Laman

Rabu, 29 Februari 2012

Dilema Proyek - Jawapos 27 Februari 2012

Menembus hutan alang-alang setinggi hampir dua meter, saya dan Team Rumah Perubahan baru saja meninggalkan air terjun Metar di Kabupaten Buru Utara.  Tumpahan airnya tak begitu tinggi, hanya sekitar 15 meter.  Namun volume airnya lumayan buat memutar turbin.  Menurut rekan saya, Eddy Permadi, dengan debit air 100 liter per detik itu, kalau ditarik pipa ke desa terdekat bisa dipakai untuk membuat listrik sekitar 12.000 watt.

Kami menembus belantara dan melewati sungai berair jernih yang masih dipenuhi batu-batuan besar, ditemani tetua adat desa Mettar dan Weflan.  Di beberapa titik kami masih menemui kayu-kayu besar yang dulu pernah dijarah oleh para pemegang HPH.  Medannya lumayan berat, namun hutannya telah kembali hidup.  Di beberapa sudut kami menemukan luapan air panas yang menyembur dari perut bumi.

Air terjun Mettar jauh lebih menarik bila dibandingkan dengan aliran lain yang  ditemui di desa Kobalahin.  Penebangan hutan besar-besaran di desa ini telah mengurangi debit air secara signifikan.  Berjalan sejauh 4 kilometer menembus sungai dan bebatuan besar, kami harus kecewa karena air terjun yang menurut tetua adat mengalir cukup deras kini telah jauh berkurang.  Bahkan jeram setinggi beberapa meter yang dulu dilihat para tetua adat, kini telah hilang dipahat para penjarah kayu untuk mendorong kayu ke hilir. Entah kemana perusahaan yang tak bertanggungjawab itu pergi, yang jelas mereka telah menimbulkan sejuta kerusakan.

Listrik Masuk Desa
Mendengar  hitung-hitungan daya listrik yang dihasilkan  di Weflan, saya sempat berkecil hati.  Ia hanya mampu menghadirlkan listrik sebesar enam ratus watt. Padahal ia harus menarik pipa sepanjang 700 meter, biayanya besar sekali.  Ratusan KK sangat berharap listrik segera bisa mengalir.  Eddy Permadi, pakar teknologi mikro hidro membesarkan hati saya.  "Dua ratus watt terdengar kecil bagi kita yang biasa mendapatkan ribuan watt, tapi bagi orang yang biasa hidup dalam gelap, lima watt sudah berarti sesuatu."
Raja Wayapo, Manaliling Besan mengatakan begini:  "Kami ini tidak minta, kami siap bayar.  Walapun dulu kami kasih pada negara tanpa syarat, tanah untuk transmigran, yang seharusnya tidak disertifikatkan kini telah disertifikatkan oleh para penerus.  Tapi jalan saja rusak, listrik kami tak diberi, " ujarnya.

Transmigrasi di Pulau Buru telah berkembang pesat.  Merekalah yang menjadi motor penggerak ekonomi pertanian pulau Buru. Bahkan pendapatan perkapita mereka telah jauh di atas rata-rata orang Buru. Namun kesejahteraan yang timpang ini kelak akan menjadi persoalan besar kalau oal listrik dan jalan saja tak bisa diatasi.  Di setiap rumah saya melihat panel-panel tenaga surya yang dibangun pemerintah dua tahun terakhir ini.  Sayang pendekatan yang diambil pemerintah adalah pendekatan proyek: yang penting poyek selesai.

Tenaga surya adalah sumber daya yang bagus, bersahabat pada lingkungan dan menjadi solusi kalau pemerintah tak menggunakan cara-cara proyek. Mengapa demikian?
Mudah sekali jawabnya. Seperti biasa, bagi rumah tangga, listrik sangat dibutuhkan untuk penerangan di malam hari. Nah, tenaga surya memerlukan energy penyimpan untuk malam hari, saat matahari tak bersinar.  Apa yang harus digunakan?  Di Jepang, keluarga-keluarga petani menggunakan gabungan listrik dan tenaga surya, sedangkan "proyek-proyek" pemerintah memakai aki mobil.

Di desa Metar, panel-panel itu sekarang tingal menjadi mahkota rumah tanpa fungsi karena aki mobil sudah rusak.  Usianya hanya bertahan 6 bulan.  Untuk mengganti aki 80 amper diperlukan biaya sekitar 1 juta rupiah.  Di desa lain, akinya dibuat sentral, yang terdiri dai aki ukuran besar yang sulit didapat.  Bagi orang kampung di desa Mettar, uang sebesar itu terasa besar. Kalau tak punya listrik bagaimana mungkin anak desa memiliki cita-cita menjadi dokter? Belajar saja tak bisa.  Jadi untuk apa proyek pengadaan listrik masuk desa, atau listrik tenaga surya yang dikejar pemerintah untuk memperbaiki tingkat elektrifikasi ini?  Siapa yang harus bertanggungjawab? Kementrian ESDM atau para aparat dinas ESDM di lingkungan pemda?

Saya tak tahu persis.  Yang saya tahu, pendekatan proyek tidak selamanya memberikan solusi terbaik bagi bangsa ini.  Kecuali proyek itu dibuat berkelanjutan, artinya, setiap enam bulan harus ada yang memelihara, melakukan pengecekan di lapangan, peningkatan kualitas, koreksi dan seterusnya.  Artinya, ya jangan jadi proyek. Jadi program berkelanjutan saja.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Minggu, 26 Februari 2012

Tertidur di Tanjakan - Jawapos 20 Februari 2012

Di tanjakan (seperti judul kolom saya dua minggu lalu), ternyata banyak orang yang tertidur. Orang-orang yang terpekur, terlena dalam padatnya antrean. Sementara satu-dua orang melesat dari bahu jalan dengan lampu darurat.

Yang melesat adalah orang-orang yang “sadar”, yang tidak terlena dalam “business as usual.” Ciri-cirinya mudah diamati: Sibuk dan inderanya aktif. Ngeh. Sementara yang terjebak dalam antrean terlihat diam, asyik ngobrol, menguap, dan sungguh tenang.

Di Jogya saya melihat anak-anak muda yang sibuk menyalib bisnis para senior mereka yang sudah lebih dulu ada di tanjakan. Jogist misalnya, sibuk menyalib Dagadu yang sudah ada di tanjakan. Lalu Kalimilk juga sibuk melesat melewati kedai-kedai kopi yang marak lima tahun terakhir. Menunya serba susu yang diperah di kaki gunung Merapi: Kaliurang. Selain mereka ada ratusan usaha serupa yang dijalankan orang muda yang mulai menyusahkan orang-orangtua.

Fenomena ini bukan hanya ada di Jogya , melainkan juga ada di Surabaya, Bandung, Malang, Solo, Semarang, Padang, Medan, makassar, dan seterusnya.

Bekerja dengan Priotitas
Apa yang dilakukan orang-orang sibuk?
“Saya hanya mengembalikan prinsip-prinsip bisnis dan bekerja dengan prioritas” Ujar seorang pemimpin rumah sakit daerah milik pemerintah. Dari situ dia melihat banyak dokter yang tertidur, bekerja “as usual”
Banyak dokter yang tidak sadar bahwa pasien-pasien miskin (Gakin) di era tanjakan ini (baca: ekonomi yang tumbuh) menjadi sumber penghasilan yang penting. Maaf, bukan berarti orang miskin dibisniskan, tetapi justru harus dilayani lebih baik, lebih manusiawi. Fakta-fakta yang saya lihat di lapangan, sumber penghasilan terbesar RSUD memang dari segmen gakin yang dananya ditanggung pemerintah.
Seorang dokter yang memimpin RSUD mengatakan, sejak sistem administrasi RSUDnya diperbaiki, setiap bulan bisa menerima revenue diatas lima milliar rupiah. “Maka dokter di RSUDnya bisa mendapatkan variabel income antara 10 sampai 120 juta rupiah perbulan,” Ujarnya.

Tetapi, maaf, sebagian dokter masih tertidur. Cara melayaninya masih cara lama: datang terlambat dan lebih mengutamakan pasien di klinik swasta yang melayani segmen premium, kurang telaten bekerja dalam team, dan kurang tertantang mempelajari teknologi terbaru.  Padahal di RSUD, segala teknologi kesehatan terbaru tinggal masukkan saja ke dalam anggaran. Dan faktanya, banyak RSUD yang sudah punya peralatan yang lebih maju daripada klinik swasta.

Pasien gakin memang tak banyak bicara, kurang pengetahuan, wajar kalau tidak begitu demanding (banyak menuntut). “Voice of nature” mereka yang  diam sering tak tertangkap orang yang tertidur.
Dokter ini melanjutkan, “selama bertahun-tahun kamar jenazah adalah bisnis yang rugi di RSUD. Padahal di kamar jenazah keluarga pasien yang meninggal dunia tak berani berbohong atau berhutang, dan tak ada kamar jenazah di rumah sakit swasta yang merugi. Ternyata di RSUD, ruginya bukan karena keluarga pasien tak  bisa membayar, melainkan bocor dimana-mana seperti uang parkir dan billboard yang banyak menguap di pemda DKI.”

Setelah membenahi di sana-sini ia berefleksi begini: “Jadi pendahulu saya kerjanya apa ya? Kok semua lini rusak?” Saya katakan, begitulah orang-orang yang terlena di tanjakan: Keenakan, sudah nyaman, dan terlena. Bahasa kerennya: Comfort Zone.  Pembaca, sungguh di Rumah Perubahan saya banyak didatangi CEO-CEO yang sibuk berbenah, tapi saya bertemu lebih banyak lagi orang yang tertidur dan “sulit dibangunkan”.  Mengambil keputusan untuk bangun saja kok sulit.

Sebenarnya untuk bangun tidaklah sulit. Buat saja diri anda sibuk. Kata pepatah Arab, “kalau ada amanah, titipkanlah pada orang-orang sibuk.” Dulu, saya tidak begitu percaya dengan petuah ini, tetapi sekarang saya jadi mengerti, sebab orang-orang sibuk itu bekerja dengan awareness yang penuh, inderanya aktif menangkap voive of nature (suara alam) dan kata sahabat saya yang sibuk, “orang yang sibuk tahu mengatur prioritas.”

Perhatikan jugalah orang-orang tua yang sudah pensiun dan tak punya banyak kegiatan: cepat pikun dan sakit-sakitan. Sementara yang cerdik justru kuliah lagi, belajar bahasa asing yang belum pernah dipelajari, terlibat dalam aktivitas sosial dan seterusnya. Untuk apa? Untuk menangkap suara-suara alam, dan membuatnya tidak pikun.

Beberapa tahun yang lalu saya pernah membantu sebuah perusahaan keluarga yang lama tertidur.  Sekarang perusahaan ini tumbuh menjadi besar dan DNA nya berubah total.  Padahal dulu top leadernya saja harus diimpor dari luar.  Sekarang anak-anak muda sudah jadi direktur.  Apa rahasianya?  Kita buat semua manager sibuk, dan manager harus bisa memberikan pelatihan kepada bawahannya. Mereka dibangunkan untuk membangunkan orang lain.  Bukankah orang tidur tak bisa membangunkan orang tidur?

Ayo bangun dan bangunkan anak-anak buah Anda. Bukakan mata mereka, buka telinganya, buatlah agar mereka bisa membaca yang tak terlihat, mendengar yang tak berbunyi. Gerakkan tangan dan kakinya agar melangkah dan peduli. Kata Bunda Theresa, kalau yang terlihat saja tak bisa Anda lihat, apalagi yang tak terlihat? Kalau tak terlihat bagaimana bisa peduli dan tergerak? Di tanjakan, kalau tak bergerak artinya Anda terperangkap

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Rabu, 22 Februari 2012

Man Jadda Wajada - Sindo 23 Februari 2012

Ustadz Salman memasuki ruang kelas. Ia membawa sebilah pedang yang sudah berkarat dan sebatang bambu. Senyum seorang guru menyeringai dari bibirnya yang terlihat bersahabat.

Di depan santri-santri baru yang datang dari berbagai pelosok Indonesia di sebuah pesantren besar di Ponorogo, ia berujar: “Man jadda wajada!” Kelak kata-kata itu identik dengan Alif,eh,Achmad Fuady, penulis buku Negeri 5 Menara yang kini menjadi inspirasi kaum muda Indonesia. Ustaz Salman menjajal pedang tumpul itu untuk memotong bambu.Berat! Sulit! Tapi ia berupaya terus kendati keringat mulai mengucur.Ruang kelas riuh oleh bunyi bambu yang dipancung paksa oleh pedang majal yang harus dibanting-banting berkali-kali ke lantai, sampai akhirnya bambu terpotong dan santri-santri polos terkesima. Ia berteriak, “Man jadda wajada! Sesuatu yang dilakukan bersungguh-sungguh dapat menjadi kenyataan.”


Membebaskan Belenggu 

Adegan itu saya saksikan dalam pemutaran perdana film inspiratif Negeri 5 Menara yang diangkat dari novel Ahmad Fuadi itu pada hari Selasa (21/2) kemarin. Saya datang ke Gedung XXI-FX Plaza dengan guru-guru PAUD dan taman kanak-kanak asuhan istri saya di Rumah Perubahan. Bagi guru-guru yang biasa mengajar anak-anak kampung, film ini seperti sebuah pelepasan.

Bagi anak-anak kampung, menjelajahi menara-menara dunia adalah sebuah keniscayaan. Tak usah dari Danau Maninjau (tempat asal Alif) ke Ponorogo di Jawa Timur, dari Bekasi ke Monas saja, bagi sebagian anak-anak, adalah suatu keniscayaan. Selain saya, pemutaran perdana itu dihadiri para guru. Apa yang bisa dipelajari para guru dari film ini? Tentu saja setiap orang bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda- beda. Namun dari guru-guru yang ikut bersama saya didapatkan jawaban ini: “Bukan matematika atau sains, juga bukan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, melainkan rasa percaya dirilah yang membawa manusia menemukan menara-menara kehidupannya.

” Saya masih bingung, tetapi akhirnya mereka menjelaskan bahwa masalah terbesar yang dihadapi tunas-tunas bangsa adalah kuatnya belenggu “tidak bisa”dan belenggu “bukan hak saya” yang begitu kuat. Ini belum termasuk belenggu-belenggu karakter seperti mudah terprovokasi, pendendam, merasa benar sendiri, dan seterusnya. Anak-anak tukang ojek atau anak tukang bubur kacang hijau yang orang tuanya harus berkeliling kampung mengumpulkan seribu demi seribu rupiah dengan penuh kesulitan memiliki cara berpikir yang sama seperti burung-burung dara yang sayapnya dijahit supaya tidak bisa terbang jauh.

Dengan sayap-sayap yang terikat itu, mereka tak bisa terbang jauh mengelilingi dunia, apalagi membangun menara-menara bagi kehidupan mereka sendiri. Ustaz Salman membuka kelasnya bukan dengan dogma, teori atau rumus,melainkan dengan pedang tumpul dan berkarat serta sebatang bambu tua yang keras. Yang ia tanamkan adalah sebuah keyakinan positif, meretas belenggu-belenggu virtual yang ada di tiap kepala anak-anak.

Ya, itulah belenggu yang tumbuh menjadi keyakinan kolektif. Itulah masalah besar yang selama ini kita abaikan. Kita beranggapan seolaholah semua tidak ada. Atau bahkan kita berpandangan dengan rumus-rumus sains semua bisa dilupakan? Kalau kita mengabaikannya, kita hanya menciptakan benda-benda tak bergerak. Sama seperti sayap burung yang dijahit.

Sederhanakanlah! 

Bagi sebagian guru Indonesia, berlaku adagium, “more is better than less”atau lebih jelasnya “the heavier the better”. Semakin banyak subjek yang diberikan, semakin sulit, semakin takut berarti semakin bagus. Semakin berat pelajaran yang bisa diberikan semakin hebat dirasakan.Asumsi murid pandai bisa mengerjakan rumus- rumus yang berat menjalar ke mana-mana. Dari fisika dan matematika, melebar ke bahasa Inggris dan sejarah. Semua pelajaran ilmu sosial diajarkan dalam bentuk rumus, bukan dalam bentuk pemecahan masalah.

Akibatnya pun begitu luas, kita menyaksikan pemimpin yang tak mampu menggunakan ilmunya dengan baik kendati mereka semua hafal rumusnya. Kita juga menyaksikan pemimpin-pemimpin yang takut dan tak tahu bagaimana caranya membuat keputusan. Mereka hanya bisa mengomentari keputusan orang lain, seakan-akan lebih mengerti dan lebih berpengetahuan. Namun saat diberi kekuasaan, ternyata sama saja.

Bagaimana cara Negeri 5 Menara? Film Negeri 5 Menara menunjukkan ada hal lain yang dibutuhkan anak-anak yang kini melanglang buana dengan prestasi masing-masing, yaitu pentingnya peran guru sebagai pembuka “jahitan”yang membelenggu anak-anak didiknya. Membuka belenggu berarti menyederhanakan banyak hal. Anda tak mungkin membuka belenggu sambil menanamkan belenggu-belenggu lain yang lebih besar.

Anda perlu memilih: mengikat kaki mereka sehingga tak bisa lari atau membukakannya agar mereka bisa melanglang buana. Sudah barang tentu jumlah mata ajaran dan cara mengajar di negeri ini harus diubah,diremajakan, dan disederhanakan. Bukankah sekolah diperlukan untuk manusia dan bukan sebaliknya?

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia

Kamis, 16 Februari 2012

BJB - Sindo 16 Februari 2012

Tiga tokoh perubahan pekan lalu bertemu di pendopo kami di Rumah Perubahan. Ketiganya adalah CEO yang sama-sama dipercaya publik berhasil membawa perubahan. Yang pertama,CEO yang kini Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Kedua CEO Garuda Indonesia Emirsyah Satar, dan yang ketiga pemimpin baru Bank BJB Bien Subiantoro. Bien Subiantoro, mantan Direksi Bank BNI yang kini memimpin BJB,membawa sekitar 100 orang staf dan jajaran pemimpin Bank BJB untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang dia pimpin.

Mereka belajar dari para tokoh perubahan bagaimana menghadapi perubahan. Menurut Macquarie Equities Research pada laporan yang diterbitkan 2 Februari 2012, Bank BJB pantas mendapat perhatian. Bank ini,menurut Macquarie, telah memasuki tahapan baru: starting new chapter.

Bank Nasional

Seperti kebanyakan bank milik pemerintah daerah lain, Bank BJB juga mengalami pergulatan internal yang hebat. Namun beruntung BJB berhasil keluar dari dilema-dilema kedaerahan dalam sebuah pertarungan yang panjang. Terkurung dalam niche-nya yang sempit,bank-bank daerah seperti tak punya pilihan. Pemiliknya tak hanya gubernur, melainkan juga para bupati.

Selama bertahun-tahun bank daerah telah menikmati pasar yang captive, yaitu pemerintahan- pemerintahan daerah. Bank daerah adalah ibarat kasir bagi pemerintah provinsi dan kotamadya/kabupaten. Pegawai-pegawai pemda otomatis menerima gaji dan sekaligus menjadi nasabah bank daerah di wilayahnya. Bank Indonesia menginginkan bank-bank daerah menjadi local champion di wilayahnya masing-masing. Namun, sejalan dengan waktu, danadana milik pemerintah daerah ternyata juga diminati bankbank nasional dan bank-bank asing.

Nasabahnya juga demikian, menjadi sasaran empuk bank-bank swasta dan bank-bank nasional. Di lainpihakiklimdemokrasi dan pasar bebas telah membuat bank-bank daerah kesulitan mempertahankan teritorinya. Ada banyak kasus yang menunjukkan para bupati dan wali kotatidak100% setiapadabank miliknya. Bila Pak Wali Kota atau Pak Bupati tersinggung, kas daerah bisa dipindahkan seketika ke bank lain.

Namun bila masalah-masalah seperti itu tak ada, bank daerah menjadi terlalu nyaman. Anda bisa bayangkan masih banyak bank daerah yang warna kedaerahannya sangat kental. Maaf, bukan kental corak budayanya, melainkan kepentingan orang per orangnya. Artinya, mereka enggan mematuhi perintah hierarki. Rotasi karyawan menjadi sangat sulit karena masingmasing mempunyai hubungan dengan penguasa setempat.

Bukan hal yang luar biasa bila CEO bank daerah ditelepon bupati hanya karena soal pindahmemindahkan karyawan. Inilah suasana yang saya sebut sebagai “budaya kucing” dalam buku Cracking Zone. Dana mudah pindah tangan, karyawan sulit ditangani, dan produknya tidak jelas. Mungkin di daerah Anda, manajemen bank-bank daerah tidak seekstrem itu.Tetapi secara umum demikianlah pergulatan sekitar 12 orang CEO bank daerah yang “diimpor” para gubernur dan bupati dari bank-bank nasional untuk memajukan bank-bank daerah.

Sudahbegitu,paraCEOpunmasih harus berhadapan dengan persoalan governance yang meletihkan. Jadimereformasibank-bank daerah, menjadikannya regional champion, apalagi menjadikannya national champion bukanlah persoalan sederhana. Ke atas mentok,ke kiri tembok, ke kanan kawat berduri.Namun bukan CEO namanya kalau mereka mendiamkannya.

Mungkin BJB dapat menjadi sumber pembelajaran yang baik bagaimana bank asal daerah milik pemerintahan daerah berhasil keluar dari kusutnya semangat kedaerahan yang sempit,menjadi bank nasional yang kompetitif dan sehat. Bila pada akhir 2009 asetnya baru Rp32,41 triliun, kini sudah di atas Rp53 triliun.

Good Governance

Tentu saja semua kemajuan berasal dari adanya good governance.Menjadi kas daerah bukan berarti penguasa-penguasa daerah bebas memasukkan tangannya kepada operasional perbankan. Demikian pula bukan berarti eksekutif bebas semaunya memimpin. Namanya bank, tentu saja harus ditangani secara prudent. Maka sudah pasti bank daerah perlu bekerja keras mendapatkan CEO—dan tentu saja jajaran direksi yang solid dan bersih.

Dulu pemimpin-pemimpin daerah bebas memilih orang, sekarang pemerintah daerah “beruntung” karena mereka harus mendapat persetujuan bank sentral untuk mengangkat direksi. Direksi yang sudah diputuskan RUPS bisa saja tidak jadi terus bila Bank Indonesia menemukan catatan-catatan khusus tentang kandidat tersebut. Setelah itu CEO harus berani memutuskan ke mana banknya diarahkan.

Sudah pasti ia hanya punya dua pilihan: Mendiamkan hidup di masa lalu yang nyaman dengan “budaya kucing” atau keluar dari belenggu masa lalu dan menjadi “cheetah”yang siap berlaga di medan tempur. Yang pertama berarti tidak memerlukan perubahan. Strateginya cukup survival. Untuk yang kedua Anda butuh seorang cracker yang tidak mendiamkannya.

Strateginya: menjadi champion,pemenang! KalauAnda menjadi cracker sudah pasti akan berhadapan dengan dua atau tiga pihak. Pertama Anda akan berhadapan dengan para “kucing” yang ingin mempertahankan comfort zone.Kedua,Anda akan berhadapan dengan dewan komisaris yang juga ingin mempertahankan ketenangan. Ketiga, Anda akan dikutuk pemain- pemain nasional yang siap menerkam pasar Anda.

Nah,bagaimana BJB keluar dari belenggu-belenggu itu? Ceritanya begitu panjang. Dimulai dari CEO terdahulu, Agus Ruswendi,yang meletakkan dasar-dasar agar BJB beralih menjadi bank nasional yang mandiri. Melalui pergulatan yang panjang ia berhasil menjadikan BJB perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sejak itu perubahan terus digulirkan. Change management office dibentuk untuk mempercepat transformasi. Seluruh jajaran pemimpin dibekali teknik change management.

Di era Bien Subiantoro, gerak BJB menjadi lebih solid lagi. Ia memperbarui jaringan dan teknologi informasi bank ini, memperbaiki business process, dan pelayanan.Seperti pada beberapa perusahaan lain yang saya ikuti, BJB memulainya dari “people”. Kompetensi budaya kerja diperbarui. Kemarin saya mengatakan pada para pemimpin BJB bahwa kini suasana baru telah terbentuk.

Bila dua tahun lalu “loading”orang-orangnya agak lambat, kini jauh lebih cepat. Mereka pun tengah terlibat dalam breakthrough project yang strategis. Kita dapat menyaksikan sebuah babak baru telah hadir dari Bandung. Kini BJB telah menjadi aset nasional yang penting dan bank-bank daerah bisa belajar bagaimana transformasi dapat dijalankan dengan penuh semangat. Kalau BJB bisa,apa iya yang lain tidak bisa? ●

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia

Growth Mindset - Jawapos 13 Februari 2012

   Hari Sabtu kemarin, sekitar seribu orang mengikuti yudisium di FEUI. Mereka terdiri dari lulusan S1, S2, dan S3. Diantaranya ada 40 anak didik saya di MMUI yang lulus dengan prestasi cum-laude, dan dua diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4.0). Bahkan salah satu yang lulus dengan IPK sempurna itu (keduanya perempuan), berusia paling muda (21,5 tahun).
            Tetapi sepulang dari acara yudisium saya menerima sebuah release terbaru yang dikeluarkan oleh FBI tentang latar belakang dan perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan almarhum Steve Jobs. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis oleh analis yang terkesan tidak senang terhadap almarhum (wajar karena menurut orang dalam Apple, petugas FBI  yang ditugaskan melakukan wawancara, dibuat Jobs harus menunggu selama 3 jam sebelum diterima). Namun demikian, penulisnya mencoba memberikan  data-data objektif sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas.
            “Meski terkenal, ia ternyata hanya punya indeks prestasi kumulatif 2,65 pada saat duduk di tingkat SLTA”, ujar laporan itu. Angka ini jelas objektif dan bukan diambil dari pikiran penulis. Kalau Anda membaca report ini jauh sebelum Jobs dikenal, mungkin Anda termasuk orang yang menilai orang ini tidak cerdas.  Tetapi karena  kita membacanya sekarang, paling Anda mengatakan apa urusannya IPK dengan karya yang telah dibangun seseorang.  Bukankah impak jauh lebih penting daripada paper dan IPK?
            Seperti yang pernah saya tulis pada kolom di Jawa Pos setahun yang lalu, manusia memiliki dua jenis mindset, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki settingan pikiran tetap (fixed mindset) cenderung sangat mementingkan ijazah dan gelar sekolah, sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset) tetap menganggap dirinya "bodoh". Baginya ijazah dan IPK hanya merupakan langkah kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impak: apa yang bisa Anda diberikan atau dilahirkan.  Maka kepada mereka yang pernah belajar dengan saya selalu saya tegaskan, pintar itu bagus, tetapi impak jauh lebih penting.  Celakanya universitas banyak dikuasai orang-orang yang bermental ijazah dan asal sekolah sehingga mereka terkurung dalam penjara yang mereka set sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka impak itu sama dengan paper, atau kertas karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan atau tidak.

Kualitas Intake
             Jadi, di akhir pekan kemarin pikiran saya terbagi dua. Di satu pihak saya senang memiliki anak-anak yang cerdas, namun di lain pihak saya gelisah kalau mereka yang ber IPK tinggi itu produk settingan tetap. IPK tinggi tetapi terlalu membanggakan jejak sejarah: ijazah.
            Karakter orang-orang dengan settingan tetap itu, menurut Carol Dweck, antara lain adalah menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras sia-sia, tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif) dan bila ada orang lain yang lebih hebat darinya maka ia sangat sinis dan menganggap mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti ini biasanya menjadi arogan dan sering membanggakan “apa yang sudah ia capai”. Prestasi akademik di masa lalu bisa menjadi pemicunya.
            Padahal kita semua butuh orang pintar. Bahkan, di sebuah sekolah perempuan saya membaca kalimat ini : Beauty is nothing without brain. Benar, cantik saja tidak berarti apa-apa, bila tidak cerdas. Tetapi studi yang dilakukan Dweck memberi jawaban yang melengkapi : pintar yang kita butuhkan adalah bukanlah pintar yang sudah selesai, melainkan yang di setting untuk tumbuh (growth mindset).
            Apa ciri-ciri mereka? Mereka itu merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa. Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras penting, menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya maka ia akan menjadikan orang itu sebagai tempat belajar.
            Orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran untuk direkrut. Maka di MMUI seperti juga di Harvard, kami tidak terlalu mengandalkan test-test tertulis sebagai segala-galanya. Nilai akademik masa lalu mereka boleh tinggi, tetapi kami dalami dalam wawancara yang dilakukan orang-orang berpengalaman. Dari situ kami sering mendapatkan insight, bahkan tidak jarang orang yang memiliki hasil tes yang tinggi terpaksa digugurkan karena mereka terlanjur terkunci dalam ruang gelap yang disetting tetap.
            Tetapi apalah artinya semua itu kalau kita tidak berani mengubah mereka? Itulah tugas kami sebagai pendidik merombak cara berpikir agar anak didik tumbuh, bukan sekedar mendapat ijazah. Jadi, ke 40 anak-anak muda yang lulus cum laude itu tentu masih ingat, bahwa musuh besar mereka adalah kebanggan yang berlebihan terhadap prestasi yang telah dicapai kemarin. Kedepan, Indonesia butuh lebih banyak manusia yang adaptif, bukan orang-orang kaku yang merasa pintar sendiri.
Untuk melahirkan manusia-manusia unggul diperlukan kualitas intake yang baik, disamping proses yang mampu menempa mereka menjadi insan yang tumbuh.  Maka proses seleksi menjadi sangat penting, di awal, di tengah dan di akhir.  Bila dulu saya gelisah memandang lulusan yang meraih gelar cum laude yang hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, sekarang saya bisa bernafas lega karena Dweck telah membukakan jalan bahwa hal ini bisa diatasi dengan settingan pikiran yang tepat.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Kamis, 09 Februari 2012

Kecanduan Minyak - Sindo 9 Februari 2012

Anda pernah melihat orang kecanduan, bukan? Bentuk kecanduan sangat luas. Dulu kita hanya menyebut zat-zat adiktif seperti nikotin,kafein,heroin,dan alkohol yang menyebabkan manusia ketagihan atau ketergantungan.

Tapi sekarang Andabisa menyaksikan 1.001 bentuk ketergantungan dan kecanduan. Judi, seks, gambar porno, makanan,belanja, dan bahkan korupsi bisa membuat manusia kecanduan dan ketagihan. Studi-studi dalam ilmu perilaku konsumen menemukan, untuk mengatasi kecemasannya,manusia bukan mengurangi konsumsi, melainkan menambah konsumsinya.

Maka manusia modern bukan hanya mengenal kata alkoholik, melainkan juga workaholic (kecanduan bekerja) dan shopaholic (kecanduan belanja). Daftar kecanduan pun meluas terus sejalan dengan perubahan teknologi dan kehidupan. Hanya dalam tempo beberapa hari pada 2012 kita mulai mendengar beberapa kejadian sekaligus.Cheryl Zerbe Taylor, misalnya, memperkenalkan istilah spiritual obsession addiction.

Dalam kajiannya,Taylor mencontohkan sebuah keluarga yangaktifberkumpuluntukberibadah dan menjadikan ibadah segala-galanya.Anak-anak yang ingin bermain dimarahi dengan keras dan ketika suaranya mulai mengganggu,anak itu disumpal dan dihukum.Orang-orang yang kecanduan ibadah lebih mengedepankan ritual daripada perbuatan baik.

Manusia yang addicted atau kecanduan apa pun tidak menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan orang lain, bahkan dapat merusak satu generasi yang di bawahnya. Kecanduan yang juga tengah ramai dibicarakan adalah internet.

Di era Cracking Zone ini, manusia Indonesia sudah mulai beralih dari kebiasaan menyeruput kopi dan teh menjadi berselancar di internet, membuka BlackBerry atau SMS, setiap kali matanya terbuka di pagi hari. Tapi pernahkah kita berpikir, bangsa Indonesia mulai kecanduan minyak?

Boros dan Berlebihan 
Dari literatur yang pernah saya dalami, diketahui kepuasan yang semula didapatkan lama-lama menjadi beban karena ia terus menagih dan sulit dihentikan selain mengonsumsinya lagi. Jadi konsumsi bukan dilakukan karena kebutuhan dasar, melainkan untuk kepuasan diri.

Lantas bagaimana efeknya? Manusia yang kecanduan dapat merusak diri dan keluarganya dan kalau tidak terpenuhi, mereka akan mencuri atau menipu untuk memenuhi kepuasannya. Orang-orang yang kecanduan pun kesulitan meniti kariernya karena menguras waktu.Tidak fokus dan tidak produktif. Membeli kerupuk dan sate yang lokasinya ada di sudut jalan saja harus memakai sepeda motor.

Padahal berjalan kaki saja bisa. Harusnya menuju lokasi beramai-ramai dalam satu kendaraan,tetapi kita memilih pergi sendiri-sendiri. Satu orang dibantu satu sopir dalam satu mobil. Kita protes kepada pemerintah yang tak menyediakan transportasi alternatif dengan baik, tetapi akhir pekan ketika jalan lapang pun kita tak menggunakan kendaraan umum yang kosong dan nyaman.

Di jalan raya, orang-orang yang kecanduan minyak sangat mudah disulut keributan. Orang begitu mudah membunyikan klakson kalau kepepet dan cenderung tak mau memberi jalan kepada orang lain yang lebih dulu berada di perempatan jalan.Dengan subsidi yang besar, orang yang kecanduan minyak gemar mengikuti rombongan besar dan ikut geng motor.

Tarik-tarikan sepeda motor melebar di berbagai kota membuat perilaku anak-anak muda berubah.Dari masjid di bulan puasa menjelang sahur, mereka tumpah di jalan raya kebut-kebutan. Takbir tak lagi riuh di masjid, tetapi pindah ke jalan raya. Dan seperti kecanduan heroin, orang yang tak bisa membeli kendaraan pun terlibat dalam kejahatan.Lihatlah statistik pencurian kendaraan bermotor terus naik.

Pada tahap pembelian saja penipuan sudah marak. Dealer kendaraan roda dua dan empat mulai mengeluh karena pegawainya hanya asyik melepas kendaraan dan mengabaikan kualitas pembayaran. Demikian pula angka kematian di jalan raya. Subsidi BBM yang tak terkendalikan telah membuat bangsa ini ketagihan minyak.

Diduga lebih dari 60% konsumsi BBM masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan, adalah subsidi untuk orangorang yang kecanduan minyak, bukan untuk nelayan atau petani. Jadi buat apa saling mengancam atau takut mengurangi subsidi minyak? Kalau subsidi dialihkan,mungkin akan lebih banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya.

Ekonomi Minyak 
Kenaikan harga minyak dunia memang sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari. Efeknya sangat luas, termasuk pada kenaikan harga pangan dunia.Ketakutan para pemimpin dunia terhadap kenaikan harga minyak diatasi dengan berbagai cara. Ada yang berani menghadapi realitas dengan mengurangi subsidi, tetapi ada juga yang menunda masalah.

Ada bangsa yang bergelut dalam riset untuk menemukan energi terbarukan, tetapi juga ada yang mendiamkannya. Dengan penduduk yang mendekati 7 miliar jiwa, mau tidak mau dunia sangat membutuhkan minyak. Dari berbagai sumber energi, saat ini fossil fuel mewakili 87% energi yang dikonsumsi manusia.

Akibatnya,minyak telah menjadi komoditas spekulatif. Ketakutan terhadap kelangkaannya mendorong harga naik terus, sementara nilai dolar Amerika Serikat (AS) pada dekade terakhir merosot lebih dari 40%. Produsen minyak menuntut dolar yang lebih banyak dari setiap barel yang mereka kapalkan.

Maka bila harganya pada awal tahun 2000 baru sekitar USD25, selanjutnya melejit menjadi di atas USD100 per barel pada beberapa tahun terakhir ini. Hal itu diperburuk oleh negara-negara penghasil minyak yang enggan menaikkan suplai. Negara-negara maju yang tak punya minyak tidak mau mengalami ketergantungan.

Mereka mengubah pangan menjadi energi. Pilihan jatuh pada jagung (bioetanol), tebu, sawit,biji bunga matahari,dan sebagainya. Di Amerika Serikat, 1/3 output pertanian telah dialihkan menjadi bahan bakar. Ini berakibat pasokan pangan dunia terganggu. Harga jagung saja diperkirakan telah meningkat di atas 73% sejak tahun 2007. Lantas siapakah yang bakal kesulitan dengan fenomena ini?

Pertama, kesulitan akan dialami oleh bangsa-bangsa yang kecanduan minyak,tetapi tak punya sumber daya alam yang memadai. Kedua, kesulitan akan dirasakan oleh negara-negara yang sektor pertaniannya tidak dikembangkan dengan baik.

Dan ketiga, bencana akan dirasakan oleh para penerus suatu bangsa yang tidak memiliki pemimpin yang berani memindahkan subsidi minyak kepada subsidi langsung kepada para petanipetaninya untuk menghasilkan pangan yang produktif.

 RHENALD KASALI
 Guru Besar Universitas Indonesia

Terkapar di Tanjakan - Jawapos 6 Februari 2012

Bisnis dan ekonomi sesungguhnya ibarat menyetir mobil. Diperlukan cara yang berbeda agar berjaya di tanjakan. Gas sedikit dipacu lebih dalam, tetapi gigi persneling dipasang pada posisi 1 atau 2. Seperti biasa tanjakan adalah pusat kemacetan.
Di jalan tol dalam kota Jakarta , setiap kali meninggalkan pusat kota dari arah bandara menuju Bekasi, kemacetan selalu ada pada jembatan-jembatan yang menyeberang perempatan seperti di Slipi, Kuningan, dan Pancoran. Di sana jalannya menanjak, dan saya perhatikan tak banyak pengemudi yang piawai menjaga kecepatannya. Hampir semua bergerak melambat, terkesima melewati tanjakan dan mengemudi dengan cara yang sama seperti mengemudi di jalan yang datar.
Demikianlah manusia Indonesia berbisnis dan menjalankan roda ekonomi. Ketika para ekonom dan pengamat menyampaikan ekonomi Indonesia tengah berjaya, kita justru bakal  menyaksikan ribuan pengusaha “terkapar” di tanjakan karena ulahnya sendiri.

Kurang Terampil
Saya tentu tidak sedang menakut-nakuti Anda, karena dasarnya saya adalah orang yang selalu optimis. Bagi saya di setiap keadaan selalu ada celah, yang berarti ada harapan. Saya pun nyaris tak pernah “stuck” di jalan tol, siap “kesasar” mencari jalan baru, bahkan berani membayar tarif tol untuk keluar – masuk. Sementara ribuan pengendara terlihat asyik dalam lamunannya bertahun-tahun melewati jalan yang sama, tak mau membayar kesulitan dengan kreativitas berpikir, atau keluar mencari jalan baru. Aneh ya? Di jalan tol kok malah macet. Dan Anda pun membiarkannya.

Seperti itulah kebanyakan pengusaha kita. Di jalan yang menanjak kok malah stuck,terkapar. Inilah realita indonesia di tengah pertumbuhan ekonomi yang dipuja-puja dunia. Kita harus akui, kita kurang terampil bermanuver di tanjakan. Kurang siap menjadi pengusaha besar.

Dua hari yang lalu saya diminta berbicara di depan Asosiasi Suplayer Matahari Department Store. Hari Darmawan, pendiri Matahari sejak zaman Belanda dulu, senior dan tetap sehat, masih aktif di assosiasi ini, kendati Matahari sudah bukan miliknya lagi. Mendengarkan seorang pembicara lain memaparkan data “How good Indonesia”, seorang pemasok besar berbisik: “Realitanya tidak seperti itu”.

Kami pun berdiskusi. Hari Darmawan mengatakan enam bulan terakhir ini retailer tengah kesulitan. Turun sekitar 30%, ujarnya. Hal ini dibenarkan oleh semua pemasok. Namun eksekutif puncak Matahari bilang begini: “Kami tidak mengalami penurunan, tetapi kami benar-benar harus bekerja sangat keras, melakukan banyak hal supaya tidak turun.”

Kompetisi di Tanjakan
Demikianlah pengusaha Indonesia di tanjakan. Sebagian besar terkapar, sebagian lagi bisa hidup normal dengan segala manuver agar tidak kesulitan, namun akan ada yang melesat mengambil bahu jalan dengan lampu hazard.

Pengusaha-pengusaha muda Indonesia yang belum berpengalaman juga akan banyak yang terkapar kalau berbisnis “as usual”. Apalagi bila berpikir enak, seakan-akan ekonomi bagus akan terbawa arus. Ekonomi Indonesia per Desember 2011 adalah ekonomi yang bagus, dengan peringkat rating kredit yang menggiurkan para investor asing, dengan cadangan devisa sebesar USD 114 miliar dan APBN Rp 7.200 triliun. Dana-dana investasi akan mengalir deras, rupiah akan menguat. Tahun ini, diperkirakan tumbuh 6,5%. Ini benar-benar ekonomi tanjakan yang menggiurkan, tetapi bisa melenakan.
Lantas kesulitan-kesulitan yang akan muncul jarang sekali dibicarakan. Saya coba bantu Anda dengan lima masalah berikut ini yang perlu Anda antisipasi.

Pertama, tanjakan itu berarti kompetisi melewati puncak. Semua orang ingin ikut ke atas, membuat tanjakan menjadi crowded. Pemain-pemain asing berdatangan. ASA (semacam lembaga keuangan mikro dari Bangladesh) segera berdiri di sini. Retailer-retailer besar dari Thailand dan Malaysia juga masuk. Merek-merek bahan bangunan, jaringan restoran, konsultan asing, dan segala pemain tumplek di Indonesia.

Kedua, kompetisi berarti perebutan pasar, Anda berbagi kue. Kuenya membesar, tetapi yang berebutan lebih cepat lagi membesarnya. Akibatnya, pelanggan Anda bisa berkurang.

Ketiga, kompetisi berarti variety.  Pasar akan punya variety atau variasi pilihan yang sangat luas. Ini berarti kota-kota besar tradisional (ibukota propinsi) yang selama ini Anda bidik akan mengalami kesumpekkan. Sumu . Konsumen punya uang tetapi pilihannya jadi lebih luas, yang dibelanjakan jadi sedikit–sedikit, sementara di daerah pinggiran, di Aceh, Papua, Mataram dan Bengkulu terjadi sebaliknya.

Keempat, kompetisi mendorong harga turun ke bawah. Hanya yang melakukan restrukturisasi biaya produksilah yang akan menang.

Kelima, kompetisi juga berarti rebutan sumber daya mulai dari bahan baku sampai buruh. Ketika di satu sisi usaha Anda ditekan oleh persaingan harga, Anda juga harus menaikkan tawaran agar buruh Anda tidak hengkang.
Jadi apa yang harus dilakukan?  Itulah pekerjaan rumah Anda. Ada sejuta pilihan, dan pilihan yang tepat akan mengantarkan Anda ke jalan yang benar. Pemilih yang tepat bukan hanya bertahan, melainkan menang. Jangan lagi terkapar, apalagi di tanjakan. Inilah zona baru yang saya sebut sebagai The Cracking Zone. Tumbuh, tapi penuh jebakan

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Minggu, 05 Februari 2012

Mendoakan Bangkrut - Sindo 2 Februari 2012

Beberapa hari lalu saya membaca sepotong kalimat yang diucapkan seorang menteri yang mendoakan agar para wirausaha cepat bangkrut.Padahal,dari Cikampek, Jawa Barat, kita mendengar sekitar 100 perusahaan anggota Apindo Jawa Barat dikabarkan menolak kenaikan upah buruh dengan alasan takut bangkrut.

Beberapa meter dari garis terdepan demo para buruh yang membuat jalan tol macet sejauh 30 km Jakarta–Cikampek, seorang teman terhimpit di antrean keempat. Ia baru saja pulang dari kegiatan memberi pelatihan kepada para dosen pengajar kewirausahaan di NTB bersama saya. Nahas, ia tiba hanya beberapa menit di garis depan sebelum jalan ditutup polisi dan ribuan buruh turun ke jalan. Ia tertahan 10 jam kepanasan dan kelaparan. Tapi dari situ ia dapat wisdom. Di garis depan itu ia bisa menyaksikan sendiri bagaimana para buruh bergejolak. Sebagai wirausaha yang mempekerjakan lebih dari 100 orang di Bandung, tentu ia ingin mengetahuinya.

“Berapa sih kenaikan yang mereka minta,” ujarnya. “Tidak banyak,“ ucap seorang buruh.“Kami hanya minta naik seratus dua ratus ribu rupiah, tetapi susahnya minta ampun.” Dengan uang sebesar UMR banyak buruh yang merasa hidupnya serba pas-pasan. Di bawah itu, bangkrutlah. “Padahal di televisi setiap hari kami melihat orang-orang berbicara ‘em-em-an’,” katanya. Apalagi yang dimaksud kalau bukan renovasi ruang Banggar DPR, penggantian toilet para wakil rakyat, besarnya nilai cek pelawat, uang yang dicuri para koruptor, fasilitas yang dinikmati wakil-wakilnya di gedung parlemen, dan seterusnya.

Saya jadi teringat dengan tulisan rekan saya, Prof Sarlito Wirawan Sarwono, yang dimuat di harian ini beberapa hari lalu. “Rakyat Indonesia butuh keadilan, bukan hukum,” katanya. Psikolog sosial senior ini sangat benar. Masalah keadilan atau fairness kini mulai merembet ke mana-mana. Kalau para hakim, jaksa, polisi, wakil rakyat, dan pengacara argumentasinya hanya hukum positif saja, maka rakyat kecil yang tak punya uang selalu akan kalah dan dikalahkan oleh ketidakadilan. Karena ketidakadilan yang dirasakan itulah masyarakat akan melawan. Melawan dengan apa? Ya apa lagi kalau bukan dengan kekuatan massa, sebab hanya itu yang dimiliki rakyat kecil.

Bukan soal Hitungan

Di belakang para pengusaha ada seorang rekan lain yang turut menghitung angka kenaikan upah. Sebagai seorang ekonom ia melihat angka-angka secara rasional dan menyimpulkan besarnya kenaikan upah yang dituntut para buruh sudah tidak rasional. Secara teori tis sudah terlalu membebani. “Pengusaha bisa bangkrut kalau setiap tahun naiknya seperti ini,”ujarnya.

Teori ekonomi yang dilihat secara kuantitatif bisa jadi benar adanya, pendekatannya adalah rasional-ekonomi, hitung- hitungan yang logis. Tapi dari apa yang didengar rekan saya di garis depan di jalan tol saat ribuan buruh turun ke jalan, the bottom line is not about the logic. It’s the fairness. Rasa keadilan! Dan berbicara tentang keadilan, harus diakui, telah terjadi ketidakadilan yang sangat besar yang dialami oleh the lower class. Dan ini menurut saya sangat berbahaya bagi negara kesatuan yang kita cintai. Mereka yang telah berbuat tidak adil telah melepaskan rekatan-rekatan yang menyatukan, yang membuat hidup damai hilang sekejap.

Paradoks Kebangkrutan  Apa sih kata ekonomi yang paling ditakuti buruh dan pengusaha? Anda benar: “bangkrut”. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi hanya takut dengan kata ini. Seseorang yang bangkrut akan memiliki catatan hitam di Bank Indonesia dan namanya muncul setiap saat berurusan dengan perbankan. Ia tak akan bisa mengurus kartu kredit, menjadi pimpinan bank, atau melakukan transaksi-transaksi tertentu. Buruh juga takut bangkrut, tak bisa bekerja dan memberi makan keluarga.

Perusahaan lebih senang mempekerjakan tenaga-tenaga yang lebih muda dan tak pernah terlibat masalah dengan tempatnya bekerja. Kalau pernah di-PHK, meski dapat pesangon besar, selalu ada pertanyaan dari HRD dan bisa jadi dinomorduakan dalam rekrutmen. Namun di balik itu semua, kesulitan yang dihadapi seseorang dalam kegiatan ekonomi ternyata bisa menjadi modal penting untuk bangkit kembali. Barry Griswell dan Bob Jennings yang mengkaji 200 biografi orang-orang yang berhasil menemukan ternyata orang-orang itu pernah mengalami kebangkrutan.

Maka saya jadi tersenyum saat membaca berita bagaimana Menteri Dahlan Iskan mengocok komunitas TDA minggu lalu dengan mendoakan agar wirausaha- wirausaha muda cepat bangkrut atau tidak takut dengan bangkrut. Bangkrut adalah titik terendah dan paling menakutkan. Namun kalau tidak pernah menyentuh the rock bottom, bagaimana Anda bisa naik kembali? Sebuah bola tenis yang jatuh tak akan bounce (membal) hanya karena menyentuh angin.

Ia harus menyentuh dasar yang keras untuk melenting naik ke atas. Itu yang disebut adversity paradox. Dengan bekal itu,Walt Disney bangkit. Juga Dale Carnegy yang bukunya kini menjadi pedoman orang-orang yang mau bangkit. Anda juga bisa melihat pada Susi Pujiastuti, mantan bakul ikan di Cilacap yang kini armada Susi Air-nya ada di hampir semua bandara di pelosok Nusantara. Atau Chris Gardner yang kisah kebangkrutan dan kebangkitannya dapat dilihat dalam film The Pursuit of Happiness yang dibintangi oleh Will Smith (2006). Di Harvard, lima tahun lalu, Prof Michael Porter mengingatkan Indonesia.

“Upah murah bukanlah industrial policy yang sehat.Setiap negara harus berjuang agar buruh dan bangsanya menjadi kaya,bukan berupah rendah,”ujarnya. Itu sebabnya Indonesia masih harus bekerja lebih keras dan lebih kreatif lagi. Kalau cuma main pungut atau tebang, itu bukan kreatif namanya. Kita baru cuma bisa mengeruk isi perut bumi atau menebang pohon. Supaya menjadi bangsa yang sejahtera, kita harus berani jadi bangsa yang kaya. Dan untuk itu tak ada substitusi bagi kerja keras dan bertindak adil. Ayo,jangan takut bangkrut!

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia