Laman

Selasa, 02 Oktober 2012

Branding - Sindo 27 September 2012


Kemenangan sementara Jokowi (saya sebut sementara sampai pengumumuman resmi KPU) menimbulkan banyak pertanyaan tentang pentingnya branding. Banyak juga yang percaya branding, khususnya dalam politik adalah bagian dari pencitraan. Betilulah cara berpikir kebanyakan orang, sehingga pencitraan selalu dimulai saat berkampanye. Padahal branding bukan melulu masalah komunikasi, ia selalu dimulai dari awal, dari core promise, yaitu apa yang anda janjikan. Kata inovator Guy Kawasaki ( dalam The Art of Starting ) branding harus dimulai dari mantra atau janji suci yang diucapkan di dalam hati dan berulang-ulang.
Branding tak bisa diciptakan dalam setahun – dua tahun. Apalagi, dalam semalam dua malam seperti yang sering diucapkan para motivator. Branding butuh waktu panjang, bahkan sejak kepala anda di tegakkan dari atas permukaan kerah baju. Ini berarti, dimulai sejak orang-orang melihat kehadiran anda.

Brandingnya Jokowi bukanlah baju kotak-kotaknya, dan brandingnya Fauzie Bowo bukanlah kumisnya seperti yang sering kita baca. Branding memiliki essence, yaitu mantra atau core promise yang di tanamkan pada produk. Brandingnya Jokowi adalah pelayanan publik yang kebetulan cocok dengan apa yang sedang dikeluhkan masyarakat sehingga terjadilah relasi.  Ada permintaan yang bertemu dengan penawaran.

Branding = Relasi
Brand sekuat Coca-cola saja bisa kehilangan brandingnya, yaitu saat kehilangan relasinya dengan pelanggannya. Itu sebabnya, di era social media, brand-brand besar selalu mencari perhatian membangun relasi.

Beberapa waktu yang lalu coca-cola menghebohkan kaum muda dengan tema “friendship”nya. Coke menyadari bahwa kaum muda yang dibidiknya adalah kelompok yang sedang membentuk persahabatan.  Kita tahu anak-anak muda jarang melakukan sesuatu seorang diri. Mereka selalu bergerombol bersama sahabat-sahabat.

Apakah anda melihat realitas ini dan kalau anda melihatnya, insight apa yang dapat anda ambil?

Coca Cola menciptakan tema persahabatan 2x1. Cukup satu orang yang membayar, maka didapat 2 buah botol coca-cola. Namun untuk mendapatkannya diperlukan tenaga friendship, beberapa orang bekerjasama.

Sebuah Vending machine berukuran tinggi sekitar 2,5 meter diletakkan di lobi sebuah gedung. Namun lubang untuk memasukan coin pembayaran tidak dapat dijangkau dengan tangan biasa. Diperlukan jangkauan diatas 2 meter. Tidak seperti biasa yang dapat di jangkau anak kecil sekalipun. Juga tak ada bangku atau dengklik  di sekitar machine.
Anak-anak muda di 9 negara yang berada dalam area kampanye branding Coke hanya butuh beberapa saat untuk memecahkan masalah ini. Mereka harus saling memangku.  Salah seorang berdiri dibawah dan sahabatnya naik ke atas pundak temannya. Koin yang di masukkan pada slot yang tinggi membutuhkan kerjasama persahabatan, dilakukan sambil bersenang-senang. Lalu 2 botol Coke meluncur ke bawah. Kalau berhasil didapat, semua senang.

Branding Campaign ini dengan cepat menyebar luas. Anak-anak muda berebut memanjat bersama dengan sahabat-sahabatnya, berfoto di depan Vending Machine persahabatan dan menyebarkannya dalam media-media social persahabatan. Omset Coke naik, dan brand relationship terbentuk. Brand relationship membutuhkan kreatifitas. Namun lebih dari itu, manusia dibelakangnya harus memiliki branding spirit yang kuat. Bukan seorang yang kaku, pemarah terhadap publik, jarang menyapa, apalagi penakut tentu sulit untuk dicitrakan sebagai manusia yang memimpin untuk melayani. Celakanya badan-badan usaha di Indonesia lebih banyak diwarnai pikiran menghindari kreatifitas dan lebih kuat control-compliance daripada inovasi. Eksekutif lebih kuat mengikat kakinya daripada menjelajahi relationship yang kreatif.  Kalau sudah begitu, maka pencitraan apapun akan sulit dibangun. Apalagi bila waktunya mepet.
Partisipasi Publik

Brand essence dan brand relationship akan tampak saat terjadi loyalitas. Loyalitas yang ditandai dengan repeat order (pembelian berulang-ulang atau kembalinya pelanggan-pelanggan lama )akan bermakna pada partisipasi publik.

Dalam pilkada DKi putara kedua, mudah disaksikan kekuatan branding Jokowie yang antara lain ditandai oleh kuatnya partisipasi masyarakat dalam banyak hal. Tengok saja game online yang dibuat anak-anak muda asal Bandung, mereka sama sekali bukan anggota team sukses Jokowie meski mereka meminta restu kepada yang bersangkutan. Berbeda benar dengan game online yang dibuat oleh team sukses Foke-Nara. Yang satu datang dari partisipasi publik, sedangkan yang satunya dari dalam.

Partisipasi publik akan datang pada produk-produk yang tepat dan saat yang tepat. Para politisi yang cerdas bisa belajar dari kasus ini. Pertama, menjaga sikap dan membentuk essence yang konsisten adalah modal utama sebuah kemenangan. Betapa seringnya anda muncul di televise bukanlah faktor keberhasilan kalau ucapan-ucapan yang ditampilkan justru bertentangan dengan kemauan dan tuntutan publik. Kedua, tindakan harus konsisten dengan ucapan. Ketiga, kemenangan hanya didapat kalau partai berhasil membina kader-kadernya dan mendapatkan kader-kader yang memiliki “essence” yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Maka hampir pasti, mengandalkan kader internal yang buruk akan menjadi beban bagi partai. Tugas partai adalah menemukan pemimpin, bukan mempromosikan orang-orangnya yang tidak memiliki essence yang kuat.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar