Laman

Selasa, 31 Januari 2012

Sekolah 5 Senti - Jawapos 30 Januari 2012

Setiap kali berkunjung ke Yerusalem, saya sering tertegun melihat orang-orang Yahudi orthodox yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan China di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter dengan pakaian ala Mao. Di China, orang-orang tua di era Mao jarang senyum, sama seperti orang Yahudi yang baru terlihat happy  saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itupun tak semuanya. Sebagian terlihat murung dan menangis persis di depan tembok yang banyak celahnya dan di isi kertas-kertas bertuliskan harapan dan doa.

Perhatian saya tertuju pada jas hitam, baju putih, janggut panjang dan topi kulit berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Menurut Dr. Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Yerusalem, saat istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada di rumah mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein, atau sehebat Violis terkenal Itzhak Perlman.  

Saya kira bukan hanya orang Yahudi yang ingin anak-anaknya menjadi orang pintar. Di Amerika Serikat, saya juga melihat orang-orang India yang membanting tulang habis-habisan agar bisa menyekolahkan anaknya. Di Bekasi, saya pernah bertemu dengan orang Batak yang membuka usaha tambal ban di pinggir jalan. Dan begitu saya intip rumahnya, di dalam biliknya yang terbuat dari bambu dan gedek saya melihat seorang anak usia SD sedang belajar sambil minum susu di depan lampu templok yang terterpa angin.Tapi tahukah anda, orang-orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti?

Dari Atas atau Bawah ? Sekolah 5 senti dimulai dari kepala di bagian atas. Supaya fokus, maka saat bersekolah, tangan harus dilipat, duduk tenang dan mendengarkan. Setelah itu, apa yang di pelajari di bangku sekolah diulang dirumah, di tata satu persatu seperti melakukan filing, supaya tersimpan teratur di otak. Orang-orang yang sekolahnya 5 senti mengutamakan raport dan transkrip nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling jauh menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah.

Tetapi ada juga yang mulainya bukan dari atas, melainkan dari alas kaki. Pintarnya, minimal harus 50 senti, hingga ke lutut. Kata Bob Sadino, ini cara goblok. Enggak usah mikir, jalan aja, coba, rasain, lama-lama otomatis naik ke atas. Cuma, mulai dari atas atau dari bawah, ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal. Tergantung berhentinya sampai dimana.

Ada orang yang mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia hanya menjadi akademisi yang steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak bisa ngomong, menulis, apalagi memberi contoh. Sedangkan yang mulainya dari bawah juga ada yang berhenti sampai dengkul saja, seperti menjadi pengayuh becak. Keduanya sama-sama berat menjalani hidup, kendati yang pertama dulu bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4.0. Supaya bisa menjadi manusia unggul, para imigran Arab, Yahudi, China, dan India di Amerika Serikat menciptakan kondisi agar anak-anak mereka tidak sekolah hanya 5 senti tetapi sekolah 2 meter. Dari atas kepala hingga telapak kaki. Pintar itu bukan hanya untuk berpikir saja, melainkan juga menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kiri dan kanan, mengambil dan memberi, menulis dan berbicara. Otak, tangan, kaki dan mulut sama-sama di sekolahkan, dan sama-sama harus bekerja. Sekarang saya jadi mengerti mengapa orang-orang Yahudi Mengirim anak-anaknya ke sekolah musik, atau mengapa anak-anak orang Tionghoa di tugaskan menjaga toko, melayani pembeli selepas sekolah.

Sekarang ini Indonesia sedang banyak masalah karena guru-guru dan dosen-dosen nya – maaf- sebagian besar hanya pintar 5 senti dan mereka mau murid-murid nya sama seperti mereka. Guru Besar Ilmu Teknik (sipil) yang pintarnya hanya 5 senti hanya asyik membaca berita saat mendengar Jembatan Kutai Kartanegara ambruk atau terjadi gempa di Padang. Guru besar yang pintarnya 2 meter segera berkemas dan berangkat meninjau lokasi, memeriksa dan mencari penyebabnya. Mereka menulis karangan ilmiah dan memberikan simposium kepada generasi baru tentang apa yang ditemukan di lapangan.Yang sekolahnya 5 senti hanya bisa berkomentar atas komentar-komentar orang lain. Sedangkan yang pandainya 2 meter cepat kaki dan ringan tangan.Sebaliknya yang pandainya dari bawah dan berhenti sampai di dengkul hanya bisa marah-marah dan membodoh-bodohi orang-orang pintar, padahal usahanya banyak masalah.

Saya pernah bertemu dengan orang yang memulainya dari bawah, dari dengkul nya, lalu bekerja di perusahaan tambang sebagai tenaga fisik lepas pantai. Walau sekolahnya susah, ia terus menabung sampai akhirnya tiba di Amerika Serikat. Disana ia hanya tahu Berkeley University dari koran yang menyebut asal sekolah para ekonom terkenal.Tetapi karena bahasa inggris nya buruk, dan pengetahuannya kurang, ia beberap kali tertipu dan masuk di kampus Berkeley yang sekolahnya abal-abal. Bukan Berkeley yang menjadi sekolah para ekonom terkenal. Itupun baru setahun kemudian ia sadari, yaitu saat duitnya habis. Sekolah tidak jelas, uang pun tak ada, ia harus kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di rig lepas pantai.

Dua tahun kemudian orang ini kembali ke Berkeley, dan semua orang terkejut kini ia bersekolah di Business School yang paling bergengsi di Berkeley. Apa kiatnya? “Saya datangi dekannya, dan saya minta diberi kesempatan . Saya katakan, saya akan buktikan saya bisa menyelesaikannya. Tetapi kalau tidak diberi kesempatan bagaimana saya membuktikannya?”Teman-teman nya bercerita, sewaktu ia kembali ke Berkeley semua orang Indonesia bertepuk tangan karena terharu. Anda mau tahu dimana ia berada sekarang?Setelah meraih gelar MBA dari Berkeley dan meniti karir nya sebagai eksekutif, kini orang hebat ini menjadi pengusaha dalam bidang energy yang ramah lingkungan, besar dan inovatif.Saya juga bisa bercerita banyak tentang dosen-dosen tertentu yang pintarnya sama seperti Anda, tetapi mereka tidak hanya pintar bicara melainkan juga berbuat, menjalankan apa yang dipikirkan dan sebaliknya.

Maka jangan percaya kalau ada yang bilang sukses itu bisa dicapai melalui sekolah atau sebaliknya. Sukses itu bisa dimulai dari mana saja, dari atas oke, dari bawah juga tidak masalah. Yang penting jangan berhenti hanya 5 senti, atau 50 senti. Seperti otak orang tua yang harus di latih, fisik anak-anak muda juga harus di  sekolahkan. Dan sekolahnya bukan di atas bangku, tetapi ada di alam semesta, berteman debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Kamis, 26 Januari 2012

CSR untuk Pengemudi - Sindo 26 Januari 2012

Minggu lalu, sebelum Afriyani Susanti menabrak 13 pejalan kaki dan menewaskan 9 orang di antaranya, bersama dengan PT Jasa Marga,Rumah Perubahan yang saya kelola baru saja memberi pelatihan untuk para sopir.
Dirut Jasa Marga Frans Sunito menggunakan dana CSR perusahaan yang dipimpinnya untuk mengedukasi para pengemudi agar turut mencegah kecelakaan lalu lintas. Frans tergugah karena angka kecelakaan semakin hari semakin tinggi dan setiap beberapa menit satu nyawa yang melayang di negeri ini terjadi di jalan raya. Saat itu tak ada yang menduga kecelakaan besar akan terjadi esoknya.

Dengan produksi kendaraan roda empat sebanyak 880.000 unit dan sepeda motor mendekati 8 juta unit pada 2011, sementara kondisi jalan tidak bisa mengikutinya dan jumlah polantas terbatas, bisa dibayangkan apa jadinya kotakota besar Indonesia. Kondisi ini diperparah oleh budaya memikirkan diri sendiri yang menonjol belakangan ini.

Pengelola mal hanya memikirkan traffic masuk ke malnya berlimpah. Pengemudi kendaraan hanya berpikir bisa cepat tiba di tujuan. Pedagang kaki lima hanya berpikir mendapatkan penghasilan. Sementara oknum komandan lalu lintas yang korup hanya memikirkan bagaimana kantongnya semakin tebal dari amanah yang diembannya.


Driving Under Influence 

Satu orang yang fly saja (seperti Afriyani) ternyata bisa menghilangkan sembilan nyawa. Ini tentu luar biasa. Di luar negeri, setahu saya ada undang-undang yang dikenal luas masyarakat,yaitu tentang DUI atau driving under influence. Meski menenggak minuman keras (di Amerika Serikat misalnya) tidak dilarang bagi orang dewasa, orang yang mabuk dilarang mengemudikan kendaraan.

Di Jepang, selepas pukul 12 malam juga banyak ditemui orang dewasa yang mabuk. Polisijugatidakbanyakdijalan. Tapi orang yang mabuk sudah paham, mereka dilarang mengemudikan mobilnya sendiri kendati jalanan di Tokyo di atas pukul 12 sudah sangat lengang. Orang yang mabuk itu dibopong kawan-kawannya ke atas taksi yang lalu mengantarkan ke rumah mereka masing-masing.

Di Amerika Serikat, polisi sangat tegas terhadap kepatuhan berlalu lintas.Di hampir setiap sudut jalan selalu ada mobil polisi yang memantau kecepatan dan gerakan kendaraan. Speed limit dibuat untuk memantau perilaku. Selama studi di Amerika Seikat saja (1992–1998) saya sudah pernah dua kali ditegur polisi karena melebihi batas kecepatan maksimum. Mereka memakai radar yang mampu memonitor gerak dan kecepatan dan tahu-tahu polisi sudah di belakang kita.

Dendanya pun tak sedikit, USD100–200. Bukannya apaapa, kesadaran memang harus dibangunkan. Orang mengantuk, melamun, terlena, emosi atau bahkan lupa diri adalah biasa dan harus dibangunkan. Dan begitu pengemudi dicurigai dalam pengaruh alkohol, mobil segera digeledah dan pengemudi diberi ujian. Mulai dari tes tiup sampai berjalan lurus di tepi jalan dan wawancara.

Polisi yang menjaga tidak banyak, tetapi bila bantuan diperlukan, beberapa polisi segera merapat dan pengemudi yang mabuk langsung dibawa ke ruang tahanan kepolisian. Mengapa polisi harus menangkap mereka meski belum mencelakakan orang lain? Jawabnya adalah karena sudah terlalu banyak orang tak berdosa yang menjadi korban di jalan akibat ulah para pemabuk.

Kasus Afriyani harus menjadi bel besar bagi semua pihak, bukan hanya polisi, melainkan juga produsen automotif dan pemungut penghasilan di jalan,mulai dari pemilik usaha taksi, logistik, trucking, pengelola jalan tol, marketing agencies khususnya yang memasang billboard, telekomunikasi (operator dan produsen ponsel), developer hingga pengelola mal untuk berbuat sesuatu. Bel besar untuk mencegah bahaya yang lebih rutin dan lebih menakutkan.

Di negara-negara lain, sudah terjadi musibah yang memilukan mulai dari lumpuh otak sampai hilang anggota tubuh. Pemabuk harus dicegah sebelum kecelakaan terjadi, sepanjang hari.Bukan hanya di malam hari atau saat hari-hari libur saja. Sayangnya di sini polisi belum terbiasa menangani orang mabuk dan pengusaha belum bersatu. Polisi juga masih hanya memeriksa pengemudi yang mabuk di malam hari sampai matahari terbit.

Padahal, sejak 10 tahun terakhir, di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, orang-orang teler baru pulang setelah matahari terbit. Mabuk dan menghisap narkotika pun dilakukan bergantian tempat sepanjang tiga hari berturut-turut, dari Jumat tengah malam sampai menjelang dini hari sebelum masuk bekerja pada hari Senin. Sepanjang tiga hari itu mereka berpindahpindah dari satu klub ke klub lainnya, persis seperti yang dilakukan Afriyani sebagaimana dilaporkan media massa.


CSR untuk Pemakai Jalan 

Sejak konsep CSR dikenal di sini, harus diakui sudah banyak perusahaan kita yang mengucurkan dana untuk mengurai masalah-masalah sosial. Hanya saja harus diakui masih banyak pengelola dana CSR pada perusahaan yang hatinya, maaf, belum benar-benar bersih. Banyak pengelola dana CSR yang merasa dana itu masih menjadi miliknya, bukan dana amanah yang harus diserahkan kepada masyarakat.

Memang dana CSR yang dialokasikan semakin hari semakin besar. Namun karena dananya besar itulah timbul arogansi dan keengganan untuk disampaikan pada program yang tepat sasaran. Ada semacam non-tariff barrier yang membelenggu perusahaan dengan mencampurkan kegiatan sosial pada motif dan cara bisnis. Banyak manajer yang terperilaku bisnis sehingga ingin cepat-cepat mendapatkan hasil dan mengukur dampak CSR seperti yang dipelajari dalam performance management.

Jadi ada KPI-nya dan semacam ROI (return on investment) atau ROA-nya (return on asset). Manajer yang belum matang menginginkan dampak yang cepat, padahal social impact butuh waktu panjang. Bahkan tidak jarang dana yang sudah dialokasikan ditarik kembali sehingga justru dapat merusak hubungan yang dibangun dengan komunitas. Metode penyalurannya pun diperlakukan seperti tender.Apa akibatnya? Dana CSR ternyata banyak yang tak tersalurkan dan mengendap dalam pekerjaan tak jelas.

PT Jasa Marga adalah leader yang dapat dijadikan semacam hub oleh para pemilik dana CSR yang peduli untuk mencegah kecelakaan lalu lintas. Kita perlu berkarya bersama untuk mencegah perilakuperilaku buruk yang semakin hari semakin menyesakkan dada.Tengoklah, betapa nilainilai baik yang dulu pernah kita miliki kini mulai pudar. Orang semakin tak mau membagi jalan, saling mengunci di perempatan jalan bila lampu lalin mati,pengemudi truk dan kendaraan besar atau mobil berkecepatan rendah mengambil jalan di jalur paling kanan, dan saling menonton saat terjadi kecelakaan lalu lintas.

Pengemudi sepeda motor juga semakin mudah terbakar amarah, bila posisi terjepit lebih menggunakan klakson daripada rem. Setahu saya Yamaha dan Honda juga memiliki unit edukasi yang aktif mengampanyekan pemakai sepeda motor agar tahu cara mengemudi yang baik.Bahkan Yamaha pernah melakukannya di Rumah Perubahan untuk mengedukasi para guru agar mengajari murid-murid sekolah berkendaraan yang benar.

Unilever juga pernah mengundang saya dalam suatu pertemuan dengan para distributornya agar menjaga keselamatan para pengemudi armada dan penagih keuangannya. Bagi mereka,keselamatan adalah modal penting untuk berusaha.Sekali petugas yang menagih uang atau mengirim barang terlibat kecelakaan, kerugian usaha bisa berlangsung lama karena tak ada yang menanganinya.

Di forum para pengemudi yang kami lakukan minggu lalu di Rumah Perubahan, Frans Sunito menegaskan, perilaku mengemudi yang baik adalah yang tidak mengganggu orang lain. Ia mengingatkan, sejak kecil kita hanya diajari fokus pada diri sendiri. Nasihat orang-orang tua adalah agar hati-hati di jalan.Tak seorang pun yang mengatakan, “Jangan ganggu orang lain.” Akibatnya kita memang hanya fokus pada diri kita saja.

Kampanye yang dilakukan PT Jasa Marga tentu bukan sekadar edukasi biasa,melainkan kampanye perubahan, yaitu bagaimana mengubah sikap dan perilaku. Kepada para sopir, saya memutarkan filmfilm tentang perilaku yang berpusat pada diri sendiri. Coba bayangkan kalau semua orang hanya memikirkan dirinya sendiri, bukankah kasus yang dialami bocah kecil di China akan terjadi di sini? Bocah itu, Yue Yue,ditabrak sebuah mobil, lalu diabaikan oleh 13 orang yang lewat di depannya.

Satu kendaraan malah ikut menggilas kakinya. Perilaku I-centric ini bukan mustahil mulai terbentuk di sini.Hal itu hanya bisa diatasi kalau kita memiliki kepedulian dan menggandengkan tangan bersama. Mudah-mudahan kasus Afriyani dan kecelakaan di Tugu Tani bukan petunjuk yang buruk bagi kecelakaan di Tahun Naga Air ini,melainkan sebuah bel dengan dentuman keras untuk membangkitkan kita dari tidur.●


RHENALD KASALI

Senin, 23 Januari 2012

Zhainan - Sindo 24 Januari 2012

Setiap perayaan hari raya umumnya hanya berlangsung satu atau dua hari. Dipersiapkan seminggu sebelumnya dan segera dilupakan seminggu setelahnya.

Namun, hanya ada satu hari raya yang dipikirkan sepanjang tahun. Itulah Chinese New Year atau Imlek, yang dilengkapi mitos tentang zodiak yang ramai dibicarakan karena dihubungkan oleh lima hal: keberuntungan, kesehatan, panjang umur, bahagia, dan kebajikan. Dibicarakan setahun karena sejak tahun baru itu berlaku mitos tentang peruntungan yang berhubungan dengan tahun kelahiran. Namanya juga shio, berlakunya ya setahun. Dibicarakannya, memang ramai di tanggal- tanggal pergantian tahun, namun masa berlakunya panjang, yakni setahun.

Karena itulah, Chinese New Year mulai menjadi topik marketing yang penting. Tentu ada banyak alasan mengapa ethnic marketing pada topik ini menjadi penting dan menjadi perhatian para marketer. Pertama, ethnic marketing ini kaya cerita (story telling), khususnya mitos tentang shio ,dan berlangsung panjang.Kedua, Chinese diaspora diperkirakan telah mencapai sekitar setengah miliar penduduk, mulai dari Taiwan sampai ke Singkawang, Jayapura, Lima (Peru), hingga ke San Francisco.Ketiga, etnik China adalah pekerja keras yang rendah hati, dengan daya beli yang kuat.Keempat, mereka mempertahankan adat-istiadat dan hidup berkelompok di manapun mereka berada. Karena itulah menarik untuk pemasaran. Sebab, pasarnya besar, kuat, dan mudah dijangkau.

Perubahan

Banyak hal yang masih belum berubah sehingga terkesan tak ada yang baru dari tahun ke tahun, dalam ritual perayaan Imlek. Ikan bandeng misalnya, tetap menjadi simbol perayaan Imlek bersamasama dengan sembahyang di wihara (tepekong), lilin merah berukuran besar yang menyala 24 jam, lampion, barongsai, dan tentu saja angpau. Semuanya seakanakan tak berubah, sama seperti mudik Lebaran di sini, saya baca dan beberapa sumber, dalam tradisi China lebih dari 250 juta orang pulang kampung ke daratan China.

Imlek berarti mudik, reuni, pesawat terbang, kereta api, atau bus. Namun, Shenan Chuang, CEO Ogilvy & Mathers Group di China, sebuah agensi komunikasi pemasaran global terkemuka, justru melihat perubahan tengah terjadi. Benar orang-orang kaya merayakan makan malam di hotelhotel berbintang sambil menyantap makanan spesial.

Tetapi menurut Chuang, mayoritas kaum muda justru memilih mudik untuk menikmati pikiran yang kosong, berhibernasi (hibernating). Makan, tidur, dan berselancar (surfing) di dunia maya adalah tiga hal yang disebut Chuang sebagai zhainan. Efeknya, kelak bisa dilihat, bukan lagi mal yang menjadi tujuan mereka, melainkan toko-toko online. Tahun lalu saja, Taobar.com di China mengalami kenaikan penjualan sebesar 195% selama libur panjang perayaan Imlek. Barang-barang yang dibeli secara online tersebut, terutama ponsel, barang-barang digital, alat-alat dapur dan elektronik, gift, dan suplemen kesehatan.

Story Telling

Ethnic marketing adalah story telling. Di dunia ini ada lima bangsa besar yang dikenal sebagai bangsa yang berkumpul dan mempertahankan komunitasnya, baik sebagai pasar maupun sebagai komunitas budaya di manapun mereka berada. Kelima bangsa itu adalah: Italia, China, India, Arab, dan Latinos.

Perhatikanlah, kelima bangsa ini selalu menguasai tempat-tempat strategis di berbagai sudut downtown setiap kota melalui usaha kuliner (restoran). Budaya dan tata cara bicaranya khas, demikian juga makanannya. Etnik yang saya sebut di atas sangat kental dengan story telling. Demikian pula dengan etnik China yang disadari para pemimpinnya bahwa story telling harus terus digunakan. Story telling adalah boundling (pengikat) yang dipakai dalam mitos tentang alam semesta yang dikaitkan dengan keberuntungan.

Mitos tentang lima elemen dan karakter binatang tertentu yang dikaitkan oleh tahun kelahiran, meski ada landasan logika dan filsafatnya, disampaikan –eh maaf- ”dipasarkan” melalui story telling. Jadi, membidik para etnik adalah sebuah story telling marketing. Coca-Cola di China yang menggunakan brand ambassador atlet olimpiade Liu Xia misalnya, selalu membuat iklan yang berhubungan dengan story telling. Dalam rangka Imlek ini, Liu Xia digambarkan pulang kampung mengunjungi sekolahnya (school visit).

Di sekolah itu dia menikmati memori masa lalunya dan teringat pemilihan ketua Osis yang ternyata dia hanya mendapatkan satu suara. Namun, saat memori kesedihan itu berputar, muncul seorang teman yang sekarang menjadi guru. Teman itulah yang memberi Liu Xia suara. Cerita ini sungguh mengesankan warga China, meski hanya berdurasi 30 detik. Pesanpesan seperti ini, diakui para ahli, akan jauh lebih mengena dibandingkan iklan-iklan biasa yang cuma jual janji dan jual kecap. Iklan dan teknik pemasaran dengan menggunakan story telling adalah milik Asia. Sebab, di sinilah mengakar kuat mitos dan cerita.

Bahkan fengsui pun hidup ribuan tahun karena kekuatan story telling yang terus diperbaharui oleh empu-empu baru. Cerita mengenai naga air misalnya, bisa saja dipakai untuk memasarkan wisata di Pulau Komodo atau sebagai jembatan untuk memasarkan alam Indonesia pada turis China yang jumlahnya mencapai 200 juta itu. Tentu saja diperlukan pembuat story yang cerdas, yang tahu caranya. Batik, keris, kue-kue tradisional, bahkan teh dan kopi juga bisa mendompleng ethnic marketing dengan story telling.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Adaptif di Tahun Naga - Jawapos 23 Januari 2012

Banyak orang mengingatkan bahwa naga (dragon) adalah mahluk yang dalam mitologi China dikenal sebagai binatang yang bergerak random, namun karakternya adalah penuh kebaikan dan sangat bertenaga. Ia perlambang keagungan, kelincahan, kebajikan, sekaligus kecerdasan.

Di China sendiri, masuknya tahun naga disambut dengan sejuta kegelisahan dan harapan. Tahunnya bersimbol bagus, keadaan usaha diakhir  tahun 2011 masih sangat bagus, bahkan penjualan retail di China sendiri masih naik 18 %, tetapi para pengendali ekonomi di sana sudah melihat terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Rakyat China sudah diwanti-wanti bahwa industri tekstil, sepatu, dan produksi untuk tujuan eksport akan turun. Bahkan sudah ada yang tutup namun diduga, dengan ramainya orangtua yang ingin punya anak bershio naga, maka industri mainan anak-anak akan berjaya.

Sementara di Indonesia kebanyakan pengusaha masih belum merasakan perubahan apa-apa selain kemajuan dan kemajuan. Namun tipu-tipuan tetap marak, tetapi mereka masih bisa tumbuh. Apa yang harus dilakukan?
Tahun Kerja Keras

Kendati banyak empu fengsui mengatakan tahun naga adalah tahun keberuntungan, saya melihat tahun ini sebagai tahun kerja keras. Tiga atribut mencuat dari berbagai kajian, yaitu karismatis, kreativitas, dan komitmen.

Karismatis berarti naga senang dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kualitas diri yang atraktif, bahkan cenderung flamboyan. Ini berarti, bertindak di luar norma atau bisnis yang agak lain sedikit boleh-boleh saja, asal disertai kepemimpinan yang menawan dan tulus. Banyak orang mencoba menjadi flamboyan tetapi tidak tulus sehingga terjungkal oleh ulahnya sendiri.

Sosok naga, konon menurut sejumlah literatur, senang dengan usaha-usaha atau profesi yang mampu menunjukkan kreatifitas-kreatifitas tertentu. Maka, menjadi artis, komedian, pembuat iklan, pencerita, arsitek, broker, salesman dan marketing, inventor dan seterusnya akan baik di tahun naga. Kreatifitas adalah modal penting bagi siapa saja yang hidup di era krisis atau perubahan.

Naga, konon juga menyukai siapa saja yang mempesona, menggoda dan menarik. Dan sekali sudah menemukan mitra yang tepat, mereka akan kommit seumur hidup.

Namun ketiga kualitas di atas hanya bisa hidup kalau seseorang mau bekerja keras. Jadi bukan seorang pemimpin keberuntungan semata yang bisa menjadi sahabat naga, melainkan mereka yang mau bekerja keras. Naga telah lama menghadapi masa-masa yang berat, kini ia ingin menikmati hasilnya. Begitu menurut literatur yang saya pelajari. Anda boleh percaya atau tidak, tetapi saya bisa beri beberapa tips dari perubahan-perubahan besar yang terjadi di Cracking Zone (yang ini empiris dan akademis tentunya) yang makin mengguncang dua tahun terakir ini.

Pertama, kalaupun tahun naga berarti tahun kerja keras, komitmen, kreatifitas dan karisma, naga yang anda hadapi adalah naga air yang bisa mengubah fondasi dimana anda berdiri. Maka, kemampuan mengubah diri, menjadi lebih adaptif, berpikir  cepat untuk merespon bahaya-bahaya yang muncul sangat dibutuhkan dunia usaha.

Kedua, dan saya kira ini ada benarnya, dari literatur-literatur yang saya pelajari, para ahli sepakat tahun naga harus diisi dengan banyak konsensus. Mereka yang senang membuat konflik akan kena batunya kalau terus bertahan membuat ulah. Inilah saatnya membangun sebuah kekuatan baru dengan menghubungkan dan menyatukan semua resources yang tersebar, melakukan kompromi-kompromi dan melihat sisi pandang orang lain dengan lebih terbuka.

Mengapa demikian? Jawabnya adalah karena  Asia telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang panjang. Dana-dana internasional masih akan terus mengalir, namun di sini lain dunia ini tengah mengalami pancaroba iklim yang luar biasa. Ekonomi di belahan dunia barat pun mulai memudar. Ada ketidakpastian besar dalam perdagangan global, namun semua itu menandakan, dunia ini tengah menanti cara-cara baru, produk-produk baru, dan manusia-manusia baru untuk memperbaiki dan mempelajarinya.
Selamat berkarya.
Gong Xi Fat Choi.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Rabu, 18 Januari 2012

Ekonomi Imlek dan Pembersihan Diri - Sindo 19 Januari 2012

Rekan sejawat saya, seorang profesor di Taiwan, mulai memelihara ikan hias. Dia beli ikan arwana ukuran sedang.Warnanya merah, dikelilingi garis-garis kuning. Profesor yang lainnya tak mau kalah, tapi ia memelihara ikan discus berwarna kuning.

Di akuarium itu ia memasang tanaman- tanaman air seperti yang sering kita lihat di sini.Ditambah batu-batuan berwarna, karang-karang kecil, pasir,dan sepotong kayu yang membuat akuarium terlihat indah. Sejak keduanya memulai itu, ratusan orang mengikutinya dan sekarang menjadi tren.

Hal serupa rupanya terjadi di negara-negara yang memiliki diaspora imigran dari China, tak terkecuali di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Ikan-ikan hias asal Indonesia seperti arwana, discus, tetra, lohan, dan sebagainya yang berwarna merah dan kuning akan ramai diborong di tahun Naga Air yang mulai berlangsung pekan depan.

Tahun Pembersihan 
Banyak ahli ramal yang percaya (saya sendiri kurang memercayai kalau horoskop dikaitkan keberuntungan) bahwa tahun Naga Air adalah tahun cerah, meski tak sedikit yang bakal kesulitan. Setiap ramalan sudah pasti tidak lepas dari sejarah dan kepribadian peramalnya. Setiap peramal pun berinteraksi di antara mereka, dan semakin hari semakin terkait dengan orang-orang yang minta diramal.

Mereka juga berinteraksi dengan media massa dan media jejaring sosial,sehingga pastilah saling memengaruhi satu sama lain. Para peramal itu juga mengaitkan dengan apa yang baru terjadi pada 2011. Mereka mengatakan, pada 2011 banyak musibah dan banyak bisnis di dunia yang mengalami kesulitan.Seorang ahli fengsui yang banyak dikutip warga keturunan Tionghoa http://www.- qualife-fengshui.com, bahkan mengaku sempat mengingatkan setahun lalu dia melihat dua buah bintang jatuh.

Akhir tahun lalu dia menyimpulkan (tentu saja setelah kejadian) bahwa ramalannya tepat. Satu bintang itu menandakan badai tsunami yang memorak-porandakan pulau di Jepang, dan satu lagi membuat banjir besar di Thailand. Mereka mengatakan enam bulan pertama di tahun Naga Air ini keadaan ekonomi dan alam masih berat, tetapi enam bulan berikutnya, awan gelap mulai pergi.

Ramalan ini agak mirip dengan omongan seorang paranormal yang setiap tampil kelihatan agak bodoh (tapi mobilnya hebat-hebat dan kliennya orang-orang terkenal). Ia mengatakan,tahun Naga Air itu sifatnya menjernihkan, mendinginkan. ”Jadi yang sifatnya panas di tahun 2011 akan jadi tenang di tahun ini.” Seorang empu fengsui lain sepakat dengan apa yang saya baca di sebuah web, bahwa tahun Naga Air itu seperti mempertemukan tanah yang keras dengan air yang melunakkan. Tanahnya menjadi lembek.

Kalau tak kuat betul, fondasi yang tipis dapat meluluhlantakkan bangunan besar. Jadi supaya hidup aman, alam ini harus diharmoniskan.Maka dari itulah mereka menyarankan agar pengusaha memelihara ikan hias di akuarium sebanyak sembilan ekor dengan lima unsur alam: ikan, air, tanah,tanaman,dan bebatuan. Kadang saya merasa lucu juga melihat orang-orang yang memercayai ramalan-ramalan seperti ini.

Bukankah hidup ini bukan sekedar horoskop? Tetapi begitulah, lebih banyak orang yang memercayainya daripada tidak. Dulu, sewaktu membangun rumah, saya juga tidak mempercayai fengsui. Tetapi saat kedatangan tamu seorang yang mengerti fengsui, dia mengingatkan saya ”Kalau enggak dituruti, nanti rumah Bapak sulit dijual.”

Saya tetap bergeming, tetapi teman-teman saya mendesak agar diikuti saja. Belakangan ahli fengsui itu geleng-geleng kepala. ”Saya heran, rumah ini dibuat tanpa rumus fengsui, tapi sudah fengsui. Jadi tidak perlu ada yang diubah kecuali memasang gantungan yang bisa berbunyi di depan pintu,”ujarnya.

Ekonomi Imlek 
Jadi tahun Naga Air bagi sebagian orang adalah tahun pembersihan diri. Sebagai ketua Aksi (Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia) tentu saya percaya pembersihan diri dan menjadi lebih peduli itu penting. Lihat saja empat tahun terakhir ini kita disajikan tipuan-tipuan ekonomi kelas dunia yang luar biasa.

Eksekutif-eksekutif yang rakus di Wall Street tetap berpesta pora dengan bonus jutaan dolar dari biaya masyarakat pembayar pajak yang kehilangan pekerjaan garagara ulah mereka. Jago-jago keuangan, sarjana- sarjana hebat, sampai pejabat ikut-ikutan mencuri. Bahkan di New York, Detroit, Madrid, dan Paris saja kapitalisme tengah menjadi bulanbulanan demo besar gara-gara orang-orang yang rakus dan ingin cepat kaya itu.

Di Indonesia sama saja. Para politisi kehilangan respek karena mencuri uang rakyat. Belakangan rektor sebuah universitas negeri yang juga mahaguru pun dilaporkan masyarakat atas perilakunya yang menggunakan uang mahasiswa untuk urusan fitnes dan membiayai piaraannya (pets). Sudah begitu, dia pun dilindungi sejumlah menteri dan pejabat tinggi.

Bahkan ada yang bilang kerugiannya masih kecil, bagaimana kalau yang kecil itu bermuara jadi besar? Bukankah itu melanggar kepatutan? Rakyat masih harus berteriak keras untuk mendapatkan keadilan. Usaha-usaha kecil dan besar juga banyak yang masih berbohong. Belum berusia genap 5 tahun dan belum tentu bisnisnya untung, usaha baru sudah berani di franchise-kan.

Pelaku usaha yang besar sama saja, banyak yang mengambil tanah rakyat melalui tangantangan kotor. Nama-nama seperti Gayus,Nazaruddin,dan Malinda Dee menjadi headlines sepanjang hari. Setelah itu di tahun 2011 hidup kita dikuasai debt collector,preman berjubah agama,SMS sedot pulsa,tipuan melalui ATM, sampai perampasan- perampasan besar.

Jadi apalagi yang harus dilakukan kalau bukan pembersihan diri dan membangun ”giving culture”? Itu perlu dilakukan kalau Anda tak menginginkan anak-cucu sendiri menjadi korban di jalan seperti tragedi yang dialami oleh seorang anak balita yang tahun lalu ditabrak mobil di China, dan didiamkan oleh sembilan orang yang melewati anak itu setelah kejadian. Yua-Ywe, nama anak itu, akhirnya tewas beberapa hari kemudian.

Dari sebab itulah eksekutif harus bisa turut membangun bangsa dengan mengembangkan ”giving culture” sekaligus mentransformasi budaya perusahaan dari I-Centric (berpusat pada individu dengan performance management- KPI), menjadi We-Centric (berpusat pada kepentingan yang lebih luas, dengan mempertimbangkan apa akibatnya bagi kita semua).

Transformasi ini diperlukan untuk mengembalikan rasa aman dan membuat hidup ini lebih harmonis. Para ahli juga mengatakan, semakin ke sini ekonomi imlek akan semakin meriah.Di luar Asia, Imlek mulai dirayakan oleh berbagai bangsa lain. Di Amerika Serikat dan banyak negara Eropa, ornamen-ornamen imlek dan barongsai semakin kental mencuat. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, juga sudah mulai bisa memetik keberuntungan dari libur panjang yang jatuh pada hari Senin besok.

Pesawat-pesawat terbang yang menjalani ruterute ke daerah-daerah tertentu di mana diaspora warga keuntungan Tionghoa berada mulai padat. Di Kuala Lumpur, saya membaca Malaysia Airlines telah menambah 32 penerbangan ekstra sebelum dan setelah perayaan Imlek untuk mengakomodasi permintaan.

Menurut harian India Today,di China sendiri, airlines dipaksa menambah 14.000 (betul, empat belas ribu) tambahan jadwal penerbangan selama festival musim semi (Imlek) berlangsung. Orang-orang Asia ini memang sedang kelebihan uang. Berbeda dengan saudara-saudara kita di Eropa dan Amerika yang selain tengah kedinginan juga kesulitan. Harap diingat, bagi orang Asia, Naga adalah simbol shio terkuat, puncak.

Naga adalah lambang dari kesejahteraan, keberuntungan, dan kemakmuran. Diramalkan, rumah-rumah sakit bersalin akan kebanjiran pasien yang ingin agar anaknya lahir pada tahun shio naga. Bahkan menurut majalah Business Week, permintaan terhadap produk-produk bayi diramalkan akan menjadi penggerak ekonomi yang penting.

Di Amerika Serikat saja, diberitakan sejak November lalu sudah di cetak uang kertas dengan tema khusus, Year of Dragon – dengan nomor seri dimulai dengan angka 8888.Uang khusus ini bisa dipesan pada www.moneyfactorystore.gov.

Akhirnya saya ucapkan selamat menyambut tahun baru Imlek. Kita semua tentu sepakat, pembersihan diri itu penting, agar tetap selamat dan sejahtera. Gong Xi Fat Chai!

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Kamis, 12 Januari 2012

Refleksi Kelas Dunia - Sindo 12 januari 2012

Menurut PBB, tahun ini adalah tahun koperasi, dan bangsa-bangsa besar, tak ketinggalan Thailand dan Malaysia berlomba-lomba menunjukan kepada dunia bahwa mereka pun memiliki koperasi kelas dunia. Bagaimana Indonesia? Bukankah kita lagi asyik dengan UMKM non koperasi?

Untuk menjadi pegangan para pelaku koperasi, ICA ( International Cooperative Alliance) mengeluarkan peta yang berisi daftar 300 koperasi kelas dunia. Di dalam daftar itu terdapat koperasi-koperasi besar seperti Credit Agricole Group (Prancis), Zen Noh (Jepang), Rabo Bank (Balanda), California Dairies (USA), IFFO (India), Fair Price (Singapore), dan Bank Rakyat (Malaysia). Semula saya berharap akan ada beberapa koperasi Indonesia yang masuk dalam daftar itu, namun saya harus kecewa menerima kenyataan tidak ada.

Padahal kurang apa ya negeri ini? Penduduk prasejahtera masih banyak, kementrian yang menangani khusus koperasi juga ada, APBN nya pun disediakan. Tidak ada badan hukum usaha lain yang diajarkan di sekolah sejak SD selain koperasi. Koperasi juga dijadikan praktek di sekolah-sekolah. Indonesia juga tidak kurang mengenal tokoh-tokoh koperasi, termasuk pendiri negeri ini Bung Hatta. Sementara di Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat  yang sangat kapitalis, koperasi justru berjaya. Ada apa gerangan?
Idiil dan Komersial
Di Harvard, bila Anda sempat, mampirlah ke toko buku dan souvenir kampus. Anda akan menemukan sebuah toko besar yang dikelola secara profesional. Mahasiswa dan pengunjung menyebutnya CO-OP yang artinya koperasi. Adalah hal yang biasa bila orang menyebut coop-number yang berarti nomor keanggotaan dalam koperasi. Mereka adalah pemegang saham sekaligus pelanggan, mengeluarkan uang dan mendapat deviden.

Di Inggris, gerakan koperasi juga tak kalah hebatnya. Adalah biasa orang menyebut Vivid number yang berarti nomor keanggotaan koperasi. Salah satu kelompok usaha berbasis koperasi yang besar adalah The Co-Operative Group yang bergerak dalam spektrum usaha yang sangat luas dengan 3 juta anggota dan 4,500 outlet.  Mereka bergerak dalam bidang retail, makanan, asuransi, perbankan, travel, farmasi, jasa pemakaman, jasa hukum, investasi, toko on-line, listrik, dan hotel.

Di Indonesia kita mengenal GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) yang masih memiliki gedung bertingkat di jalan bergengsi di jakarta namun kiprahnya sudah lama tak terdengar. Demikian pula Puskowan Jati yang sangat populer di Jawa Timur, Koperasi Unit Desa Setia Kawan di Nangkojajr, koperasi-koperasi susu, Inkopad, Inkopal dan Inkopol serta Inkopau. Tetapi semakin hari koperasi disini mulai jarang disebut. Apalagi, dukungan pemerintah pada sektor pertanian menyusut, lahan-lahan pertanian menyempit dan usaha yang sarat subsidi (seperti pupuk) berpindah ketangan para makelar dan orang-orang partai politik. Mudah-mudahan saya salah dan saya berharap koperasi-koperasi kita gegap gempita seperti di era orde baru.

Namun disisi lain, saya mendengar ada secercah harapan, yaitu berkembangnya koperasi-koperasi simpan pinjam (KSP) yang banyak menggarap sektor microfinance. KSP-KSP ini bisnisnya berkembang karena dikelola secara profesional dengan manajemen yang mirip perbankan. Hanya saja tak semua sektor microfinance dikuasai koperasi. KSP harus bekerja lebih keras lagi karena mereka harus berhadapan dengan bank-bank besar, bank-bank asing, lebaga-lembaga keuangan mikro, BPR, dan tentu saja KSP asing dari Bangladesh, India, dan Eropa.

Refleksi Kelas Dunia
ICA menyebutkan diseluruh dunia usaha koperasi menyangkut kepentingan lebih dari 1 miliar penduduk dunia yang terlibat baik sebagai anggota, konsumen maupun pengurus dan pegawai. Dari global 300 koperasi dunia saja, penghasilan yang diciptakan telah mencapai 1,6 triliun dolar yang berarti setara dengan GDP salah satu negara nomor 9 terbesar di dunia.

Ke 300 koperasi kelas dunia itu  ada di 25 negara dengan penghasilan terbesar ada di Prancis (28%), USA (16%),  Jerman (14%), Jepang (8%), Belanda (7%), Inggris (4%), Swiss(3,5%), Itali (2,5%) Finland (2,6%), Korea (2%) dan Canada (1,75%).
Kalau di negara-negara kapitalisme itu saja koperasi bisa menjadi besar, mengapa di Indonesia tidak? Apakah mungkin karena koperasi telah salah dibina biroktrat-birokrat yang tak paham bisnis sehingga terlalu kental aturan dan masalah idiil saja? Atau jangan-jangan cara pengelolaannya yang masih, maaf, primitif, berpikir kecil, merasa miskin dan kurang berani merekrut kaum profesional? Atau bisa juga bidang-bidang usaha yang ditekuni sangat terbatas pada bidang-bidang usaha bernilai tambah rendah sehingga masih bermimpi mengandalkan tangan pemerintah?

Semua mungkin saja. Tetapi marilah kita berefleksi dengan melihat apa yang dilakukan oleh koperasi-koperasi kelas dunia.
Pada dasarnya, kata kelas dunia sendiri adalah kata yang rancu dan sangat mudah dipakai sekedar untuk “keren-kerenan” saja. Padahal kata kelas dunia mencerminkan sesuatu yang “besar”. Kata “besar” sendiri bisa berwujud luas, mulai dari asset, pasar, pendapatan, jumlah pegawai, jangkauan usaha dan seterusnya.
Namun belakangan saya melihat kecenderungan kata “besar” dalam status kelas dunia mulai ditinggalkan karena banyak usaha-usaha yang besar menimbulkan masalah. “Besar”  dari ukuran-ukuran tadi ternyata identik dengan kerakusan, skandal, arogansi, tidak bersahabat (dengan pelanggan dan society), dan bahkan “besar” identik dengan kesejahteraan semu (illusionary wealth).

Setiap kali terjadi krisis, lembaga-lembaga usaha yang “besar” selalu menjadi beban bagi suatu bangsa karena tidak fleksibel, terlalu hierarki, terlalu I-Centric, banyak hutang, terlibat masalah-masalah etika dan salah urus. Padahal “besar” juga berarti magnet, yang menarik orang-orang terbaik, lulusan universitas-universitas terkemuka dan seterusnya.
Oleh karena itulah pengertian kelas dunia mulai bergeser. Ia bukanlah urusan besar dan rangking prestasi keuangan melulu. Para ahli melihat, kata “respect”, “admire” (dihormati, dikagumi) menjadi lebih bermakna dan lebih diterima. Jadi, ukurannya bukan lagi sekedar value (nilai, angka), melainkan juga values (bernilai, bermakna, kearifan). Value adalah sasaran dari kapitalisme, sedangkan gabungan value dan values adalah miliknya koperasi.

Koperasi kelas desa biasanya terpukau dengan “values” belaka sehingga jalan di tempat, sedangkan koperasi kelas dunia menyeimbangkan keduanya.  Bahkan dengan bekal values –nya itu, mereka berjuang keras menjadi role model dalam industri masing-masing seperti menjalani prinsip-prinsip crackership  dalam konsep Cracking Zone.

Saya masih punya rekaman kuat saat tinggal beberapa minggu di sebuah desa di kaki gunung Bromo lebih dari 20 tahun yang lalu. Di sana saya berdialog dengan para peternak susu dan pengurus Koperasi Susu Setia Kawan. Sebuah desa yang hidup, ceria dan penduduknya sejahtera karena koperasi. Pengurus-pengurus koperasi aktif mencari formula-formula baru dalam berbagai hal. Mereka mencari cara agar sapi-sapi mereka sehat dan produktif, mengembangkan teknologi, pakan ternak, dan alat transportasi susu yang terbebas dari kerusakan kualitas dan seterausnya.

Tetapi di sisi lain, mereka juga aktif membangun masyarakat , merekatkan nilai-nilai, merubah perilaku-perilaku buruk warisan Ke Arok dam Kebo Ijo (dalam sejarah Singosari), membuat para peternak nakal lebih jujur dan tak mencampur susu dengan air atau santan, menciptakan kegembiraan diantara penduduk saat menyetor susu, serta membentuk cara-cara pengelolaan uang yang sehat.

Rakyatnya sehat dan sejahtera, koperasi juga sehat dan dan sejahtera. Tetapi untuk menjadi role model tuntutannya tentu lebih besar lagi. Koperasi tak boleh berpuas diri menjadi pemain-pemain kelas desa, sebab seperti KSP-KSP, mereka juga berhadapan dengan sistem ekonomi yang liberal yang memaksa mereka unggul dalam bersaing. Koperasi harus kompetitif dan dikelola dengan mengikuti zamannya. Koperasi harus menjadi matahari dengan magnezt yang kuat untuk menarik the best talent, the best produk, dan the best system .
Selamat merayakan tahun International Koperasi, dan jadilah warga dunia berkelas yang dihormati.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Senin, 09 Januari 2012

Orang Miskin Memberi - Jawapos 8 Januari 2011

Bisakah orang miskin memberi ?
Banyak orang yang saat ini berpikir dirinya harus kaya lebih dulu untuk bisa membantu orang lain. Orang-orang seperti ini menunda perbuatan baik, menunggu sampai saatnya tiba. Padahal bagi orang yang menerima, orang kaya memberi adalah biasa sekali. Pemberian yang paling indah justru adalah pemberian yang datang dari orang-orang yang susah.

Di Banda Aceh saya menemukan banyak orang yang tetap merasa susah dan hidupnya tetap tertekan kendati rumah-rumah mereka sudah lebih baru. Jalan-jalan beraspal kokoh telah terbangun, kedai-kedai kopi di Ulee Kareng telah kembali ramai dan roda ekonomi telah kembali berputar. Selain sulit menghilangkan trauma dan kesedihan yang mendalam akibat tsunami, kadang saya berpikir mungkin karena bantuan-bantuan yang mereka terima datang dari negara-negara kaya.
Tetapi di sebuah pesantren yang miskin di Jawa Timur saya menemukan anak-anak korban Tsunami Aceh yang hidup bahagia, meski mereka dipelihara oleh santri-santri yang tidak kaya. Kemungkinan besar mereka merasakan ketulusan dan rasa persaudaraan. Bukan sekedar pemberian.

Spiritual Giving
    Giving atau memberi pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok: material giving (uang, makanan, selimut, rumah, dan hadiah-hadiah), dan spiritual giving (kasih sayang, ketulusan, perhatian, kepedulian, senyum, dan uluran tangan).

    Jadi pada dasarnya Anda tidak harus menjadi kaya secara material terlebih dulu untuk bisa memberi. Tetapi bila Anda bisa memberikan apa saja, Anda adalah orang yang kaya. Kaya adalah state of mind yang dibentuk oleh pikiran, bukan oleh jumlah uang. Bila dua orang yang berpenghasilan sama memberi, maka yang memberi lebih tuluslah yang lebih kaya.

    Saya suka bertanya pada sopir saya mengapa ia selalu memberi pada pengemis yang meminta di sisi sebelah kanan di depan jendela kaca mobilnya sementara pemilik mobil lain mengunci rapat-rapat jendelanya. Ia mengaku dulu pernah menjadi sopir taksi,”Mungkin karena kita tahu sama-sama susah cari uang di jalan,” ujarnya.

    Di Bandung, saat seorang banci menepuk-nepuk tangan sambil berjoget di lampu merah, ia segera membuka jendela dan memberi bukan uang, tetapi sebatang rokok. Banci itu berucap spontan, “Masya Allah, rokok bo! Nuhun ya kang.” Ia melenggang pergi sambil tersenyum gembira.

    Dalam sebuah buku saku yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto selama ia di penjara, saya juga pernah membaca kisah para napi yang sering menerima “kiriman” uang receh yang dilempar dari balik tembok penjara oleh sopir-sopir truk yang dimasukkan ke dalam kotak korek api. “Mungkin mereka adalah mantan napi yang tahu betapa sulitnya orang kecil yang ditahan di penjara,” ujar Arswendo.

    Bagi saya, orang-orang masih mau berbagi itulah yang kaya. Sebaliknya, di Jakarta saya juga menemukan orang-orang yang sudah secara ekonomi terpuruk, mulutnya jahat pula. Selain mudah tersinggung, tak pernah mau memberi, dan setiap kali ada kesempatan selalu mengambil lebih dulu. Setiap kali ada antrian pemberian mereka selalu menyerobot dan mengerahkan semua anggota keluarga untuk berebut.

    Mereka ini sebenarnya sama miskinnya dengan orang-orang kaya yang terbelenggu dengan gaya hidup hedonis. Mereka tidak punya budaya memberi, bahkan kedatangannya selalu menyedot energi milik orang lain.
    Di Pesantren SPMAA di Desa Turi Lamongan saya mengirim mahasiswa-mahasiwa MMUI untuk tinggal beberapa hari, bukan untuk belajar Ilmu Manajemen, melainkan untuk belajar berbagi. Pesantren ini tidak kaya materi, tetapi mereka punya hati mulia untuk memberi. Untuk makan saja mereka tidak berlebih, tetapi semua orang bisa menikmati kasih sayang.

    Di Sanggar Akar Jakarta, saya menemukan komunitas anak-anak jalanan yang untuk makan sehari-hari tidak berlebih, tetapi mereka bisa berkesenian, menjual pertunjukan teater kepada perusahaan-perusahaan, dan bernyanyi gembira. Anak-anak ini dulu dikumpulkan oleh Romo Sandyawan karena mereka menjadi korban “Operasi Esok Penuh Harapan” yang menganggap mereka sebagai “sampah kota”.

    Di Bandara Juanda saya pernah bertemu dengan seorang biksu yang memberi nasehat seorang ibu yang tengah menderita karena suaminya sedang sakit keras. Pesannya, “Nyonya, banyak-banyaklah berderma.” Si ibu terbengong, ia tidak bisa memahami bagaimana orang susah justru diminta berderma. Namun belakangan saya mendengar ibu itu menyerahkan sebagian besar hartanya kepada orang-orang miskin beberapa saat sebelum suaminya meninggal dunia.

Melepas Kesulitan
Di Bab penutup buku The Power Of Giving yang ditulis oleh Azim Jamal dan Harvey McKinnon, saya membaca kalimat ini: “One of the best gifts you can give children is to teach them the beauty of giving.”
Setiap anak bisa diajarkan memberi selagi mereka kecil. Mulai dari memberi perhatian, senyum, ucapan-ucapan yang membesarkan semangat, kalimat-kalimat positif, uluran tangan, kata terima kasih, memberi perhatian, empati, mendengarkan, doa, dan seterusnya.
Orang yang memberi adalah orang-orang yang kaya dan bahagia. Ibu yang tengah menderita karena suaminya sakit keras, menyatakan, “memberi membuat beban saya tersalurkan, hidup saya lebih indah dan membuat saya melupakan kesulitan.”

Memberi bagi orang miskin adalah sebuah penyembuhan dan membuat hidup lebih baik karena hanya dengan kebaikan berbuahlah kebaikan.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Sabtu, 07 Januari 2012

Refleksi Global Player - Sindo 5 januari 2012

Larry Downes yang menulis Beyond Porter mengingatkan kita akan pentingnya para pelaku UMKM melihat dirinya dalam global context. Penulis-penulis lain mengingatkan betapa globalisasi telah menjadi ancaman serius bagi para pengisi ceruk pasar.

Tapi di Indonesia, saya mengatakan, tak usah ada globalisasi, Indonesianisasi saja sudah cukup membuat para pembuat kecap lokal kesulitan bernapas. Bukankah dulu setiap daerah di Indonesia ini punya merek kecap masing-masing? Kalau tidak gagal bersaing, mereka habis dicaplok merekmerek nasional. Sewaktu dibeli, mereka berpikir mereknya akan jadi besar, tapi nyatanya hanya untuk ditelan dan dimakan pasarnya.

Kata Philip Kotler, itu namanya guppies strategy, strategi ikan-ikan kakap memangsa ikan-ikan teri. Lantas, bagaimana melawan kekuatan global? Wali kota sehebat Joko Widodo tidak gentar. Ia langsung memesan mobil-mobil buatan siswa-siswa SMK Surakarta dan memamerkannya kepada khalayak bahwa mobil ini lebih baik dari Toyota Camry-nya yang sudah berusia senja.

Kendati dicibir gubernurnya sendiri yang mungkin masih kesal dengan keributan kasus Sari Petojo, Joko Widodo tetap bilang mobilnya layak pakai. Pak Gubernurbilanghati-hatimasalah keamanan meski akhirnya Gubernur bilang bagus juga kalau kita mendukungnya.Tapi Pak Gubernur belum tentu akan ikut pamer seperti wali kotanya kendati keduanya diusung partai yang sama.

Padahal mobil Esemka dan Rajawali buatan anak-anak sekolah itu bakal berat melawan gempuran merek global. Walaupun harganya murah, saat ini di pasar sedang bersiap-siap masuk mobil-mobil berharga di bawah Rp100 juta. Kemarin Bajaj yang biasa membuat sepeda motor dan kendaraan roda tiga sudah meluncurkan mobil murah yang mungil. Peluncurannya pun megah, diekspos bukan hanya oleh TV One atau Metro TV, tapi oleh jaringan berita internasional.

Identitas Lokal 

Sebagai refleksi, saya ingin mengajak Anda menyaksikan bagaimana ribuan merek lokal bertempur seorang diri memasuki pasar global. Di Cirebon, para perajin furnitur yang dulu gencar membuat kursi rotan sudah lama mati setelah Menteri Perdagangan membiarkan bahan baku diekspor secara bebas dan mereka kesulitan bahan baku.Tapi cerita di balik pudarnya kerajinan furnitur dari Cirebon lebih dahsyat dari sekadar bahan baku.Sekitar 10 tahun lalu,saat mengikuti pameran dagang di Jakarta, mereka mengatakan,

”Tahun ini omzet saya bagus,permintaan banyak, pembeli terus berdatangan.” Namun,setahun kemudian, di pameran yang sama mereka mulai mengeluh. ”Buyer yang dulu berbelanja dan memesan dalam jumlah besar sekarang menjadi tetangga saya dan kini ia ikut pameran membuka stan di depan counter saya.” Bule Jerman atau bule Spanyol pedagang furnitur itu kini menjadi orang Cirebon dan punya pabrik besar. Setahun berikutnya, saya mulai mendengar keluhan- keluhan baru.

Banyak buyeryang pura-pura membeli, tapi diam-diam memotret desain buatan produsen Cirebon yang dijajakan begitu indah di pameran.Alih-alih memberi layanan yang manis, muka mereka mulai sedikit kencang karena karya-karyanya dipotret dan diduplikat. Hari ini, saat berkunjung ke Cirebon, seorang pegawai bank yang banyak menangani nasabah-nasabah UKM di sana mengatakan,“ Masa emas furnitur telah berlalu. Genteng di Jatiwangi masih kuat,tetapi ke depan mereka mulai terancam genteng logam,”ujarnya lirih.

Di Bandung, Plered, Garut, dan banyak kota kecil lain,ribuan bahkan jutaan UMKM bergulat dengan persoalan globalisasi yang berbeda-beda.Hasan Batik di Bandung misalnya, yang dulu (1975) didirikan dosen Jurusan Seni Rupa ITB Hasanuddin (alm), juga bergelut melawan globalisasi di usia senjanya. Sebelum krismon,studio dan sekolah membatiknya digemari turis asal Jepang dan ia tumbuh begitu pesat.Tapi begitu krismon melanda,mereka benar-benar kehabisan akal.

Setelah ditinggalkan karyawan- karyawan terampilnya, studionya pun mengalami musibah kebakaran.Tapi, beruntung, Pak Hasan tidak hanya mewarisi pabrik dan keterampilan, melainkan juga tiga putri yang tekun meneruskan usaha. Sania Sari,Tri Asayani,dan Ranitrayani melawan gempuran globalisasi. Di tangan mereka ada harta-harta tak kelihatan (intangibles) yang diwariskan seorang ilmuwan yang gencar melatih keterampilan bersama ibu yang membawa garis DNA batik Pekalongan.

Merekalah yang membalikkan kembali kejayaan Hasanuddin dengan identitas lokal dan UMKM. Berapa omzetnya? Kepada tim riset yang saya pimpin,mereka mengaku Rp75 juta per bulan dengan 20 orang karyawan. Lain Hasan Batik, lain pula Eddy Permadi. Namanya memang belum setenar Tri Mumpuni, tetapi dosen ini tak mau diam menyaksikan pengangguran. Ia membuat turbin mikrohidro untuk menghasilkan energi.

Namun, namanya juga identitas lokal, Eddy mengisi hari-hari kosong order turbinnya dengan mengalihkan karyawannya menjadi pembuat bandrek dan bajigur.Tak ada dalam buku strategi bisnis mana pun di dunia ini yang mencontohkan gabungan usaha antara turbin dengan bajigur. Tapi di Cihanjuang ini riil. Keduanya jalan bagus.

Eddy bisa membuat turbin 1 sampai 3 megawatt, di samping pembangkit yang mikro (untuk 3.000 watt listrik) dengan omzet Rp10 miliar–15 miliar setahun, tapi juga bajigur yang menyerap 100 ton jahe dari Lampung dengan omzet Rp4,5 miliar setahun. Eddy yang pernah menikmati pendidikan di Swiss tentu berbeda dengan Eman Sulaeman yang berjuang mengangkat identitas perajin gerabah di Plered.

Meski keluarganya dari dulu hidup dari gerabah, generasinya mengalami gempuran globalisasi yang lebih berat. Gerabah tak hanya menembus dunia dari Plered,melainkan juga dari Thailand, Vietnam,Filipina, dan negaranegara Amerika Latin. Mereka semua menembus pasar dengan pengetahuan dan teknologi yang dipadukan dengan sentuhan tangan etnik. Bahanbahan beracun dikontrol ketat, teknik pembakaran dan bahan baku memerlukan pengetahuan tingkat tinggi.

Dengan segala keterbatasannya, Eman harus siap menerima penolakan pasar kalau barangnya dinilai tidak memenuhi standar. Setiap tahun Eman harus puas menjalani usaha dengan omzet Rp400 juta–500 juta. Saya tidak tahu persis bagaimana Pemerintah Malaysia begitu fokus membina usahawannya membangun local brand seperti cokelat Barley atau tas dan sepatu Vinci dan Nose.

Tapi, sepengetahuan saya, pemerintah kurang aktif mem-branding local product yang kuat. Kala cokelat Barley digencarkan, Kiki Gumelar juga punya impian menjadi pemain global. Putra asal Garut ini terispirasi oleh cokelatCeresyangkatanya dulu dimulai dari Garutjuga. MakaKiki juga melawan globalisasi dengan identitas lokal,yaitu dodol Garut,sehingga cokelatnya diisi dodol dengan merek Cokodot.

Skala Global 

Saya tak tahu selera lokal atau identitas lokal apa yang bisadibangundibalikpembuatan mobil-mobil nasional yang mulai digulirkan ke pasar.Namun belajar dari IPTN yang dulu dibangun dengan menggebu- gebu, kita perlu mengingatkan bangsa ini agar selalu konsistenkalaumembangunsesuatu. Membangun industri automotif, juga pesawat dan alat-alat tempur, membutuhkan strategi jangka panjang yang harus konsisten dari masa ke masa.

Bukankah hancurnya IPTN juga karena kita tidak konsisten dan mudah menghancurkannya dalam semalam? Kita cuma berharap mobilmobil itu dibangun dengan semangat industri yang serius, bukan sekadar jadi laboratorium murid SMK yang lagi praktikum.Sebab membangun industri bukan membangun pabrik. Skalanya harus diperhitungkan masak-masak.

Biasanya ketika lagi asyik, negeri penghasil tambang energi terbesar di dunia seperti Indonesia suka membuat sesuatu at all cost. Setahu saya automotif itu butuh pasar dan skala usaha yang besar.Maka produksinya tak bisa encrut-encrut, seekorseekor seperti memberanakkan kambing.Automotif perlu skala ekonomis yang besar.Sementara di televisi, Kepala SMK bilang sudah ada pesanan yang lumayan. Berapa Pak Guru? Sepuluh unit. Ini tentu jauh panggang dari api.

Membangun industri membutuhkan jaringan yang lebih besar dari sekadar membuat gedung lab dan praktik membuat mobil. Esemka perlu mengangkat jaringan dealer, lengkap dengan pasokan spare partsdan bengkel yang luas.Belum lagi lab riset yang membutuhkan alat-alat uji dan teknologi berbasiskan pengetahuan.

Entahlah kalau ini juga merupakan identitas lokal kita: bisa bikin mobil dengan cara baru,tak perlu skala ekonomis, apalagi cara berpikir industri. Omzet satu dua miliar sudah bisa hidup.Siapa tahu itu maksudnya. Artinya mereka benarbenar pembaharu industri alias the super-cracker dalam The Cracking Zone. Siapa tahu itu maksudnya begitu …

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Prospek Bisnis Paradox 2012: Antara Lexus dan Minyak Kayu Putih - Jawapos 1 Januari 2012

Saya sedang berada di atas kepulauan Maluku Utara, saat pesawat yang mengangkut sekitar 50 orang penumpang miring ke kiri menghadap matahari yang baru saja terbit.  Di sebelah saya duduk anak muda asal Pomalaa, Kolaka, yang dari tadi ribut dengan pramugari yang mempersoalkan tivi datar yang harus ditaruh di kabin belakang.  Ia bersikukuh menggenggamnya erat-erat di pangkuannya kendati dilarang.  Ia ingin membekapnya  seperti ibu yang memeluk tas kulit berlogo LV di pangkuannya.

            Dari obrolan dengannya,  Ia mengatakan tivi  adalah satu-satunya hiburan untuk mengatasi suntuk di tambang.  Dari ketinggian ia menunjuk gundukan tanah merah pada bukit-bukit gundul di Pulau Halmahera --yang isi perutnya sudah dikorek, diangkut dengan kapal ke sebuah pelabuhan di China – sebagai kamp kerjanya bersama dengan beberapa pekerja asing.

            Di Buli, saya menyaksikan alam yang kaya namun miskin infrastruktur. Lubang sedalam 60 sentimeter, jembatan rapuh, dan hanya jadi mulus kalau diperbaiki perusahaan.  Pemda seakan tertidur.  Di balai desa, Saya disambut beberapa orang pria berwajah kumuh, mirip preman terminal bus Wonokromo.  Di sana saya diminta mengajarkan cara ”naik kelas” pada sekitar 30 orang pemilik warung, petani sagu, dan pengusaha minyak goreng.  Ada rasa was-was mengajar di balai desa yang mesin  dieselnya berbunyi keras sementara pesertanya berwajah sangar dan jauh dari sentuhan pengetahuan.  Namun alhamdulilah, mereka ternyata baik hati, rindu kesejahteraan, dan punya selera humor yang tinggi apalagi setelah saya katakan wajah mereka seperti preman.

            Di sebuah Hotel di Sulawesi Tenggara yang menghadap ke laut, saya juga menemui pemandangan serupa.  Beberapa pegawai tambang bercakap-cakap dengan pria India pemburu Kakao dan nikel.  Yang satu bergelang emas, yang satu memegang Ipad yang sayang sekali tak bisa mengakses data.
Di Berau Kalimantan Timur, setelah berebut naik ke atas pesawat kecil, dari udara saya juga melihat areal tambang bertanah merah pada bukit-bukit yang gundul.  Di dalam pesawat saya bertemu orang Malaysia dan China yang bicara soal geologi batuan.  Namun begitu mendarat saya menyaksikan sebuah ambulans kumuh yang mengakut orangtua yang tengah sekarat, dengan tabung infus yang sejak tiga jam lalu mengharapkan bantuan agar bisa diangkut dengan pesawat ke rumahsakit pada kota terdekat.
Lexus and Olive Tree

            Beberapa tahun yang lalu, jurnalis senior Thomas L Friedman menulis buku Lexus and the Olive Tree yang pada awal abad ini menjadi buku bacaan wajib di program doktoral ilmu manajemen FEUI.  Ia mengatakan, dunia baru yang ditandai oleh globalisasi selalu ditandai oleh pertarungan dua kepentingan, yaitu antara mereka yang mengejar kekayaan (the Lexus) dan mereka yang masih bertempur mempertahankan identitas lama (pohon zaitun, the Olive).  Friedman melukiskan globalisasi dari pengalamannya menikmati sushi di atas kereta api secepat peluru di Jepang, sementara bacaannya adalah konflik tiada akhir di Timur Tengah. Konflik yang mempertahankan old identity, seperti petani di Mesuji, atau petambang di Bima dan para pemburu yang kehilangan lahan di Papua dan Kalimantan.

            Untuk konteks Indonesia, kita ganti saja pohon zaitun itu dengan Minyak Kayu Putih yang tumbuh alami di Pulau Buru.  Seperti itulah mungkin pertarungan yang tengah dialami bangsa ini.  Dalam satu keranjang persoalan kita mempersoalkan subsidi untuk petani yang hanya dinikmati pabrik pupuk dan petinggi partai, namun membanggakan eksport kekayaan alam besar-besaran dengan pertumbuhan yang mengesankan.

Di atas tanah yang kaya ini, kita tak menyaksikan pemandangan berbeda dengan yang sehari-hari tampak di lembah Yerikho tak jauh dari Yerusalem yang saya lihat akhir tahun lalu.  Orang-orang tua berjanggut panjang dengan wajah bersahaja menunggang seekor keledai sambil menarik gerobak berisi buah tomat segar.  Sementara lima kilometer di sebelahnya, di Yerusalem, kelompok Yahudi kaya dengan janggut yang tak kalah panjang, dengan jas dan topi hitam menjulang tinggi menenteng istri mengenakan gaun dari bahan fur yang sangat mahal, yang tengah hamil sambil membawa buku matematika dan sebuah biola.
Pemandangan serupa saya saksikan di China sepuluh tahun yang lalu, atau di kota Namlea – Pulau Buru yang memiliki masjid dengan kubah biru muda yang begitu indah di kantor Bupati, namun penuh kemiskinan di tanah Wailo tak jauh dari ribuan hektar pematang sawah Savana Jaya yang dulu dibangun para tapol.  Di kota, para pejabat menggenggam ponsel terbaru dan asyik mengkoleksi mobil Pajero.  Sedangkan pada jarak kurang dari 1 jam bersepeda motor dari Namlea saya menemukan tak satupun penduduk aseli yang memiliki pacul untuk berkebun coklat.   Penduduk aseli masih menenteng parang dan beberapa bilah anak panah dengan ribuan ekor sapi yang kurang perhatian.

Indonesia di awal abad 21 tak ubahnya dengan Israel di awal abad ini, atau China sepuluh tahun yang lalu. Keduanya sudah dikenal sebagai bangsa yang hebat dan kita berharap Indonesia pun menyusul.  Dalam mengejar itu, kita tengah bergulat antara mempertahankan identitas dan nilai-nilai lama yang mulai luntur kebaikan, dengan nilai-nilai baru yang datang terlalu keras dengan semangat kompetisi dan teknologi digital, dan ingin cepat kaya.

Kata Friedman, di era yang berubah cepat dan sarat kebohongan serta nilai-nilai yang buruk ini, para pemimpin besar hanya diberi sedikit pilihan, yaitu bagaimana membangun keluhuran dari identitas lokalnya dengan memahami secara mendalam makna dari globalisasi.  Katanya,  "if you can't see the world, and you can't see the interactions that are shaping the world, you surely cannot strategize about the world." Makanya banyak bangsa sulit keluar dari perangkap kemiskinan.  Mereka hanya bergerak-gerak saja, berselancar dalam peta ekonomi macro yang jauh dari geliat rakyat.
Macro economy yang jauh dari peta kemiskinan riil, ditambah bergerak tanpa filosofi strategi hanya membuat bangsa-bangsa besar jalan di tempat.  Ia menandaskan, "you need a strategy for how to choose prosperity for your country or company."  Dan ini diaminkan oleh guru besar ilmu Strategi Pankaj Ghemawat yang beberapa waktu lalu datag ke sini.  Ia mengatakan Indonesia harus think BIG, Boosting Indonesia Growth.  Dan untuk mem-boosting growth itu, kata Michael Porter (Harvard), Indonesia butuh banyak perusahaan dengan sophisticated management.

            Apakah main keduk sumberdaya alam, atau kalau jadi wirausaha muda hanya hanya asyik bermain di kuliner dan gemar mewaralabakannya sebelum untung (syarat 5 tahun operasi, produk unik, merek kuat dan sudah untung tak dipenuhi) juga mencerminkan dari keengganan membangun company with a sophisticated management?


Pengambil dan Penghindar Resiko
            Dalam situasi yang bertempur antara the lexus and the olive di sini, tanggal 15 Desember lalu Indonesia mendapat oleh-oleh yang diantar oleh Fitch Ratings yang anda sudah derngar semua apa adanya.  Dalam situasi itu, lagi-lagi kita berhadapan dengan proses globalisasi yang menakutkan sebagian orang namun tak bisa dihindarkan.  Banyak orang gembira karena ini berarti Indonesia telah keluar dari satus “junk bonds” (alias surat hutang beresiko tinggi, non investment grade, menjadi investment grade.
            Namun siapakah sesungguhnya yang datang bermain dalam sector keuangan dan investasi di sini dengan berpatokan pada rating global terbitan Fitch, S&P atau Moody’s?  Saya kira jelas, mereka adalah para penghindar resiko yang tidak mencari margin yang besar.  Cukup moderat saja, yang pasti aman.  Padahal di sisi lain, lebih dari 10 tahun, investor yang datang ke Indonesia dan turut membentuk DNA bangsa ini adalah investor pengambil resiko.  Mereka inilah yang telah membuat kita hidup dalam paradox: explorasi-exploitasi, uang panas-governance, tumbuh cepat-prudent, profit-control,  sustainability sekaligus merusak alam.

            Dalam situasi seperti ini, pantas kalau banyak orang yang merasa confused. Indonesia ini sedang menjadi kaya, atau sedang menjadi miskin?  Bapak Soa di Wailo Pulau Buru mengatakan penduduknya punya kebun lima hektar, pohon kakao 300, sapi tigapuluh ekor, namun anak-anak mereka tak bisa bersekolah dan kalau sakit cepat mati.  Bagi The Fitch harta sebanyak itu mungkin berarti kaya, tapi bagi Bapak Soa, itu berarti miskin.

            Demikianlah paradox ekonomi, saat rating the Fitch diumumkan, banyak orang senang, tapi wirausahawan sejati berpikir lain.  Rating itu bisa berarti aset semakin mahal di sini.  Di atas pesawat Garuda yang membawa saya dari Jayapura ke Sorong, duduk seorang pengusaha nasional yang menguasai bisnis di Indonesia Timur.  Kala sebagian besar politisi marah karena Papua diabaikan, ia justru melihatnya sebagai peluang.  ”Ini saatnya membeli pesawat kecil di Eropa, bukan beli dari sini.  Saat di sana dilanda krisis kapal-kapal di Eropa dilego seperempat dari harga normal,” ujarnya.
            Ia pun membeli sebelas pesawat untuk bisnis logistik di Timur.  Kata pedagang ponsel di Jayapura, dua tahun yang lalu mereka diberi tips seratus ribu rupiah untuk menyeeting setiap ponsel yang dibeli pelanggannya.  Kini tips nya bisa dua juta rupiah.  ”Mencari uang limaratus ribu rupiah di Jayapura itu biasa sehari-hari,” ujarnya.  Tetapi orang Papua juga hidup dalam paradox, ”Tak punya uang tidur di kamar di atas kasur, punya uang tidur digot bersama miras.”

            Jadi apa artinya rating global kalau tak pandai mengambil posisi? Makanya, jangan duduk diam di belakang kursi bertingkah seperti juragan tua atau ambtenar.  Datang-kunjungi-bicara-dengarkan- ambil posisi dan lakukan secepat kilat di lapangan.  Tapi kalau mau selamat, jangan kubur nilai-nilai luhur untuk hadapi tahun-tahun yang paradox.  Hanya orang yang berhati bersihlah yang bisa melihat kebenaran.  Ayo bangun!


Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia