Laman

Selasa, 12 Maret 2013

Lentera Jiwa (1) - Jawa Pos, 4 Maret 2013


Di STM (sekarang namanya SMK) 6 Kramat Raya tahun 1970-an akhir ada seorang siswa yang senangnya membuat puisi dan karikatur. Meski lulus sebagai juara kelas dan dapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke IKIP Negeri Padang, ia justru memilih kuliah di sekolah jurnalistik. Kalau ia mengambil opsi pertama, ia tentu sudah menjadi guru STM.  Tetapi meski tak punya biaya untuk bayar kuliah sendiri, hatinya berkata lain.

Setelah lulus, ia magang di sebuah majalah berita dan dilatih melakukan investigasi berita dengan prinsip “tak ada tokoh yang tak punya kesalahan”. Dengan bekal itu, setelah bertahun-tahun menjadi reporter, di sebuah stasiun TV, pada awal reformasi ia menjadi host talkshow politik yang sarat konflik. Tokoh-tokoh yang berseberangan ia pojokkan sehingga tak berkutik dan saling menyalahkan. Tontonannya sangat menarik, ratingnya tinggi. Tetapi setelah beberapa tahun menjalankan peran itu ia bertanya: “apakah ini yang saya cari dalam hidup saya?". Ia merasa ada yang salah telah ikut menaburkan kebencian dan permusuhan.

Berawal dari pertanyaan itulah ia berhenti dari seluruh kegiatannya dari talkshow politik dan mengundang orang-orang biasa, pejuang perubahan sosial yang inspiratif. Anda mungkin tahu siapa yang saya maksud. Ya, itulah Andy Noya dengan Kick Andy show-nya. Sewaktu saya gali untuk program TV yang saya asuh di TVRI, Ia mengatakan “Saya seperti tengah bercermin. Saat tamu-tamu itu bercerita, saya seperti melihat diri saya sendiri di sana”.

Chef Seno
Apa yang dilakukan Andy agak mirip dengan sahabat saya di UI yang suskses menjadi direktur keuangan di sebuah bank. Sebagai akuntan senior ia punya semuanya: Keluarga yang harmonis, rumah yang besar, anak-anak yang sehat dan karir yang bagus. Tetapi setelah krisis moneter berlalu dan ia selamat, Ia justru meminta pensiun dini dan lama menghilang.

Akhirnya tahun lalu secara tak sengaja kami bertemu di sebuah lorong pertokoan di depan sebuah restoran Jepang di kawasan Takapuna, dekat Auckland, New Zealand. Delapan tahun yang lalu ia berimigrasi kesini dan memulai profesi baru. Ia mengambil kursus memasak selama 2 tahun, membeli alat-alat, dan memulai kariernya sebagai tukang masak dari restoran-restoran kecil. Sekarang Chef Seno sudah menjadi koki di sebuah hotel terkenal dan menemukan lentera jiwanya.

Saat kami diundang makan malam Saya melihat ia begitu piawai memotong dan menyajikan hidangan. Karakter masa lalunya sebagai akuntan yang kritis mulai tak kelihatan.  Memasak adalah kecintaannya sejak kecil, namun sepertinya tak begitu macho bila dijalankan oleh pria, apalagi bila anda mengatakan itu adalah cita-citanya di tahun 70-80an. Ini mirip dengan Harland Sanders yang sudah gemar menggoreng ayam sejak usia kecil, namun setelah mendapat julukan kolonel, di usia 40-an Ia baru menggoreng ayam dan usahanya baru meledak saat usianya 60-an dengan nama KFC. Chef Seno dan Harland Sanders bukan memasak seperti ibu-ibu yang dipaksa nilai-nilai masyarakat berada di dapur: buku resep, kumpulkan bahan-bahan lalu masak. Mereka bisa memasak tanpa resep, mengikuti naluri dari bahan-bahan yang ada di dapur.

Sekolah STM bagi Andy Noya, menjadi akuntan bagi Chef Seno, atau menjadi tentara bagi Harland Sanders bukanlah lentera jiwa mereka. Brandon Burchard menyebut fase itu sebagai “The Cage” (kurungan jiwa). Di seluruh dunia, hampir semua kaum muda kesulitan menyalakan lentera jiwanya dan hidup terkurung menjalankan kehendak orang lain.

Saya juga melihat di usia dewasa, ribuan orang yang berkarir ternyata juga terperangkap dalam hidup yang sama. Bahkan ada yang masuk ke fase ke dua: The Comfortable life seperti yang dirasakan Chef Seno saat menjadi direktur keuangan, atau Andy Noya saat menjadi pemimpin redaksi dan Wakil Pemimpin Umum di Media Indonesia dan Metro TV. Mereka beruntung mempertanyakannya: Inikah yang saya cari?

Hidup dalam The Cage membuat manusia patuh dan menjalankan sesuatu atas ekspektasi dan kehendak orang lain sehingga sulit sekali mencapai prestasi tertinggi karena selalu terjadi pertentangan jiwa. The Caged life hidup dalam kotak “belief” yang sempit yang banyak membatasi hidupnya. Ia membangun hidup dari sesuatu yang didiktekan orang lain, dan tak pernah berani keluar dari garis-garis maya yang membatasinya, untuk mengeksplorasi dunia baru. The Caged life sangat takut bertentangan dengan aturan yang dibuat masternya, meski itu hanya ada dalam pikirannya. Sebegitu dalamnya peran “sang master” sehingga bila dilanggar, merasa “sangat berdosa”.

Lantas bagaimana keluar dari ke 2 fenomena itu? Tentu saja diperlukan upaya massif,  sebuah revolusi kehidupan seperti kembali ke titik nol dengan meghidupkan lentera yang oksigennya mungkin sudah ada. Saya akan melanjutkan minggu depan, tetapi anda bisa menyaksikan pergulatan-pergulatan itu setiap Selasa malam di TVRI dengan tamu saya Andy Noya atau tamu-tamu inspiratif lainnya. Kalau kita bisa menghidupkan lentera jiwa kita masing-masing, maka bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Bahkan saya percaya, iri, dengki, saling menghujat akan jauh berkurang. Artinya Persatuan Indonesia akan lebih ideal kita rasakan.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar