya banyak peluang.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

80% Belajar Adalah NonFormal - Jawapos 23 Juli 2012

Kalau sebuah studi menemukan bahwa tempat belajar utama telah berubah, siapkah Anda berubah?
Dulu 80% pusat belajar adalah lembaga, sekolah, kampus, kursus. Sekarang 80 % pusat belajar itu justru ada di masyarakat, dimana kita menghabiskan waktu terbanyak.

Saya tertegun saat didatangi remaja asal Papua yang jauh-jauh datang dari puncak pegunungan dan gagal berkompetisi untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri di Pulau Jawa. Seperti para remaja dari Pulau Buru yang menumpang hidup di rumah seorang kerabat di daerah Bogor, atau para remaja dari Pulau Simeleu di Aceh yang jauh dan terpencil dan masih terbengong-bengong melihat pijaran lampu yang menyala tiada henti di Jakarta.

Semua berharap bisa kuliah dan memperbaiki kehidupannya. Ternyata untuk bisa sekolah tinggi itu bukan cuma perlu kegigihan. Pintunya tak dibukakan seperti kita mengetuk pintu. Di sana ada kompetisi, dan mungkin juga ketidakadilan bagi mereka yang datang dari daerah pedalaman dengan semangat merah-putih. Sudah tidak bisa mencicipi subsidi BBM dan listrik, bertarung mendapatkan bangku sekolah milik pemerintah pun tidak bisa.

Universitas negeri tentu punya jawabannya, “kami sudah buka pintu lewat jalur undangan”. Kalau masih ada rasa ketidakadilan ini tentu menunjukan ada gap antara kampus dengan rakyat yang memimpikan pendidikan, dan ini harus terus dijembatani.

Tetapi baiklah kita kembali ke topik semula, yaitu bagaimana melatih para remaja yang gagal memasuki jalur pendidikan formal tetapi tetap bergengsi dan tidak mempermalukan atau menjatuhkan self esteem. Jauh-jauh datang dari pegunungan, dilepas sanak keluarga, mengapa kembali tanpa hasil?

Dengan kata lain harus ada kompensasi dari jerih payah. Dan pintu seperti ini baiknya harus dibuka lebar-lebar. Sayangnya dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang baru disahkan di parlemen, jembatan ini tidak ada. Logika yang berkembang hanya mencari payung hukum sebagai pengganti BLU. Jadi undang-undang baru ini belum visioner.

Dunia Informal
                Dunia informal pada dasarnya sangat kaya dengan pengetahuan dan keterampilan. Tetapi dunia informal tidak memberi gengsi dan pengetahuan sebelum Anda berhasil. Beda benar bila Anda kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas negeri. Biarpun tidak lulus, atau jadi dokter biasa-biasa saja, sejak kuliah Anda sudah bisa pamer jaket, kirim foto dengan identitas kampus. Dunia informal sebaliknya.
                Hari sabtu kemarin, saat mewawancarai calon-calon mahasiswa peserta program doktor di UI saya pun menggali potensi mereka. Sayang sekali saya harus katakan bahwa mereka masih berpikir ilmu pengetahuan hanya ada di kampus. Ketika saya tanyakan buku apa yang terakhir mereka baca, hampir semuanya sulit menyebutkannya. Padahal ijazah S1 dan S2 mereka bagus-bagus dengan indeks prestasi yang tinggi-tinggi. Tetapi mereka terakhir membaca buku saat kuliah di jalur formal.

                Come on! Tahukan Anda bahwa ilmu yang kita pelajari di kampus cepat tertinggal? Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan adu kejar antara dosen dan para penjelajah pengetahuan terus terjadi.

                Sebagian besar ilmu itu ada di dunia maya, dan sebagian lagi ada di tangan orang-orang hebat. Saya pikir inilah saatnya bagi para social entrepreneur untuk membangun komunitas-komunitas pembelajaran yang bergengsi tinggi dan memberi impak besar. Brandnya harus kuat agar para remaja tidak patah semangat, namun ilmunya harus lebih kuat lagi.

                Kalau di India saja Bunker Roy bisa membuat orang-orang buta huruf menjadi guru-guru yang hebat di bawah naungan Barefoot College (akademi tanpa alas kaki), mengapa kita tidak bisa? Di desa Pare-Kediri, anak muda bisa membuat Kampung Inggris yang menjadi alternatif EF atau LIA. Di Jember ada komunitas Jember Festival yang dikembangkan Dinar Fariz, seorang Ashoka Fellow, dan masih banyak lagi.

                Kalau dulu orang merasa bangga bisa bergabung dengan Guruh Soekarno Putra di Swara Mahardika atau dengan Rendra di Bengkel Teater-nya, maka sekarang orang-orang hebat juga harus turun meminjamkan strong brand yang mereka punya untuk menggantikan gelar ijazah dari UI, ITB, ITS atau UGM kepada para remaja yang kehilangan pijakan. Latihlah anak-anak muda agar mereka bisa menjadi sama hebatnya dengan Anda.

                Hanya saja, tingkat keberhasilan seseorang di dunia informal sangat ditentukan oleh karakter informalitas yang mengacu pada kekuatan individu. Di dunia informal tidak ada absensi, petugas kebersihan, ruang kelas dengan jam yang tertata, pengajar yang terstruktur dan seterusnya. Juga tidak ada ijazah. Jadi semua tergantung Anda. Tergantung kemistri dengan tokoh, disiplin diri, daya juang, kejujuran, assertiveness, dan tentu saja impian Anda. Anda tinggal menentukan mau jadi pengekor seumur hidup, atau menjadi pelopor-pembaharu sebaliknya, di dunia formal Anda wajib belajar segala hal, baik yang relevan maupun kurang relevan buat hidup Anda. Dan tentu saja serba kognitif.  

Anak-anak muda, datangi tokoh-tokoh idola Anda dan tagihlah komitmen mereka. Kalian bisa sekedar numpang tidur di sana, tetapi bayarlah dengan kesungguhan dan kerja keras. Jangan berpikir masa depan hanya ada di dunia formal. Saya sendiri sedang berevolusi dari kampus UI ke Rumah Perubahan. Saya yakin ribuan orang siap mengeksplorasi dunia informal untuk kemaslahatan bersama.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sabtu, 21 Juli 2012

Kutukan Emas - Sindo 19 Juli 2012

Tak lama setelah seseorang menemukan beberapa gram emas di Gunung Botak, Pulau Buru, akhir tahun lalu,tim yang saya pimpin di Desa Metar menyimpulkan, masyarakat adat pulau terpencil ini segera memasuki era “kutukan”.
Kata-kata yang diucapkan dalam obrolan ringan perlahan-lahan menjadi kenyataan, saat ribuan orang datang dan ingin mengadu nasib di Pulau Buru.Apalagi beberapa hari ini suasana begitu mencekam menyusul keributan antara dua suku yang selama bertahun-tahun hidup damai. Sejakemasditemukan,kapal penumpang yang datang ke pulau ini selalu penuh sesak oleh mereka yang datang dari Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan terakhir dari Tasikmalaya. Mereka orang yang sudah biasa membuat lubang,masuk ke dalam, dan mengikuti “urat”emas.

Murah sekali,hanya membayar beberapa ratus ribu rupiah mereka sudah bisa masuk. Di pelabuhan feri di Kota Namlea,ratusan tenda liar tibatiba berdiri, dan di tepi jalan menuju Gunung Botak mudah ditemui orang-orang baru. Mereka menyewa rumah,membeli sepedamotordenganuangtunai, dan menghabiskan stok makanan. Harga sepeda motor naik hingga 50%, tetapi tetap habis terjual. Harga bahan-bahan pangan melonjak dari waktu ke waktu, dan seperti yang pernah saya sampaikan beberapa bulan lalu, saya membeli beras 50 kilogram seharga Rp800.000.

Itu pun sulit didapat.Padahal tahukah Anda, Pulau Buru adalah lumbung padi Maluku. Mengapa beras tiba-tiba habis dan harganya melonjak? Rupanya petani kehilangan gairah mengurus sawah.Padi yang mulai menguning dibiarkan hingga layu, dan anak-anak muda pergi ke Gunung Batok. Buruh tani tidak ada yang mau bekerja dengan upah sama.Mereka mendapat tawaran bayaran lebih mahal di tambang emas.

Teori Kutukan SDA 

Beberapa bulan lalu Michael L Ross, guru besar ilmu politik Universitas California - Los Angeles,baru saja menerbitkan buku berjudul Kutukan Minyak (The Oil Curse).Dalam buku itu ia mengacu pada Teori Kutukan SDA (Resource Curse Theory) yang pernah dibahas ekonom Jeffrey Sachs dan Andrew Warner. Dengan menggunakan data pada negara-negara penghasil minyak,ia menemukan teori ini valid.

Ross menemukan, negaranegara kaya minyak ternyata tidak demokratis, tidak stabil perekonomiannya, dan lebih sering mengalami konflik horizontal, bahkan mengalami perang saudara tiada akhir. Teori ini sejalan dengan teori Kutukan SDA yang menemukan, negara-negara yang kaya sumber daya alam justru mengalami tingkat kemiskinan tinggi, pertumbuhan ekonomi lambat, korupsi, dan konflik-konflik kekerasan sesama warga.

Buku Ross tentu menimbulkan pro-kontra karena belakangan ini banyak negara penghasilminyakataupenguasa SDA ternyata bisa tumbuh dengan baik. Seorang kritikus misalnya mempertanyakan,apakah benar Arab Saudi lebih buruk dari Yaman, Iran lebih buruk dari Afghanistanyangtakpunya banyak cadangan minyak, atau Venezuela lebih buruk dari Kuba? Orang-orang yang kritis menantang argumentasi Ross dengan mencari perbandingan lain. Kebetulan ada ahli lain yang punya cara pandang lain. Sebut saja BN Brunschweiter dari Swiss Federal Institute of Technology dan E H Bulte dari Oxford Center.

Keduanya menunjukkan, ketika terjadi perang saudara melanda negara kaya SDA, dan para pengusaha (termasuk investor asing) lari ke luar negeri, satu-satunya industri yang memacu pertumbuhan ekonomi hanyalah SDA. “Kutukan itu lenyap bersamaan dengan perginya investor asing,” argumentasi keduanya. Akhir Mei lalu Ross menjawab kritik-kritik itu dengan mengatakan,di atas permukaan minyak memang menyejahterakan suatu bangsa, tetapi secara politis di bawahnya ada banyak masalah.

Negara-negara yang dikuasai pemerintahan otoriter itu stabil karena dikendalikan secara ketat oleh para “bandar” tertentu,tetapi mereka tak berniat mentransfernya menjadi negara demokratik.Namun,bagaimana dengan Norwegia dan Kanada yang sama-sama memiliki SDA berlimpah? Ross melihat, kedua negara itu tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang baik, angka kemiskinan yang rendah dan demokrasiyangbaikkarenabirokrasinya bersih, sistem governancenya berjalan dan kelembagaannya bekerja baik.

Nah, bagaimana dengan daerah-daerah di negara kita yang tiba-tiba mendapatkan temuan emas, minyak, batu bara, uranium, nikel, dan kekayaan alam lainnya? Di sini letak masalahnya.Dengan sistem demokrasi belum optimal, birokrasi belum tertata baik, budaya korupsi begitu kuat serta tata nilai masyarakat belum kokoh,rakyat yang tiba-tiba terkejut dengan ditemukannya sumber-sumber daya alam baru akan mengalami guncangan. Di Pulau Buru,kehadiran puluhan ribu pendatang bukanlah sesuatu yang dipicu oleh kedatangan individu yang melihat peluang.

Melainkan ada “bandar-bandar” besar yang mampu mengorganisasi dana, informasi, dan tenaga-tenaga ahli terampil dengan kekuatan modal. Cepat atau lambat mereka pasti akan memengaruhi sistem politik rakyat. Mereka mengendalikan kekuatan, di tengah-tengah masyarakat adat yang lugu dan pemerintahan daerah yang terkejut. Dalam suasana demikian ada rakyat yang diuntungkan secara ekonomi dengan datangnya ribuan pendatang baru dan mereka tentu ingin mempertahankannya: rumah makan kian ramai, penjualan makanan dan perkakas meningkat, kebutuhan perumahan dan tenaga kerja memicu peningkatan penghasilan.

Sebagian masyarakat adat yang ikut masuk ke dalam lubang-lubang penggalian emas pun mendapatkan emas.Tetapi di lain pihak, tak semua orang kuat dan mampu beralih ke tambang emas. Pegawai negeri, guru, orang tua, dan kaum ibu yang menjaga di rumah-rumah adat hanya bisa menjadi penonton yang tak berdaya. Mereka hanya bisa menyaksikan harga kebutuhan sehari-hari yang melonjak tajam dan tak tersedia. Di tengah-tengah kesulitan ekonomi,mereka menyaksikan keriangan di seputar tambang. Euforia emas terlihat di manamana.

Anak-anak membawa wajan (periuk dari logam) ke tepi-tepi sungai mengikuti cara kerja para pendulang.Sore harinya sungai ramai dengan ratusan anak-anak yang bertingkah serupa walau sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang dilakukan. Mereka tetap riang walau keadaan sehari-hari terasa jauh lebih tegang, dan jurang kaya-miskin dapat memicu konflik. Demikian juga dengan dampak pencemaran lingkungan dari penggalian,pemakaian air raksa, alat-alat berat, dan tentu saja bahaya penyebaran penyakit seksual.

Di Mimika kita menyaksikan pertambangan erat hubungannya dengan kedatangan perempuan penghibur. Perilaku masyarakat berubah, penyebaran virus AIDS pun meluas. Ini pun sudah terlihat di berbagai daerah tambang lainnya.Tentu saja muncul di Pulau Buru. Lantas apa yang harus dilakukan? Saya kira isu pertambangan rakyat tidak bisa dibiarkan begitu saja agar masyarakat daerah memutuskannya sendiri. Bangsa ini harus mencari jalan untuk segera mengatasinya.

Harus ada ketegasan karena daerah yang baru merasakan pemerintahan dengan aparat yang belum terbiasa mengatasi masalah seperti ini membutuhkan dukungan berupa perangkat peraturan,cara mengatasi,dan governance. Jadi,pertamaperludipahami, pertambangan rakyat membutuhkan keterampilan. Artinya, harus ada tenggat waktu antara penemuan tambang dan kemampuan masyarakat lokal mengelola kekayaan alamnya. Tenggat waktu ini adalah pertarungan, antara pendatang dan masyarakat adat.

Kedua, para bandar yang menguasai dana dan keterampilan tak bisa menahan waktu. Mereka bekerja dengan modal pinjaman yang ada nilai waktunya. Pertarungan antara keduanya menimbulkan potensi konflik.Ketiga,kedatangan orang luar dalam waktu singkat memicu inflasi radikal sekaligus kemiskinan. Keempat,masyarakat yang terkejut akan mengalami perubahan gaya hidup dan peralihan profesi yang berarti akan terjadi gangguan produksi dari sektorsektor produktif lainnya ke tambang.

Kelima,akan terjadi kooptasi politik dari para bandar yang menguasai tambang. Lantas siapakah “rakyat”di balik pertambangan rakyat yang sekarang marak di manamana? Penataan diperlukan, bimbingan apalagi, demikian pula dengan perlindungan bagi rakyat yang sesungguhnya. “Kutukan”SDA yang tidak dikelola dengan baik akan berakhir dengan kutukan dalam arti sebenarnya. Mengapa harus dibiarkan sampai tereskalasi menjadi besar? ●

RHENALD KASALI

LOSER - Jawapos 16 Juli 2012

Judul di atas adalah bahasa inggris, tapi huruf “o” tidak dibaca “o” seperti oncom, melainkan berbunyi “u” seperti usus. Jadi baca saja “luser”. Loser adalah julukan bagi orang-orang yang kalah, bukan karena lemah atau tak berdaya, melainkan sikap mental yang dibuat sendiri. Kadang, ada juga kontribusi lingkungan yang membentuk seseorang menjadi loser, tetapi sebagai manusia kita punya pilihan, punya sikap: ingin menjadi winner (pemenang) atau membiarkan diri terpedaya oleh sikap yang bermuara pada kekalahan demi kekalahan.

                Beberapa tahun yang lalu, Denis Waitley menuangkan gagasan-gagasannya dalam buku terkenalnya: Psychology of Winning. Sejak saat itu, majalah psikologi popular terkenal Psychology Today menurunkan tulisan berturut-turut  tentang The Will to Win. Bahkan mengulas tentang keberhasilan Andrew Wiles mengungkap rahasia di balik Fermat’s Last Theorem yang sangat terkenal ( cn = an + bn )  yang hanya tidak berlaku bila n bukan 2. Media pegangan psikolog ini mulai meragukan peran IQ, dan mengangkat pentingnya ketabahan (gritty) dalam menjadikan seseorang pemenang.

            Saya kira memahami psychology of loser di Indonesia jauh lebih penting dari pada memahami psychology of winner. Dan ini juga penting bagi para pemimpin dan politisi. Argumentasi yang belakangan banyak menuding tentang bahaya ancaman “liberalism” misalnya perlu melihat apakah kita akan menciptakan manusia-manusia pemenang atau manusia-manusia yang kalah. Apakah orang-orang yang kalah dalam kompetisi karena mereka benar-benar lemah dan terpedaya (sehingga harus dibantu) atau berpura-pura lemah dan sengaja membuat dirinya lemah sehingga benar-benar menjadi loser dan “penumpang” seumur hidup?

Winner

            Seperti apakah orang-orang yang menjadi pemenang dalam pertarungan kehidupan ini?
Perlu dipahami pemenang bukanlah orang yang tak mau menerima kekalahan, melainkan orang yang tak pernah berhenti. Itulah yang kita sebut dengan ketabahan, determinasi. Kalau dia jatuh, dia cepat balik., Membal kembali seperti berpuasa di bulan suci ini. Kita selalu mengalami ujian dan dalam ujian itu tidak semua di antara kita orang yang sempurna. Bahkan hasil-hasil studi menemukan, orang-orang yang sangat berhasil (overachiever) ternyata menjalani kehidupan tidak dengan fun, melainkan sangat stress dan terlalu memaksa diri. Akibatnya mereka menjadi selfish (egois) karena hanya memikirkan diri sendiri.

            Pemenang menjalani kehidupan penuh semangat, tak mudah putus asa, tidak mengeluh, tidak banyak complain, tidak menyalahkan orang lain (terhadap kesalahannya sendiri), tidak membuat-buat alasan. Ia menjadi bagian dari jawaban, selalu melihat kemungkinan-kemungkinan jalan keluar dari setiap masalah. Selalu ingin membantu orang lain, menjadi role model. Menyatakan “ini mungkin sulit, tetapi rasanya bisa”, dan ketika melakukan kesalahan langsung mengucapkan “sayalah yang bersalah”.

            Karena itulah pemenang selalu membuat komitmen, bermimpi besar, berorientasi pada tindakan nyata, berlatih diri, menjadi bagian dari sebuah team besar, mendapatkan kemajuan dan percaya pada spirit sama-sama harus menang. Pemenang yang cerdas melihat prestasi yang besar di depan, argumentasinya kuat tetapi bahasanya sederhana dan lembut. Ia berpegang teguh pada nilai-nilai namun untuk hal-hal kecil rela berkompromi. Mereka mengatakan “sesuatu yang tidak saya inginkan terjadi pada saya tak boleh dilakukan pada orang lain”.

            Makanya wajah winner selalu berseri-seri, meski sedang berpuasa ia selalu menjaga agar tak kelihatan loyo, malas, atau mendiamkan diri lusuh dan kurang berbau sedap. Winner adalah orang-orang yang mempersiapkan diri agar bahagia di hari kemenangan.

Loser

            Bagaimana dengan loser? Anda tinggal membalikkan saja semua penjelasan di atas satu persatu . Mereka mudah menyerah, selalu mengatakan susah, banyak mengeluh, banyak complain, menyalahkan orang lain atas kesalahan-kesalahan yang ia perbuat sendiri, bahkan senang mencari-cari alasan (making excuse).  Meski setiap hari datang terlambat, kalau ditegur bukannya memperbaiki diri, loser selalu punya alasan i untuk membenarkan ketidakdisiplinannya.  Akibatnya loser menjadi sulit sendiri untuk berubah atau memperbaiki kehidupannya.

            Mereka juga senang menjelek-jelekan orang lain, mempersulit orang yang akan berhasil, berbicara yang buruk-buruk, bertindak yang ngawur-ngawur dan random, membiarkan irama hati menguasai pikiran yang bisa membuat orang lain pusing. Maka tak mengherankan bila ia selalu menjadi bagian dari masalah, dan menolak melakukan tugas-tugas yang tidak ada dalam job descriptionnya. Dan bila seseorang berbicara yang positif mereka akan meradang dan menunjukkan masalah-masalahnya. Dan kalau ia melakukan kesalahan selalu menyatakan “itu bukan karena saya”.  Perhatikanlah bahasa mereka dalam banyak milis atau komentar-komentar mereka yang ada pada setiap berita bagus di media-media online.  Saya membaca betapa mereka memutar-mutar wawancara di berbagai media online dengan saya dengan klaim-klaim yang sinis.  Loser adalah orang yang tahu sedikit tetapi merasa sudah sangat mengerti.

            Loser hanya omong kosong, janji-janji, punya skema-skema yang seakan-akan hebat, dan bicaranya orang lainlah yang harus melakukan sesuatu. Ia tidak melihat “gain” (keuntungan), melainkan “pain” (sakitnya) saja. Mereka percaya kalau menang harus mengalahkan orang lain (win-lose). Kata-katanya keras, padahal argumentasinya tidak masuk akal. Hal-hal kecil dipersoalkan, sedangkan yang penting-penting dan bernilai besar dibiarkan hilang.

            Maka jangan heran sekalipun cantik atau berfisik ganteng, loser semakin hari semakin tak enak dilihat. Mereka senang lempar batu sembunyi tangan, memakai nama samaran kalau berkomentar.  Wajahnya kumuh, auranya tidak ada, sinar matanya menghilang, hatinya kejam, suaranya tidak enak didengar, ilmunya kering, senang menyakiti orang lain dan mohon maaf, ia pandai membuat alasan di bulan suci ini. Ia membiarkan bau aromanya mengganggu orang lain, dan membenarkan bila disiplinnya turun dan tidak produktif. Prinsip mereka: orang lain dulu yang memperbaiki diri baru saya.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Perebutan Pulau Pala - Sindo 12 Jui 2012

Kenaikan terus menerus harga minyak pala dalam beberapa bulan terakhir ini (dari sekitar Rp 700.000-an, Februari 2012) menjadi sekitar Rp 850.000,- perkilogram (Juli 2012) mengingatkan saya pada kisah pertukaran pulau Run (kepulauan Banda, Maluku Tengah) yang dikuasai Belanda dengan pulau Manhattan (New York) yang dikuasai Inggris.

Kisah pertukaran itu diceritakan Giles Milton dalam bukunya: Nathaniel's Nutmeg. Intrik dagang, diplomasi bisnis, kekuatan maritim, dan tentu saja darah dan perang mewarnai keributan antara kedua negeri penjajah itu. Maklum, harga biji dan bunga pala saat itu lebih mahal dari harga emas. Dan dunia mengenal Run satu-satunya pulau yang menghasilkan pala saat itu.

Wajar saja kapten Nathaniel Courthope diutus raja Inggris untuk menguasai pulau Run yang sudah lebih dulu dikuasai Belanda. Belanda sendiri merampas pulau Run dari Portugis. Belanda menaruh ribuan serdadu di pulau yang panjangnya hanya 3 kilometer itu, sementara Nathaniel hanya membawa puluhan pelaut. Setelah 4 tahun bertempur, ia pun tewas dibunuh (1620). Namun sejak itu Inggris menempuh jalur diplomasi. Sampai diputuskan untuk menukarnya dengan pulau Manhattan yang sekarang dikenal sebagai mesin uang Amerika Serikat. Bahkan setelah perang Inggris-Belanda pertama berakhir (1652-1654), melalui perjanjian Westminster disepakati pulau Run harus diserahkan penuh kepada Inggris.

Tetapi upaya itu terus gagal karena Belanda melihat potensi bisnis pala begitu besar. Setelah dibumihanguskan dan terjadi genocide terhadap penduduk pulau Run, akhirnya Belanda memilih mengembalikan Manhattan dan tetap menguasai pulau Run. Pengembalian itu ditandai dengan perjanjian Breda setelah perang Inggris-Belanda kedua (1665-1667) berakhir.

Cerita yang diangkat oleh Giles Milton itu sampai sekarang sering diceritakan oleh eksekutif dari Inggris. Pesan penting yang ingin disampaikan sebenarnya sederhana saja, yaitu betapa pulau kecil yang tidak kita urus dengan serius di sini itu sebenarnya sangat mahal. Ia pernah dihargai senilai kota kaya di dunia: New York.

Adalah Duke of York (James II) yang mengganti nama New Amsterdam yang telah dikuasai Belanda menjadi New York yang dihargai semahal pulau Run setelah pulau jatuh kembali ke tangan Belanda.

Dulu Pala, Sekarang Minyak
Seperti pala, minyak bumipun sekarang mengalami nasib serupa. Dalam perdagangan pala, meski Indonesia menguasai 70% produksi pala dunia, menurut para pelaku pasar, yang lebih dominan menetapkan harga minyak pala dunia adalah Grenada (market share ±20%). Kesejahteraan berpindah justru disaat harga sedang bagus, pohon-pohon pala banyak tidak kita urus.

Demikian pulalah minyak bumi. Tak banyak orang yang menyadari bahwa Indonesia sudah tidak menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC) lagi. Juga tak banyak yang menyadari bahwa terdapat perbedaan mendasar antara minyak mentah (crude oil) dengan BBM. Tanpa insentif keekonomian yang memadai (IRR yang positif) untuk membangun kilang-kilang dan tanpa keseriusan membangun infrastruktur secara progresif, terlalu mahal bagi Indonesia untuk mengubah minyak mentahnya sendiri menjadi BBM yang siap dipakai rakyat.

Untuk mengubah produk diperlukan investasi besar, dan untuk mengerahkan produk dari kilang ke pasar diperlukan infrastruktur yang memadai. Tanpa itu, kita hanya saling curiga, dan mempertanyakan keabsahan angka keekonomian.

Kembali pada kejayaan minyak pala, saya kita Indonesia perlu menjaga seluruh kekayaan yang dimilikinya dengan terus melakukan riset-riset terapan dan mendorong investasi-investasi baru dalam industri pengolahan. Sekedar diketahui, selain Coca Cola, pembeli terbesar minyak pala, fuli dan segala macam produk turunannya adalah industri-industri yang bernilai tambah tinggi yang pasarnya tak pernah surut. Parfum, kosmetik, farmasi, dan makanan olahan adalah industri pemakai utama produk-produk dari pala.

Namun kalau berkunjung ke berbagai sentra penghasil biji pala di tanah air, kita masih bisa menyaksikan cara pemetikan dan penyimpanan yang seadanya. Belum lagi mesin-mesin penyulingan yang sudah ketinggalan jaman, membuang terlalu banyak energi dan menghasilkan rendemen yang masih bisa ditingkatkan. Demikian pula kontainer-kontainer yang dipakai dan diproses pengirimannya, belum banyak perhatian diberikan.

Kalau Anda berkunjung ke Grenada, sebuah pulau kecil di Karibia, Anda akan tertegun. Meski produksinya kecil, pala di sini ditanam dalam perkebunan-perkebunan (estate) yang tertata dengan baik dan dipaketkan pemerintah setempat menjadi kunjungan wisata yang indah. Padahal bibit pala di Grenada (juga di Malaysia, India, Ceylon, dan Srilangka) semua berasal dari pulau Run yang dibawa oleh tentara Inggris. Di Indonesia dewasa ini pala ditanam di beberapa daerah seperti sekitar Bogor-Sukabumi, Aceh, Sulawesi Utara, dan beberapa pulau di kepulauan Maluku.

Rumah Perubahan bersama dengan penduduk aseli Pulau Buru menanam kembali pohon-pohon pala yang mulai banyak dilupakan itu. Mercy Corps, sebuah social enterprise dari Amerika Serikat bahkan membuat pusat riset di pulau Seram untuk menghasilkan benih-benih unggul pohon pala. Yang masih belum banyak saya saksikan adalah pusat-pusat riset untuk menghasilkan minyak pala berkualitas atau produk-produk turunannya yang kelak dipakai untuk pembuatan obat batuk, pasta gigi, berbagai jenis obat-obatan dan essential  oil. Dalam hal ini, negeri tetangga, Singapura terlihat lebih menaruh perhatian.

Saya tertegun melihat universitas-universitas di Singapura mengembangkan riset-riset berbasiskan impak yang didukung oleh otonomi kampus yang besar. Sementara di sini, para pendidik tengah dihantui oleh tangan-tangan kekuasaan yang terus bermain dengan kekuatan politik untuk menguasai kampus. Sepertinya bukannya rektor yang kini dimiliki beberapa kampus, melainkan diktator yang haus kedudukan dan kuasa. Kalau sudah begitu, mana bisa universitas kita menunjukkan hasil risetnya dengan baik?

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Selasa, 10 Juli 2012

Heidiland - Jawapos 9 Juli 2012

Minggu – minggu ini semua bandara Indonesia penuh tak karuan. Pesawat-pesawat murah (low cost carrier) penuh, kelas ekonomi padat, bahkan di kelas bisnis pun diisi penumpang anak-anak. Kadang ada rasa galau dalam pikiran saya, bagaimana kelas menengah baru kita menata keuangannya dan mendidik anak-anaknya. Anak-anak yang masih di usia sekolah dasar sudah diberi kenikmatan duduk di kelas bisnis, ditemani babysitter, dan bebas meminta apa saja pada awak kabin. Dilayani seperti layaknya pengusaha dan menggunakan ipad pula.  Orangtua muda, sudah mapan, anak-anak kebagian hidup enak.

Di Eropa, saya tak melihat anak-anak kecil bermain ipad. Ipad adalah alat bekerja kaum profesional yang dipakai untuk bekerja.  Sementara di sini anak-anak balita sudah menjinjing ipad, walau hanya untuk bermain game. Di Eropa anak-anak tetaplah anak-anak, ikut bermain dan berlibur bersama orang tua, mendengar cerita, dan berlatih menjadi anak-anak yang kritis. Selain dilatih  komunikasi assertive seperti yang saya ceritakan minggu lalu, mereka juga dilatih berpikir kritis. Saya bertemu puluhan rombongan anak sekolah yang tetap ceria bersama guru mereka di sebuah kaki gunung yang indah di Alpen, sekitar dua jam dari kota bisnis Zurich di Heidiland.

Seorang guru yang membawa anak-anaknya di gunung yang sejuk itu mengajak anak-anak berdiskusi di atas rumput yang hijau. Mereka mendengarkan cerita tentang kisah anak yatim piatu bernama Heidi yang dititipkan bibinya kepada kakek yang tak pernah mengenalnya, yang lalu berteman dengan seorang gembala domba kanak-kanak bernama Peter.  Mungkin semasa kecil Anda sempat menyaksikan film serialnya di televisi yang diputar setiap hari minggu pagi.

Saya heran, cerita anak desa yang dibesarkan di kampung bersama domba, sapi dan ladang rumput seperti ini masih dianggap penting di Eropa, padahal mereka sudah hidup dalam peradaban industri dan keuangan yang canggih. Sementara guru-guru di sini mulai melupakan cerita tentang Sangkuriang, Dayang Sumbi, Malin Kundang dan seribu cerita lokal yang kaya pesan moral itu.  Anak-anak kita lebih larut dengan cerita Power Rangers dan serial elektronic games lainnya.

Wisata Cerita
Apa yang membuat Swiss tetap menarik bagi kunjungan wisata ternyata bukan hanya sekedar danau dan gunungnya yang indah. Kisah tentang Heidi yang ditulis oleh Alm. Johanna Spyri hampir 2 abad yang lalu (ia meninggal dunia 1901) menjadi cerita hidup yang terus menarik wisatawan. Ceritanya sebenarnya sangat sederhana, tetapi dari kesederhanaan itulah para pembuat skenario film mengembangkan gagasan-gagasan kreatifnya. Setidaknya ada 11 film yang telah dibuat tentang Heidi, masing-masing oleh film maker Amerika, Jerman, Swiss, Austria, dan Jepang. Bahkan filmnya juga dibuat oleh Disney dan versi kartunnya oleh film maker Jepang.

Anak-anak kecil yang mengitari guru diajari memahami cerita, tetapi saat yang bersamaan mereka juga diajari cara berfikir kritis. Saya kira inilah yang tidak banyak diajari di sini. Guru cenderung mengajar satu arah dan tak boleh dibantah. Murid harus menelan kebenaran apa adanya menurut versi guru.

Di barat anak-anak sejak kecil diajar menantang cara berpikir guru secara santun. Mereka bukan cuma bertanya tetapi mempertanyakan. Mereka mempertanyakan plot cerita dan gambaran fisik tentang Heidi yang memang ditampilkan berbeda-beda dalam setiap film. Ada Heidi yang berambut lurus dan ada Heidi yang berambut ikal. Warna kulitnya pun tidak sama. Ada yang bule bertotol – totol, ada yang warna kulitnya agak gelap seperti gambaran penduduk yang ditemui di dataran tinggi itu.  Mereka menanyakan kebenaran itu dan menggali bukti-bukti di sekitar daerah pegunungan. Walau itu hanya sebuah cerita yang dikarang Yohanna, setiap murid tertarik untuk menggali kebenarannya. Mereka belajar tentang proses berpikir ilmiah, mencari proof dan membentuk reasoning,  bukan menghafal pesan guru atau menghitung tambah-tambahan.

Anak-anak sejak kecil diajar mempertanyakan kebenaran, menguji asumsi-asumsi, beragumentasi, menganalisis dan mengevaluasi. Cara berpikir seperti inilah yang kelak akan menghasilkan anak-anak kreatif yang kritis. Yang mereka ajarkan bukanlah dogma, melainkan cara berpikir. Itu sebabnya Minggu lalu saya katakan memorizing (menghapal) bukanlah cara belajar yang baik. Memorizing yang ditanam sejak TK sampai ke ujian nasional tidak akan menghasilkan bangsa yang unggul. Saya suka termenung saat melihat orangtua yang begitu bangga memamerkan anak-anak yang pandai menghafal nama-nama negara dan benderanya.  Maaf, bukannya tidak penting hafalan seperti itu, namun ada yang jauh ebih penting untuk mengantar bangsa ini ke dalam peradapan modern yang demokratis.  Dengan memberikan hafalan, mainan yang mudah didapat dan segala yang tidak penting itu kita hanya akan mencetak “passenger” alias penumpang yang sekedar hidup dari pekerjaan orang lain.

Sikap mental “passenger” yang dimulai dari pendidikan “menghafal” seperti ini sangat rawan dan harus segera diganti, dimulai dari guru-guru yang lebih terbuka dan lebih cerdas memakai profesinya. Jangankan matematika, belajar agama saja, anak-anak harus diajar berpikir kritis agar tidak mudah terinduksi aliran-aliran sesat, musyrik, terorisme, bahkan hal-hal yang menyangkut dendam pribadi perorangan yang ditanam melalui kebencian dalam beragama.

Singkat cerita, berlibur bersama keluarga adalah waktu yang menyenangkan yang membuat kita berkumpul dalam suasana relax bersama keluarga. Namun di balik itu, saya kira ini pulalah saatnya Anda mengajarkan moralitas dan cara berpikir kreatif dan kritis pada anak-anak.  Sikap kritis dimulai dengan keberanian bertanya, memeriksa kebenaran, keakurasian, presisi, kedalaman dan keluasan cakrawala berpikir, dan tentu saja penting mendidik anak-anak jangan sampai mereka kehilangan drive dalam memacu kehidupan.

 Jadikanlah mereka sebagai “a driver”, bukan “a passenger”.  Seorang driver tak tahu arah jalan, mereka hanya hidup untuk bersenang-senang dan bergantung pada orang lain, sebab dalam perjalanan itu dia boleh mengantuk dan tertidur.  Sebaliknya, seorang driver adalah orang yang "berpikir" dan mengambil resiko.  Berikan kepercayaan padanya, maka ia akan menggunakan pikirannya. Jangan berikan kenikmatan sebelum saatnya, karena orang yang sudah mendapatkan seluruh kenikmatan akan hidup dalam zona nyaman yang melenakan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Senin, 02 Juli 2012

Jadilah "Driver" - Jawapos 2 Juli 2012

Ini adalah judul sambutan dalam pidato saya di depan para wisudawan di University Pierre Mendez, Grenoble-Prancis hari Kamis, 28 Juni lalu. Hari itu, selain peserta dari Perancis, juga diwisuda lulusan MBA dari berbagai negara (termasuk dari China, Rusia, Brasil, dan Indonesia).

Menurut saya, bangsa yang hebat adalah a driver nation. "Driver nation" sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut "driver”. Jadi ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu bagaimana men-drive diri sendiri (drive your self), men-drive orang lain (bawahan, staf atau drive your people), dan men-drive bangsa (drive your nation). Jadi "driver" itu apa? Bukankah di Indonesia ada jutaan orang yang berprofesi sebagai sopir? Kalau demikian bisakah Indonesia disebut sebagai a driver nation?

Tentu bukan itu yang saya maksud. Driver adalah sebuah sikap hidup yang membedakan dirinya dengan "passenger". Anda tinggal memilih, ingin duduk manis, menjadi penumpang di belakang, atau mengambil resiko sebagai driver di depan. Duduk di belakang, Anda boleh duduk sambil ngobrol, makan-makan, bercanda, bahkan ngantuk dan tertidur. Anda juga tak harus tahu jalan, tak perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan tak perlu merawat kendaraan.

Arah dan Resiko
Driver menentukan arah, membawa penumpang-penumpangnya ke tempat tujuan dan mengambil resiko. Itulah yang saya maksud dengan sikap mental seorang driver.  Menjadi sopir sendiri belum tentu memiliki kapasitas mental seorang driver. Banyak driver yang bekerja mengeluh dan jenuh karena tak punya pilihan.  Driver mentality adalah sebuah kesadaran yang dibentuk oleh pengalaman dan pendidikan. Bukan karena tidak punya pilihan.

Pendidikan yang saya maksud adalah proses belajar, yaitu bagaimana seseorang memperbaiki cara berpikirnya. Banyak orang yang kuliah dan menjadi sarjana, tetapi mereka tidak "belajar". Menghafal bukanlah berpikir, sedangkan belajar artinya adalah berpikir. Driver adalah orang yang berpikir. Sedangkan penumpang adalah orang yang tidak perlu berpikir sepanjang perjalanan. Driver memikirkan bagaimana mencapai tujuan tepat waktu, selamat dan perjalanan menyenangkan.

Bagaimana Anda bisa berpikir kalau Anda tidak berani mengambil resiko? Saya tidak pernah mendengar penumpang mobil ditangkap karena "mobilnya" menabrak orang sampai tewas. Yang kita baca, sopirnyalah yang ditangkap. Menjadi driver adalah mengekspos diri terhadap resiko. Tetapi dari jutaan orang yang mengemudi, ternyata hanya kurang dari 0,1% yang ternyata menabrak dan menimbulkan kecelakaan fatal. Dari 0,1% itu, yang terbesar disebabkan oleh alkohol dan mengantuk.

Sopir yang menghafal punya kecenderungan mengikuti jalan yang sama setiap hari. Itu sebabnya saya mengatakan menghafal bukanlah cara berpikir yang baik. Sekali jalan dan dirasakan pas, sopir yang menghafal akan melewati jalan yang sama. Lama-lama ia merasa nyaman dan takut mengambil jalan lain. Tetapi jalan yang sama mengalami perubahan. Di jalan yang kita lewati kini dibangun sebuah gedung SLTA, lalu disebelahnya ada gedung SMP. Beberapa meter dari situ ada gedung-gedung perkantoran. Lalu sekitar 2 kilometer ada mal besar baru dan seterusnya. Ketika jalan yang kita lewati berubah, pikiran manusia yang menghafal tidak berubah. Hafalannya tetap sama.

Apa yang akan dilakukan sopir yang menghafal jalan yang sama? Sudah pasti bersabar diri, mengumpat atau menyalahkan walikota atau gubernur. Tak ada orang yang menyalahkan cara berpikirnya sendiri. Padahal siapa bilang tidak ada jalan lain? Ke Roma saja pintu masuknya ada banyak. Di Indonesia ada jutaan jalan tikus yang bisa Anda tembus dengan objek atau melintasi jalan-jalan kampung yang sempit tapi bisa dilewati. Pilihannya ada banyak, tetapi memulainya tidak mudah. Jalan-jalan baru itu memusingkan, banyak jalan buntu. Dan seorang yang enggan mencobanya menyebut itu sebagai a dead end (jalan mati). Padahal jalan buntu bagi seorang driver adalah sebuah detour (perputaran). Tidak enak memang. Tetapi lama-lama Anda akan merasakan manfaatnya.

Mengapa manusia terdidik tidak melakukan seperti itu?
Itulah "passenger" mentality. Kita telah berubah menjadi bangsa yang nyaman. Kita takut kesasar seperti Columbus. Padahal Columbus sendiri, saat ditertawakan rekan-rekannya yang sampai ke Afrika Selatan dan India mengatakan begini: "Kalau tak pernah berani kesasar, kalian tak akan pernah menemukan jalan baru."
Ketika manusia sudah takut melakukan "kesalahan" maka ia akan masuk kedalam perangkap mentalitas penumpang. Sekolah tak boleh mendidik anak-anaknya takut mengambil kesalahan dengan pendidikan hafalan. Sebab orang-orang yang tak pernah melakukan kesalahan sesungguhnya adalah orang yang tak berbuat apa-apa. He/she did nothing, has nothing and is nothing.

Lantas bisakah orang-orang yang tak berpendidikan tinggi menjadi driver?
Tentu saja bisa. Hanya saja kapasitasnya terbatas. Seorang driver tidak cukup hanya bermodalkan tekad dan semangat. Cara berpikir yang tepat adalah modal penting. Tetapi driver yang hebat juga butuh referensi-referensi yang kuat. Kita perlu menghubungkan satu referensi dengan referensi yang lainnya. Dalam bahasa creative thinker (pemikir kreatif) ini disebut: connecting the dots. Jadi perbaiki dulu cara berpikir, perbaiki otak para sarjana dan otak anak-anak sedari balita. Dari situ kita baru bisa bicara tentang a driver nation. 

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan