Laman

Kamis, 26 April 2012

Low Cost Energy - Sindo 25 April 2012

Saat kolom ini ditulis,saya sedang berada di Kampus Yale, Amerika Serikat, menjalin kerja sama antara program MMUI dengan sekolah bisnis ini.

Melalui kerja sama, anak didik kami akan bisa meraih double degree di program MBA Yale setelah setahun kuliah di Jakarta. Indonesia masih membutuhkan orang-orang pandai untuk membangun kembali industrinya dari keterpurukan dan melemahnya daya saing sektor industri dan jasa pada beberapa tahun terakhir ini. Lantas mengapa Amerika? Bukankah negeri ini tengah dilanda krisis?

Low Cost Energy 
Laporan yang dibuat majalah The Economist(21 April2012) menyebutkan, negara-negara yang beberapa tahun terakhir ini menikmati migrasi industri (seperti China dan India) justru tengah bergulat melawan kenaikan biaya produksi. Sementara di negara-negara pengembang teknologi digital, sebuah revolusi tengah terjadi. Dan bila menjadi kenyataan, banyak negara berkembang akan mengalami boomerang efect sehingga kekayaannya akan kembali dinikmati negaranegara industri.

Di lobi penginapan Yale Club yang anggun di New York, para CEO yang saya temui mulai berani mendiskusikan kebangkitan ekonomi Amerika. Setelah merevolusi dunia penerbangan dengan low cost carrier, kini para CEO mulai bicara tentang low cost energy. Mereka mengacu pada langkah CEO Exxon Mobil Corporation Rex W Tillerson yang dua tahun lalu mengakuisisi XTO Energy untuk mendapatkan teknologi dan keahlian hydraulic-fracturing untuk menyerap gas alam yang terperangkap lapisan-lapisan batu (shale) di dalam perut bumi.

Mereka menyebut energi murah itu sebagai shale gas. Selama puluhan tahun para ahli kebingungan mencari jalan untuk menarik gas itu keluar. Melalui serangkaian eksperimen dan inovasi, langkah yang dimulai pada 1980-an itu mulai menemukan teknologinya beberapa tahun terakhir ini. Maka,meski cadangan shale gas ada di beberapa negara, baru Amerika Serikat yang berhasil menariknya keluar. Tidak mengherankan, di Era Tillerson harga saham Exxon melonjak hingga 77%. Bahkan Exxon mulai mengalihkan eksplorasinya secara perlahan-lahan dari minyak ke gas.

Menurut majalah Fortune (30 April 2012), kini 50% produksi energi Exxon difokuskan pada gas alam (shale gas) yang harganya sudah bisa dijual sepersepuluh dari harga minyak bumi yang semakin hari semakin mahal. Menurut sejumlah ahli minyak yang saya hubungi, sejumlah negara industri sudah meminta Pemerintah Amerika Serikat agar mengizinkan gas ini diperdagangkan di pasar bebas dunia. Namun Amerika Serikat masih bergeming dengan dalih low cost energy merupakan “senjata” penting bagi Amerika untuk bangkit dari krisis yang sama pentingnya dengan upah buruh yang murah di China dan India.

Low cost energy bagi Amerika Serikat akan mampu menjadikan industrinya “kembali” pulang di tengah harga minyak dunia yang terus melambung dan mengancam industri di negara-negara lain. Sejak tahun 2005, produksi gas alam Amerika Serikat telah meningkat sebanyak 28% dan pada tahun lalu komposisi shale gas telah menjadi 33%, naik tiga kali lipat sejak 2008. Pada tahun lalu saja, shale gas telah menampung lebih dari 650.000 tenaga kerja.

Sekarang bayangkanlah kebangkitan seperti apa yang akan melanda negara industri dan gonjang-ganjing macam apa pula yang akan mewarnai Asia dan Timur Tengah bila shale gas mampu menggantikan atau menjadi substitusi minyak dan gas alam lainnya yang selama ini diperdagangkan dengan harga yang tinggi? Saat ini saja, menurut BP Migas, produksi gas alam Indonesia telah mencapai 8.673 mmscfd (million standard cubic feed per hari) dan 53% di antaranya diekspor ke pasaran internasional dengan harga USD72 per bue (barrel unit equivallent) atau menghasilkan devisa sekitar USD11 miliar per tahun (Detik.com).

Indonesia bukan tidak punya cadangan shale gas. Tapi untuk mengeksplorasinya Indonesia butuh empat hal berikut ini. Pertama, cara berpikir yang benar-benar baru. Kedua, kepastian berusaha yang menarik dan keputusan yang firm. Ketiga, partner yang memiliki teknologi memadai dan, keempat, modal besar yang disertai insentif yang diciptakan dengan IRR yang positif. Keempat hal ini tampaknya sulit dipenuhi kalau pemerintah selalu ragu dalam bertindak untuk menciptakan energy security dan politisinya penuh kecurigaan dan saling menghambat-membatalkan. Bandingkanlah dengan Chinayang begitu tanggap mengambil sikap.

China memiliki 25,08 tcf (trilllion cubic feed) cadangan shale gas, tetapi tidak memiliki teknologi yang memadai. Demi mencegah daya saingnya direbut Amerika Serikat, China sudah menugasi tiga BUMN energinya untuk melakukan eksplorasi dalam bidang ini. Petro China, CNOOC, dan CNPC masing-masing sudah membentuk konsorsium dan menarik investor baru. Demikian pula langkah-langkah konkret sedang diambil Pemerintah Brasil, Argentina, dan Inggris. Sementara Indonesia masih ribut dengan masalah-masalah sepele dan pikirannya masih ada di sekitar minyak bumi, subsidi, kilang, VLCC, dan seterusnya.

Gasland 

Sebuah potongan film dokumenter yang berjudul Gasland, pada saat yang bersamaan, masuk ke dalam surat elektronik (email) saya. E-mail itu dikirim seorang kolega yang mengetahui bahwa saya tengahmenulis buku tentang energi bersama dengan mantan Dirut Pertamina Ari Sumarno. Gasland, judul film dokumenter yang dinominasikan untuk penghargaan Oscar dan dibuat Josh Fox (2010), bercerita tentang bencana yang ditimbulkan oleh shale drilling untuk mendapatkan gas murah (shale gas) dari perut bumi.

Gas drilling dilakukan secara horizontal dengan memecahkan bebatuan di dalam perut bumi, menciptakan fraktur, lalu dengan menyemprotkan cairan, mereka akan menyedot gas yang tersimpan di dalam bebatuan. Film ini mewakili pikiran para pejuang lingkungan yang percaya metode hydraulic fracking sangat mengancam kehidupan. Josh menunjukkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh metode drilling ini yang bisa menimbulkan kontaminasi pada air minum, keretakan tanah, bahkan menimbulkan gempa bumi.

Ia sempat hadir dalam beberapa kali rapat dengar pendapat di parlemen dan berusaha keras memutar filmnya di hadapan para senator, tetapi ia dikeluarkan dari ruangan secara paksa. Namun, seperti biasa, suatu potensi ekonomi yang besar bukan tanpa biaya. Selain masalah teknologi, dunia juga akan mendebatkan masalah keamanan dan lingkungan. Itu sebabnya Prancis dan Jerman sudah memutuskan tidak akan memasuki bisnis shale gas. Demikian juga dengan Rusia. Tapi masalah dan kepentingan mereka berbeda-beda. Rusia misalnya masih memiliki cadangan gas alam yang begitu besar dan mudah diambil.

Tapi di Amerika Serikat yang perdebatannya telah lama dimulai kelihatannya telah tercapai suatu kesepakatan bahwa lebih banyak manfaat daripada mudaratnya. Apalagi mereka menemukan sejumlah kejanggalan di balik pembuatan film Gasland. Publik tampaknya lebih memilih gas alam yang murah dan ramah lingkungan ketimbang batu bara yang dipercaya lebih berbahaya.

Tapi, di sini, kalau kontraktor tidak diawasi dengan baik, masyarakat rasanya masih trauma melihat lumpur yang tak kunjung berhenti keluar dari perut bumi. Jadi ke mana kita akan membawa masa depan energi kita? Kalau kita seperti ini terus, bukan hanya pusing kalau harga minyak naik, melainkan juga ribut kalau harga gas dunia turun.Sebuah cara berpikir dan bertindak baru jelas sangat dibutuhkan dan ini hanya bisa dicapai kalau pihak-pihak yang memutuskannya bebas dari kepentingan personal.

Rhenald Kasali
Owner Rumah Perubahan

Leadership Style (2) - Sindo 19 April 2012

Banyak tanggapan dan pertanyaan yang saya terima sehubungan dengan tulisan pekan lalu tentang Leadership Style. Demikian pula masih banyak masyarakat yang membincangkan Dahlan Iskan yang “berjualan” kartu tol bersama istrinya beberapa hari lalu.

Perbincangan menjadi ramai karena “gerak cepat”-nya menuai kegelisahan para politisi yang kemudian menggerakkan haknya untuk melakukan interpelasi. Bukan hanya Dahlan, orang-orang di Aceh juga mendiskusikan Muzakir Manaf yang segera menjadi wakil gubernur. Anak-anak muda bertanya, “Apakah kepemimpinan saya harus berubah mengikuti style mereka?”Tentang hal ini saya jadi teringat dengan pertanyaan- pertanyaan nakal yang pernah saya ajukan kepada Jeff Immelt, CEO General Electric (GE) yang menggantikan CEO kharismatik Jack Welch.

Immelt dilantik hanya empat hari sebelum terjadi 911,yaitu 7 September 2001. Saat memimpin sebuah diskusi dengannya, saya bertanya apakah ia akan mengikuti gaya Jack si bom netron yang bertangan dingin dan karismatik? Immelt yang bergaya lebih partisipatif menjawab begini: “Saya tidak mungkin memakai sepatu Jack. Ukuran kaki saya kelihatannya lebih besar, jadi saya tidak bisa memakai sepatunya kendati di luar orang banyak mengharapkan saya melakukannya.

” Immelt memang melangkah kalem, tak seperti Jack yang bergerak cepat menyelamatkan GE. Immelt mendorong inovasi dan kreativitas melalui orang-orang GE yang selama itu dia rasakan agak tertekan. Tetapi setelah 10 tahun memimpin, masa yang ia lewati tidak ringan. Harga saham GE di masa krisis sempat drop 60% dan ia pernah dijuluki sebagai CEO terburuk.

Namun, tahun lalu ia justru diangkat Presiden Obama sebagai anggota Dewan Penasihat Kebangkitan Ekonomi Presiden. Banyak wartawan yang menyayangkan GE dipimpin dengan style yang “lunak.” Bagi mereka, CEO GE sampai hari ini, ya Jack Welch. Dan kendati sudah tak muncul lagi, namanya masih disebut-sebut. Tetapi bisakah seseorang mengikuti style pendahulunya? Tentu saja ini pertanyaan besar yang harus Anda cari jawabannya.

Be Yourself

Jeff Immelt tak bisa menjelma menjadi Jack Welch. Seberapa pun besarnya tekanan masyarakat. Demikian juga presiden-presiden Indonesia pasca reformasi tak bisa menjadi “Soeharto.” Tetapi kalau Anda perhatikan rata-rata presiden pasca-Soeharto, hanya Gus Dur yang muncul dengan cara yang berbeda. Selebihnya semua memimpin dengan cara-cara yang mirip, yaitu membaca teks saat berpidato, tidak interaktif, dan memimpin kabinet melalui rapat resmi persis seperti Presiden Soeharto.

Presiden SBY melakukan sedikit tradisi baru, yaitu proses seleksi sebelum memilih menteri- menterinya. Namun, pada babak akhir ia selalu terkunci oleh “bagi-bagi” jabatan sesama anggota koalisi. Leadership style adalah cerminan dari cara seseorang menjalankan perannya. Cerminan itu tampak dalam berbagai cara,mulai dari cara berinteraksi terhadap orang lain, cara bereaksi terhadap suatu stimulus atau masalah, cara berpakaian, cara menggerakkan dan mengarahkan, cara melihat, cara memecahkan masalah atau mengambil keputusan, dan seterusnya.

Walaupun pemimpin-pemimpin kharismatik menginspirasi Anda, mereka belum tentu dapat menjadikan Anda seperti mereka. Anda bisa belajar tentang perilaku-perilaku baik mereka, tetapi jangan meniru kulit-kulitnya.Orang-orang bodoh yang tersihir sering ikut-ikutan seperti remaja yang tersihir selebritas. Adalah wajar kaum muda meniru cara berbusana atau potongan rambut David Beckham atau bulu mata antibadai lapis empatnya Syahrini.

Tetapi bila Anda ikut-ikutan bersepatu kets seperti Dahlan Iskan saat bekerja, atau memakai suspender seperti Jaya Suprana, Anda bisa terlihat bodoh. Anda terinspirasi oleh kulit, bukan oleh “isi”-nya. Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat belum sering muncul di media, Bob Sadino juga pernah saya tanyakan, apakah ia memperkenankan anak-anak buahnya berpakaian seperti yang ia kenakan.

Setelah sejenak berpikir ia berujar, ”Boleh kalau hidup atau ekonomi mereka sudah seperti saya.” Faktanya, Bob Sadino juga tidak senang melihat dirinya diduakan atau diikuti cara penampilannya oleh orang lain. Role model dalam leadership adalah “role model” mengenai “isi”, yaitu karakter, kejelasan, cara memimpin, dan seterusnya. Bukan kulit, bukan baju atau sepatu. Seribu Jalan Membentuk Diri

Membentuk “isi” tetap bisa dilakukan dengan mempelajari apa saja yang dilakukan pemimpin-pemimpin besar ataupun pemimpin-pemimpin gagal. Belajar tidak selalu dari orang-orang yang berhasil sebab kegagalan juga bisa memberikan penjelasan yang berharga. Para birokrat juga bisa memperbaiki cara kerja atasan- atasan dan diri masing-masing. Hampir dapat dikatakan buruknya leadership style seorang presiden juga ditentukan oleh buruknya birokrasi di Kantor Sekretariat Kepresidenan.

Cara yang sama yang dilakukan berulang-ulang hanya mencerminkan tidak ada pembaharuan di kalangan birokrasi kepresidenan, dan itu bisa berarti tidak ada transformasi. Pemimpin-pemimpin yang memimpin dengan pendekatan birokratis––tak peduli betapa hebat asal sekolahnya–– juga perlu memperbaiki acuan yang menjadi pedoman protokoler dan cara kerja. Bureaucratic leadership yang lebih dibentuk “by the book” atau “automated by rules” perlu diremajakan setiap periode tertentu.

Tanpa peremajaan, leadership style akan terkesan kuno, lamban, “tua”, dan tidak bersahabat. Sementara itu, para manajer juga perlu memperbaiki leadership style-nya begitu ia dipersiapkan ke posisi yang lebih tinggi. Setiap manajer atau officer, atau komandan sekalipun, umumnya dibentuk dari keseharian di mana ia berada. Setiap tahun ada ratusan polisi yang diwisuda dari Akademi Kepolisian, tapi hanya sedikit di antara mereka yang akan keluar atau pensiun dengan tanda bintang di pundaknya.

Demikian pula setiap tahun ada ribuan sarjana baru yang memulai bekerja, namun hanya sedikit yang akan pernah duduk di bangku CEO. Jelaslah para jenderal dan para sarjana dibentuk bukan hanya oleh pendidikan atau sekolah mereka, melainkan juga oleh siapa yang menjadi rekan kerja, dan atasan mereka masing-masing beserta medan persoalan yang dihadapi. Seorang polisi yang mengalami penempatan pertama di bawah komandan yang jujur dapat diharapkan berkembang menjadi komandan yang berintegritas.

Sebaliknya, mereka yang dibina oleh atasan yang korup dan melakukan tindakan tak terpuji bisa terbentuk menjadi serupa, kecuali bila ia memberontak. Mereka semua dibentuk oleh siapa yang menjadi pengalaman pertama dalam hidup atau karier mereka. Yang jelas, leadership style akan menjadi problematik bila hanya mengandalkan karisma karena charismatic leadership akan lebih berpusat pada diri sendiri.

Daniel Goleman, penulis buku Primal Leadership, lebih memilih visionary leadership, yaitu pemimpin yang mampu melihat jauh ke depan. Namun, itu tidak cukup. Ia mengatakan, “Visionary leaders akan membentuk ke mana kelompoknya pergi.” Meskipun tidak menjelaskan cara-cara teknisnya, ia menciptakan iklim yang kondusif untuk melakukan inovasi, eksperimen, bahkan mengambil risiko.

Cara yang ditempuh visionary leaders ini jauh lebih baik ketimbang cara-cara yang tengah dibangun oleh para pemimpin yang bergaya transaksional yang cenderung politis. Transactional style leader cenderung membentuk “kepatuhan” dengan cara “menyuap” atau “membayar” mereka. Anda sudah sering mendengar bukan bahwa hal ini banyak terjadi di panggung politik dan kekuasaan. Kepemimpinan transaksional merusak kultur bangsa, menciptakan ketidakbahagiaan dan hanya efektif untuk jangka pendek. Maka pelajarilah effective leadership yang tepat agar Anda menjadi pemimpin sejati dan organisasi Anda maju pesat.

RHENALD KASALI
Founer Rumah Perubahan

Rabu, 18 April 2012

Leadership Style - Jawapos 12 April 2012

Akhir pekan lalu, dalam suasana Paskah, saya menjalankan dua tugas sekaligus. Yang pertama mengunjungi komunitas Jaringan Rumah Usaha di Semarang dan berbicara dengan para penggerak kewirausahaan sosial yang dikumpulkan penggagasnya, Sdr Ilik Sasongko.

Orangnya sederhana,pendidikannya juga biasa-biasa saja, tetapi mereka rajin membaca dan mengeksplorasi pengetahuan- pengetahuan baru. Di tangannya ribuan orang berubah nasibnya. Ia menyebut kegiatannya sebagai MLM (multi level manusia). Ia melipatgandakan manusia-manusia yang mau bekerja keras, mengubah nasib dengan berusaha secara sosial,namun penuh berkah.

Sedangkan yang kedua, saya bertemu 14 pimpinan puncak sebuah investment company terbesar Indonesia di suatu vila yang sejuk di tengah-tengah perkebunan kopi di Losari, dekat Salatiga. Mereka adalah para profesional terpandang, berpendidikan tinggi, namun cerdas dalam mengendus peluang. Mereka adalah investor-investor besar terpandang yang dicari banyak orang.

Di kedua tempat itu saya ditanya tentang leadership style, dan tentu saja mereka membicarakan style dari nama-nama yang sangat populer di telinga kita,mulai dari Jokowi, Dahlan Iskan, Foke, SBY, Megawati, sampai Prabowo Subianto, Robby Djohan, atau bahkan Jack Welch, Lee Kuan Yew, dan Herb Kelleher. Saya tentu juga membicarakan tokoh-tokoh yang saya kagumi seperti Aung San Suu Kyi, Zaini Abdullah, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, Pakde Karwo, dan Raja Wayapo di Pulau Buru, Malili Besan.

Entah mengapa saat ini begitu banyak orang yang concern dengan leadership style. Mungkin karena masyarakat kita mulai berubah menjadi tak berjarak dengan pemimpin-pemimpinnya. Kata Dubes Amerika Serikat di sini, “Setiap pagi, begitu bangun, rakyat Indonesia mengkritisi pemimpin-pemimpinnya.” Saya pikir sinyalemen ini ada benarnya,1.000% benar. Mahasiswa- mahasiswa saya, warga di kampung tempat saya tinggal, para karyawan, bahkan penonton- penonton televisi, semua siap berbicara dan mengkritisi kepala negara, pemimpin partai, pengusaha sampai bos-bos mereka,pak lurah atau pak RT.

Semua dapat giliran dikritisi atau mengkritisi. Hebat sekali bangsa kita ini,bukan? Karena itulah, leadership style menjadi topik yang hangat, sehangat pembicaraan di Twitter yang membicarakan gaya Dahlan Iskan yang menggratiskan jalan masuk tol Ancol, atau saat Obama omong soal “sate” dan “bakso”ketika mengunjungi Jakarta. Pokoknya setiap gaya dan cara orang memimpin selalu dikomentari. Yang satu lelet, berdeklamasi, terlalu serius, sedangkan yang lain terbuka, berpakaian bebas, agak santai, mendatangi, dan seterusnya. Pakaian, sepatu, dan cara yang dipakai selalu dikomentari.

Karakter dan Kompetensi

Setiap kali menyaksikan munculnya pemimpin-pemimpin baru dan mendengarkan pembicaraan pemimpin-pemimpin tua, Anda mungkin bisa melihat dua sisi mereka sekaligus. Kedua sisi itu seperti sekeping uang logam yang menyatu dan tanpa disadari oleh yang bersangkutan membentuk pikiran kita tentang style mereka. Kedua sisi itu adalah “what a person is” dan “what a person does” Ya, seperti kesatuan pada uang logam itulah Stephen Covey menyebutnya.

What a person is” merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam hati sanubari dan pikiran seseorang, yang membentuk suatu fondasi. Apakah fondasinya kuat dan dalam sehingga bisa membentuk bangunan tinggi di atasnya? Atau fondasi yang tipis, dangkal, dan terbuat dari bahan-bahan yang mudah rapuh sehingga mudah dirobohkan gelombang dan angin puting beliung? Yang satu berdiri kokoh dan terhindar dari perbuatan-perbuatan nista, sedangkan yang satunya lagi tak bisa menjulang tinggi ke angkasa.

What a person is” adalah refleksi dari sebuah karakter. Akar dari sebuah pohon yang menancap ke dalam tanah. Kata seorang filosof, karakter adalah “apa yang diucapkan oleh malaikat di hadapan Tuhan tentang kita. ”Karakter tak dapat diciptakan meskipun Anda membayar mahal pengamat- pengamat politik yang memiliki lembaga polling atau pakar-pakar komunikasi yang bisa melatih Anda cara berbicara dan menampilkan diri di hadapan publik.

Yang bisa dibangun itu cuma sebuah drama, yang disebut “reputasi pencitraan”. Karakter berbeda dengan “reputasi pencitraan”. Menurut filsuf tadi, reputasi itu dapat diumpamakan sebagai “apa yang diucapkan oleh para pelayat yang hadir pada upacara pemakaman seorang tokoh”. Reputasi hanya mencerminkan apa yang tampak di garis luar, disampaikan oleh orang-orang tertentu untuk “menghibur hati”. Reputasi adalah ucapan orang yang bisa tulus, bisa juga tidak. Bisa benar, bisa juga dibenar-benarkan.

Namun, sekalipun karakter penting, ia belumlah cukup. Kata Jusuf Kalla, karakter “jujur” saja tidak bisa memajukan suatu bangsa, apalagi memecahkan masalah-masalah yang rumit. Karena itu, pemimpin juga diukur dari “apa yang ia lakukan”. Inilah yang dimaksud dengan Steven Covey sebagai “What a person does”.Dan “What a person does” merupakan cerminan dari kedalaman kompetensi dan kematangan karier seseorang.

Mungkin seperti Anda lihat bagaimana Dahlan Iskan membuka pintu tol, Jokowi menyetir mobil Esemka, Habibie membangun Dirgantara Indonesia dengan menggebu-gebu atau Herb Kelleher menyambut penumpang pesawat yang dipimpinnya (Southwest Air) dengan wig warna-warni sambil membagi-bagikan permen dan bunga. Dengan demikian, latar belakang Anda akan membentuk pribadi Anda.

Dahlan Iskan adalah seorang yang berjiwa wirausaha, setelah jatuh bangun menjadi wartawan, ia membangun usahanya yang juga berbasiskan jurnalistik. Maka ia pun menghendaki kemandirian, kejujuran, dan kebebasan. Seperti waktunya yang bebas mendatangi narasumbernya, ia juga ingin serba cepat dalam mengambil keputusan karena ia terbiasa bekerja dengan informasi.

Demikian pula dengan JK yang dibesarkan dalam lingkungan berdarah “saudagar”. Ia memiliki kecepatan berpikir dalam lingkungan yang dinamis. Mereka berdua berbeda dengan orang-orang yang meniti kariernya dalam lingkungan birokratis yang harus berhati- hati dalam berbicara, harus loyal,dan setia pada atasan serta merasa kekurangan walaupun kekuasaannya besar.

Meski dibentuk oleh sejarah, saya kira setiap orang bisa belajar bahwa kini segala sesuatunya telah berubah dan dunia menghendaki pemimpin yang jujur, aktif, berpihak pada kepentingan rakyat, mendatangi, dan kreatif.

Sepintas tampaknya sulit, apalagi bila Anda dibesarkan dalam dunia yang selalu membatasi ruang gerak Anda.Tetapi, saya ingin mengatakan dunia ini menghendaki ada perubahan. Maka beradaptasilah dan perbaiki leadership style Anda

Rhenald Kasali
Founder RUmah Perubahan

Rabu, 11 April 2012

Mengenal Aceh - Jawapos 9 April 2012

Banyak pembaca bertanya bagaimana saya bisa begitu dekat dengan Aceh. Jawabannya sederhana saja, ibu yang melahiran kedua anak saya berasal dari Aceh. Jadi tidak mengherankan kalau sejak dulu (termasuk di era konflik) adalah biasa bagi saya berjalan-jalan menembus kota-kota terpencil di propinsi yang bagi sebagian orang sulit dimengerti ini.

Dulu, sebelum Aceh dibangun dengan infrastruktur yang luar biasa seperti saat ini (pasca Tsunami), saya sudah biasa memasuki kota-kota kecil sambil menumpang bis yang sering mogok ditengah hutan, beristirahat di antara ratusan lembu milik masyarakat yang tengah beristirahat di atas jalan beraspal, atau ikut bus yang harus menyebrang sungai yang hanya dapat dijangkau dengan menggunakan rakit-rakit bambu. Pernah suatu ketika bus berhenti pada tengah dalam di sebuah hutan dan kondektur sibuk memasukkan durian dan ayam hidup ke tumpukan bagasi yang diikat di bagian atas bus. Di situ pula koper berisi pakaian saya disimpan sehingga esok harinya seluruh pakaian saya beraroma ayam campur durian. Namun perlahan-lahan suara orang yang berbicara pun menghilang, semua tertidur pulas. Saat turun dari bus, di tengah hutan itu saya melihat sopir bus pun tengah tidur di pos ronda. Rupanya beristirahat sambil menunggu pagi.

Sementara saya masih berharap agar bus bisa segera bertolak dan sampai di Banda Aceh lebih awal. Jadi saya mengenal betul alam, budaya dan masyarakat Aceh, mulai dari Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Utara hingga Aceh Barat sampai ke pelosok Pulau Simeulue dari Sinabang, sampai Kampung Air dan Sibigo yang dulu hanya bisa ditembus dengan kapal patroli dan sepeda motor. Itu sebabnya hari Kamis malam lalu saya diminta masyarakat Aceh menjadi salah satu panelis dalam menguji para calon Gubernur di Ballroom Hotel Hermes. Sebagian orang mencemaskan keadaan di Aceh yang banyak diberitakan belakangan ini, yaitu ramai dengan peristiwa teror dan keamanan. Tetapi kalau Anda berada di tengah-tengah masyarakat Aceh maka Anda akan tahu, keadaan sebenarnya tak seburuk yang Anda duga. Saya bahkan sempat kongkow di beberapa kedai kopi langganan saya bersama anak-anak muda dan para akademisi Universitas Syiah Kuala dan IAIN di kedai kopi Solong di Ulee Kareng. Kalau Anda penggemar kopi, mungkin Anda sepakat dengan saya, tak ada kopi yang lebih enak dari kopi di kedai ini.


Rempah-Rempah dan Migas

Bagi saya Aceh adalah tipikal propinsi yang selalu berada dalam pusaran perubahan yang sangat kuat. Bukan hanya badai Tsunami nya yang mengguncang dunia, atau perannya sebagai Serambi Mekah dan pelaksanaan Syariat Islamnya (dengan hukum cambuk), melainkan juga siasat militernya (yang begitu sulit untuk dikuasai siapapun). Meski bagi sebagian orang, Aceh ditandai dengan karakter manusia yang berbicara spontan dan kadang menyakitkan atau terkesan sinis, mereka adalah orang-orang yang tulus dan jujur mengungkapkan isi perasaan. Bahwa ada di antara mereka yang munafik atau punya agenda terselubung, saya kira dimanapun selalu ada. Kalau anda mengerti mereka, maka Anda akan bisa duduk lepas dan tertawa terbahak-bahak mendengarkan kisah-kisah lucu dan sedih dari kehidupan sehari-hari.

Saya ingin kembali pada pusaran perubahan. Pada Abad ke 16 Aceh sudah menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Pala, lada, cengkeh, kayu manis, kopi dan kelapa mengundang kedatangan Cornelis de Houtman. Di Pulau Simeulue, khususnya di Sinabang, Belanda juga membangun jalan kereta api untuk mengangkut hasil bumi Aceh. Namun sayang, pada akhir abad 20, rempah-rempah telah pudar. Desa-desa yang dulu kaya telah berubah menjadi kantong-kantong kemiskinan. Sekitar 80% dari 900 ribuan angka kemiskinan di Aceh berada di pedesaan yang dulu dikenal sebagai kantong usaha rempah-rempah. Dari rempah-rempah, Aceh beralih ke migas menyusul ditemukannya ladang LNG di Arun. Ini membuat Aceh menjadi kontributor besar (nomor 4) bagi APBN republik ini. Dan disaat otonomi khusus mulai dinikmati, ladang migas Arun justru sedang memasuki masa pensiun. Dua tahun lagi, pasokan LNG Arun akan habis. Bahkan saat ini saja pabrik-pabrik besar yang 20 tahun lalu menjadi kebanggan masyarakat di pesisir Aceh Utara, sekitar Blang Thupat, kini mulai menjadi bangunan tak bertuan. Kemana Aceh akan bergerak ?Inilah pertanyaan besar yang harus menjadi PR bagi Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yang hari ini nasibnya ditentukan oleh rakyat Aceh. Infrastruktur Aceh secara merata telah berubah menjadi infrastruktur yang luar biasa, tetapi industri besar nyaris tidak ada. UKM nya pun lebih banyak hidup dari sektor perdagangan dan jasa-jasa sederhana. Sapi-sapinya sehat dan mudah diternakkan tetapi industri pengolahan daging tidak ada. Ikan dan hasil laut luar biasa, tetapi industri perikanan belum datang. Kelapa sawit sudah mulai ditanam, tetapi PKS (Pabrik-Pabrik Kelapa Sawit) dan pengolahannya belum tampak.

Emas sudah keluar dari perut bumi, tetapi mercury dan cairan kimianya masih dibuang ke sungai tanpa diolah sehingga membahayakan penduduk. Bagi saya Aceh adalah sebuah propinsi yang menarik. Dari debat pilkada kemarin saya memperoleh kesan Aceh yang damai adalah dambaan rakyat dan para pemimpinnya. Saya berharap anak-anak muda, para wirausahawan-wirausahawan muda Aceh dapat mengambil momentum untuk memperbaharui Aceh dan keluar dari stigma “belum bekerja kalau tidak menjadi PNS” atau “belum menjadi wirausahawan kalau belum menjadi kontraktor”. Entrepeneurship selalu dimulai dari kejelian melihat masalah dan mengubahnya menjadi suatu kesempatan. Jayalah Aceh, bersatulah Indonesia!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sabtu, 07 April 2012

Memasarkan Subsidi - Sindo 5 April 2012

Tentu bukan cuma pemerintah yang mengurusi atau membagi-bagikan subsidi. Hampir semua social entrepreneur yang bergabung di Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI) juga melakukannya.

Sumber dananya bukan dari pajak atau dari pemerintah, melainkan dari kegiatan usaha yang dilakukan sendiri. Ideologi perubahan sosial yang diusung adalah ideologi kewirausahaan yaitu “Poverty alleviation through entrepreneurship”. Begitulah Bambang Ismawan (Yayasan Bina Swadaya) menggeluti perubahan sosial selama lebih dari 40 tahun. Ideologi ini dijalankan oleh lebih dari 1.000 social entrepreneur Indonesia lainnya yang dengan setia berwirausaha seperti layaknya pebisnis betulan.

Bedanya, mereka menggunakan hasil keuntungannya bukan untuk membeli kekayaan, melainkan untuk mendapatkan senyum di kala tidur. Mereka menggunakan hampir seluruh dividen yang dihasilkan untuk mengatasi kemiskinan. Dalam proses itulah mereka terlibat membagi-bagikan subsidi, baik secara langsung (cash transfer) maupun tidak langsung (infrastruktur, bimbingan, atau barang-barang). Karena tahu betapa sulitnya mencari uang, mereka tidak sembarangan memberikan subsidi. Saya kira pemerintah perlu belajar banyak dari para social entrepreneur dalam “memasarkan” subsidi yang sekarang mulai banyak dicerca itu.

Namun, apalah artinya subsidi yang diberikan social entrepreneur Indonesia bila dibandingkan dengan ketukan palu DPR yang awal tahun ini memutuskan subsidi energi sebesar Rp225 triliun? Social entrepreneur itu bicaranya jauh dari triliunan rupiah. Uangnya tidak sebesar uang negara sehingga diberikan sangat selektif. Kekayaannya juga tidak sebesar konglomerat. Tetapi, mereka melakukannya dengan ikhlas dan entah mengapa kok lebih diterima oleh masyarakat. Kata anak-anak muda, lebih ngefek karena sasarannya adalah perubahan yang riil, impact!

Subsidi Konotatif 
Namun, siapa pun yang memberi, subsidi selalu mengandung sisi positif dan negatif. Kata subsidi juga mengandung konotasi yang amat beragam. Bagi penerima subsidi, ia bisa berarti penyelamatan, tapi juga bisa berarti beban karena di dalamnya terkadang tanggung jawab untuk mengatasi sesuatu. Ia juga bisa menjadi musibah karena bisa menimbulkan ketergantungan dan ketidakberdayaan.

Penerima subsidi yang cerdas tentu mengerti bahwa subsidi hanya bersifat sementara, yakni sampai ia bisa terbebas dari himpitan ekonomi. Karena itulah, pendampingan menjadi sangat penting. Sebaliknya, untuk membodohi dan merusak bangsa, jadikanlah bangsa itu penerima subsidi abadi. Saya masih ingat betul saat keluarga saya menikmati subsidi selama kami melakukan studi di Amerika Serikat. Karena memperoleh penghasilan sebagai teaching dan research assistant di University of Illinois, saya tercatat sebagai pembayar pajak. Pembayar pajak berhak mendapatkan subsidi bila kesejahteraannya terganggu.

Subsidi pertama saya terima saat mengurus rumah sewa yang kualitasnya lebih baik, namun harga sewanya disubsidi negara. Anda mungkin berpikir ini adalah negara liberal yang kaya sehingga subsidi tidak ada, atau kebalikannya, subsidi sangat berlimpah. Keliru!! Subsidi di negara propasar ternyata tetap ada, namun pemberiannya sangat ketat, melewati proses seleksi yang amat meletihkan, dan antre selama satu tahun. Subsidi kedua diterima keluarga kami menjelang kelahiran putra bungsu. Juga, setelah melalui proses wawancara yang panjang akhirnya kami menerima bantuan tunai (berupa kupon) untuk melengkapi gizi ibu yang tengah hamil.

Setiap bulan petugas sosial dan kesehatan mendatangi rumah, mencatat, dan melakukan inspeksi apakah betul penerima subsidi masih layak dibantu dan apakah bantuan digunakan dengan layak untuk mencapai objective kesejahteraan. Dengan subsidi, anak-anak kita bisa menikmati gizi yang baik, dan ibu hamil bisa melahirkan di rumah sakit mana saja sejajar dengan mereka yang memiliki asuransi dan membayar sendiri. Apa yang dapat dipelajari dari pemberian subsidi di negara-negara maju? Pertama, subsidi tidak boleh dijadikan alat popularisme pemimpin, baik itu para politisi maupun penguasa.

Subsidi disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi dengan prinsip good governance. Kedua, subsidi tidak boleh dilakukan secara massal, apalagi bila ia bisa menjadi substitusi (pengganti) bagi masyarakat yang kaya untuk mengambil hak kaum papa. Subsidi tidak boleh diarahkan untuk menstimulasi perpindahan konsumen mampu dari mekanisme pasar (misalnya pembeli BBM nonsubsidi) yang beralih ke mekanisme subsidi (misalnya ke BBM subsidi).

Ketiga, subsidi harus diberikan secara selektif, dibatasi. bentuk pembatasannya bisa dilakukan dengan cara yang amat variatif, mulai dari diskriminasi produk (seperti obat generik vs obat branded, premium vs pertamax), peraturan pemerintah daerah (seperti yang dilakukan wali kota Samarinda terhadap pemakaian BBM subsidi bagi kendaraan pengangkut hasil tambang), dan sebagainya.

Keempat, subsidi harus dilakukan dengan pendampingan yang cukup. Artinya selain untuk pengecekan kelayakan, barang subsidi juga tidak boleh untuk digunakan di luar dari yang seharusnya. Masyarakat penerima kupon “food stamp” yang diberikan pada kaum miskin di Amerika untuk membeli segala macam makanan minuman misalnya dilarang memakainya untuk membeli bir, minuman beralkohol, dan snack seperti cokelat atau ice cream.

Bagaimana di Indonesia? 
Di sini kita saksikan masyarakat dibebaskan menggunakan bensin bersubsidi untuk menikmati hari libur, jalan-jalan ke puncak, kondangan dan kenduri, serta sebagainya. Sedangkan terhadap penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) tidak pernah dilakukan pengecekan bagaimana pemanfaatannya. Di samping kecil jumlahnya, kelembagaannya tidak direncanakan dengan baik, dan bantuan lebih bersifat populis-politis dan hanya sementara. Bantuan atau subsidi seperti ini sangat pragmatis dan miskin ideologi sehingga kurang efektif untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat.

Hanya subsidi yang dilandasi ideologi yang kuat yang mampu membentuk kelas menengah yang kuat, bukan untuk membentuk kaum pragmatis yang terperangkap dalam kemiskinan. Cara-cara yang tidak integratif seperti ini berbahaya bagi masa depan bangsa, membentuk perilaku konsumtif yang tidak adil, pemborosan devisa, menghambat proses pembentukan kesejahteraan yang kita inginkan, dan menciptakan ketidakadilan.

Lantas apa yang dipelajari dari para penggerak sosial dengan basis kewirausahaan? Bagi kami, adalah dosa besar membantu untuk menimbulkan ketergantungan. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari ketergantungan. Jadi subsidi yang menimbulkan ketergantungan justru sangat berbahaya bagi pengamalan pasal-pasal UUD ‘45 dan Pancasila. Renungkanlah!

RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan

Rabu, 04 April 2012

Penakut tak akan Melakukan Perubahan - Jawapos 2 April 2012

Saya tengah berada di dalam bioskop, menonton film The Lady, tatkala ribuan tabung gas air mata melesat ke angkasa bak kembang api di depan gedung DPR hari jumat, 30/3 yang lalu. Tabung-tabung gas itu ditembakkan untuk membubarkan demonstrasi mahasiswa yang mempersoalkan rencana kenaikan harga BBM. Di layar lebar, pejuang hak asasi manusia, Aung San Suu Kyi baru saja berujar bahwa “Satu-satunya penjara bagi manusia adalah rasa takut. Dan satu-satunya kebebasan yang hakiki adalah bebas dari rasa takut.”

Hari itu, di jalan raya saya bertemu dengan ribuan orang yang benar-benar merasa sedang kehilangan kemerdekaan. Mereka dilanda rasa takut yang luar biasa akibat keributan politik di gedung parlemen dan demo mahasiswa karena soal harga BBM. Dari dalam gedung parlemen, saya menerima puluhan pesan-pesan pendek yang dikirim dan disebarluaskan oleh para politisi pengecut. Mereka berpura-pura berani menghadapi perubahan, padahal sesungguhnya mereka hanyalah pengecut.

Kenapa saya katakan pengecut? Simpel saja, mereka mengatakan “kekuasaan sumber korupsi.” Aung San Suu Kyi yang sejak kecil hidup dalam tahanan militer mengingatkan kita “Bukan, bukanlah kekuasaan yang menjadi sumber korupsi, melainkan ketakutan. Ketakutan terhadap hilangnya kekuasaanlah yang menjadi sumber korupsi.” Saya kira Suu benar. Orang-orang politik yang takut kehilangan dukungan, termasuk anggota koalisi yang takut kehilangan popularitas telah mengkorupsi keinginan rakyat dengan rasa takutnya yang berlebihan, yaitu takut suaranya hilang pada pemilu yang akan datang.

Menang-Menangan
Lima belas tahun yang lalu, salah seorang Emir terkemuka dari Uni Emirat Arab, Sheikh Muhammad Makhtum al Makhtum pernah berujar: “Ekonomi itu ibaratnya kuda, sedangkan politik adalah keretanya”. Baginya, Dubai menjadi besar karena ekonominya berada di depan politik. Di Indonesia kita justru menyaksikan pertunjukan sebaliknya, kuda di pacu agar bisa berlari kencang di taruh dibelakang kereta bak tukang sate mendorong gerobaknya. Alih-alih berlari cepat, kuda menjadi liar dan tabrak kanan - kiri. Ibarat kuda mabuk.

Suu Kyi mengingatkan lagi. “ You should never let your fears prevent you from doing what you know is right.” Kurang lebih beginilah, “Jangan biarkan rasa takut menghentikan langkah Anda melakukan kebenaran.”
Dalam belenggu rasa takut itu banyak orang telah kehilangan nalar dan bermain dalam game menang-menangan. Game menang-menangan lazimnya hanya dimainkan oleh orang-orang yang bermain untuk kalah. Banyak orang tidak menyadari, saat mereka “bermain” untuk “mengalahkan” lawan-lawan politik atau lawan-lawan bisnisnya, sesungguhnya mereka terperangkap dalam “Win – lose mindset.” Ingatlah, siapapun yang bermain dalam mindset itu, sekalipun merasa menang, sesungguhnya telah bermain untuk kalah. Kalah karena kehilangan kepercayaan, respek dan tentu saja akan menerima pembalasan.

Dalam tontonan televisi tentang pro-kontra kenaikan harga BBM kemarin, rakyat cuma menyaksikan tayangan “menang-menangan”. Semuanya ingin menang dan merasa telah menang, kecuali rakyat kecil. Rakyat kelas menengah tersenyum  bisa tetap menikmati BBM murah. Oposisi tersenyum bisa mengalahkan pemerintah. Pemerintah tenang karena demo berhasil ditangani dengan aman. Mahasiswa bilang, “kami telah berhasil menjebol pagar gedung DPR dan membuat presiden ketakutan.” Partai-partai juga tersenyum bisa mengkhianati koalisinya. Sementara rakyat kecil urung mendapatkan bantuan langsung, padahal harga-harga sudah terlanjur naik.

Sungguh, ini bukanlah tontonan politik yang baik dan mendidik. Kalau Anda pernah belajar ekonomi Anda mungkin tahu bahwa strategi kemenangan yang telah terbukti hebat dan akurat bukanlah strategi Win-loose yang diwarnai dengan akal-akalan politik dan penghianatan. Strategi kemenangan yang terhebat adalah strategi Win – Win. Kata Maxwell, kalau Anda menang dan lawan Anda juga ikut menang, maka bangsa ini akan sejahtera kekal abadi. Tetapi bila Anda menang dan lawan Anda kalah, maka Anda hanya menang satu kali saja.

Dan apa kata Suu dalam film The Lady yang saya tonton malam itu? “Jika Anda merasa tak tertolong, tolonglah orang lain.” Ini berarti Anda dan saya punya tugas yang lebih besar dari pada mempersoalkan mereka yang menguasai “kuda-kuda ekonomi” kita dalam bingkai politik menang-menangan. Yaitu, mengulurkan tangan pada mereka yang hidupnya diabaikan politisi. “Anda boleh tak suka berbicara dengan politik, tetapi politik akan berbicara dengan Anda,” Ujar Suu menirukan almarhum Jendral Aung San dalam film yang sangat aspiratif itu. Jadi kalau seseorang penakut, dia tidak akan pernah bisa melakukan perubahan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan