Laman

Rabu, 28 Desember 2011

Refleksi Pariwisata - Sindo 29 Desember 2011

Saat kolom ini sampai di tangan Anda, kemungkinan besar Anda tengah berada dalam perjalanan wisata. Anak-anakdankeluargasenang bebas dari beban sekolah dan berkumpul bersama keluarga, sementara orang tua pusing dengan kemacetan di bandara, terminal bus, atau kereta api.

Bahkan diruang tunggu bandara, Anda akan menghadapi berbagai persoalan kepadatan manusia.Untuk masuk bandara saja sulitnya minta ampun. Mungkin karena itu pulalah World Tourism Council hanya menempatkan Indonesia pada posisi ke-74 dalam daftar daya saing pariwisata dunia, jauh di bawah Malaysia nomor 35 dan Singapura nomor 10.

Kalau untuk melayani turis lokal saja sudah kewalahan, bagaimana negeri ini mau mendapatkan turis asing? Membidik 7,7 juta saja sulitnya minta ampun, padahal Indonesia punya 19 pintu masuk dengan daratan dan lautan yang luas.

Bandingkanlah dengan pulau sekecil Singapura yang hanya membuka dua pintu masuk saja bisa mendatangkan 9,2 juta orang turis (di luar pendatang dari Malaysia yang datang lewat darat sekitar 2 juta orang). Malaysia yang hanya punya tiga pintu masuk mampu mendatangkan 24,6 juta wisatawan mancanegara dan jauh dari kemacetan.
Infrastruktur dan Sampah
Tak pelak masalah terbesar dunia pariwisata Indonesia ada pada lima hal, yaitu infrastruktur, teknologi informasi, keamanan, sumber daya manusia, dan sampah. Dari kelima masalah itu, yang terpenting memang infrastruktur. Namun tanpa kepedulian pada keamanan dan sampah, percuma saja promosi pariwisata Indonesia.

Saya khawatir sejumlah orang tengah memanipulasi dunia pemasaran pariwisata ke dalam satu elemen saja, yaitu promosi. Dan ini berarti backfired! Perhatikanlah, kualitas dan pengembangan infrastruktur Indonesia pada posisi-posisi berikut dari 139 negara yang bersaing memperebutkan turis mancanegara.

Air transport infrastructure Indonesia berada pada posisi ke-58. Ground transport lebih buruk lagi, yaitu di posisi ke-82.Sedangkan tourism infrastructure kita berada di posisi ke-116. Ini berarti, komodo, orangutan, buaya, lumba-lumba,dan badak bercula satu Indonesia masih sulit diakses para wisatawan.

Kalaupun bisa, masa depan mereka pun terancam karena turis dibiarkan membuang sampah sembarangan dan berada pada posisi yang terlalu dekat dengan fauna langka yang dilindungi tersebut. Selain jadwal pesawat ke daerah-daerah wisata tersebut tidak reguler,jalan menuju titiktitik yang menarik wisatawan belum mengalami perbaikan berarti.

Untuk menyaksikan pasar apung di Banjarmasin, Anda harus menarik napas yang dalam melewati dermagadermaga rapuh. Selain itu, infrastruktur informasi dan teknologi komunikasi Indonesia belum memadai. Posisi ICT Indonesia berada di titik rawan,nomor 96. Ini berarti, sekalipun Indonesia dikenal sebagai bangsa yang unggul dalam industri kreatif, para pelaku usaha kreatif kesulitan menembus pasar global.

Masalah ketiga adalah masalah keamanan. Sekalipun Indonesia menerima banyak pujian dalam keseriusannya mengatasi masalah terorisme, insiden kriminalitas dan perampokan yang dialami para turis masih sangat tinggi. Dalam masalah sumber daya manusia, Indonesia belum banyak memanfaatkan intangibles yang dimiliki bangsa ini, yaitu keramahan,kejujuran,dankerja keras dalam memberikan pelayanan secara tulus dan bersahaja.

Kekuatan itu misalnya tampak jelas dan diakui di Asia, yaitu oleh penduduk Hong Kong dan Taiwan yang berebut untuk mendapatkan tenaga kerja asal Indonesia karena keterampilan dan pelayanannya. Mari kita lihat statistik berikut ini. Bila 10 tahun lalu hanya ada 10.000 TKI di Hong Kong (saat itu tenaga kerja asal Filipina sudah mendekati 150.000),maka jumlah TKI saat ini sudah mencapai 150.000, sementara tenaga kerja asal Filipina turun hingga 100.000 orang.

Di Taiwan, jumlahnya mencapai 160.000 orang.Ini berarti Indonesia akan memiliki orang-orang yang lebih berkualitas yang akan kembali ke berbagai pelosok desa dalam 10 tahun ke depan karena exposure internasional yang lebih baik, namun bukan karena upaya Kementerian Pendidikan.

Saat SDM Indonesia diperebutkan sebagai pelayan rumah tangga dan caregiver di negara-negara Asia Timur, pada segmen yang lebih membutuhkan kerja sama, pengetahuan dan teknologi, diketahui sumber daya manusia asal Indonesia terlihat kurang mendapat perhatian dari Kementerian Pendidikan.

Belum tampak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan prestasinya dengan anggaran yang sangat besar. Dengan posisi daya saing pariwisata yang menempati nomor ke-74 dari 139 negara, Indonesia hanya menempati posisi nomor 95 pada indeks pembangunan manusia.

Ini berarti Indonesia masih harus bekerja keras mereformasi sistem kesehatan dan pendidikan, serta tentu saja caracara pengajaran yang telah sangat ketinggalan jaman. Sedangkan masalah kelima, saya kira jelas tampak di mana-mana secara kasatmata yaitu sampah. Sampai saat ini, Indonesia belum membangun sistem pengolahan sampah yang memadai.

Meski Undang- Undang Pengolahan Sampah telah diketuk palunya oleh DPR sejak 2008,hampir semua wali kota dan bupati masih terlalu asyik bermain mata dengan pengusaha angkutan sampah yang asal main tumpuk dan membiarkan sampah menjadi masalah besar. Masalah sampah merata dari Sabang sampai Merauke mulai tepi laut, taman laut, pantai,hutan, kawasan wisata, air terjun, hingga pasar dan pusat kota.

Alam Indonesia yang indah itu kini diwarnai oleh sampah botol plastik, tas keresek, diapersbekas,tisu,saset sampo, kulit durian, bangkai binatang yang bercampur dengan aneka bahan beracun. Apakah menteri pariwisata pernah berbicara tentang sampah? Saya kira Anda pun tahu,mereka amat jauh dari kepedulian.

Mereka hanya peduli promosi dan pameran, padahal tanpa produk yang bagus, promosi dan pameran wisata justru akan memukul balik dunia pariwisata Indonesia. Semakin banyak orang berkunjung, semakin banyak orang menyuarakan ketidaksenangan,bukan pujian. Maka benahi dulu produknya, baru lakukan promosi. Bekukan dulu dana-dana promosi sebelum produknya diperbaiki pada syarat minimal.

Akhirnya saya ucapkan selamat berlibur,semoga istirahat panjang kali ini dapat dinikmati dengan gembira bersama keluarga, dijauhkan dari bau sampah dan kemacetan, dan tetap waspada dalam menghadapi keramaian. Selamat Natal dan Tahun Baru!

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Minggu, 25 Desember 2011

Mitos Tentang Krisis - Sindo 22 Desember 2011

Beberapa tahun yang lalu, saat krisis moneter tengah melanda Indonesia, Carol Dweck mengumpulkan sekitar 400 orang remaja dan memberi mereka puzzle sederhana. Mereka diberikan dua kalimat yang masing-masing terdiri dari enam kata.

Yang satu bunyinya begini: “you must be smart at this.” (“Kalian harus cerdas pada soal ini”) dan satunya lagi: “you must have have worked really hard.” (“Kalian harus bekerja sangat keras”). Kalimat-kalimat itu diberikan untuk mengetahui perbedaan sikap dari apa yang masing-masing orang percayai atau miliki.

Setelah diberikan dua jenis puzzle tadi, diketahui bagian terbesar remaja memilih kalimat yang pertama. Anak-anak kelompok ini terdiri dari orang-orang yang sangat mengedepankan pentingnya intelligence (kecerdasan) sehingga kata “smart” sangat penting bagi mereka. Sedangkan yang kedua terdiri dari anak-anak yang percaya pada kata “hard work”. Mereka ini umumnya melakukan sesuatu bukan untuk sukses, kata Dweck. Melainkan karena ingin mengeksplorasi tantangan-tantangan yang menarik.  Sukses adalah soal belakangan, bukan menjadi permulaan.

Kepada mereka semua diberikan tawaran untuk memilih satu jenis soal dari dua pilihan. Pilihan pertama adalah soal-soal yang mudah, dan yang kedua adalah soal-soal yang sulit. Anda tahu apa yang terjadi?

Menyadari Krisis: Tidur!
Anak-anak yang mengklaim dirinya “smart” dan senang menyebut dirinya “smart worker” atau mengedepankan intelligence ternyata tidak mau mengambil soal-soal yang sulit. Mereka ingin sukses, dan bagi mereka orang smart harus lulus, dan memilih yang mudah. Dua pertiga responden smart tersebut dicatat psikolog Dweck memilih soal yang mudah.

Kata Dweck, “mereka takut kehilangan label smart yang melekat pada diri mereka dengan menghindari tantangan. Rupanya mendapat label smart dan hebat mengundang beban psikologis yang berat, dan ini bisa membuat manusia menghindar dari tantangan-tantangan alam yang sulit.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak terbebani oleh label “smart” berjalan lebih ringan. 90% diantara mereka justru memilih soal yang sulit. Bodohkah mereka? “Bukan!”, kata Dweck. Melainkan mereka tidak tertarik untuk dianggap sukses atau ingin cepat-cepat menunjukkan hasil, apa lagi dinilai “kaya”. Kata sukses, kaya, dan smart, kalah enak. Tidak elok bila dibandingkan dengan kata “upaya”, “kerja keras”, dan “tantangan”.

Mereka yang merasa cerdas umumnya takut gagal, takut mencoba sesuatu yang baru, dan mudah cemas begitu keadaan berubah atau terancam oleh kata “krisis”. Sebaliknya, mereka yang tak merasa cerdas dan selalu berorientasi pada kerja keras justru menikmati suasana krisis dan tidak kehilangan kepercayaan diri.

Pembaca yang baik, hari-hari ini kata-kata krisis kembali berbunyi keras di antara para pelaku usaha dan CEO menyusul merambahnya krisis keuangan ke beberapa negara Eropa. Dari studi Dweck tadi jelaslah kita selalu akan menemukan 2 jenis CEO. Yang satu takut dan mudah kehilangan percaya diri, sedang yang satu lagi EGP (“Emangnya Gue Pikirin”) dan cenderung kata orang Jawa Timur sebagai “Agak Bonek”.

    Anda mau tahu hasil studi lanjutan yang dilakukan oleh Dweck?
    Kepada kedua kelompok respondennya itu Dweck lalu memberi soal yang sama dengan yang dikerjakan kelompok pertama tadi, yaitu soal yang mudah. Kelompok yang merasa cerdas tadi ternyata mendapatkan skor 20% lebih rendah dari pekerjaannya semula. Dalam bahasa manajemen, saya menyimpulkan, produktivitas mereka justru merosot setelah badai berlalu, sekalipun soalnya tidak lebih sulit. Di sisi lain, kaum pekerja keras, justru mengalami kenaikan kinerja sebesar 30%. Kesulitan dan kegagalan telah membuat mata mereka terbuka dan hormon mereka penuh.

Anak-anak yang mendewa-dewakan kecerdasan dan merasa pintar menghambat motivasi mereka untuk maju dan meracuni kinarja di masa depan.”

Itulah sebabnya di masa-masa seperti ini para CEO perlu bertransformasi diri dari merasa cerdas menjadi bekerja keras. Attitude is everything. Krisis itu bukanlah yang terjadi secara merata, susah tidak akan dialami sama oleh setiap orang.  Sama halnya dengan kebalikannya saat anda membaca berita-berita bagus seperti kenaikan rating invesment grade Indonesia. Mereka yang beruntung bukanlah mereka yang merasa smart, melainkan mereka yang mau mengeksplorasi berbagai kesempatan baru di masa depan.

Jadi saya sependapat dengan almarhum Peter Drucker yang mengatakan cara terbaik mengetahui tentang keadaan masa depan adalah dengan menjelejahi masa depan itu sendiri dengan penuh kesungguhan.  Bukankah soal hasil sudah ada yang menentukan?  Tetapi apa dan bagaimana anda mengerjakannya membuat hasil itu jadi berbeda.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Jabatan Untuk Mengimpresi(Atau Untuk Menggerakkan?) - Jawapos 19 Desember 2011

“Anda harus memilih: Nothing to loose atau cinta jabatan.” Kalimat itu mengalir dari mulut mantan CEO  PT. Pertamina yang all out melakukan pembaruan di eranya. Karena prinsip nothing to loose itulah ia menggunakan jabatannya untuk menggerakkan perubahan.

Saya kira yang dilakukan Ari Sumarno, secara kreatif juga tengah dijalankan oleh Menteri Dahlan Iskan. Kedua CEO ini sama-sama tidak berpikir jabatan untuk mengimpresi. Mereka sama-sama melihat jabatan hanyalah titipan untuk menggerakkan orang. Begitu berani mereka bergerak, memperbaiki yang rusak, membongkar proses dan mencari kebenaran. Dan kalau ada orang lain yang mencongkel jabatan mereka, dengan senang hati dan  tulus mereka rela dan mudah memberikannya.

Dalam pekerjaan “memperbaiki yang rusak” itu, mereka akan berhadapan dengan sejuta kejanggalan yang dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun oleh bawahan-bawahan mereka. Mengapa hal itu dibiarkan? Jawabnya adalah conflict of interest dan takut menghadapi risiko. Yang pertama membuat mereka risih karena diberi kenikmatan oleh pihak lain (publik menyebut mereka telah “dipelihara” orang kuat). Yang kedua membuat masalah dibiarkan berlarut-larut.

Namun keduanya sama-sama dipelihara oleh mereka yang cinta jabatan. Mereka hanya memakai jabatan untuk mengimpresi. Mereka membiarkan perusahaan atau lembaga yang dipimpinnya menjadi bank masalah.

Dua Tahun Yang Impresif
Pemimpin perubahan gerakannya segera tampak sejak hari pertama. Karena menguasai masalah dan masuknya sudah di tengah jalan, mereka langsung bertindak. See and Action! Berbeda dengan buku teks yang mengarahkan Anda memulainya dari selembar kertas dengan membuat rencana, mereka memulainya dari tindakan.

Karena itulah perbaikan yang mereka lakukan lebih menekankan pada aspek operasional. Dalam bahasa strategi inilah yang disebut sebagai Operational Excellence. Namun bagi Prof. Michael Porter, Operrational Excellence bukanlah strategi. Ia tak akan bermuara kemana-mana. Itulah sebabnya para doer dan change maker segera merumuskan strategi jangka panjangnya. Kalau ini sudah terbentuk, setahun-dua tahun kemudian mau-tidak mau perubahan akan menembus ke atas, ke arah orang-orang besar, yang terkait dengan kekuasaan dan hutang-budi kepentingan.

Itulah sebabnya, banyak change maker hanya mampu optimal melakukan perubahan selama dua tahun pertama. Memasuki tahun ke tiga mereka mulai tidak diajak bicara oleh layer-layer di level atas, dilarang bertemu dengan “pemimpin besar” yang dijaga para mafioso. Fadel Mohammad, Ari Sumarno, Antasari Azhar, Alm. Cacuk Sudariyanto (Telkom), dan banyak lagi tokoh perubahan mengalami hal serupa. Setelah itu bisa diduga mereka dicopot dan dari jabatannya. Padahal dulu “pemimpin besar“ memuja mereka, bahkan pemimpin besar yang merestui langkah-langkahnya, menstimulasi agar bekerja keras dan memberi hasil. Akhirnya pemimpin-pemimpin besar yang bodoh hanya memelihara mereka yang memakai jabatan untuk mengimpresi.

Apa sih ciri-ciri impression man atau impression woman seperti itu? Beginilah ciri-cirinya: Mereka berbicara penuh pesona, pekerjaannya hanya diarahkan untuk menyenangkan atasannya dan gemar beriklan, management one-level up (satu tingkat ke atas), Output riil-nya tidak ada, tidak berorientasi pada impact, mengutamakan atasan lebih dari segala-galanya, leadershipnya tidak 360 drajat, sangat menguasai jabatan dan bila melakukan kesalahan selalu ditutup dengan kesalahan-kesalahan lain atau menggunakan kekuatan Public Relations. Kalau belangnya ketahuan, mereka akan mengawal jabatannya begitu  keukeh dengan memakai puluhan lawyer dan jago-jago Public Relations.

Sebagian orang sangat mungkin terkecoh. Kami di Universitas Indonesia dan banyak Wartwan saja bisa terkecoh oleh prestasi pemimpin tertinggi kami di universitas yang seakan-akan luar biasa. Tetapi waktu akan menemukan kebenaran, karena mereka yang cinta jabatan hanya memoles prestasinya dengan kebohongan-kebohongan yang lambat laun sulit ditutupi. Sebaliknya, pemimpin sejati adalah mereka yang nothing to loose dan fokus pada penyelesaian masalah, bukan mempertahankan kekuasaan.

PDCA
Akhirnya saya tutup tulisan ini dengan rumus kemajuan yang sangat dikenal di kalangan insan PT. Astra International. Rumus ini selalu diingat para lulusan Astra, yaitu Plan-Do-Check-Action cycle. Tetapi dari ke empat elemen itu selalu terdapat perbedaan penerapan.

Mereka berkarakter thinker akan menghabiskan waktu pada aspek planning. Sedangkan para doer akan fokus pada action. Namun perlu saya tegaskan, keempat elemen itu harus dijalankan bersamaan. Anda kerjakan, Anda cek hasilnya, masukkan ke dalam rencana, koreksi, lalu tindak lanjuti.

Kalau ini Anda lakukan dengan tulus, Anda tidak perlu melakukan perubahan. Perusahaan otomatis akan tumbuh menjadi besar, adaptif dan sehat. Kalau tidak ada ketulusan, Anda akan terlibat dalam kesulitan yang Anda buat sendiri. Anda akan terperangkap dalam “cinta jabatan” dan “takut kehilangan”. Orang-orang yang tulus akan berani berbuat, berani berkorban, tidak memerlukan dukun sakti atau “petugas pemadam kebakaran” karena Anda tak takut kehilangan. Jabatan boleh hilang, tetapi kehormatan akan menentukan apakah Anda bisa kembali lagi, bounce, atau pecah.

Happy holiday, selamat merayakan Natal bagi umat Nasrani. Selamat Tahun Baru bagi kita semua. Tetaplah tulus dan berani dalam menjalankan amanah

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Minggu, 18 Desember 2011

Mencetak Wirausaha Papua - Sindo 15 Desember 2011

Duduk di sebuah kedai kecil di tepi Danau Sentani, seorang anak Papua memohon, ”Bantulah kami menjadi tuan rumah di sini.”

Permohonan itu diajukan dengan wajah penuh kesungguhan dalam suatu dialog, tak lama setelah saya memberikan materi kepada lebih dari 100 dosen yang akan disebar untuk menularkan virus kewirausahaan kepada mahasiswa di Papua. Hampir semua mengeluh tentang sulit dan jarangnya putra asli daerah yang berminat menjadi wirausaha. “Selamat hari Minggu Bapak,” kata-kata itu ramah keluar dari seorang bapak yang tengah menggendong anak kecilnya. Tapi pria itu berjalan tidak stabil.

Teman-temannya sambil tertawa berujar, “Mabuk. Sedang mabuk dia Bapak. Kami sedang pesta miras, ”ujarnya. Anak Papua, putra asli daerah yang tadi memohon menjadi tuan rumah,berkata kesal. “Beginilah nasib kami.Tidak punya uang tidur di kasur.Punya uang tidur di got.”Yang ia maksud tidak lain para pemabuk yang kalau punya uang dipakai membeli miras dan terbiasa ditemui di got karena mabuk. Entah mengapa mabuk menjadi biasa ditemui di kota-kota. Bahkan anak-anak terbiasa melihat ayahnya mabuk sejak kecil.

Dua Ancaman

Minuman keras adalah salah satu ancaman yang menghambat kemajuan anak-anak Papua untuk menjadi wirausaha. Dengan minuman keras, seseorang akan sulit mengendalikan emosinya.Apalagi bila menjadi addicted. Setiap kelebihan uang tidak dipakai reinvestasi, melainkan untuk bersenang-senang. Seorang pengusaha setempat berujar,“Kalau ingin cepat kaya jadilah penjual miras,” sambil membandingkannya dengan usaha penjualan ponsel yang ia geluti.

Miras impor,buatan luar Papua yang dikirim dari Sulawesi dan Jawa, serta miras lokal yang dibuat sendiri oleh penduduk bertempur hebat di pasar. Budaya minum miras ini memang bukan hanya ada di Tanah Papua, melainkan juga ada di beberapa provinsi lain. Sekitar 20 tahun lalu misalnya, saat menyeberangi Danau Toba menggunakan perahu-perahu bermesin saya sempat terkejut karena di bawah kemudi bertumpuk botol-botol minuman alkohol yang belum sempat dibersihkan. Pengemudinya pun menjalankan perahu sambil menenggak bir.

Tapi kemajuan ekonomi dan pendidikan membuat manusia lebih tertib.Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, penduduknya juga gemar minumminuman beralkohol. Tapi pemerintah yang sehat mengaturnya dan membatasi konsumsi secara berlapis. Pajaknya ditinggikan, anak-anak di bawah usia 21 tahun dilarang membeli dan mengonsumsi alkohol. Pesta alkohol di area publik dilarang keras dan undangundang (UU) melarang orang yang menenggak alkohol mengendarai mobil atau sepeda motor. Itu saja belum cukup mengurangi bahaya bagi orang lain.

Di Papua, pemerintahpemerintah kabupaten dan kota madya perlu menata kembali budaya minum alkohol.Kalau kita ingin melihat orang Papua menonjol dalam dunia usaha, budaya minum-minum ini harus dikendalikan.Setiap kali berkeliling kota dan desa di Papua, saya tidak menemukan satu pun wirausaha putra daerah. Bengkel, rumah makan, toko- toko kelontong, penjual ponsel,produsen bahan-bahan bangunan, dan sebagainya semua dijalankan para pendatang.

Satu-satunya usaha yang dijalankan penduduk setempat hanya jualan pinang. Wajar bila anak muda tadi mengungkapkan perasaannya agar bisa menjadi tuan rumah di tanah kelahirannya. Maka, saya pikir, diperlukan road mapkhusus untuk menularkan virus-virus kewirausahaan di Papua. Langkah pertamanya adalah membatasi peredaran minuman keras dan membentuk sikap mental disiplin di kalangan generasi muda. Lantas apa masalah kedua? Masalah yang tak kalah penting adalah PNS. Masalah ini sama pentingnya dengan budaya miras, tetapi mungkin lebih mudah bagi kita untuk memperbarui dan mengubahnya.

Hidup Enak PNS

Agen-agen pemilik toko ponsel di Papua mengatakan keheranannya karena pelangganpelanggan setia yang mampu membeli ponsel hingga lima buah dalam sebulan adalah PNS atau pegawai pemda.Di hampir setiap hotel dan rumah makan banyak ditemui aparat pegawai pemda dan PNS yang menikmati makan siang bersama, mengikuti rapat-rapat kerja, dan sebagainya. Pemandangan sehari-hari yang kasatmata adalah hidup enak menjadi PNS.

Dengan demikian tidak ada insentif psikologis yang dapat dijadikan stimulus untuk mendorong anakanak Papua menjadi wirausaha. Apalagi untuk menjadi wirausaha yang berhasil dibutuhkan kerja keras, disiplin, dan pengorbanan jangka pendek untuk mendapatkan hasil besar di masa depan. Jadi wajar saja bila di mana-mana penduduk asli Papua lebih memilih profesi sebagai birokrat. Terlebih lagi di jajaran birokrasi belum ditemui pemimpin yang berikhtiar melakukan perubahan.

PNS belum banyak disentuh baik sikap maupun budaya servisnya. Bekerja dengan mulut beraroma miras, berbicara sambil mengunyah pinang, masuk kerja tidak tepat waktu, menghilang sebelum jam kerja berakhir, penggunaan anggaran tanpa arahan yang jelas,pengukuran kinerja yang lemah, serta ketidak pedulian atasan dalam membentuk bawahan sangat menonjol. Kalau sudah demikian,siapa berminat menjadi wirausaha? Jawabannya jelas: pendatang! Orang-orang Bugis, Manado, Jawa Timur,Banjar,dan Minang mengisi kekosongan itu.

Kita tentu tidak bisa menularkan virus-virus kewirausahaan begitu saja tanpa menghentikan faktor-faktor yang menariknya ke arah lain.Tanpa kesungguhan pemerintah meningkatkan disiplin PNS dan mengisolasi budaya mabuk,saya kira upaya melahirkan wirausaha asli Papua dapat menjadi sia-sia.

Lantas, tanpa kehadiran wirausaha asli Papua secara kasatmata dalam kehidupan sehari-hari,saya kira benih-benih konflik dapat tumbuh secara subur. Bisakah saya berharap banyak dari pemerintah, wakilwakil rakyat, dan pemimpinpemimpin daerah untuk mengatasi kedua masalah itu?

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Mitos Tentang Bakat - Jawapos 12 Desember 2011

Gairah orang tua untuk “menemukan” dan “mengembangkan” bakat anak-anaknya kembali muncul. Kalau dulu dibutuhkan seorang psikolog untuk membaca dan melakukan tes bakat seseorang, kini seakan-akan siapa saja bisa. Bisnis tes bakat melalui metode “finger print” pun kembali marak.

Bisnis ini semakin ramai karena prinsip yang ditawarkan “siapa saja bisa” asalkan dibantu mesin komputer dan scanner sidik jari. Bukan hanya itu bisnis ini juga diwaralabakan dan pembelinya wajib ikut kursus sehingga, ribuan ibu-ibu rumah tangga yang menganggur pun masuk ke dalam circle ini. Saya bahkan mendengar ada juga yang menggunakan metode sidik jari untuk pelatihan-pelatihan manajemen. Tak peduli usianya berapa, setiap orang seakan-akan bisa dibaca atau cocoknya menjadi apa. Lebih menarik lagi, ramalan bakat dari sidik jari itu dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat suci dan tanggal kelahiran (horoscope). Tetapi bukankah bakat itu ada?


Bawaan Lahir atau Kerja Keras?
Dulu saya termasuk orang yang percaya adanya talenta. Bagi saya talenta itu adalah pemberian Tuhan dan ada pada setiap manusia yang dilahirkan. Namun dalam salah satu kitab suci, talenta itu digambarkan sebagai karunia yang dititipkan seorang tuan kepada pegawainya. Ya ibarat modal yang besarnya tidak sama yang diberikan kepada masing-masing orang. Ada yang terima satu keping, lima keping, atau bahkan sepuluh keping.
Nah masalahnya bukanlah pada berapa banyak keping uang logam yang Anda terima, melainkan apa yang akan Anda lakukan dengan diri Anda agar kepingan itu bisa menjadi lebih besar lagi? Bukankah modal itu harus dikembalikan dan diteruskan pada pegawai berikutnya?

Jadi buat apa pusing-pusing meneliti berapa banyak kepingan yang Anda miliki masing-masing? Juga buat apa mengetahui apa jenis kepingan uang logam Anda? Bukankah masing-masing uang logam bisa dipakai untuk berbelanja apa saja asalkan Anda bisa memperbanyaknya lebih dahulu.

Konsep tentang talenta atau bakat pada dasarnya dibangun berdasarkan pandangan bahwa unsur bawaan atau keturunanlah yang menjadi pembentuk keberhasilan. Jadi ada semacam innate ability bukan latihan atau kerja keras yang membentuk seseorang. Namun benarkah demikian?

Sekitar dua tahun yang lalu saya berkunjung ke Austria dan tentu saja saya mendatangi rumah yang dulu ditempati oleh komposer terkenal Wolfgang Amadeus Mozart yang masyur pada abad ke-18. Di kota Salzburg, rumah itu sekarang telah berubah menjadi museum dan banyak didatangi turis mancanegara. Dari gambar-gambar dan keterangan di museum itu saya membaca bahwa “bakat” Mozart sudah tampak pada usia enam tahun.

Pada usia itu, Mozart dan kakaknya Anna Maria sudah menjadi bagian dari sosialita Austria yang berkumpul dengan borjuis Eropa, mempertontonkan bakatnya: piano. Melihat pertunjukkan Mozart setiap orang pasti berdecak kagum dan mengatakan anak ini berbakat. Tetapi benarkah demikian?
Kalau kritis tentu Anda ingin tahu lebih jauh. Saya pun mengalaminya, dan dari dokumen-dokumen di museum itu saya menemukan ternyata pada usia enam tahun Mozart telah menjalani latihan lebih dari 3500 jam sejak usia tiga tahun. Ayahnya sendirilah Leopold Mozart, yang menjadi pelatihnya. Ini sejalan dengan temuan psikolog dari University Exeter. Michael Howl yang menulis semua kajiannya dalam buku Genius Explained. Ia menyimpulkan jenius atau manusia berbakat bukanlah dilahirkan, melainkan dibentuk melalui sejumlah latihan. Jadi Anda sendirilah penemu bakat itu. Andalah yang menjadi penentu bagi masa depan Anda, bukan sidik jari Anda, bukan pula getaran-getaran lain yang bisa dilihat dari jejak sejarah atau desain darah Anda. Anda bisa mulai dari mana saja, dari tidak ada bakat sama sekali.

Kalau Anda masih belum percaya, bukalah kembali sejarah dan pelajari apa yang dilalui orang-orang terkenal. Albert Einstein sejak kecil diramalkan menjadi anak yang bodoh. Ia baru bisa berbicara setelah usia empat tahun dan baru bisa membaca diusia tujuh tahun. Salah seorang pembaca bakatnya pernah mengatakan Ia lemot, lamban berpikir, tidak senang bersosialisasi dan suka berkhayal yang aneh-aneh.

Hal yang serupa juga dialami oleh Charles Darwin, Michael Jordan, Beethoven, dan banyak lagi. Bakat mereka tak pernah dikenal dari alat-alat tes. Bahkan saat-saat pertama berkarya, mereka juga dihina karena menghasilkan karya-karya yang buruk. Michael Jordan dikeluarkan dari tim basket di SMUnya. Charles Darwin diejek orang tuanya sebagai dokter yang bakatnya hanya bisa menyuntik anjing saja. Ia pun berhenti menjadi dokter. Demikian juga Beethoven yang hanya ditertawakan saat bermain biola.

Bakat itu bukanlah sesuatu yang sudah ada pada diri masing-masing manusia, melainkan manusia itu sendiri -yang dibantu orang-orang yang mengasihinya- yang menemukannya melalui latihan dan kerja keras.
Saya bicara seperti ini bukan karena mereka-reka melainkan mengalami sendiri dan didukung oleh bukti-bukti empiris. Saya dibentuk oleh alam melalui proses yang berat sehingga melahirkan kekuatan-kekuatan baru. Dalam buku yang berjudul Myelin Anda bisa menemukan fakta-fakta itu. Saya menyebutnya sebagai “harta tak kelihatan” alias intangible yang diraih dari kerja keras.
Jadi buat apa hidup dalam mitos?

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Rabu, 07 Desember 2011

Perbaiki Sekolah - Sindo 8 Desember 2011

Hari Rabu kemarin saya diminta berbicara di hadapan para guru SMA-SMP Kanisius tentang apa yang harus disikapi untuk membentuk generasi baru. Sebelumnya, saya juga sudah berbicara hal yang sama di SMA Al Izhar, High Scope, dan SMAN 1 Gianyar. Apa yang menjadi keprihatinan orang tua dan guru?

Pertama, mereka ingin mengklarifikasi benarkah pendidikan di Indonesia adalah yang terberat di dunia?. Kedua mereka ingin mengetahui mengapa anak-anak kita hanya berhenti sampai di level juara Olimpiade matematika (dan fisika) saja? Dan Ketiga, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu pengajaran dan tingkat keberhasilan anak didik.

Terberat – tersarat
Meski tidak tahu apakah kita masuk kategori “ter”, saya harus menyampaikan bahwa pendidikan dasar dan menengah kita memang berat. Saking beratnya, seorang ketua yayasan pada sebuah pendidikan swasta sempat memeriksa isi tas anak-anak TK dan SD Kelas 1 di Jakarta dan ia mengatakan rata-rata seorang bocah kecil membawa beban berupa buku dan alat tulis seberat 2,5 Kilogram.

Selain jumlah pelajaran yang diwajibkan Undang-undang Sisdiknas terlalu banyak (16-20), buku-buku pelajaran yang harus dibeli orang tua dari sekolah rata-rata juga terlalu tebal, dengan kualitas isi yang masih perlu dipertanyakan. Pengalaman saya sebagai orang tua yang membimbing anak sendiri dalam belajar menemukan rumus-rumus yang tidak konsisten dan membingungkan antara halaman yang satu dengan halaman-halaman berikutnya pada buku yang sama. Sudah begitu, sebagian besar guru ternyata mengaku kesulitan memilih rumus mana yang benar? Jadi rumus yang benar dan salah seringkali sama-sama diajarkan.

Tak banyak guru yang menyadari bahwa 80% isi sebuah buku, intinya hanya berada pada 20% dari jumlah halamannya. Akibat ketidaktahuan ini  jelas fatal, seluruh isi buku dijejalkan pada kepala anak didik. Meski dari 16-20 mata pelajaran yang diajarkan di SMU (seorang tua  murid SMK menyebutkan anaknya diberi 28 mata pelajaran) hanya 6 mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional, kesepuluh hingga 14 guru pada mata pelajaran lainnya berebut masuk kedalam otak anak-anak dengan cara yang sama. Mereka semua ingin mata ajarnya berperan sama kuatnya dengan mata pelajaran yang diuji secara nasional.

Lengkaplah sudah penderitaan anak-anak sekolah Indonesia. Semua guru menganggap pelajarannya penting. Sepenting itulah mereka bisa mmbuat anak tidak naik kelas hanya karena nilai mata pelajaran geografi dibawah 6, atau harus mengulang. Ada banyak guru yang beranggapan mengulang berarti bodoh, dan nilainya harus dibawah rata-rata murid lainnya. Kalau rata-ratanya 6, yang mengulang otomatis diberi nilai dibawah 6 tanpa diperiksa. Guru-guru kita masih beranggapan kalau murid ditekan maka anak-anak akan menjadi lebih respek, lebih rajin, atau lebih hebat. Padahal itu hanya mencerminkan ego-nya yang teramat besar dan dapat berakibat buruk bagi setiap anak-anak didik.
Mata pelajaran-mata pelajaran yang maaf, harus saya katakan dapat dibuat lebih relax dan fun, telah dirubah menjadi momok  yang menakutkan. Ia dijadikan setara dengan ilmu pasti yang sarat rumus dan padat. Ia berebut perhatian yang sama dengan mata pelajaran–mata pelajaran yang diuji secara nasional. Disajikan terlalu serius dan berakibat hilangnya esensi yang mau dicapai.

Untuk mengatasi hal ini saya menyarankan guru-guru pandai memilih esensi dari sebuah buku dan mulai membuat pelajaran-pelajaranya disampaikan dengan cara yang lebih fun dan menyenangkan.


Juara Olimpiade
Ini tentu kabar yang menggembirakan. Meski sering kalah dalam bidang-bidang lain, kita sering menyaksikan anak-anak asuhan Prof Yohannes Surya membawa medali emas olimpiade Matematika dan Fisika. Tetapi pertanyaannya kemana setelah itu? Apakah mereka akan mendapatkan hadiah Nobel? Menemukan teori-teori baru?
Meski semua itu dicapai dengan kerja keras, harus saya kabarkan bahwa beban ilmu yang kita berikan di sini memang sangat tinggi. Sekedar Anda ketahui saja, aljabar yang kita pelajari di level SMP di sini, ternyata baru diajarkan pada level SMA di negara-negara lain. Bahkan sewaktu saya mengambil program S3 di Amerika Serikat dan menjadi asisten Professor dengan mengajar di program S3, saya melihat anak-anak di Amerika Serikat baru mendapatkan differensial dan Integral di tingkat Universitas. Kita mengajarkan topik itu, bersama dengan topik mengenai matrix sejak di bangku SLTA.
Seringkali saya ingin mengulangi kalimat yang pernah saya sampaikan bahwa saya tidak komplain kalau sampai dengan ilmu yang sangat tinggi itu kita sudah sampai di Bulan atau di venus, dan bisa membuat otomatis kelas dunia. Kenyataannya ternyata tidak demikian.

Untuk menjadi penerima hadiah Nobel atau menjadi ahli matematika yang hebat, anak-anak itu harus memiliki keterampilan menulis yang hebat dan kemampuan mengelola rasa frustasi yang kuat. Sayangnya, beberapa sekolah yang sering juara olimpiade malah melarang guru-gurunya mendalami keterampilan menulis. Kalau anak-anak itu hanya jagoan mengolah rumus dan otak kanannya tidak dilatih, mereka juga tidak akan menjadi orang hebat untuk diri mereka sendiri. Mereka akan frustasi, karena tidak ada pengakuan.

 Menjadi Manusia Hebat
Akhirnya saya harus menutup tulisan ini dengan mengajak para guru memeriksa kembali, benarkah cara-cara yang ditempuh sekarang akan melahirkan manusia-manusia hebat?
Manusia hebat bukanlah manusia yang memperoleh nilai mata pelajaran yang tinggi-tinggi, melainkan manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth mindset, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik. Kalau ini sudah jelas, buat apa membuang waktu sia-sia?

Rhenald Kasali
Guru Besa Universitas Indonesia

Kamis, 01 Desember 2011

Marketing Entrepreneur - Sindo 1 Desember 2011

Entah mengapa, hampir semua anak muda yang memilih jalur wirausaha selalu berpikir “bagaimana membuat sesuatu”.

Mereka masih berpikir berwirausaha itu penuh kesibukan, seperti dalam deskripsi bukubuku teks, yaitu dari mengembangkan ide, membuat, mempromosikan sampai menyerahkannya ke konsumen. Pantaslah bila sebagian besar usahawan pemula gagal dan mereka mengatakan berwirausaha itu sulit. Kalaupun berhasil, sebagian besar terperangkap dalam bisnis yang relatif murah dan overcrowding, yaitu kuliner. Ini tentu kurang sehat. Di Politeknik Negeri Malang (PNM), hari Jumat pekan lalu, saya ditunjuki produk-produk “temuan” mahasiswa.

Anda mungkin sudah biasa melihat charger baterai handphone yang dapat dipakai di mobil. Tapi mungkin Anda belum melihat charger untuk dipakai pada sepeda motor.Charger itu“ditemukan” para mahasiswa PNM dan kemungkinan pasarnya sangat besar. Coba saja hitung berapa jumlah sepeda motor yang berhasil dijadikan pasar setiap tahun. Selain bersepeda motor, mereka juga pasti memiliki ponsel.

Pertanyaannya,bagaimana memasarkannya dan benarkah pasar membutuhkannya? Lagipula, bagaimana memodalinya agar desainnya lebih menarik dan kualitasnya lebih baik? Kalau pekerjaan membuat dan memasarkan harus dijalankan seorang entrepreneur pemula,Anda bisa bayangkan kapan mereka bisa menikmati hasil dari ide-ide kreatif anakanak muda itu? Saya kira Anda bisa dengan cepat menerkanya. Saat jaringan dan brand terbentuk, produk sudah tidak dibutuhkan lagi oleh pasar.

Kickstarter.com

Putra saya menunjukkan sebuah kit yang dapat dipasang di tali pinggangnya.Alatnya sederhana, beratnya hanya beberapa ons, dipakai untuk memasang kamera. Ia membelinya dari situs kickstarter.com. Dari situs itu saya bisa melihat video yang dibuat para wirausaha muda yang menamakan dirinya sebagai orang-orang kreatif. Dari situs itulah saya bisa melihat bagaimana seorang entrepreneurmuda come up dengan gagasan-gagasan kreatifnya. Alat yang tadi saya sebut diberi nama capture (capture camera clip system).

Di situ ditunjukkan masalah yang dihadapi oleh konsumen yang selamainihanya bisamenggantung kamera yang standby dipakai dikalungkan di leher.Pertanyaan yang diajukan: bagaimana kalau Anda membungkuk atau berjalan sambil merangkak? Repot bukan? Kamera akan terbentur- bentur.Oleh karena itulah Anda memerlukan capture. Tapi untuk memilikinya,si pembuatmemerlukandanabesaruntuk mengembangkan dan memasarkannya. Kickstarter.com membuka kesempatan bagi siapa saja yang mau membiayai creative project ini.

Besarnya berapa saja,mulai dari satu dolar hingga tak terbatas.Tentu saja setiap penyumbang akan mendapatkan “sesuatu”,mulai dari penyebutan nama, mendapatkan mock up sebelum product launching, sampai produk perdana yang jumlahnya bisa bertambah sesuai dengan jumlah donasi. Dalam tempo 75 hari sejak diluncurkan di Kickstarter, saya bisa membaca bahwa project ini berhasil mendapatkan dana sebesar USD364.968, lebih dari yang diharapkan wirausaha pemilik gagasan. Inilah yang saya sebut sebagai marketing entrepreneur.

Entrepreneur pada dasarnya bukanlah melulu melakukan penciptaan produk (creating product), melainkan creating value.Anda bisa bayangkan apa jadinya bila Indonesia tidak memiliki modern marketing entrepreneur dan semua mentor hanya mendorong lahirnya produk atau service entrepreneur? Saya kira masa depan dunia kewirausahaan yang beberapa tahun ini kita panaskan akan kembali berubah menjadi dingin. Tanpa marketing entrepreneur, kelak akan terjadi kelelahan di kalangan wirausaha muda. Mereka keletihan mencari modal, mengembangkan ide,membawa produk dari sebuah gagasan menjadi sesuatu yang siap dipasarkan dan memasarkannya.

Pengalaman dan pengamatan saya menunjukkan pekerjaan besar ini membutuhkan minimal lima tahun untuk melahirkan entrepreneur yang matang dengan produk yang kreatif dan brand yang sustainable. Marketing entrepreneur tidak hanya membantu entrepreneur mendapatkan sumber dana, melainkan juga memasarkan hasil kreasi mereka.Dunia ini memang membutuhkan spesialis-spesialis yang sophisticated dan mendalami pekerjaannya.

Dari situlah suatu bangsa membesarkan wirausaha- wirausahanya, membangun UMKM menjadi pemain global yang tangguh sekaligus menciptakan produkproduk yang bermutu. Di era internet yang serbaterbuka, seorang pemula tidak perlu membangun personal branding hingga bertahuntahun. Kalau punya produk bagus, semua orang bisa mendapatkan pasar dari marketing entrepreneur yang menguji produknya sebelum produk-produk itu sungguh-sungguh dipasarkan.

Indikasinya, cukup banyak orang yang mau membiayai projectitu. Di situs KickStarter misalnya, produk capture clip camera, yang semula hanya membutuhkan USD10.000, ternyata berhasil mendulang funding sebesar USD364.698 dari 5.258 investor.Ini jelas menunjukkan pasar sangat menantikan kehadirannya, konsumen pun bisa menjadi investor.Pada produk lain,yang hanya membutuhkan sebesar USD15.000 (sebuah tali jam yang memindahkan iPod Nano), berhasil mengumpulkan funding mendekati USD1 juta dari 13.512 investor yang menyumbang dari 1 dolar hingga tak terbatas.

Mobilisasi dana investasi cara ini jauh lebih powerful daripada sekadar angel investor yang pernah saya ceritakan berapa waktu lalu dalam kolom ini. Selain memobilisasi dana, seorang entrepreneur pemula juga dapat menguji seberapa kuat penerimaan pasar sekaligus menggantikan marketing test melalui cara-cara konvensional. Ayo bangun jaringan marketing entrepreneur! Siapa berminat? ●

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia

Senin, 28 November 2011

The Cute And The Hot - Jawapos 28 N0vember 2011

Banyak Lelaki berpikir harus ganteng dulu supaya bisa dapat pacar. Tetapi saya justru banyak menemukan lelaki keren mentereng yang kesulitan mendapatkan pasangan. Kejadian seperti ini sama persis seperti yang dialami anak-anak muda, yang baru merintis usaha yang habis-habisan fokus pada produk kebanggaannya.

Seorang remaja misalnya, komplain kepada adik-kakaknya yang kesemuanya perempuan. Sebagai satu-satunya anak lelaki ia merasa ada yang kurang beres. Ia lalu bertanya kepada adiknya, “apakah saya kurang keren?” Adiknya berkata dengan bahasa gaul “kakak cute kok!” Cute berarti keren, tidak jelek, si adik menyimpulkannya setelah bergunjing dengan “geng”-nya di sekolah, tetapi mengapa kakak “cute” tidak dapat cewek?

HOT: Action
Mudah saja dijawab, ternyata cewek-cewek itu bukan mencari yang cute, melainkan yang hot. Cowok-cowok yang keren sering kali tidak hot, manja, menunggu dilamar, tinggi hati, dan hanya sibuk berdandan. Sekarang Anda jadi mengerti bukan, mengapa banyak perempuan cantik yang tidak jatuh ke pelukan laki-laki cute? Bahkan Anda sering menghujat, “lha kok cowoknya parah banget? Nggak selevel?” Masalahnya, merekalah yang berani mendatangi, bolak-balik tak kenal lelah.

Itulah reality show. Sekali lagi bukan yang cute, melainkan  yang hot-lah yang dicari. Ini sama persis dalam dinamika bisnis di era Cracking Zone. Pasar bukan mengejar produk yang cute, melainkan yang hot. Barang-barang yang cute tidak beredar, sedangkan yang hot, meski kurang-kurang sedikit, bahkan maaf, kadang juga yang kurang bagus, melenggang lancar di pasar karena ia digerakkan, pemikiknya aktif mendatangi pasar.

Saat menulis kolom ini saya pun sedang berada di Banda Aceh, menghadiri Festival Kopi Aceh tak jauh dari Masjid Raya kesohor itu. Di antara tenda-tenda peserta, saya mendatangi UMKM binaan Rumah Perubahan secara on the spot. Dengan jelas kami bisa membedakan mana saja UMKM yang akan maju dan mana yang akan diam di tempat: Mereka yang diam itulah yang tendanya bagus dan asyik sendiri. Sedangkan yang hot, aktif mendatangi. Ini sama persis dengan UMKM yang dibawa pemda-pemda ikut pameran ke luar negeri.

UMKM yang hot sudah siap dengan aneka brosur dan kartu nama, sedangkan yang cute sibuk menyiapkan display produk dan stand. Kita tahulah bagaimana kerja birokrasi yang masih banyak digerakkan prinsip “sekedar menghabiskan anggaran.” Dengan prinsip itu, pemerintah sudah pasti tidak mendapatkan lokasi pameran yang “hot”. Jadi letaknya tidak pada posisi yang strategis, menyempil di dalam-dalam kotak yang tersudut. Pada posisi seperti ini, Departemen Perdagangan lebih senang menghabiskan uangnya untuk membuat desain stand yang ”cute”, ditambah sejumlah kegiatan Public Relations yang ditopang wartawan dari dalam negeri.

Wartawan yang tidak kritis “tertipu” habis karena hanya menyajikan berita betapa “cute”-nya stand  pameran Indonesia. Seakan-akan yang cute itulah yang sukses. Statistik yang diberikan pemerintah juga amat impresif. Tapi tanyakanlah kepada pelaku-pelaku UMKM yang “cute” tadi, apakah betul mereka mendapatkan order?

Beberapa tahun yang lalu ada anak muda yang ikut pameran pariwisata yang amat terkenal di Berlin. Sewaktu saya kunjungi saya tertegun karena ia tak berada di dalam area stand pemerintah Indonesia. Ia berkeliling sambil membawa sebuah hand luggage  beroda dan bersama temannya membagi-bagikan brosur pada para pengunjung yang keluar dari area standpemerintah Malaysia, Turki, Thailand, atau Israel. Maklum itulah empat negara yang gencar berpromosi dan paling banyak dikunjungi calon-calon “buyer” dan travel agents.

Sementara pelaku-pelaku pariwisata Indonesia mengeluh pada pemerintah karena pamerannya gagal, anak muda itu justru mendapatkan “pacar”, yaitu order dari mancanegara.

Jadi, cracking zone ini memang penuh jebakan batman, kita mengira segala yang cute akan digemari, nyatanya tidak demikian. Sama juga dengan wirausahawan-wirausahawan muda yang hanya sibuk dengan pengembangan produk tok.Produk yang cute tak akan otomatis bergulir. Malaysia saja alamnya tak se-“cute” Indonesia bisa mendapatkan turis lebih banyak. Tentu bukan karena prinsip “the cute”. In real life, the hot is the darling!

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Minggu, 27 November 2011

Medali Emas - Sindo 24 November 2011

Berjalan mengelilingi Kota Namlea, tiba-tiba seseorang menyebut nama mantan seorang atlet sepak bola terkenal,yang pernah jaya di era tahun 1970-an. Semua orang lalu hanyut menceritakan prestasinya.

Saya masih ingat namanya sering disebut radio dan koran.Tetapi, benarkah itu atlet yang dulu menjadi pujaan masyarakat? Berambut gimbal, baju compang-camping, dan lusuh, kaki penuh debu. Seorang teman menyebutkan persoalan yang dia hadapi. Setelah masa kejayaan,dia harus kembali ke masyarakat. Ijazah sekolah tidak ada, pengalaman kerja apalagi.Yang ada di sakunya hanya medali emas yang pernah didapatkan tim PSSI saat dia bergabung.

Tetapi, sekarang medali itu sudah tidak ada lagi. Depresi, gila, atau entah apa namanya.Hidup terlunta- lunta tak ada perhatian. Nama besar tinggal sejarah. Lain lagi dengan Jumain, mantan atlet dayung nasional yang sering meraih medali emas. Meski tidak seburuk pemain bola tadi, Jumain yang pernah memperkuat SEA Games XV (1989) hanya bisa bekerja sebagai penjaga kapal di pantai Marina–Semarang dengan upah Rp500.000.

Nasib Jumain tidak lebih baik dari Marina Segedi yang meraih medali emas pencak silat pada SEA Games XIII (1981) di Filipina. Meski perempuan, Marina kini berprofesi sebagai sopir taksi di Jakarta. Nasib atlet-atlet tua yang saya sebut di atas sungguh menyesakkan dada, selain gelanggang olahraga nasional pasca-SEA Games atau PON yang tak terurus, ternyata atlet-atlet yang pernah berprestasi juga kurang mendapat perhatian.

Saya juga pernah membaca mantan juara tinju kelas Bantam Yunior (1987) yang menjadi pemulung dan sebagainya. Nasib mereka tak sehebat Rudy Hartono, Liem Swie King, atau Icuk Sugiarto yang sukses hidup sebagai pengusaha. Sementara hari ini, 24 November 2011, atlet-atlet peraih medali emas SEA Games akan mendapatkan insentif sebesar Rp200 juta per orang per medali. Kita perlu mengingatkan bahwa uang sebesar itu bisa saja mengubah hidup menjadi lebih baik, namun bisa juga sebaliknya.

PLC 
Ibarat produk, setiap atlet juga memiliki PLC (product life cycle) yang relatif pendek. Atlet adalah profesi yang ”cemerlang” di usia muda.Paling panjang, seorang atlet di dunia amatir dapat bertahan antara 10–12 tahun.Lewat usia tertentu, siklus hidupnya akan berakhir. Padahal usia muda hanya sementara, dan untuk meraih prestasi, seorang atlet harus mengabdikan hampir seluruh masa mudanya untuk olahraga.

Seperti atlet golf perempuan asal Korea Selatan, Seri Park, yang meninggalkan dunia sekolah, atlet-atlet kita juga banyak yang melakukan hal serupa. Selain fokus, sebagian atlet diketahui juga berasal dari kalangan kurang mampu yang memperbaiki nasib keluarga melalui olahraga. Kalau olahraga yang ditekuninya favorit, dia bisa mencetak prestasi setiap tahun dalam kurun waktu tertentu.

Dan kalau wajahnya khas dan ceritanya unik, mereka bisa mendapat rezeki sampingan, baik sebagai bintang iklan,bintang layar lebar, atau yang lebih beruntung lagi mendapat kan mertua yang hebat. Tetapi berapa banyak atlet yang beruntung seperti Ade Rai, Taufik Hidayat, atau Rudy Hartono? Tentu tidak banyak,bukan? Dalam kurun waktu PLC yang pendek itu kita perlu mengingatkan para atlet agar mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum masa emasnya berakhir.

Jendela emas yang hanya berlangsung 10–12 tahun itu berlangsung begitu cepat, dan mereka perlu berpikir keras agar tidak bernasib seperti seniorsenior mereka yang kurang beruntung. Sikap setiap orang terhadap masa depan tentu berbeda- beda.Ada yang jauh-jauh hari sudah berpikir dan mempersiapkan diri, namun ada juga yang masih ingin bersenang- senang menikmati masa muda dengan uang yang berlimpah dan penuh pujapuji.

Kalau seorang atlet meraih empat medali emas ditambah beberapa medali perak dan perunggu, dia hampir pasti akan membawa bonus minimal sebesar Rp1 miliar.Ini tentu bukan jumlah yang kecil. Namun, seperti orang pensiunan yang selama bertahuntahun hanya terlatih menjadi pegawai,sudah pasti seseorang akan mudah terjerumus dan kebingungan, seorang yang tidak bisa mengelola uang perlu dibekali dengan perencanaan keuangan yang sehat.

Lakukanlah Investasi 
Orang-orang dulu percaya bahwa ”hemat adalah pangkal kaya”. Meski saya hampir tak pernah melihat orang yang menjadi kaya karena hidupnya sangat hemat, saya juga tidak melihat ada masa depan di tangan orang-orang yang boros. Atlet-atlet yang cerdas tentu perlu merencanakan tindakannya dengan penuh kehati-hatian. Yang jelas, konsumsi yang berlebihan bukanlah hal yang disarankan.

Atlet yang cerdik dapat menggunakan uangnya untuk berinvestasi, baik dalam bidang pendidikan, bermain saham, atau investasi dalam usaha-usaha tertentu.Tetapi, sebagai seorang pemula, semua investasi itu harus melewati masa belajar yang panjang. Karena itu, tak ada hasil yang diperoleh dalam sekejap.

Semua butuh kerja keras dan mampu mengelola rasa frustrasi, mengelola kesabaran. Apa yang diinvestasikan hari ini baru akan berbuah lima– enam tahun ke depan. Itu pun hanya akan berbuah kalau jalannya benar. Saya ucapkan selamat kepada para atlet yang berprestasi dan berhati-hatilah dalam mengelola uang karena dia bisa menjadi sumber harapan masa depan, namun juga bisa menjadi sumber masalah.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Leadership PNS - Jawapos 21 November 2011

Banyak PNS muda yang curhat kepada saya mempertanyakan kapan birokrasi Indonesia berubah dari kucing (yang maaf ,”malas”) menjadi Cheetah (yang gesit dan cepat). Mereka gundah setelah membaca pernyataan Wapres Budiono yang menjanjikan transformasi birokrasi bisa berlangsung empat-lima kabinet. Ini berarti 20 tahun ke depan nasib dan cara kerja mereka belum berubah. Dan seperti Bandara Ir H. Juanda yang butuh waktu 12 tahun dari desain sampai peresmian, maka begitu selesai, ia juga harus sudah diperbaiki lagi: kapasitas sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, dan berubah lagi.

Maka, kepada rekan-rekan PNS saya ingatkan bahwa perlu dilakukan terobosan leadership supaya hidup dan kerja tidak membosankan. Bukankah bekerja tanpa memberikan impak sosial tidak membahagiakan? Apa artinya mempunyai banyak proyek kalau martabat diinjak-injak masyarakat dan dianggap tak berguna?

Terobosan Leadership
Dalam banyak hal, leadership di kalangan PNS sebenarnya sudah harus banyak berubah. Ketika desain birokrasi diperbaiki, celakanya sebagian besar PNS terjangkit inertia, yaitu terikat belenggu-belenggu tradisi yang memenjarakan kaki-tangan-dan pikiran-pikirannya. Cara bekerja dan berpikir manusia Orde Baru, yaitu sangat  mengedepankan kesetiaan pada atasan, stabilitas, menunggu arahan dari atas, setor muka, membacakan naskah pidato yang dibuatkan orang lain, membagikan alat-alat yang tidak sesuai dengan kebutuhan  si penerima di lapangan, terlalu prosedural dan seterusnya.

Selain itu manajemen birokrasi adalah manajemen yang terkunci pada  model perilaku I –Centric yang berakibat buruk pada hereditas  (DNA) unit organisasi tersebut. Organisasi seperti itu bekerja seperti berikut ini: hanya melayani (berbicara) dengan atasan satu tingkat di atasnya (one level up), strategi dan informasi dikuasai pejabat senior tertentu, jabatan dipakai untuk meng-impresi dan menciptakan jarak (hirarki), pintu ruangan tertutup  - dijaga beberapa petugas administrasi dan ajudan, kritik terhadap hasil kinerja orang lain sangat judgemental (menghakimi), fokus pada “apa yang tidak bisa dikerjakan), cenderung blaming (menyalahkan), kesalahan adalah ketakutan, takut tidak bisa melaksanakan, sulit mendapat dukungan pelaksanaan, informasi tidak di sharing dengan yang lain, dilarang “cross the line” atau menjembatani diri dengan anak buah orang lain tanpa melalui atasan masing-masing, otokratik, atasan selalu benar, bawasan selalu merasa kurang diperlakukan secara adil, ada bagian “kering” – ada bagian “basah”, menunjukkan (bukan “membagi”) “apa yang saya tahu”, memberi pengarahan (bukan mendengarkan), bekerja dengan sarat prosedur dan tujuan utamanya adalah compliant (kepatuhan) – bukan hasil, yang membuat Anda tidak bisa bekerja lebih jauh adalah constraint dan aturan yang dibuat sendiri, dan perintah atau arahan adalah dibuat dogma.

Panjang sekali ya? Ya, seperti itulah model leadership sebagian besar PNS yang belum melakukan transformasi. Prosedur memang sulit kita ubah sendiri, namun leadership adalah urusan kita masing-masing. Inilah yang membedakan Anda sebagai leader  atau follower. Leader mengambil inisiatif, menetapkan nada dan lagu, mengambil keputusan. Follower maaf, cuma ikut-ikut dan mengeluh saja, agendanya ditetapkan orang lain dan ia hanya menunggu perintah. Otaknya tidak aktif berpikir karena semua pekerjaan digariskan dari atas, sehingga lama-lama orang pintar lulusan UI, ITS, dan Unair pun jadi bodoh.

Maka saat ini diperlukan leadership breaktrough,  sudah ataupun belum reformasi birokrasi menyentuh para PNS di lingkungan masing-masing. Leadership breakthrough ini pada dasarnya adalah suatu transformasi dari cara-cara yang berpusat pada diri sendiri (I-Centric) menjadi We-Centric. Manusia I-Centric hanya bekerja untuk dirinya sendiri dan atasan satu level di atasnya saja. Ia disconnect terhadap dunia di sekitarnya. Setiap orang bekerja pada silosnya masing-masing.

Manusia I-Centric tidak akan bisa menolong pemerintah memberikan pelayanan. Sebaliknya , organisasi customer centric harus dimulai dari manusia-manusia We-Centric. Inilah manusia-manusia yang berorientasi pada konteks yang lebih besar dari dirinya sendiri. Manusia We (kami) adalah manusia yang connected (terhubung) dengan sekitarnya.
Perhatikanlah pemerintahan-pemerintahan daerah yang maju, atau negara-negara yang sukses. Mereka memiliki cara kerja seperti perusahaan-perusahaan yang sukses. Sebut saja Starbucks atau Microsoft. Mereka sukses bukan karena teknologi atau capital,  melainkan oleh manusia-manusia yang mampu bekerja sama dan secara kreatif dan kritis membentuk lingkungannya. Mereka melihat semua orang sebagai mitra yang menyampaikan “experience” kepada jutaan pelanggan setiap saat.

Breakthrough itu akan menghasilkan manusia-manusia yang berbagi ¬(sharing) apa saja, mulai dari informasi sampai pengetahuan dan pekerjaan, terlibat dalam pengambilan keputusan, inclusive, open-door policy, saling mendukung dan memberi semangat, fokus pada apa yang bisa dikerjakan, berani belajar dari kesalahan, sharing hope, dreams dan aspiration, mendukung risk taking, mau mendengarkan, dan memberi reward terhadap sukses.
Dalam buku Record – Your Change DNA, saya menemukan pegawai-pegawai yang sukses adalah pegawai-pegawai yang aktif berpikir dan mengerjakan apa yang dipikirkannya, bukan yang dipikirkan orang lain. Maka penting bagi kita menghidupkan kembali otak-otak PNS agar mampu memberi impak yang sehat. Selamat berubah

Rhenald Kasali

Kamis, 17 November 2011

Conflict of Interest

Dalam literatur, conflict of interest terjadi ketika seseorang terlibat dalam multiple interest (beberapa kepentingan) yang mengakibatkan seseorang harus mengorbankan (dan berpotensi korupsi) kepentingan lainnya.

Kepentingan yang “dikorbankan” itu menjadi sorotan, terutama dalam area pekerjaan publik, di mana seorang pejabat atau pengemban tugas publik tidak mampu memisahkan antara kepentingan personal (pribadi)-nya dan kepentingan publik (rakyat). Dalam mengemban tugas publik, setiap orang pasti akan mengalami konflik itu, dan hampir pasti kepentingan publik selalu dikalahkan,sehingga conflict of interest harus dikelola, dimitigasi dengan aturan-aturan dan kode etik yang memadai.

Menurut Mac Donald & Norman, sebagaimana ditulis dalam Journal of Business Ethics (Agustus 2002),“The integrity of public sector officers and processes is fundamental to the rule of law, and as conflict of interest are a major risk in all areas of government it is crucial that they be identified and managed. If they are not, and public officials put their private interest above the public interest there is the potential for serious misconduct and corruption” 

Aturan-aturan dan undangundang harus mengedepankan kepentingan publik dan dikawal pelaksanaannya,karena sejak dari awal proses pembuatan setiap undang-undang itu terdapat proses conflict of interest, yang memungkinkan berbeloknya kepentingan publik ke dalam kepentingan masing-masing personal.

Demikian pula dalam pelaksanaannya. Karena itu, mengembangkan aturan atau undangundang yang mampu membentuk budaya pelayanan publik yang bebas conflict of interest menjadi sangat krusial demi terbentuknya kepercayaan yang besar pada lembagalembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Budaya organisasi yang sangat mengedepankan kepentingan pribadi di gedung parlemen telah menjadi tontonan rakyat sehari-hari.Adalah hal yang biasa disaksikan, dua orang wakil rakyat,bahkan yang berasal dari fraksi yang sama, bertengkar menyerang pejabat publik yang diundang dalam rapat dengar pendapat karena masing-masing memiliki kepentingan pribadi terhadap kebijakan yang dibuat pihak eksekutif.

Dalam interaksi saya dengan para pemimpin (CEO) badan usaha milik negara,saya sering mendengar keluhan kesulitan menghadapi wakil rakyat yang tak henti-hentinya mengundang rapat dengar pendapat, yang sebenarnya merupakan sarana lobi untuk memasukkan atau menggolkan kepentingan-kepentingan bisnis pada BUMN tersebut.

Conflict of interest seperti ini telah sangat mengganggu arah pembangunan masa depan bangsa dalam segala hal. Pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang mengkhawatirkan tentang arah masa depan pengembangan energi nasional misalnya mudah ditelusuri dari resistensi yang diberikan sekelompok anggota Dewan yang berbisnis pada bidang energi konvensional yang merasa terganggu oleh kebijakan dalam energi terbarukan.

Dari sebab itulah, peraturan dan perundang-undangan yang ada harus mampu membentuk budaya bebas kepentingan pada masyarakat luas,khususnya pada lembagalembaga publik. Tontonan tentang perilaku conflict of interest yang dominan di gedung parlemen, yang menjadi perhatian media massa, dapat membentuk budaya yang sama dalam masyarakat luas.

Masing-masing anggota masyarakat hanya akan mengedepankan kepentingan masing-masing karena meniru apa yang dilakukan para pemangku kepentingan, yang akhirnya akan memupuskan ikatan (bonding) pada masyarakatsebagai bangsa yang mempunyai hak sama di hadapan hukum. Ini akan berakibat memudarkan ikatan sebagai komunitas dan bangsa.

Masingmasing orang hanya akan fokus pada dirinya masing-masing, yaitu “apa akibatnya bagi diri saya pribadi?” dan bukan “apa akibatnya bagi kita semua?” (Glasser,2002). Budaya bebas kepentingan akan sulit dicapai bila suatu bangsa membiarkan atau seakan-akan membenarkan seorang pejabat publik menghadapi situasi yang jelas-jelas dia sendiri tidak dapat bertindak adil karena terkena akibat dari kepentingan yang diambilnya.

Menarik juga diperhatikan, dalam beberapa tahun terakhir, pascaberakhirnya pemerintahan Orde Baru, sistem kelembagaan tata negara Indonesia mulai mengarah pada pembentukan budaya bebas kepentingan. Mahkamah Agung sudah mulai mandiri dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, lepas dari pengaruh eksekutif dan legislatif.

Peranan DPR yang dulu dimandulkan (legislasi, budget, dan pengawasan) sudah mulai dihidupkan dan seterusnya. Pada tingkatan yang lebih mikro, di berbagai institusi eksekutif, mulai dilakukan pemisahan-pemisahan pada bagian-bagian yang berpotensi mengalami conflict of interest.

Di Kantor Pajak telah dipisahkan antara unit yang menagih pajak dan unit yang menangani pemeriksaan dan kebenaran. Namun, ketika lembagalembaga publik mulai membebaskan diri dari konflik kepentingan, saat ini kita menyaksikan pemandangan yang tidak menyejukkan dari lembaga legislatif, yang justru sangat sarat dan terlena dalam tradisi yang penuh dengan konflik kepentingan.

Lembaga legislatif (DPR) jelas perlu melakukan transformasi mendasar untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah merosot sebagai akibat keterlenaannya terhadap pengambilan-pengambilan keputusan yang sarat conflict of interest. Namun, seperti yang dialami organisasiorganisasi publik lain,lembaga yang sangat berkuasa,atau memiliki kekuasaan yang sangat strategis, selalu saja mengalami inertia, yaitu ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu yang mengikat dirinya sendiri.

Organisasi seperti ini lalu berubah menjadi “musuh masyarakat”, yang biasanya justru malah membentengi dirinya lebih kuat lagi bila diberikan feedback untuk memperbaiki dirinya demi mempertahankan status quo. Selain berbagi kenikmatan, masuk ke dalam zona nyaman (comfort zone), mereka juga cenderung saling melindungi satu sama lain kendati rekan-rekannya melakukan perbuatan-perbuatan melanggar etika.

Organisasi seperti ini akhirnya akan menjadi beban bagi suatu komunitas kumuh dan menimbulkan persoalanpersoalan sosial serta kesulitan beradaptasi secara mandiri. Kita sudah pernah menyaksikan persoalan-persoalan serupa di TNI, kepolisian, dan hampir seluruh jajaran birokrasi di era Orde Baru yang dibiarkan berlarut-larut sampai bangsa ini sangat kesulitan melakukan pembaruan.

Mereka cenderung saling menutupi kesalahan dan pelanggaran berat yang dilakukan anggotanya. Karena itu,diperlukan breaktrough (terobosan-terobosan) yang datang dari luar untuk mengembalikan organisasi pada relnya dan menjadikan lembaga legislatif sebagai organisasi berintegritas yang dicintai rakyatnya.

Organisasi seperti DPR ini hanya akan dapat kembali dipercaya kalau organisasi ini memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bebas dari kepentingan. Maka itu,kemarin di hadapan Mahkamah Konstitusi, saya meluangkan waktu menjadi saksi ahli untuk memperjuangkan agar budaya conflict of interest di negeri ini dapat dihalau, dimulai dari gedung parlemen.

Saya melihat harapan dari gedung Mahkamah Konstitusi yang dapat melihat dan meninjau kembali pasal-pasal UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD yang sarat dengan masalah conflict of interest. Pertama, tentang susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan (Pasal 124).Pasal ini telah membuat lembaga legislatif yang terhormat gagal melakukan self correction yang diperlukan untuk menjaga integritas dan kehormatannya.

Badan kehormatan yang hanya terdiri atas kelompokkelompok yang sama dengan orang-orang yang melanggar etika hanya akan mempersulit geraknya sendiri dalam memperbarui dan membersihkan diri dari persoalan-persoalan serius yang dihadapinya.

Hal ini terbukti dari gagalnya BK DPR menangani sejumlah anggotanya yang diadukan masyarakat karena persoalan-persoalan serius pelanggaran etika. Norbiss (1989) dalam Moral Hazards of an Executive mengatakan, prinsip-prinsip moralitas demokrasi hanya akan berjalan bila para wakil rakyat peduli terhadap public values.

Kenyataannya, kita menyaksikan BK DPR yang hanya diisi para anggota DPR (perwakilan dari fraksi) justru semakin menjauh dari public values, bukan karena tidak paham,melainkan karena “tidak memungkinkan” lantaran conflict of interest.

Untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan publik, BK DPR justru diisi orangorang yang berasal dari luar lingkungannya yang bebas dari kepentingan, netral, dan tidak memiliki multiple interest. Hal ini sudah dilakukan di Dewan Pers, dan terakhir di Komisi Etika KPK yang mendapatkan sambutan positif dari masyarakat.

Kedua, tentang larangan jabatan rangkap. Saya berkeyakinan jabatan rangkap yang sekarang marak dijalankan para wakil rakyat telah menimbulkan ketidakpercayaan yang sangat luas dalam masyarakat terhadap lembaga legislatif.Sudah menjadi rahasia umum ada tendensi di masyarakat untuk menggunakan jabatan sebagai wakil rakyat demi kegiatan “power marketing”.

Sebagai wakil rakyat yang dibebaskan terlibat conflict of interest¸ kebebasan menekan dan memanfaatkan hubungan dengan eksekutif telah menimbulkan praktikpraktik bisnis yang tidak sehat, persaingan tidak sehat, dan tentu saja korupsi yang terselubung.

Karena itu, saya merekomendasikan agar larangan rangkap jabatan (apa pun) yang sudah diberlakukan lembaga-lembaga publik lain hendaknya juga menjadi tradisi dan ketentuan tertulis yang dapat dituntut secara hukum pada lembaga legislatif.

Larangan jabatan (apa pun) yang saya maksud apakah segala jenis kegiatan profesi apa pun selain menjadi wakil rakyat.Wakil rakyat yang tidak berbisnis, tidak menjalankan kegiatan profesional, tidak menjadi makelar,atau kegiatan ekonomi lain akan memudahkan peran untuk sepenuhnya fokus menjalankan amanah konstituennya.

Wakil rakyat yang “fokus” dan bebas dari kepentingan akan menjamin integritas, netralitas, disiplin, dan perilaku positif dalam bernegara.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

ARTIKEL INI DIMUAT DALAM HARIAN SEPUTAR INDONESIA, 17 NOVEMBER 2011

Rabu, 16 November 2011

Ekonomi Kemenangan

Tak banyak pemimpin dan politisi yang mengerti,  bangsa ini  rindu kemenangan. Hampir setiap detik. Anda pasti melihat dan mendengar kata-kata yang merupakan cerminan dari kerinduan itu.  Perhatikanlah penggalan lirik  lagu Bola (Slank)  yang dinyanyikan dengan semangat memotivasi:  

Indonesia. 
Indonesia harus menang.  
Indonesia yakin menang.
Indonesia pasti menang!.....

Lirik  itu diputar televisi berulang-ulang, baik  menang maupun kalah.  Maka sekalipun Kontingen Indonesia  hanya menang kalau bertarung di kandangnya sendiri, rakyatnya pun tetap senang.  Aneh memang,  begitu melangkah keluar sedikit saja, kita selalu kalah.  Ada masalah psikologis dan manajerial yang harus dibenahi di sini.

Secara psikologis,  sejak menapak kehidupan, rata-rata anak Indonesia selalu kalah menghadapi gurunya.  Guru-guru lebih senang memberi kesulitan daripada dorongan dan harapan.  Tak mengherankan bila anak-anak yang "kalah" di sekolahnya menyalurkan kekuatannya di jalan lewat tawuran atau di sekolah dengan bulying. Pengalaman saya bersekolah di luar negeri jauh lebih mudah mendapatkan nilai A ketimbang di sini.   Apakah ini semua ada hubungannya dengan raport merah kita pada hampir semua index yang mencerminkan posisi kita di dunia global, atau hanya kepemimpinan yang buruk?

Raport Merah

Mari kita lihat index-index merah itu.  Pada logistic performance index, peringkat Indonesia 2010  turun dari posisi no 43 ke nomor 75 dari 155 negara, kalah jauh dari Singapura  (2), China (13), Malaysia (29), Thailand (35), Filipina (44), dan Vietnam (53). Dari segi kualitas manusia -  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia  (UNDP) berada pada urutan 124 dari 187 negara, jauh dibawah Malaysia (61).   Kita tertinggal di semua sektor.  Tingkat harapan hidup orang Indonesia, misalnya, rata-rata adalah 69,4 tahun. Sedangkan Malaysia 74,2 tahun.  Begitu juga dengan indeks pendidikan, indikator angka harapan rata-rata tahun sekolah orang Indonesia hanya 0,584, jauh dibawah Malaysia 0,730. 

Belum lagi masalah korupsi, Transparancy International melaporkan, persepsi terhadap korupsi di Indonesia mengalami eskalasi yang signifikan.  Bila pada tahun 2006 hanya 84% orang Indonesia yang disurvey mengatakan korupsi telah meluas di pemerintahan maka tahun ini jumlahnya naik menjadi 91%.   Sedangkan di dunia bisnis angkanya naik dari  75 % menjadi 86%.  Demikian pula dengan Bribe Payer Index (BPI 2011) yang  memotret praktek suap yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap penyelenggara negara di luar negara domisili pengusaha  menempatkan Indonesia pada peringkat ke-25 dari 28 negara.

Meski di saat yang sama  FDI yang masuk di Indonesia (2011) mencapai 32.20 persen dari  PDB,  kemudahan berusaha di Indonesia menurut Doing Business turun dua peringkat ke  posisi 129.  Wajarlah bila semuanya bermuara pada  daya saing Indonesia yang pada tahun ini indexnya ikut turun  dari peringkat 44 menjadi 46. Meski menang atau kalah adalah hal biasa, harus diakui ketidakpedulian para pemimpin dan kekonyolan karakter yang dipertontonkan para koruptor dan politisi membuat kita kehilangan role model dan  teladan. Kalau ini didiamkan maka bukan mustahil bila rakyatnya frustasi dan mengabaikan instruksi resmi dari negara.

Perangkap Kekalahan

Setiap bangsa yang sehat ternyata tak hanya fokus pada kemenangan.  Mereka juga mempersiapkan bangsanya dalam menghadapi kekalahan. Dari jaringan tivi CNN saya melihat  Yunani yang tengah dihajar badai krisis ekonomi  menyikapi kekalahan dengan memberikan latihan yoga yang dikombinasi dengan latihan-latihan tertawa untuk menghilangkan stres kepada para profesional yang kehilangan pekerjaan.  Beda benar dengan bangsa ini yang saat krismon menghibur diri dengan program-program tivi yang berhubungan dengan dunia goib seperti tuyul, kuntilanak, Pemburu Hantu dan Uka-Uka. 

Di Jepang, saat badai tsunami menghancurkan harapan, mereka memilih cara gambaru, memotivasi diri agar jangan putus asa dan  menyerah.  Sedangkan di Amerika Serikat, asosiasi para coach  mengeluarkan pedoman agar para pelatih tidak melacurkan diri dengan kemenangan jangka pendek.  Apa maksudnya?
Para coach itu menunjuk sebuah studi yang menemukan bahwa kekalahan harus dikelola untuk menumbuhkan karakter bagi kaum muda.   National Federation of Interscholastic Coaches Association menuturkan para coaches di Amerika Serikat selalu menghadapi dilema karena masyarakat hanya mengapresiasi pemenang.  Namun dilain pihak sport atau kompetisi adalah alat pendidikan yang efektif untuk menguji kehidupan, membangun karakter dan kepemimpinan.

Maka dari itu coaches  selalu dibekali dengan buku pedoman yang menandaskan bahwa objektif setiap kompetisi bukanlah mengalahkan orang lain (surpasing performance of others) melainkan melewati atau melebihi batas capaian pribadi  (own goals). 
Saya ingin mengajak Anda kembali ke tahun 1992 yang mungkin pernah saya ceritakan tentang Olimpiade di Barcelona yang dikenang sepanjang sejarah.  Sprinter  Derek Redmon  mendapatkan standing applause bukan karena kemenangannya, melainkan karena jiwa besarnya.  Ia kembali ke dalam race kendati tertinggal jauh karena paha kanannya cidera.  Ia kembali ke race bukan untuk merebut medali  emas,  melainkan untuk menghormati pertandingan.  Ia berlari tertatih-tatih diiringi tepuk tangan yang meriah dan airmata kesakitan.  Meski tidak meraih medali emas, dunia mencatat Derek Redmon dengan kehormatan.

Ia menorehkan kata WIN  yang diartikan great leaders sebagai What’s Important Now. Kalau ingin maju, para pemimpin harus mulai bekerja dengan goals dan dreams  yang jelas.  Tanpa itu kita hanya akan berputar pada pusaran air yang sama, sekalipun kita meraih juara umum Sea Games sesaat.  Tanpa goals dan dreams yang jelas kita tak akan kemana-mana.  Dengarkanlah nasehat Lou Holtz berikut ini, 
"Hidup ini penuh tantangan.  Suatu hari kita minum wine, besoknya kita bisa saja memetik anggurnya.  Kita semua mengalami hal yang sama.  Semua orang mempunyai kesempatan dari enam puluh detik ke satu menit, enam puluh menit ke satu jam, dua puluh empat jam ke satu hari.  Yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah apa yang Anda kerjakan dengan waktu itu dan siapa yang Anda ajak bicara.  Seperti yang dikatakan Harrington, “if you’re killing time it’s not murder, but pure suicide.”

Wahai para pemimpin, dunia ini tak mengenal Ekonomi Sangkuriang yang segalanya bisa selesai dalam satu malam.  Dunia ini memerlukan manusia yang tidak membuang waktu dan mau berkelahi menuntaskan setiap masalah dalam details dan proses. Tanpa goals anddreams, kita tak akan kemana-mana

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

ARTIKEL INI DIMUAT DALAM HARIAN JAWA POS, 14 NOVEMBER 2011

Surfice Dog

Di akhir tahun ini,  perhatian para eksekutif banyak tertuju pada  seekor anjing golden retriever yang dirawat oleh  pelatihnya, Judy Fridono.   Ia menjadi perhatian, bukan karena harganya atau karena orang berebut ingin  memilikinya, melainkan karena ceritanya.  Para eksekutif menaruh  perhatian setelah mengetahui  kehidupan hewan peliharaan ini mampu mengubah cara berpikir manusia dalam menghadapi masa-masa sulit.  

Saya sengaja memilih topik tentang anjing penuh cinta yang kaya cerita ini untuk mengantarkan Anda menghadapi tahun 2012 yang jauh lebih menantang bila dibandingkan dengan situasi yang Anda hadapi di tahun ini. Seperti kata pepatah -- kita tak mungkin mendapat hasil yang lebih baik dengan cara yang sama berulang-ulang -- maka kitapun pelu mempersiapkan team yang jauh lebih tangguh, yang siap berubah. 
Beginilah ceritanya.

Service Dog Yang Gagal
Anjing kecil yang lahir 25 Januari 2008 ini diberi nama Ricochet atau sebut saja Ricky.  Meski bernama laki-laki, ia sebenarnya anjing betina.  Dan sejak lahir, Ricky sudah mengikuti program yang akan membawanya menjadi service dog, yaitu anjing penuntun orang cacat, khususnya kaum tunanetra.

Dari videonya yang saya pelajari, Ricky sudah diprogram sejak matanya belum terbuka.  Ia dilatih mengikuti inderanya. Badannya bergerak mengikuti stimulus yang diberikan pelatih, dan setiap kali menjalankan tugas, ia diberi usapan kasih sayang yang membuat hidupnya penuh kehangatan.

Pet yang cerdas ini dengan cepat menangkap segala  latihan yang diberikan kepadanya.  Mengambil payung, membuka pintu, membunyikan bel, menyalakan lampu rumah, membuka kulkas, mengambil makanan, menuntun majikannya melakukan perjalanan  rutin dan seterusnya.  Pokoknya ia hewan yang cerdik dan siap dilepas.

Masalahnya, di usianya yang ke satu setengah tahun, Ricochet diketahui memiliki kegemaran yang membahayakan tunanetra, yaitu suka mengejar burung.  Tak peduli tugas apapun yang sedang dijalankan ia pasti berlari mengejar kumpulan burung yang ada di dekatnya, lalu menghalaunya.   Bayangkan apa jadinya kalau ia sedang bertugas mengantar majikan menyeberang jalan, tiba-tiba ada seekor burung di jalan raya yang sedang ramai.  Tentu berbahaya.
Menurut Judy Fridono, keadaan ini memaksanya untuk mengeluarkan Ricochet dari programnya. Dengan berat hati ia mulai menghentikan latihan dan bersiap-siap melepas Ricky dan melatih anjing lain yang baru lahir.  Namun menjelang pelepasan ia berpikir kembali.  "Mengapa harus fokus pada kelemahannya?  Bukankah kita semua mahluk hidup memiliki kelemahan?."


Fokus Pada Kekuatan
Bagi Anda yang pernah terlibat dalam program transformasi, pasti masih ingat pesan yang sering saya sampaikan, jangan berfokus pada kekurangan atau kelemahan pada team Anda.  Dan itu pulalah yang diyakini oleh pelatih Ricochet.  Daripada berfokus pada kelemahan anjingnya, ia pun berfokus pada apa yang bisa dilakukan dan menjadi kekuatan Ricky.

Kekuatan itu pasti ada dan tugas setiap coach adalah menemukan elemen-elemen kekuatan itu. Saya tak tahu persis apa yang menjadi kekuatan Anda, karena sebagai atasan kita hanya menyiapkan Anda - membuat program untuk Anda- sesuai dengan kebutuhan kita, kebutuhan organisasi.   Kita melatih seseorang untuk kebutuhan kita, bukan untuk kebutuhan mereka.

 Bahkan sepanjang kita melakukan pekerjaan rutin seringkali kita tidak berpikir tentang kekuatan-kekuatan itu.  Kita hanya terpaku pada job description, yaitu deskripsi tugas dari job yang kita dapatkan saat rekrutmen.  Sekali seseorang berada di sana - sepanjang ia tak membuat ulah - ia akan terkunci di situ sekian tahun, lalu ia dipindahkan ke tempat lain sesuai keperluan organisasi.  Kita jarang sekali menaruh  pada kekuatan-kekuatan personal, selain kekuatan-kekuatan massal yang kita dapatkan dari berbagai alat ukur.

Lalu para eksekutif terbiasa mengembangkan program bukan berdasarkan kekuatan yang dapat dikontribusikan anak buahnya, melainkan pada kebutuhan organisasi.  Dan hasilnya tentu bisa diduga, ada sebagian orang yang tidak bisa mengikutinya.  Apalah jadinya kalau Albert Einstein dipaksa ikut kursus menyanyi oleh orangtuanya, atau bila Picasso diwajibkan ikut program fisika?

Kembali ke program yang dicanangkan untuk Ricochet, saat kesedihan datang, Judy Fritono justru menemukan satu kekuatan yang tidak pernah ia eksplorasi, yaitu kemampuan melakukan keseimbangan di atas papan selancar.  Ia menemukannya saat Ricochet dilatih di atas sebuah kolam kecil. Ia dengan lincah melakukan counter balance.

Maka menurut pelatihnya,  "rather than focus on what she couldn't do, I focused on what she could do, which was surfing." Judy fokus di sana dan menjadikan Ricochet surfing dog, yaitu anjing yang melakukan surfing di atas gelombang ombak di bibir pantai.  Ternyata ia memiliki kehebatan dan keseimbangan yang luar biasa.  
Kabar itu segera menyebar ke berbagai penjuru.  Dalam hitungan bulan permintaan sudah datang dan seorang anak yang mengalami cidera tak bisa berjalan minta. Ia diminta diajak tandem berselancar dengan Ricochet.  Permintaan dikabulkan, mereka tandem sungguhan, bahkan event itu digunakan untuk melakukan fundraising.  Mereka berhasil menangguk donasi di atas 10,000 dolar plus terapi selama tiga tahun.

Video ini saya putar berkali-kali dihadapan para peserta program transformasi, dan mereka semua mngatakan ini adalah video terindah yang pernah mereka lihat, yaitu video yang menggugah mereka untuk berubah. Berfokuslah pada kekuatan, maka Anda akan mendapatkan kehebatan. Selamat mempersiapkan tahun yang lebih menantang.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

ARTIKEL INI DIMUAT DALAM HARIAN SEPUTAR INDONESIA, 10 NOVEMBER 2011