Di Rajasthan, India, ada sebuah plang petunjuk menuju sebuah kampung
yang jauh dari keramaian. Di petunjuk jalan itu tertera arah menuju
kolese tanpa alas kaki (Barefoot College). Saya pikir, Bunker Roy, yang
empunya gagasan membuat sekolah ini benar-benar brilian. Dalam suatu
kesempatan, ia mengatakan kolese ini untuk orang-orang yang buta huruf
yang pengajarnya semula juga buta huruf. Nama kolese ini diberikan
sebagai simbol bahwa yang dididik di sekolah ini datang dari komunitas
yang tak pernah merasakan pakai sepatu. Inilah komunitas yang
terpinggirkan oleh globalisasi yang mayoritas diperankan oleh private sector.
Persis
seperti kampung-kampung di sini, anak-anak dan orangtua bertelanjang
kaki tampak dimana-mana. Jalan berdebu, lahan kritis yang sulit
ditanami pangan, dan tentu saja transportasi yang buruk. Untuk menuju
kota, ibu-ibu harus menumpang angkutan umum semacam omprengan tahun
1970an di Jakarta yang tidak ada kursinya dan tidak ada atapnya.
Ibu-ibu berdiri sambil berpegangan tepi kendaraan di bagian belakang.
Dulu biasanya pemandangan ini banyak saya lihat saat mbok-mbok bakul
sayur belanja di pasar Senin, sambil membawa dua-tiga karung berisi daun
bawang, kentang, cabai dan kubis. Pukul lima pagi mereka sudah selesai
berbelanja dan dengan sigap membuka lapak di pasar di daerah Blok A -
Kebayoran baru. Biasanya kalau kebagian kursi tempat duduk mereka
langsung tertidur.
Ada juga tentara yang naik kendaraan serupa,
yaitu mereka yang dijemput truk besar untuk nonton film India di bioskop
Rivoli sore hari. Tentu saja pemandangan seperti ini sudah jarang kita
saksikan di sini. Tapi kalau pergi ke berbagai pelosok tanah air, saya
masih bisa menemukannya.
Sepertinya kemajuan pesat perekonomian
India dan juga di sini tak akan mampu memperbaiki nasib kaum papa
seperti yang dijanjikan teori ekonomi. Hal serupa masih akan kita temui
10-20 tahun ke depan di sini, kalau sistem politik tidak bisa
mengatasi masalah korupsi. Selain government failure, pasar
dengan pendapatan dibawah Rp 15.000 sehari tak akan bisa menikmati
fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak untuk "naik kelas" dalam
strata sosial. Untuk bayar uang sekolah di taman kanak-kanak saja,
seorang tukang ojek atau pedagang kaki lima harus punya uang sebesar Rp
250.000 setiap bulan. Darimana uangnya? Bagi pemerintah mungkin
tugasnya sudah selesai dengan menyediakan pendidikan gratis dari SD
sampai SLTA. Tetapi tanpa pendidikan TK yang kuat, mana ada anak
kampung yang memiliki percaya dii untuk bertarung dengan kelas menengah
di Sekolah Dasar?
Pasar BOP
C.K. Prahalad (1994) menyebut pasar kelompok ini sebagai BOP atau Bottom of the Pyramid.
Tetapi Prahalad tak banyak memberikan solusi untuk memerdekakan pasar
BOP yang menurutnya sebuah potensi besar bagi perusahaan-perusahaan MNC
kalau mereka bisa mendapatkan akses.
Ada tiga alasan yang
diajukan Prahalad, Pertama, kaum papa mewakili “pasar yang laten”.
Kedua, BOP merupakan sumber pertumbuhan private sector kalau
mereka naik kelas dan bergabung sebagai pasar seperti yang pernah
terjadi dengan negara-negara eks komunis. Tetapi untuk menarik mereka
diperlukan inovasi-inovasi mendasar. Ketiga, urusan membangun pasar
BOP tidak akan selesai dengan mengalirkan dana-dana CSR. Pasar BOP
harus menjadi bagian integral dari kebijakan private sector.
Masalahnya, dominan logic yang dianut kapitalisme, private sector
dan pemerintah tentang pasar BOP tidak mendukung mereka untuk keluar
dari kemiskinan. Dalam banyak hal, kebijakan pemerintah di
negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan kepanjangan dari
kebijakan yang dibangun para penjajah, hanya memelihara kemiskinan dan
ketergantungan.
Peran negara yang dominan saja misalnya sangat
kental dengan logika moralitas penguasa yang memelihara kemiskinan. Tak
banyak ekonom dan politisi yg menyadari bahwa subsidi besar-besaran
terhadap energy dan listrik yang diberikan terus menerus
belakangan ini akan semakin memiskinkan penduduk di daerah pedalaman
Papua, Maluku, NTT, sebagian Sulawesi dan Kalimantan. Harga bensin
murah dan listrik hanya dinikmati penduduk yang lebih kaya di perkotaan,
dan mayoritas penduduk yang tinggal di pulau Jawa, Bali, Sumatera dan
Sulawesi. Penduduk di Pulau Buru dan Papua hanya bisa menonton melihat
tulisan harga premium Rp 4.500, sementara mereka hanya bisa membeli di
tepi jalan seharga Rp 20 ribu.
Bunker Roy dan para social entrereneur
menyadari bahwa negara tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Bersama
sejumlah orang ia menyewa gedung ex sanotarium TBC di desa berpenduduk
sekitar 20 ribu orang dan menjadikannya kolese tanpa alas kaki. Ia
melihat private sector yang ditujukan untuk mencari keuntungan tak akan bisa melayani kaum miskin. Terjadi market failure yang tak terpikirkan para ahli ekonomi. Maka solusinya ya harus non-profit sector. Barefoot College mendidik masyarakat agar mampu memiliki energy dan air bersih sendiri, ada atau tidak ada peran negara.
Di Rajasthan, setiap minggu ratusan ibu-ibu belajar cara merakit solar cell,
mengurus sekolah bagi anak-anaknya, kesehatan, limbah dan sebagainya.
Ternyata hasilnya cukup mengagumkan. Barefoot College belakangan
diminati oleh orang-orang berjiwa sosial untuk bergabung. Mereka
memberikan jasa secara non-profit. Insinyur, dokter, pengusaha dan mahasiswa sama-sama memperbaiki kegagalan pasar dengan memberikan jasa sukarela mereka.
Sektor
seperti ini baiknya terus ditumbuhkan dan diberikan insentif oleh
pemda-pemda atau pemerintah pusat yang belakangan terbukti tidak mampu
memeliharanya dengan dominan logic birokrasi. Kita sudah
sering membaca sekolah tak diurus dengan baik, hewan-hewan yang mati di
berbagai kebun binatang, rumah sakit dan panti jompo yang tak terurus
dengan baik. Kalau di India saja pemerintah mulai berani memberi hibah
pada para social entreneur yang terlibat dalam kegiatan non profit, maka di Indonesia pemerintah perlu lebih banyak mendorong keterlibatan sosial warganya. Indonesia punya lembaga-lembaga non profit yang governance structurenya
bagus seperti Dompet Duafa dan Bina Swadaya. Bukankah sudah cukup
dana APBN yang diberikan untuk memperkuat sektor keuangan dan private sector lainnya?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Keren sob
BalasHapuswww.kiostiket.com
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut