Laman

Selasa, 19 Maret 2013

Lentera Jiwa (2) - Jawa Pos, 11 Maret 2013


Ketika seseorang bertanya bagaimana caranya menjaga kebugaran agar selalu tampak segar dan bersemangat, maka sebenarnya jawaban terbaik ada pada menyala atau tidaknya lentera jiwa seseorang.  Di rumah, kala saya sedang mengalami tekanan psikologis, istri saya selalu mengatakan "wajah saya sudah berubah menjadi seperti pak dosen".  Lama saya tak mendengar lagi kalimat itu, tetapi saya pernah memikirkannya.

Rupanya ia tak mau wajah suaminya menjadi mirip rata-rata dosen yang kata dia "menjadi lebih tua dari usianya".  Saya baru menemukan jawabannya ketika suatu waktu Najwa Shihab mempertemukan saya, Prof Emil Salim  dengan Ninik L Karim, dosen Fakultas Psikologi UI untuk menyambut mahasiswa baru. Di atas panggung auditorium UI, kami bercerita tentang kehidupan kami bagaimana meniti karier dan menembus tembok-tembok kesulitan sepanjang masa. Saat jeda, saya sempat bertanya pada Ninik, apakah sosok seperti dia klaim berada di kalangan dosen? Apakah tidak mengalami masalah dengan pola karier seperti ini?

Di luar dugaan saya, pemain teater yang pernah meraih beberapa kali piala Citra di layar lebar itu justru bertanya balik ke pada saya.  Saya katakan, justru itulah saya bertanya, karena sesungguhnya saya ingin tahu apakah orang seperti saya di fakultas lain juga mengalami hal serupa?  Selain mengajar, Ninik dikenal sebagai selebritas, dan dulu sering muncul di layar lebar.  Kalau sekarang anda menyaksikan akademisi menjadi pengamat dan sering masuk TV adalah biasa, tidak demikian sepuluh-dua puluh tahun lalu.

Ninik bercerita panjang lebar bagaimana ia dianggap aneh oleh komunitasnya.  Bahkan yang lain bercerita, mereka seperti digunjingkan, tak diinginkan oleh komunitasnya. Tetapi Ninik kemudian mengatakan, "Tetapi saya bahagia Mas, saya lakukan semua ini karena panggilan jiwa saya.  Sementara ada ratusan dosen yang melakukan profesinya bukan karena panggilan jiwanya”. Maka layaklah mereka menjadi dosen killer, mudah tertekan, cepat tersinggung, sulit mengungkapkan mau hatinya, bahkan sulit berprestasi optimal.  Padahal, seorang guru sejati bukanlah orang yang senang marah, mempersulit orang lain, mengatakan orang lain tak mutu, bahkan mengatakan hanya dirinya yang bisa bernalar.  Bagi saya semua in hanyalah cerminan dari tak menyalanya lentera jiwa.  Mereka bahkan the caged life (perangkap jiwa) atau bahkan sudah comfortable life (mempertikai kenyamanan).

Pertanyaan Jiwa

Maka sampai di usia 30-40 an, seorang yang sedang meniti karier perlu bertanya pada jiwanya dan pertanyaan itu adalah cermin dimana ia berada.  The Caged Life, kata Brendon Burchard, akan selalu diwarnai perasaan-perasaan takut setiap menyaksikan perubahan apa saja. "Apakah saya bisa survive"? Dan fokusnya hanya pada "aman atau tersakiti".
The comfortable life sebaliknya akan bertanya, "Apakah saya akan diterima dan berhasil"? Dan fokusnya pada penerimaan.  Sedangkan pemantik lentera jiwa akan bertanya, "apakah daya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualiasikan potensi diri saya?  Apakah saya telah melakukan hidup yang inspiratif dan mengirai oang lain".

Bagi saya, maaf, percuma saja  berteriak kejujuran dan etika, bila diri sendiri menjalani hidup yang terpenjara.  Orang yang terpenjara tidak hidup dalam apa yang ia inginkan, ia banyak menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang sulit ia jawab sendiri.  Sementara bagi pemantik lentera jiwa, credo yang dianutnya asalah, " ask not what you are getting from the world but, rather what you are giving to the world".

Maka, mereka tak pernah merasa keletihan karena setiap hari selalu menyaksikan hal-hal baru.  Ini berbeda dengan The Comfortabe Life yang selalu menjalani rutin dengan kebosanan.  Bagi pemantik lentera jiwa, "life is magical and meaningful". Mereka tak takut menghadapi gelombang-gelombang ancaman, mereka hanya peduli" apakah ini benar atau tidak" dan "apakah ini meaningful".  Selamat menyalakan lentera jwa masing-masing...


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar