Laman

Sabtu, 13 Oktober 2012

Rhoma Irama Effect - Jawapos 1 Oktober 2012


Sudah banyak yang membicarakan Jokowi Effect, apalagi sejak Jokowi berhasil mengalahkan koalisi hampir semua partai politik.  Melawan incumbent yang relatif kuat di Jakarta dengan dukungan banyak kepentingan. Tetapi belum banyak yang menyoroti Rhoma Irama Effect, si raja dangdut yang memiliki pesona luar biasa.

                Sebuah message saya terima kemarin pagi, di broadcast seorang teman pada beberapa jaringan. Lewat twitter dan BBM, yang menghubungkan kuatnya dukungan publik kepada orang-orang yang terkena semprotan di raja dangdut, dan itu sulit dilupakan. Ada banyak nama yang disebut, tetapi setidaknya kita ingat Inul Daratista dan pasangan Jokowi-Ahok. Ada juga yang menyebut nama Angel Lelga yang kini juga jadi terkenal dan sering tampil bersama tas-tas bermerek mahalnya.

Kekuatan dan Ancaman

                Beberapa tahun lalu saya melakukan sebuah studi di Universitas of Illinois USA. Pertanyaan yang kami ajukan sederhana saja, yaitu mengapa kedatangan perusahaan-perusahaan besar selalu disambut masalah oleh penduduk di daerah-daerah baru. Anda tahu betapa besarnya jaringan dan reputasi yang dimiliki WallMart. Sudah jaringannya banyak, setiap unit tokonya tidak ada yang luasnya kurang dari 1000 meter persegi. Berjalan keliling toko saja bisa pegal kaki anda. Semuanya serba besar dan lengkap, mulai dari gedung sampai tempat parkir, dari snak ringan sampai ikan hias, sepatu, keset, peralatan berkebun, kacamata dan elektronik juga ada.

                Pemerintah Amerika Serikat yang pro persaingan usaha percaya, kehadiran WallMart bagus bagi konsumen, yaitu menyediakan beragam pilihan dengan harga yang jauh lebih murah. Tetapi lain pikiran pemerintah lain pula persepsi masyarakat. Besar itu adalah ancaman, menakutkan, dan menyesatkan.  Kehadiran WallMart di satu sisi dirindukan, tetapi di lain sisi dikhawatirkan.  Bahkan dihadang.
                Seorang Social-Psichologist terkenal memberi insight begini “Bayangkan di sebuah desa yang senyap tiba-tiba puluhan alat-alat berat berdatangan. Betapa takutnya masyarakat.” Sebaliknya, seorang teman yang tengah membangun pembangkit listrik tenaga air (mikro hidro) untuk kegiatan kami di Pulau Baru tak berani menyediakan listrik puluhan watt. “Bagi orang desa yang diafrahma matanya sudah terbiasa melihat gelap, mendapat listrik 5 watt saja sudah terang benderang.” Ujarnya. Kalau dibuat terang benderang mereka pasti terkejut.

        Demikianlah kebesaran nama, reputasi, postur tubuh, suara, cahaya dan kekuasaan bisa menjadi ancaman kalau tidak diimbangi dengan kerendahhatian, kebersahajaan, senyum, sapa dan salam. Suara orang kuat yang meninggi saja bisa menimbulkan kesedihan bagi yang mendengarnya. Apalagi bila mengancam dan membelalakkan mata, simpati berubah menjadi antipati.

                Saya ingat betul suasana tahun 1980-an, di depan kampus UI Salemba, saat kami  berdemo melawan Orde Baru. Saat  itu kebencian terbesar ditunjukkan kepada militer,  yang sekedar menghadapi mahasiswa saja harus turun membawa panser, tameng dan bersepatu Lars. Ini sungguh menciptakan kebencian.
                Di era 1980-an gejala Rhoma Irama Effect sudah muncul. Saat dikontrak oleh Partai Persatuan Pembangunan (P3) untuk menghibur para pendukung kampanye, Rhoma  sering disebut masuk P3. Hari itu di kampus Salemba kami mendengar P3 akan berkampanye di Lapangan Banteng. Semua toko di sepanjang jalan Salemba-Matraman-Senen sudah tutup di siang hari. Jalanan lengang. Dan ribuan rakyat bergerak menuju Lapangan banteng. Sudah hampir pasti bukan P3 yang mereka dukung, melainkan Rhoma Irama. Brand Image Rhoma jauh lebih kuat daripada P3 saat itu.

                Tetapi menjelang sore hari, entah siapa yang membuatnya, sepanjang jalan Senen-Kramat Raya dan Salemba porak poranda. Lampu-lampu traffict light pecah, pot-pot bunga besar terbalik kacau balau. Banyak toko yang rusak. Di beberapa titik saya melihat beberapa mobil masih menyala terbakar api. Seperti biasa polisi dan tentara datang belakangan. Ribuan masa yang beringas muncul dari perkampungan.

Stand Up Commedy
                Rhoma Irama effect mungkin masih terus berlanjut meski si raja sudah mulai menua dan puluhan artis-artis dangdut yang lebih terkenal terus bermunculan. Tetapi karya-karya Rhoma sulit dilupakan.  Namun di sini yang kita bicarakan bukanlah Rhoma itu sendiri, melainkan efek dari sesuatu yang besar, kuat, dan menakjubkan. Sesuatu yang bisa berubah dari simpati menjadi antipati, dari yang terhina menjadi terangkat seperti janji yang disampaikan dalam kitab suci. Atau sebaliknya, “mereka yang meninggikan lehernya akan direndahkan”.

                Sementara itu kecerdasan justru dimiliki oleh komedian-komedian baru. Mereka itu tidak mau mengolok-olok orang lain seperti yang biasa dilakukan para komedian lama. Mereka hanya mengolok-olok diri sendiri. Yang gendut mengolok-olok kegendutannya, yang agak feminim mengolok-olok kaumnya sendiri, yang berlogat Batak atau Madura mengolok-olok etnisnya sendiri, dan yang giginya maju ke depan mengolok-olok kekurangannya. Mereka merendahkan diri untuk ditinggikan.
                Jadi buat apa belajar membuat strong brand,  membangun great company, menciptakan artis hebat, menjadi raja dangdut atau mentraining high performing people kalau hanya menjadi ancaman bagi orang lain dan simpati berubah menjadi antipati? Nama-nama  besar yang menggunakan tone tinggi  bisa menimbulkan efek negatif bagi diri sendiri.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar