Istilah “nongkrong” muncul di halaman depan harian terkemuka dunia.
The New York Times 28 Mei 2012. Nongkrong marak di hampir semua kota
besar maupun kecil di Indonesia, mulai dari Banca Aceh (kedai kopi),
sampai ke Timika di Papua. Anak-anak muda dan orang tua gemar
nongkrong, atau kata anak muda, hang out! Segelas besar minuman dingin untuk berlima, camilan tinggal diambil, fresh dan hangat, dan tentu saja free wifi.
Bagi The New York Times, nongkrong adalah sebuah marketing insight yang
hanya dilihat oleh segelintir pengusaha. “Nongkrong itu artinya
duduk-duduk, kongkow-kongkow, ngelirik kiri kanan, dan umumnya dipakai
untuk mengosongkan diri.”
Saya kira The New York Times ada
benarnya. Kebiasaan “mengosongkan diri” kalau sedikit dipoles bisa
berubah menjadi sarana belajar yang efektif. Lihat saja anak-anak muda
di Boston, di seberang kampus Harvard. Di sudut-sudut jalan Harvard
Square Anda menemukan kafe-kafe donat atau kedai-kedai kopi yang buka 24
jam. Di dalamnya hanya ada anak-anak muda yang asyik berselancar di
internet ditemani secangkir kopi dan sepotong donat coklat.
Di
meja-meja lainnya Anda temui mahasiswa kedokteran yang sedang mojok
membaca buku. Dan di kiri kanannya mahasiswa MBA tengah membahas business case. Mereka lupa jam, sampai beberapa orang terpekur oleh alunan alunan music terus
berbunyi. Tetapi budaya mereka bukanlah budaya nongkrong di warung,
setelah masa kuliah selesai mereka kembali menjadi manusia individual
yang asyik dengan urusannya sendiri-sendiri. Budaya komunal yang biasa
kongkow-kongkow hanya ada di beberapa wilayah di dunia, seperti
masyarakat mediterania dan Indonesia.
Seven Eleven
Adalah Henri Honoris, generasi ke 3 dan penerus dari pemegang hak distribusi Fuji Film di Indonesia yang melihat “marketing insight” itu. Di usianya yang masih muda Henri dipanggil pulang ayahnya untuk menyelamatkan usaha keluarga yang mulai “dying”. Siapa lagi yang masih mau membeli film-film rol? Semua sudah serba digital, dan generation C sudah hadir.
Bisnis fotografi Fuji Film di Indonesia drop dari
sekitar 2 triliyun rupiah (2002) menjadi Rp.212 miliar pada tahun
2010. Itupun lebih banyak cetakan-cetakan saja, baik foto studio maupun
perkawinan. Outlet-outlet Fuji banyak ditutup dan sebagian besar
asetnya menganggur.
Prinsip yang dibangun Henri sederhana saja.
Perusahaan keluarga tak bisa diteruskan dengan cara yang sama.
Pilihannya adalah cara yang ditempuh oleh Putra Sampoerna (jual!) atau
perbaiki. Kalau tidak, ya mati! Cuma itu. Henri memutuskan untuk
memperbaikinya: Change!
Pada tahun 2006 ia menyurati
Seven Eleven yang berkedudukan di Dallas-Texas. Tetapi seperti
kenyataan yang diterima hampir semua pengusaha kita saat itu, 7-Eleven
menolaknya mentah-mentah. “Kami belum tertarik. Perhatian kami masih
ditujukan ke Brazil, India dan Vietnam,” ujar mereka.
Henri tak
putus asa. Ia terus menghubunginya, kendati saat itu sudah ada
perusahaan-perusahaan ternama dunia yang juga meminta hak serupa untuk
mengisi pasar Indonesia.
“Saya katakan, kami ini yang paling desperate.
Kalau tidak berubah kami akan mati. Tetapi saya masih muda dan siap
bekerja keras,” Ia meyakini pemegang hak di Dallas. Ia pun mengajak
mereka mendatangi Indonesia dan mengumpulkan fakta-demi fakta, sampai ia
menemukan marketing insight itu.
Persoalannya adalah bagaimana menangkap insight "nongkrong"
itu dalam bentuk outlet yang cocok dengan kondisi Indonesia namun tidak
membunuh yang sudah ada. Ia harus hidup berdampingan secara damai
dengan pasar-pasar tradisional. Sementara bagi 7-Eleven, membuka outlet
di Jakarta memerlukan kehati-hatian. Mereka tak mau gagal.
Itu
sebabnya mereka memilih hati-hati membuka pasar. Sejak tahun 1993,
7-Eleven hanya membuka outlet-outlet baru di dalam area yang sudah
dimasukinya. Ini berarti, selama 17 tahun mereka tidak memasuki negara
baru selain yang sudah ada. Dengan cara seperti itu saja, 7-Eleven
telah menjadi retailer terbesar di dunia dengan 40.000 outlet,
melebihi jumlah kedai yang dibangun McDonald’s atau Starbucks. Di
Thailand saja sudah ada 7000 outlet, dan di negara kecil sebesar
Singapura saja sudah ada 5000 outlet.
Dari email ke email, ditolak
dan digali, sampai mengirim proposal dan foto-foto, akhirnya tahun 2008
Henri diajak berunding oleh 7-Eleven. Konsepnya sederhana saja, yaitu
bagaimana memasukkan tradisi “nongkrong” ke dalam outlet-outlet
7-Eleven. Anak-anak muda Indonesia sudah biasa belanja di mal dan
fasilitas yang lebih higienis, tetapi nongkrong yang ada masih mahal.
Mereka butuh kopi yang harga secangkirnya di bawah Rp.10.000,-, ada nasi
goreng di bawah Rp 20.000, namun juga ada hotdog dan softdrink. Tentu
saja bisa membaca, ngobrol bersama dan mendapatkan free wifi.
Konsep
itu ia presentasikan dan ternyata diterima. Maka jadilah 7-Eleven
Indonesia sebuah adaptasi baru yang berbeda dengan 7-Eleven lain di
seluruh dunia. Di luar negeri 7-Eleven terkenal dingin, sedingin
softdrink dan camilan berpengawet. Tetapi di sini menjadi tempat
nongkrong yang hangat. Kata Ganto Novialdi, direktur strategic Planning
Dentsu Indonesia, 7-Eleven telah membentuk lahirnya generasi Alayeven.
Anak-anak Alay dan orang tua Alay yang gemar nongkrong berkumpul sampai
pagi di gerai 7-Eleven. Kalau dulu mereka sekedar omong kosong,
sekarang mereka mulai membicarakan pelajaran, buku-buku baru, reuni, dan
pekerjaan.
“Affordable Luxury”
Konsepnya disebut Henri sebagai affordable luxury atau kemewahan yang terjangkau. The New York Times menangkapnya dengan melihat “insight”
ini: Di parkiran Anda bisa menyaksikan Mercedes-Benz berjajar
bersebelahan dengan puluhan sepeda motor. Anak-anak yang dulu biasa
trek-trekkan berkumpul di situ, berinteraksi dengan profesional muda
yang sudah lebih dulu naik kelas. Sambil membuka laptop dan berdiskusi,
atau main game.
Jadilah 7-Eleven 50% kafe dan 50% convenience store.
Ini sejalan dengan perubahan gaya hidup urban yang tengah terjadi di
sini seperti yang sering saya bahas pada kolom-kolom sebelumnya.
Orang-orang kota semakin penat dan bosan diam di rumah yang lampu
listriknya kurang terang atau AC-nya kurang dingin. Pasangan-pasangan
muda semakin jarang masak di rumah karena jendela-jendelanya semakin
kecil dan rumahnya berubah menjadi semacam studio. Mereka beralih
membeli makanan siap saji atau makan di luar.
Semua orang semakin sibuk, tetapi butuh higienitas dan kedai sederhana yang buka 24 jam, namun Wireless connected dan free charging (untuk menambah daya listrik handphone).
Apa
yang diadaptasi tak lain adalah budaya warung yang selama ini sudah
kita kenal. Warung yang bersahabat dan harganya terjangkau tentu akan
berubah, sejalan dengan munculnya jutaan kelas menengah baru Indonesia.
Di
sini mereka bisa menikmati kopi hangat dengan harga seperempat atau
sepertiga harga secangkir kopi hangat di kedai Starbucks. Wajar bila
7-Eleven diterima luas. Di belakangnya tentu saja ada orang-orang
Indonesia yang meraup untung, mulai dari pemasok nasi goreng, kopi dan
aneka makanan.
Maka pelajarilah insight dan perbaharuilah usaha generasi para pendahulu, agar bisnis keluarga kekal abadi dan tetap muda!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar