Laman

Selasa, 05 Juni 2012

Sistem Politik dan Prestasi Ekonomi

Dalam buku “Why Nations Failed”, Daron Acemoglu dan James Robinson membandingkan dua pengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik yang berbeda. Bill Gates mewakili pengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik Amerika Serikat dan Carlos Slim dari Meksiko.

Apa yang membedakan keduanya patut kita renungkan di sini sehingga bisa dijadikan pegangan dalam mengembangkan kewirausahaan di tanah air. Apakah Indonesia akan puas dengan bangunan-bangunan usaha UMKM yang kecil-kecil dan informal dengan tax ratio yang rendah? Atau menjadikan mereka sebagai  industrialis yang inovatif.

Gates dan Slim
Semua sudah tahu, Bill Gates tumbuh dalam sistem pemerintahan yang sangat  mendorong terjadinya inovasi dan kompetisi. Bagi yang pro subsidi dan birokasi, itu namanya sistem yang "liberal". Namun, dalam pemerintahan yang relatif bersih, sistem itu mendorong tumbuhnya sektor-sektor usaha formal, karena perizinan begitu mudah dan transparan. Politisi tidak mengintervensi dunia usaha, semua terlihat transparan.
Bunga bank di Amerika Serikat berkisar antara 2 – 3 persen sehingga memudahkan pengusaha menjadi start up. Infrastruktur begitu bagus sehingga pengusaha beroperasi dalam ekonomi biaya rendah dan SDM hebat mudah didapat asalkan gajinya cocok. Kalau bank tak mau membiayai sebuah investasi inovatif yang pasarnya belum jelas,  ada venture capital atau angel investor. Kalaupun Anda tidak mau menjalankan bisnis sendiri, Anda bisa menjual paten hasil temuan Anda.  Karya cipta Anda dilindungi oleh undang-undang, hakimnya tak bisa disuap, pencuri atau pendomplengnya dihukum berat.

Demikianlah Gates tumbuh menjadi besar walaupun memulainya dari sebuah garasi kecil. Didukung venture capital, lalu go public. Hal serupa juga kita saksikan pada Mark Zuckerberg (Facebook), Larry Page (Google) atau alm. Steve Jobs.  Polanya serupa. Namun kalau mereka membandel, ya tetap saja dikenakan sangsi. Tak peduli apakah mereka orang terkenal, orang kaya, pengurus partai atau selebriti. Mereka tak perlu menaruh mantan jenderal, mantan birokrat senior atau pimpinan partai sebagai komisaris. Mereka adalah mereka, semua dilindungi undang-undang dan bila bersalah, ya dihukum.

Itulah yang dihadapi oleh Gates yang diseret pengadilan pada tanggal 8 Mei 1998 dengan tuduhan menjalankan praktek monopoli saat ini membundling Internet Explorer dengan Windows Operating System. Praktek ini diamati oleh Kejaksaan Agung Amerika Serikat dan FTC sejak 1991. Microsoft dinyatakan bersalah dan didenda besar.

Hal serupa juga pernah dialami oleh orang-orang terkenal seperti Martha Stewart yang bahkan sempat dipenjara karena ketahuan melakukan insider trading dengan menjual sahamnya secara besar-besaran sebelum harganya jatuh.   Karier Stewart pun tamat.

Bagaimana dengan  Carlos Slim yang tahun lalu dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di dunia dengan menyalib Bill Gates?   Slim dibesarkan dalam sistem politik yang korup yang tidak memungkinkan dirinya menjadi usahawan besar selain “berkongsi” dengan penguasa. Negara seperti ini biasanya juga tidak menaruh perhatian pada hak-hak cipta. Usaha-usaha yang tumbuh di dalam sistem seperti ini biasanya hanya usaha-usaha kecil.

Imigran yang ayahnya berasal dari Lebanon ini semula hanya menerima warisan sebuaha toko, yang lalu  merambah ke usaha properti.  Tetapi yang membuatnya kaya  bukanlah usaha yang berbasiskan inovasi, melainkan Telmex. Telmex adalah perusahaan telekomunikasi yang mulanya milik negara dan pasarnya monopoli.

Saat Carlos Salinas menjadi presiden, pemerintah mengumumkan untuk melepas 51% sahamnya kepada publik(1989). Meski Carlos Slim bukanlah penawar tertinggi, ia dinyatakan sebagai pemenang. Tetapi bisakah ia membayar tunai semua deal yang sangat besar itu? Tentu tidak. Saya rasa Anda masih ingat kisah para  pengusaha “nakal” kita yang melakukan praktek yang sama. Mereka menggoreng-goreng saham itu sampai harganya tinggi, lalu membayarnya dari kenaikan harga saham atau dari devidennya.  Karena dekat dengan politisi, mereka bisa menekan penguasa supaya harga belinya murah.  Tetapi kalau  tak kebagian, mereka bikin ribut dan mempersoalkan kenapa harganya murah lewat parlemen.

Di sini ada juga yang lebih pandai dari Carlos Slim. Mereka “mengakali” bupati atau gubernur yang ngiler mendapat dana kampanye.  Gubernur atau bupati disuruh menguasai saham perusahaan asing yang menambang di daerahnya sebagai bagian dari pengalihan saham sesuai undang-undang. lalu operatornya diserahkan pada mereka. Atau mereka yang meminjamkan uang agar pemda menguasai sahamnya, lalu dijanjikan pendapatan tetap.  Setelah dikuasai, pemda digusur, dan pembayaran dicicil.  Lalu alamnya  dikuras habis-habisan.  Harga saham naik, alam rusak, namun rakyat tetap miskin.

Mari kita kembali ke Carlos Slim. Melalui kongkalikong  dengan pada para pejabat, ia menguasai sejumlah area usaha. Namun bagaimana kalau melanggar hukum?   Berbeda dengan Gates yang kena sangsi, Slim selalu lolos. Ketika berhadapan dengan  kasus monopoli di tahun 1996, Slim dibebaskan dan tak dikenai hukuman.

UKM Indonesia
Kisah tentang Carlos Slim mengingatkan saya pada seorang anak muda yang  terinspirasi dengan gagasan-gagasan kewirausahaan. Ketika insinyur-insinyur muda Indonesia lebih tertarik membuat keripik, kebab dan jamur goreng melalui gerobakchise secara UMKM di kaki lima, anak muda ini justru menjalankan usaha kreatif di berbagai mal dan melawan investor asing.  Ia pun berhasil.

Uang sewa ratusan juta rupiah perbulan yang dituntut mal ia bayar. Dan ternyata hasilnya menguntungkan. Ia membuat kaos seperti ini : “I Love Paris”. Tetapi di bawahnya tertulis “Not Hotman”. Bisa saja ia disomasi pengacara yang biasa berhasil mempailitkan lawan-lawan kliennya itu.   Tapi syukurlah itu tak terjadi.
Puncak kreativitasnya mentok saat ia menjual baju-baju yang ia desain untuk pasangan Cagub Jokowi-Ahok yang ternyata laku keras. Saat ia menjelaskan langkah itu, entah mengapa, tangan saya reflex memukul dahi saya sendiri. “Oh My Ghost!”  CEO Mal itu pendukung Foke. Foke, dan juga mantan gubernur DKI sangat dekat dan  biasa duduk bersama para manor mall Jakarta.  Saat bersama-sama memasarkan “Jakarta Great Sale” beberapa tahun terakhir ini,  Saya yang pernah jadi model iklannya melihat keakraban itu.  Pengusaha mal mana yang bisa menjauh dari walikota?

Anda tahu apa yang terjadi?
Sejak saat itu kiosnya digeser ke belakang. Barang-barang dagangannya dikuasai pemilik mal, dan kiosnya yang laku itu diberikan pada orang lain.  Ia dipindahkan ke belakang, meskipun sanggup membayar dan kiosnya digemari anak-anak muda.

“Padahal saya ini jualan Jokowi karena pasar, bukan ideologis", ujarnya. Ia pun sekarang luntang-lantung mencari perlindungan.
Seorang pengacara yang aktif di komisi tiga DPR, teman Jokowi didatangi dan diminta bantuan. Tentu saja anggota dewan yang pro rakyat ini marah mendengar cerita itu. Ia siap membantu, tetapi ada syaratnya. Ia minta saham.
Saham? Bukankah anak muda itu tokoh partai yang membawa harapan Indonesia ke depan?
Apa tidak salah? “Tidak pak, ia bersungguh-sungguh” ujarnya.
Saya ingin menutup kolom ini dengan sebuah pesan moral: Sistem politik seperti ini hanya akan menghasilkan pengusaha-pengusaha kecil, usaha gerobak kaki lima yang sulit untuk maju.  Insinyur kita hanya akan jadi pengusaha camilan saja.  Sementata yang membuat boiler, otomotif, permesinan, apalagi robot yang mampu menjelajahi asteroid, pasti bukan anak-anak kita.

Di bagian atas, usaha-usaha besar yang sarat perizinan dan tanah (pertambangan dan infrastruktur) dikuasai mereka yang berkong-kalikong dengan politisi. Sementara di bagian bawah tak ada yang melindungi entrepreneur untuk naik kelas.  Tak ada akses pada modal besar dengan bunga rendah seperti di negara-negara lain, atau seperti yang dinikmati para konglomerat di era orde baru.  Dan tak ada jaminan hukum terhadap inovasi. Bagaimana mau menghasilkan industri-industri besar? Sistem politik seperti ini sungguh tak menguntungkan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar