Laman

Sabtu, 20 Oktober 2012

Race to Nowhere - Sindo 11 Oktober 2012

Kita semua pernah sekolah, demikian pula anak-anak kita. Diantara anak-anak itu tentu saja ada yang berotak encer dan tak banyak menemui masalah. Namun harus diakui semakin hari sekolah semakin menakutkan bila ujian tiba, bukan hanya murid yang stress, guru dan orang tua pun gelisah. Bahkan setan hitam pun ikut gelisah. Jumlah siswa yang kerasukan di sekolah-sekolah semakin hari semakin besar sekali di sini, dan anehnya selalu terjadi menjelang ujian.

Mungkinkah semua persoalan itu terletak pada sistem pendidikan yang disebut Vicki Abeles sebagai sebuah “Race to Nowhere”. Ya seperti perlombaan besar yang muaranya “ ya, ngga jadi apa-apa juga”.
Hidup kita jadi terbalik-balik. Yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa sedangkan yang sekolahnya main-main malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Sulit kita melawan buku-buku populis yang mengajarkan cara-cara jalan pintas, cara gobloknya Bob Sadino berwirausaha atau bahkan keluguan seorang motivator yang menyebutnya dengan judul besar di cover depan buku karangannya:  The Power  of Malas. Sungguh, ini sangat sulit!  Mengapa sulit?  Tentu bukan karena sekolah tidak penting, melainkan ada yang salah.

Perbaiki Sekolah

Vicki Abeles gelisah. Sebagai ibu rumah tangga ia tak habis pikir mengapa putrinya yang berusia 12 tahun sakit secara fisik hanya karena sekolah. Selama 3 tahun ia mencari jawabannya dengan mewawancarai anak-anak sekolah, dan mahasiswa. Kumpulan wawancara itulah yang dijadikan Vicki sebagai film dokumenter yang diluncurkan tahun lalu.

Di Amerika Serikat sendiri film dokumenter itu memicu perpecahan. Namun Vicki berhasil mencuri perhatian sehingga para politisi dan pendidik  mau memperbaiki persekolahan.  Di banyak sekolah, metode pengajaran dibongkar.  Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan mulai merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir.  Mata ajar biologi, fisika dan kimia ang dianggap momok diubah menjadi mata ajar lab yang lebih fun.  Anak didik dibuat belajar seperti seorang scientist berpikir, bukan menghafal.

Namun di sekolah lain, guru-guru justru merasa sebaliknya:  murid masih terlalu sedikit menghafal.  Di sekolah-sekolah itu kegelisahan terjadi, karena guru menolak cara lain selain hafalan.

Di Indonesia, selain kerasukan setan menjelang ujian, keributan juga terjadi saat sorang siswa SMA 6 Bulungan Jakarta tewas terbunuh. Tawuran antar sekolah, bullying, aksi corat-coret sampai menyontek menjadi masalah sehari-hari.  Anak-anak yang gelisah tak belajar dengan baik.  Anak-anak kita paksa mempersiapkan masa depan lebih dari kemampuan mereka. Orang tua yang berambisi mengirim anak-anak ikut les disana-sini, bahkan mempengaruhi guru agar anaknya tidak mengalami kesulitan di sekolah.  Di Amerika Serikat orang tua murid yang telah "bertobat" dalam membimbing anak-anak dengan cara pabrikasi berbicara lantang. “Saya khawatir kelak anak-anak akan memperadilankan kita, orang tua, karena telah mengambil masa kanak-kanak mereka”.

Maka ketika pemerintah di sini berencana mengurangi beban pelajaran siswa sekolah, ada rasa syukur di hati saya.  Namun kalau pengurangan semata-mata dilakukan hanya sekedar untuk mengurangi jumlah subyeknya saja, bisa jadi kita akan bermuara ke “nowhere” juga.  Apalagi kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan mempertahankan subyek-subyek yang hanya akan disampaikan secara kognitif belaka.

Pengalaman saya sebagai pendidik menemukan, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik.

Latih Berpikir
Maka itu, mata ajar yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali, guru-guru harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi berpikir.

Melatih manusia berpikir adalah masalah mendasar yang perlu dipecahkan dalam sistem pendidikan nasional. Berpikir yang baik akan menghasilkan karya-karya besar, meski beresiko tersesat. Tetapi bukankah hanya orang tersesat saja yang berpikir?
Hanya orang-orang berpikirlah yang tidak mudah tertipu yang tidak menjadi manusia sempit yang picik, yang tidak memikirkan diri atau kelompoknya sendiri, dan tentu saja orang yang berpikir akan menjadi manusia kreatif.

Jadi, bukan hanya mata ajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata ajaran pun  perlu disempurnakan. Jadi saya kira pendidikan memang perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orang tuanya.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

2 komentar:

  1. Memahami dengan melihat pola, dunia begitu besar untuk dipahami, apalagi dengan sombongnya menghapalnya

    BalasHapus
  2. semoga dunia pendidikan kita terus berbenah prof.

    BalasHapus