Laman

Selasa, 30 September 2014

Update Artikel Prof. Rhenald Kasali

Update tulisan Prof. Rhenald Kasali dari berbagai media nasional setiap minggu dapat anda baca di bagian artikel situs:

Rabu, 19 Juni 2013

Sebuah Awal dari Kesulitan Besar-Sindo 20 Juli



Kalau Prof. Jagdish Sheth menulis buku dengan judul Self Destructive Habits, maka tangan ini gatal menulis "Awal dari Sebuah Kesulitan Besar”.  Awal itu adalah soal pencarian  bangsa ini terhadap energi.
Ketika semua bangsa-bangsa sibuk mencari dan mengembangkan  energi-energi baru, kita justru terperangkap dengan politik populis yang seakan akan masih kaya minyak. Sudah tahu cadangan minyak dunia semakin menyusut tetapi andalannya masih tetap saja minyak. Sudah tahu kilangnya tidak besar, tetap saja foya-foya minyak. Gampang, tidak perlu minyak mentah, beli saja yang lebih mahal: Minyak yang sudah jadi.
Bagaimana energy alternatif?
Pola Pikir kita adalah negeri kaya minyak. Minyak itu seakan-akan tersedia gratis seperti air cebok. Harganya sepertiga dari harga sebungkus rokok. Meski untuk mendapatkannya butuh teknologi, pengetahuan tingkat tinggi, proses yang panjang, dan merusak lingkungan pula. Bahkan di negeri kepulauan yg miskin infrastruktur ini kita butuh biaya angkut yang mahal untuk mengirimnya dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dengan paradigma itu rusaklah semuanya ketika realitasnya sudah berubah. Sumur-sumur minyak yang ada semakin hari semakin menyusut, produksinya turun. Bisa saja sumur-sumur itu disedot lagi, tetapi diperlukan investasi baru yang sangat besar. Investasi-baru itu ternyata tidak dilakukan. Deviden dari keuntungan usaha minyak diambil buat menambah pemasukan APBN, bukan buat reinvestasi untuk kemakmuran di masa depan.
Akibatnya kita tak punya uang. Alternatifnya, cari teman, cari investor. Tetapi mental kita mengatakan kita tidak ingin dikuasasi asing, karena perusahaan asing sudah terlalu banyak. Karena asing dikesankan menguasai. Karena asing mengambil terlalu banyak dalam bentuk cost recovery dan sebagainya. Tetapi sekali lagi, yang punya modal dan teknologi ya siapa lagi kalau bukan asing?  Bukannya melatih diri agar lebih cerdik, tetapi kita selalu hanya ribut.   Sementara itu mencari sendiri sumur-sumur baru selain beresiko gagal, biaya investasinya sangat besar.
Kata para ahli minyak, ada sih minyak itu. Tetapi terpendam di laut dalam, atau terperangkap di dalam bebatuan (shale oil & gas). Namun, untuk menangkapnya lagi-lagi butuh teknologi: Ya, tanpa pengembangan teknologi, tidak bisa kita dapatkan minyak itu.
Lalu ada gagasan mencari minyak di negeri lain. Tetapi lagi-lagi dukungan negara minim. Padahal negeri-negeri pemilik ladang-ladang minyak terus didatangi taipan-taipan minyak dari Malaysia, China, India, Thailand, Rusia, Amerika, Korea, dan Jepang. Mereka berebut memberi “pemanis” agar saling menguntungkan. Yang satu membangunkan kilang sehingga mendapatkan jaminan supply minyak mentah. 

Yang lain memberikan harga pasar yang menggiurkan. Demi mendapatkan keberlangsungan energy sambil mendidik warga negara agar tahu bahwa barang ini sudah berubah menjadi barang mewah.
Karena kita tidak melakukannya, maka pilihannya hanya impor. Dari minyak mentah lalu minyak jadi dan semakin hari semakin besar. Dan ketika harganya di dunia internasional semakin mahal, kita pun menutup mata. Harganya di dalam negeri harus tetap murah. Tak peduli sekalipun akan digunakan untuk mabuk-mabukan, trek-trekan, untuk pacaran, pesta dan sebagainya. Rakyat kita sama sekali tidak dididik memahami bahwa minyak telah berubah menjadi barang mewah. Bahkan tak banyak yang diberitahu bahwa Indonesia sudah 5 tahun ini keluar dari keanggotaannya di OPEC (2008). Kita bukan lagi anggota dari negara-negara kaya pengekspor minyak, tetapi prilaku kita masih bak raja minyak.
Menjadi penjelajah energy. Sebab tanpa energy kita tak bisa menyimpan vaksin, tak bisa mendidik anak-anak, apalagi merawat kesehatan.
Pikiran kita adalah pikiran lama yang using, yang seakan-akan Indonesia kaya minyak. Atau kalaupun tidak, pikiran kita mengatakan dunia ini masih kaya minyak. “Tidak akan pernah habis.” Produsen otomotif pun masih terus menjual kendaraan-kendaraan baru berbasiskan fossil fuel karena itulah energy yang paling efisien dan mudah dibawa. Dan kita pun terlena.
Energy Aternatif
Apakah alternatif yang sedang kita cari? Tenaga surya? Ternyata Indonesia bukan wilayah yang bagus buat energy tenaga surya karena matahari yang bersinar 12 jam di sini tidaklah tajam cahayanya. Kita mendapatkan “Light” tetapi tidak “Heat” nya
Tenaga angin? Ternyata juga tidak cocok. Angin di negeri ini ternyata tak sekencang angin di negeri Belanda atau Swiss. Walaupun penduduknya sering dilanda “masuk angin" misalnya.
Adapun panas bumi, sesungguhnya sangat menarik. Indonesia adalah segeri yang dikelilingi oleh cincin-cincin api. Tetapi sayangnya panas bumi itu melewati kawasan-kawasan hutan lindung yang belum tentu ramah bagi lingkungan. Di sini perkembangan agak tersendat.
Lalu pilihannya ada pada bio diesel seperti minyak sawit, minyak kemiri sunan, dan sejenisnya. Tetapi selama harga minyak yang utama murah (BBM) maka sulit energi alternatif ini hidup dan berkembang. Sama sekali tak ada insentif untuk berubah.
Kita bisa teruskan perdebatan ini dengan energi-energi alternative lainnya seperti batu bara, gas, nuklir dan seterusnya. Semuanya kita tentang, kita tertahan, terbelenggu, sulit bisa mewujudkannya.
Padahal di seluruh dunia bangsa-bangsa besar, termasuk negeri-negeri tetangga yang hanya sebesar Malaysia dan Thailand sekalipun sibuk membangun pertahanan energi. Diam-diam mereka membuat rakyatnya tidak mabuk minyak. Harga yang mahal bukan untuk menindas si miskin melainkan untuk mendidik kesadaran sebelum bencana besar itu tiba. Yaitu saat minyak sudah tak terbeli lagi sementara teknologi rumah tangga dan transportasi yang dipakai masih fossil fuel -based. 
Dan diam-diam mereka melakukan riset secara mendalam demi mendapakatkan energi-energi baru yang lebih terjamin pasokannya. Diam-diam mereka memberi insentif agar perusahaan-perusahaannya rajin menjelajahi dunia dan menabung energy untuk masa depan. Diam-diam mereka mengikat dengan kerjasama yang saling menguntungkan. Diam-diam mereka menyusun kekuatan-kekuatan baru.
Sayangnya di sisi kita justru bertengkar. Kita hidup dalam alam pikiran yang tidak sama. Dalam egoisme ideologis partai yang semu. Dalam kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok yang bodoh. Dalam arahan yang sama sekali tak ilmiah dan tidak logis. Dalam permainan yang memanipulasi pikiran-pikiran rakyat. Dalam angan-angan bahwa kita punya segala-galanya. Kita dibiarkan mabuk. Dan bagi saya ini semua adalah awal bagi kesulitan yang lebih besar. Ayo putus mata rantainya. Bukalah pikiran-pikiran yang lebih sehat untuk berubah.

Selasa, 18 Juni 2013

Keluar dari Sangkar Emas - Jawa Pos 18 Juni 2013



Ibarat sebuah buku, dunia dan isinya ini kaya pengetahuan. Tetapi bagi Agustinus dari Hippo, “Those who do not travel  read only one chapter."  Ya, mereka yang tak melakukan perjalanan, alias cuma belajar di kelas dan mengurung diri dapat diibaratkan hanya baca satu bab saja. 

                Itulah yang mendorong saya mengirim mahasiswa-mahasiswa saya pergi ke luar negeri. Bukan bergerombol, tetapi kali ini harus sendiri-sendiri pada setiap negara yang berbeda. Tanpa orang tua, saudara, kenalan atau jemputan. Pokoknya pergilah ke tempat yang jauh dan cari uang sendiri. Kalau dulu dosennya yang subsidi, kini mereka harus cari sendiri. Dan ajaib, semua bisa pergi.

                Maklum harus diakui, semakin ke sini, generasi baru Indonesia adalah generasi service. Mereka dibesarkan dengan service yang dibeli orang tua yang bekerja. Yang punya uang sedikit membesarkan dengan pembantu rumah tangga. Yang lebih sejahtera, membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru les yang bisa disewa orang tua. Pergi keluar negri pakai travel. Urus paspor saja pakai calo.  Akibatnya anak-anak kurang kaya potensi.
                Maka mengirim mereka keluar dari sangkar emas adakah sebuah kebutuhan.

Orang Tua Jangan Membelenggu
                Kita orang tua seringkali khawatir, bahkan khawatir lebih dari seharusnya. Kita khawatir anak-anak akan menderita di masa depan, maka kita pun memberikan segala yang mereka butuhkan. Padahal mereka bisa mencari sendiri. Bahkan kalau mereka sudah mendapatkan semua, mereka akan mencari apalagi?

                Saya pun tertegun, mahasiswa usia 19-20 tahun yang saya bimbing ternyata  punya nyali yang besar untuk menembus berbagai rintangan. Seorang mahasiswa saya menembus perbatasan Thailand dan tinggal bersama para biksu di Laos. Yang lainnya menyambangi Myanmar. Bahkan ada yang kesasar di Turki, India dan New Zealand.  Ada yang sampai Belgia, Jerman dan seterusnya.

                Semuanya kesasar dan semuanya belajar. Prinsip orang bekerja adalah berpikir, namun kalau setiap hari melakukan hal yang familiar/rutin atau dibimbing orang lain, maka manusia punya kecenderungan menjadi "penumpang" bagi orang lain dan tidak berpikir lagi.  Namun di lain pihak, orangtua juga punya tendensi mengawal dan menuntun anak secara berlebihan. Anak-anak yang berusia dewasa dilarang bepergian sendirian. Khawatir kita sangat berlebihan. Padahal di Vietnam, Thailand, Bali dan Laos, anak-anak bimbingan saya bertemu dengan mahasiswa asing yang sudah berkelana pada usia yang jauh lebih muda.

            Mahasiswa saya tak semuanya punya uang yang cukup untuk bepergian ke luar negeri, tetapi begitu dipicu untuk berpikir mereka pandai mencari uang sendiri.  Salah seorang mahasiswa saya mencari uang dengan menjadi calo tiket pada Java Jazz, atau saat bintang-bintang asing datang. Dengan uang itu saja mereka bisa pergi ke Jerman, Prancis atau Italia.

          Tak banyak orangtua yang menyadari bahwa anak-anak mereka punya potensi yang sangat besar untuk menjadi sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan. John Maxwell mengatakan, kalau saja manusia bisa membangunkan 25 persen dari potensi yang ia miliki, maka ia dudah bisa disebut sebagai genius.  Jadi bisa dibayangkan kalau Albert Einstein saja baru mengoptimalkan sebanyak 25 persen dari potensinya, berapa persen yang dioptimalkan kita yang biasa mengandalkan orang lain, menjadi penumpang atau menjalani kehidupan dengan belenggu yang dibuat orang tua?

          Mahasiswa saya mengatakan, bukan mereka yang tak ingin, melainkan terlalu banyak kekhawatiran dan larangan dari orangtua yang membuat mereka takut menjelajahi alam semesta dan dunia ini. Sebagian mereka yang memutuskan berangkat terpaksa bertengkar dengan orangtua, bahkan tak jarang orangtua menghubungi relasi-relasinya di luar negeri untuk mengawal anak-anaknya.  Bahkan ada yang menyabot hak anak untuk pergi mandiri dengan melibatkan anak-anaknya ke dalam perjalanan wisata yang diorganisir oleh tour company.  Ini tentu saja. Semakin mengunci potensi yang harusnya bisa dikembangkan.

          Kalau saja orangtua mau memberi ruang dan kepercayaan pada anak-anaknya, maka saya percaya mereka bisa membaca lebih dari sekedar kata pengantar atau Pendahuluan dari sebuah buku. Travelling adalah salah satu caranya.

Selasa, 19 Maret 2013

Silence Day, Sindo 14 Maret 2013

Setelah Car Free Day, ada baiknya kota-kota besar Indonesia juga memberlakukan Silence Day.Orang Bali menyebutnya Nyepi. Tujuannya adalah pembersihan diri, fisik maupun spiritual. Bumi pun ikut bernafas lega, alam semesta merayakan ketenangan. Suara burung, angin dan air jauh lebih indah dari klakson sepeda motor dan cacian  pengemudinya.

Televisi yang menyiarkan kegaduhan berhenti sejenak, juga gosip-gosip yang meng-entertain kesusahan orang lain.  Banyak orang yang tak menyadari keluhan-keluhan dan rasa bencinya telah mempengaruhi perputaran hormon orang-orang lain. Kegelisahan dan rasa iri begitu mudah diedarkan, dengan akun palsu yang dibuat sendiri, gratis pula. Tak banyak yang menyadari bahwa energy negatif itu tak lepas dari hukum kekekalan energy, terus menekan tiada henti.
Beberapa kali saya berada di tengah-tengah masyarakat Bali menikmati hari Nyepi. Saya merasa tengah berdialog dengan Tuhan dan penuh kedamaian. Esok paginya, udara jauh lebih bersih. Oksigennya banyak dan segar sekali.

Namun seperti biasa, bagi orang kota yang terperangkap dalam suasana itu, apakah karena pesawatnya tak bisa terbang, atau tugas butuh waktu lebih lama berada dalam suasana itu, suah pasti menimbulkan kegalauan. Bagi orang kota, perubahan selalu disambut dengan kegaduhan dan perlawanan. Khususnya, saat lampu di lorong-lorong hotel dipadamkan, diganti lilin-lilin kecil. Sejumlah orang mengeluh. Beberapa orang yang ingin berlibur merasa telah tertangkap dalam kesunyian. Mau pulang tidak bisa, jadi yang keluar hanya keluhan. Namun begitu selesai, mereka lah yang pertama-tama menyebarkan rasa bahagia. Setiap pengorbanan selalu ada imbalannya, demikian juga setiap amarah ada karmanya.

Aura Negatif
Kerabat-kerabat saya di Pulau Dewata sering mengucapkan kata “aura positip-aura negatip”. Menurut sahabat-sahabat saya di Desa Kedewatan-Ubud, hampir setiap upacara, Umat Bali secara simbolik melakukan pembersihan diri, sekaligus menjinakkan aura-aura negatif. Nafsu duniawi, ankara murka, semua yang jahat dilambangkan dengan warna hitam dan wajah-wajah yang menakutkan. Semua itu harus dijinakkan. Di Jakarta kita menyebutnya setan atau iblis. Roh-roh jahat pembawa penderitaan.
Sedangkan yang baik-baik, suci dilambangkan dengan segala yang serba putih dan berwajah ceria. Hitam dan putih selalu berjalan beriringan. Tanpa ada hitam, tak ada keindahan putih.

Bagi saya, sehari saja orang-orang kota berhenti beraktivitas dan menjalankan silence day,manfaatnya akan banyak sekali. Apalagi bila Catur Brata juga dijalankan: Amati geni, amati karya, amati lelungan, amati  lelanguan. Berhenti menyalakan api (tidak mengobarkan hawa nafsu), berhenti kerja rohani (fokus pada Tuhan, menyucikan rohani), tidak bepergian (instrospeksi diri, kontemplasi), dan tidak mengobarkan hedonism. Bayangkan berapa ton carbon hitam yang bisa kita hemat, dan berapa juta ton dosa umat manusia, termasuk segala sampahnya bisa kita bersihkan.  Kapitalisme hanya bisa berhenti kalau semuanya berhenti  konsumsi bersama-sama. Walau cuma sesaat.

Buat orang desa, diam berarti emas. Tetapi buat orang kota, bicara itu emas. Seorang penyiar radio berkelakar, "saya dibayar hanya kalau saya bawel."  Entah bicara positif, entah negatif. Pokoknya bicara. Tetapi bagi orang-orang  yang mendengarkan, emas itu baru berkilauan kalau banyak orang diam. Sesuatu yang berkilauan itu hanya tampak dari aura-aura yang positif.

Aura-aura positif dan negatif sama-sama saling menularkan. Orang tak senang terhadap sesuatu hal akan didukung oleh orang-orang yang juga tidak senang. Provokator pun laris manis, disambut umpatan-umpatan baru. Di sosial media, seorang yang yang menyebarkan kalimat-kalimat negatif, jarang dibantah. Yang ada hanya gulungan-gulungan aura negatif. Hanya orang yang punya lentera jiwa yang terang yang berani mematahkan aura-aura negatif itu.

Kicauan negatif biasa dijawab dengan umpatan-umpatan yang lebih negatif. Seorang dokter yang memasang foto kepala seekor anjing di Facebook-nya bisa-bisanya mengeluarkan umpatan-umpatan liar sambil mengutip kalimat seorang imam (yang juga beraura negatif). Ia seperti tengah melupakan profesinya. Tetapi begitu dikritik, ia dengan lantang menyebutkan, “Saya dokter di rumah sakit ‘X’.”

Indonesia Yang Lebih Sejuk
Kalau orang kota menjalankan silence day sehari saja, rasanya Indonesia akan lebih sejuk. Polusi udara dan polusi pikiran akan membuat bangsa ini lebih sehat. Toh kita sudah lihat, orang-orang yang bersuara negative ternyata “penjahat” pula. Dulu kita pikir mereka hebat, pemberani, kritis dan jujur.  Ternyata mereka menyimpan agenda-agenda terselubung. Menyerang untuk bertahan. Banyak persoalan yang mereka sembunyikan. Dan begitu dibuka, marahnya minta ampun. Bahkan bisa memperkarakan orang lain.
Aura-aura negatif ini sudah terlalu banyak ditabur, dan memperangkap banyak orang.  Kita pikir itu demokrasi, padahal democrazy.

Wartawan saja bisa terkecoh, karena mereka pandai membuat “framing”. Pandai menjerat tokoh-tokoh besar untuk meng-endorse langkah-langkah itu. Kalau manusia kota berhenti berbicara, berhenti menaburkan aura-aura negatif, maka manusia introspektif akan terbentuk. Seperti kata Deepak Chopra. “Alam semesta saling berinteraksi, pikiranmu adalah pikiran alam semesta, energimu adalah cerminan dan energi alam semesta”. Fan alam semesta adalah representasi dari pikir manusia yang tinggal di dalamnya, yang berinteraksi dengannya.

Jadi, orang Jakarta, seperti juga Surabaya, Semarang, Solo, Jogja, Bandung dan Serang. Dan kota-kota besar lainnya, perlu membudayakan silence day cukup sehari saja setahun untuk menciptakan kerukunan dan kebahagiaan. Semua berhenti, kecuali suara adzan, lonceng gereja atau panggilan memuja Allah.  Siapa mau memulainya?


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Lentera Jiwa (2) - Jawa Pos, 11 Maret 2013


Ketika seseorang bertanya bagaimana caranya menjaga kebugaran agar selalu tampak segar dan bersemangat, maka sebenarnya jawaban terbaik ada pada menyala atau tidaknya lentera jiwa seseorang.  Di rumah, kala saya sedang mengalami tekanan psikologis, istri saya selalu mengatakan "wajah saya sudah berubah menjadi seperti pak dosen".  Lama saya tak mendengar lagi kalimat itu, tetapi saya pernah memikirkannya.

Rupanya ia tak mau wajah suaminya menjadi mirip rata-rata dosen yang kata dia "menjadi lebih tua dari usianya".  Saya baru menemukan jawabannya ketika suatu waktu Najwa Shihab mempertemukan saya, Prof Emil Salim  dengan Ninik L Karim, dosen Fakultas Psikologi UI untuk menyambut mahasiswa baru. Di atas panggung auditorium UI, kami bercerita tentang kehidupan kami bagaimana meniti karier dan menembus tembok-tembok kesulitan sepanjang masa. Saat jeda, saya sempat bertanya pada Ninik, apakah sosok seperti dia klaim berada di kalangan dosen? Apakah tidak mengalami masalah dengan pola karier seperti ini?

Di luar dugaan saya, pemain teater yang pernah meraih beberapa kali piala Citra di layar lebar itu justru bertanya balik ke pada saya.  Saya katakan, justru itulah saya bertanya, karena sesungguhnya saya ingin tahu apakah orang seperti saya di fakultas lain juga mengalami hal serupa?  Selain mengajar, Ninik dikenal sebagai selebritas, dan dulu sering muncul di layar lebar.  Kalau sekarang anda menyaksikan akademisi menjadi pengamat dan sering masuk TV adalah biasa, tidak demikian sepuluh-dua puluh tahun lalu.

Ninik bercerita panjang lebar bagaimana ia dianggap aneh oleh komunitasnya.  Bahkan yang lain bercerita, mereka seperti digunjingkan, tak diinginkan oleh komunitasnya. Tetapi Ninik kemudian mengatakan, "Tetapi saya bahagia Mas, saya lakukan semua ini karena panggilan jiwa saya.  Sementara ada ratusan dosen yang melakukan profesinya bukan karena panggilan jiwanya”. Maka layaklah mereka menjadi dosen killer, mudah tertekan, cepat tersinggung, sulit mengungkapkan mau hatinya, bahkan sulit berprestasi optimal.  Padahal, seorang guru sejati bukanlah orang yang senang marah, mempersulit orang lain, mengatakan orang lain tak mutu, bahkan mengatakan hanya dirinya yang bisa bernalar.  Bagi saya semua in hanyalah cerminan dari tak menyalanya lentera jiwa.  Mereka bahkan the caged life (perangkap jiwa) atau bahkan sudah comfortable life (mempertikai kenyamanan).

Pertanyaan Jiwa

Maka sampai di usia 30-40 an, seorang yang sedang meniti karier perlu bertanya pada jiwanya dan pertanyaan itu adalah cermin dimana ia berada.  The Caged Life, kata Brendon Burchard, akan selalu diwarnai perasaan-perasaan takut setiap menyaksikan perubahan apa saja. "Apakah saya bisa survive"? Dan fokusnya hanya pada "aman atau tersakiti".
The comfortable life sebaliknya akan bertanya, "Apakah saya akan diterima dan berhasil"? Dan fokusnya pada penerimaan.  Sedangkan pemantik lentera jiwa akan bertanya, "apakah daya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualiasikan potensi diri saya?  Apakah saya telah melakukan hidup yang inspiratif dan mengirai oang lain".

Bagi saya, maaf, percuma saja  berteriak kejujuran dan etika, bila diri sendiri menjalani hidup yang terpenjara.  Orang yang terpenjara tidak hidup dalam apa yang ia inginkan, ia banyak menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang sulit ia jawab sendiri.  Sementara bagi pemantik lentera jiwa, credo yang dianutnya asalah, " ask not what you are getting from the world but, rather what you are giving to the world".

Maka, mereka tak pernah merasa keletihan karena setiap hari selalu menyaksikan hal-hal baru.  Ini berbeda dengan The Comfortabe Life yang selalu menjalani rutin dengan kebosanan.  Bagi pemantik lentera jiwa, "life is magical and meaningful". Mereka tak takut menghadapi gelombang-gelombang ancaman, mereka hanya peduli" apakah ini benar atau tidak" dan "apakah ini meaningful".  Selamat menyalakan lentera jwa masing-masing...


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Selasa, 12 Maret 2013

Kurikulum baru dan Kritik dalam Pembaharuan - Sindo, 07 Maret 2013


“Criticism may not be agreeable, but it is necessary. It fulfills the same function as pain in the human body. It calls attention to an unhealthy state of things.”
― Winston Churchill

Dahlan Iskan pernah menyebutkan dalam setiap perubahan selalu saja ada kelompok 10% yang baiknya "dieman-eman" (istilahnya) saja. Pokoknya mereka akan selalu menentang.  Di komunitas perubahan, kami biasa menyebut kelompok itu sebagai "oposan abadi".  Kelompok ini unik dan kalau kita mengerti cara berpikirnya, sebenarnya bisa menjadi hiburan ketimbang menjadi lawan yang menegangkan. Mereka terdiri dari orang-orang yang bereaksi paling keras setiap kali ada perubahan.  Namun begitu hasil perubahan ada, pelahan-lahan mereka diam juga, lalu mengangkat kritik pada topik lain. Tetapi dasarnya tetap sama, senang diperhatikan, senang memarahi, senang dianggap pandai atau penting.  Ganggu sedikit, colek yang banyak, sukur-sukur bisa masuk tv, walau cuma sekali-kali. Itu sudah menghibur hati.  Sudah masuk dalam daftar CV untuk kegiatan lebih jauh.

Tetapi Winston Churchill seperti kutipan di atas menyebutkan, sekalipun Anda tak setuju, kritik itu perlu. Ngga apa- apa, apalagi di abad transformasi, abad perubahan di negeri demokrasi.  Kritik katanya, ibarat rasa sakit dalam tubuh manusia, pertanda perlunya perhatian untuk merawat kesehatan. Hanya saja, ia juga pernah mengatakan kritik itu ada lima macam. Pertama, kritik yang tulus, bertujuan mengingatkan.  Kedua kritik yang bertujuan cari keuntungan. Ketiga, kritik untuk mengatasi rasa takut. Keempat, kritik cari perhatian. Dan kelima, kritik untuk menunjukkan identitas.

Demikianlah kritik terhadap kurikulum baru.  Saya kira lima-limanya ada.  Mereka hanya dapat dibedakan dari apa yang mereka kerjakan.  Kalau orangtua yang punya anak gelisah menghadapi kurikulum baru yang tidak jelas, saya kira wajar.  Tapi juga ada khawatir yang besar dari ketidakpahaman sesuatu yang baru, sehingga seakan-akan nasibnya akan terlunta-lunta. Sejumlah ilmuwan yang melihat subjeknya "tak ada lagi" dalam susunan mata ajaran segera bereaksi.  Tetapi benarkah subjeknya dihapuskan? Mungkin ini cara berpikir saja.  Atau mungkin ini pertanda pemerintahan tidak sehat, kejelasan tidak ada, sehingga alih-alih menimbulkan dukungan, yang terjadi justru kritik yang tajam.  Saya sendiri ikut kecipratan amarah, meski hanya menulis dari apa yang saya pelajari dan saya alami. Lumayan, belajar meregangkan urat syaraf.

Tapi benar kata Dahlan Iskan. Ini layak dieman-eman, lumayan bisa menghibur.  Kalau ilmuwan marah, selain ada yang benar, ada juga yang lucu.  Bukan logika yang dicari seperti layaknya ilmuwan sejati yang open mind, tapi kalimat nggak penting yang menyinggung perasaannya.  Kalimat itu dikutip dalam pesan twitter, lalu dikomentari dengan gaya dosen zaman dulu yang uring-uringan memeriksa paper mahasiswa.  Lalu dari situ diharapkan mendapat dukungan dari komunitas yang tentu saja menjawab dengan jenaka dan lucu-lucuan juga.  Sebuah pergumulan yang indah yang kadang membingungkan bagi yang lain.

Menghujat Kurikulum Lama 
 Kalau Anda sempat mengumpulkan tulisan-tulisan saya tentang pendidikan, maka Anda mungkin tahu sudah lama  saya  menunjukkan perhatian tentang pentingnya reform pada sistem ini.  Kalau Anda googling nama saya dengan kata-kata kunci berikut ini, maka Anda akan menemukan pemikiran-pemikiran itu: Encouragement, Race of Going Nowhere, Sekolah 5 cm, Myelin, Passport, Sekolah untuk Apa, Tallent Merrit Vs Exam Merrit, Generasi Bingung Bahasa, RSBI, Generasi Baru, dan seterusnya.

Di media ini saya juga berulang kali menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran yang diberikan kepada para siswa di sini sudah kelewat batas, bahkan yang terbanyak di dunia.  Saya berulangkali mengatakan akibat-akibatnya sangat menyengsarakan anak didik: siswa yang bingung, tidak kreatif, tidak bisa mengungkapkan isi pikiran dengan baik, dan kecemasan yang tampak dari tingginya angka kesurupan menjelang UN.  Kritik-kritik itu pun disertai jalan keluar yang saya tunjukkan dalam kajian.

Lantas, saat pemerintah meresponsnya dengan hadirnya kurikulum baru, tentu saja saya menyambutnya dengan gembira. Jumlah mata ajaran dikurangi. katanya, suasana gembira harus ditumbuhkan agar anak-anak generasi baru tidak lagi stress dalam belajar di sekolah.  Ini persis sama dengan yang sering saya suarakan.

Saya masih ingat saat diminta Rektor Universitas Andalas Padang, prof. Musliar Kasim  memberi paparan ilmiah di kampusnya, semua akar permasalahan pada dunia pendidikan dan kewirausahaan saya paparkan. Dan tak lama setelah  prof. Musliar menjadi Wakil Menteri Pendidikan, ia pun meresponsnya dengan kurikulum baru.  Saya sendiri tak tahu persis bagaimana Mendikbud merumuskan kurikulum baru, tetapi saya dengar mereka mengumpulkan tokoh-tokoh pendidikan dan kaum cendekia.  Saya sendiri  tak termasuk di dalamnya, tetapi sikap saya tidaklah berseberangan, sebab tujuannya sudah sama.  Namun entah apa yang terjadi, tampaknya banyak juga tokoh pendidikan yang tak diundang bicara, tapi juga tak diajak mengerti. Akibatnya kritik mereka tumpah di berbagai tempat.  Dari kajian change management, pro-kontra ini menarik untuk dikaji.

Dari amarah itu saya menemukan kalimat-kalimat menarik yang diucapkan secara verbal, bahwa "kurikulum baru ini dipastikan gagal".  Ini menarik sekali.  Bagi masyarakat, jelas saja belum, dimulai juga belum, dengar saja cuma dari jauh, apalagi kalau tak terlibat dalam pergulatan perubahan, tetapi sudah ada yang berani menjamin kurikulum ini "pasti gagal". Bisa diduga karena kredibilitas pemerintahan yang didera kasus korupsi terus menerus ini turut memberi imbas.

Dari diskusi internal para pakar yang diselenggarakan Mendikbud itu, saya mendengar ada usulan yang sangat extrem, yaitu bagaimana agar anak-anak di sekolah dasar "dimerdekakan" dari proyek-proyek buku, dari beban yang berlebihan. Usulan extrem-nya adalah, "bila perlu, untuk anak SD mata ajar cukup satu saja, yaitu Manusia dengan Alam Sekitarnya".

Saya teringat lima tahun lalu saya pernah menyampaikan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) agar "rela" memangkas mata ajaran yang sudah kebanyakan.  Korbannya ya tentu saja anak-anak kita, anak saya dan anak-anak Anda.  Tetapi apa respons Dirjen Dikdasmen?  "Itu masalahnya bukan di kami, melainkan ada di UU Sisdiknas". Penasaran dengan itu saya pun membuka UU itu, dan disitu saya membaca masalahnya.  Nama-nama subjek yang disebut harus ada dalam sistem pendidikan nasional (seperti agama, bahasa Indonesia, dan lain-lain) ternyata diterjemahkan jadi mata ajaran, yang tentu saja berarti "proyek" bagi penerbit buku dan politisi yang berhubungan dengannya, dan inilah yang berakibat jumlah mata ajaran di tingkat SMU mencapai 18 hingga 24. Padahal di berbagai negara maju, jumlah mata ajar hanya 6 dengan mata ajar wajib hanya 2 (Bahasa Inggris dan Matematika).

Maka bagi saya, wajarlah saat Mendiknas "berani" memangkas mata ajaran itu.  Politiknya saya tak mengerti. Tapi tentu saja saya was-was karena kabinet ini hanya punya waktu setahun lebih. Was-was kalau kurikulum baru ini kelak dianulir lagi oleh penerusnya pada pemerintahan baru dan anak didik kembali harus berurusan dengan beban lama.  Apalagi kalau filosofinya tidak sama dan biaya politiknya yang harus ditarik kembali lebih besar.  Masih banyak pula yang berpikir kalau anak-anak diberi mata ajar yang banyak maka mereka akan lebih hebat. Banyak yang berpikir belajar itu ya di sekolah. Maka kurikulum sekolah dipadatkan dan peran orang tua diambil alih semua oleh sekolah.

Logika Keaksaraan 
Salah satu ilmuwan yang terganggu oleh kurikulum baru tentu saja mathematician karena mata ajar ini tidak tiba tak disebut dalam kurikulum baru untuk Sekolah Dasar. Saya kira bukan hanya mathematician yang wajib bertanya, melainkan kita semua.  Dalam social science seperti yang saya geluti saja, math menjadi bahasa yang penting.  Maka itu sayapun mengajukan pertanyaan kepada Mendikbud dan juga kepada Wakil Menteri. Namun jawabannya mudah saya pahami:  Matematika tidak dihapus, tetapi melebur terintegrasi dalam kesatuan dengan yang lain.

Saya tentu bukan juru bicara Mendikbud, tetapi saya kira saya bisa mengerti dengan mudah, namun bagaimana awam dan imuwan lainnya? Ini perlu kerja khusus untuk membuat masyarakat paham sebab masih banyak diantara kita yang menggunakan paradigma lama dalam melihat dunia baru, termasuk pendidikan.  Saya masih ingat saat beberapa sekolah tertentu menerapkan metode integratif, pertanyaan juga banyak diberikan oleh orangtua, bahkan banyak yang tiba-tiba menarik anaknya keluar.  Baru belakangan ini masyarakat menyadarinya, memang dunia baru sudah berbeda dan Indonesia butuh lulusan-lulusan baru yang tak hanya pandai bagi dirinya sendiri, melainkan juga gaul, bisa berkomunikasi dengan baik, kreatif, kaya perspektif dan mampu mengendalikan emosinya.

Lantas bagaimana saya memahami hal ini?  Ceritanya begini, salah satu pergulatan yang digumuli Yayasan Rumah Perubahan adalah pendidikan, khususnya anak-anak usia dini dan balita pra sekolah.  Kami menaruh perhatian untuk memberikan fondasi yang kuat pada anak-anak kampung yang kami lihat selalu termarjinalkan, dan kalah dalam pertarungan kehidupan melawan anak-anak kelas menengah. Dari pergaulan dengan para pendidik itulah saya diperkenalkan dengan metode Sentra yang belakangan mulai banyak diadopsi.  Celakanya metode ini sangat tidak dikenal ilmuwan tua.  Meski tak diajarkan membaca dan berhitung, dalam metode sentra, anak-anak sudah biasa diajak bernalar keaksaraan.

Ambil contoh saja dalam sentra bahan alam, diberikan berbagai permainan dengan media tertentu, bisa biji-bijian, bahan cair, tumbuh-tumbuhan, serangga, pasir dan sebagainya.  Pada saat sentra ini diperankan, sekaligus anak-anak mendapatkan banyak hal mulai dari klasifikasi, logika volume, bentuk, ukuran, menemukan warna baru, menghitung, berbahasa, bertutur, imajinasi dan seterusnya.  Saya bisa bercerita banyak dari proses pembelajaran yang hingga hari ini masih terus kami alami yang membuat istri saya tak ingin melepaskan waktu barang sedetikpun mengamati anak-anak didiknya. Logika keaksaraan dibangun dengan fondasi yang menurut hemat saya jauh lebih kokoh daripada menurunkan rumus di papan tulis yang lalu dihafalkan, atau didikte oleh guru spesialis yang hanya paham matematika saja.

Beranjak dari pemahaman metode sentra ( yang harus saya akui ilmu saya belum seberapa ini) mungkin saya bisa lebih mudah memahami makna pendekatan integratif yang sering diucapkan Mendiknas dalam kurikulum baru.

Namun apakah anda masih akan menyangsikan bahwa guru-guru kita akan mampu menjalankannya? Wallahu A'lam, saya tak tahu persis. Apalagi birokrasi kita masih kusut seperti ini.  Tetapi saya mau menyampaikan kepada anda, sekolah yang kami asuh tidak diajar oleh guru-guru bependidikan S1 atau S2.  Guru-guru kami adalah orang kampung yang bersahaja yang disekolahkan kembali. Mereka adalah ibu rumah tangga yang juga punya anak-anak kecil biasa yang mencintai anak-anak.  Nah, kalau mereka saja bisa, apa iya guru-guru kita sebodoh yang diduga para elit? Saya kurang bisa mempercayai itu.  Meski mereka orang kampung, mereka bisa membuka mesin pencari Google dan memberi kita kalimat ini:  “Don't criticize what you can't understand.”  ― Bob Dylan

Dalam peradapan continous improvement, lebih baik kita mengulurkan tangan kecerdasan kita untuk memperbaharui pendidikan daripada adu pandai, saling mengunci.  Kritik itu perlu, bagus buat membuat kementerian lebih bersungguh-sungguh. Tetapi membuat jembatan untuk masa depan jauh lebih indah daripada saling menakut-nakuti.  Kurikulum ini hanya akan jadi bagus kalau ia terus disempurnakan dengan logika baru yang lebih humanistik dan kreatif.  Apalagi masa kerja kabinet ini cuma tinggal setahun lagi.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Lentera Jiwa (1) - Jawa Pos, 4 Maret 2013


Di STM (sekarang namanya SMK) 6 Kramat Raya tahun 1970-an akhir ada seorang siswa yang senangnya membuat puisi dan karikatur. Meski lulus sebagai juara kelas dan dapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke IKIP Negeri Padang, ia justru memilih kuliah di sekolah jurnalistik. Kalau ia mengambil opsi pertama, ia tentu sudah menjadi guru STM.  Tetapi meski tak punya biaya untuk bayar kuliah sendiri, hatinya berkata lain.

Setelah lulus, ia magang di sebuah majalah berita dan dilatih melakukan investigasi berita dengan prinsip “tak ada tokoh yang tak punya kesalahan”. Dengan bekal itu, setelah bertahun-tahun menjadi reporter, di sebuah stasiun TV, pada awal reformasi ia menjadi host talkshow politik yang sarat konflik. Tokoh-tokoh yang berseberangan ia pojokkan sehingga tak berkutik dan saling menyalahkan. Tontonannya sangat menarik, ratingnya tinggi. Tetapi setelah beberapa tahun menjalankan peran itu ia bertanya: “apakah ini yang saya cari dalam hidup saya?". Ia merasa ada yang salah telah ikut menaburkan kebencian dan permusuhan.

Berawal dari pertanyaan itulah ia berhenti dari seluruh kegiatannya dari talkshow politik dan mengundang orang-orang biasa, pejuang perubahan sosial yang inspiratif. Anda mungkin tahu siapa yang saya maksud. Ya, itulah Andy Noya dengan Kick Andy show-nya. Sewaktu saya gali untuk program TV yang saya asuh di TVRI, Ia mengatakan “Saya seperti tengah bercermin. Saat tamu-tamu itu bercerita, saya seperti melihat diri saya sendiri di sana”.

Chef Seno
Apa yang dilakukan Andy agak mirip dengan sahabat saya di UI yang suskses menjadi direktur keuangan di sebuah bank. Sebagai akuntan senior ia punya semuanya: Keluarga yang harmonis, rumah yang besar, anak-anak yang sehat dan karir yang bagus. Tetapi setelah krisis moneter berlalu dan ia selamat, Ia justru meminta pensiun dini dan lama menghilang.

Akhirnya tahun lalu secara tak sengaja kami bertemu di sebuah lorong pertokoan di depan sebuah restoran Jepang di kawasan Takapuna, dekat Auckland, New Zealand. Delapan tahun yang lalu ia berimigrasi kesini dan memulai profesi baru. Ia mengambil kursus memasak selama 2 tahun, membeli alat-alat, dan memulai kariernya sebagai tukang masak dari restoran-restoran kecil. Sekarang Chef Seno sudah menjadi koki di sebuah hotel terkenal dan menemukan lentera jiwanya.

Saat kami diundang makan malam Saya melihat ia begitu piawai memotong dan menyajikan hidangan. Karakter masa lalunya sebagai akuntan yang kritis mulai tak kelihatan.  Memasak adalah kecintaannya sejak kecil, namun sepertinya tak begitu macho bila dijalankan oleh pria, apalagi bila anda mengatakan itu adalah cita-citanya di tahun 70-80an. Ini mirip dengan Harland Sanders yang sudah gemar menggoreng ayam sejak usia kecil, namun setelah mendapat julukan kolonel, di usia 40-an Ia baru menggoreng ayam dan usahanya baru meledak saat usianya 60-an dengan nama KFC. Chef Seno dan Harland Sanders bukan memasak seperti ibu-ibu yang dipaksa nilai-nilai masyarakat berada di dapur: buku resep, kumpulkan bahan-bahan lalu masak. Mereka bisa memasak tanpa resep, mengikuti naluri dari bahan-bahan yang ada di dapur.

Sekolah STM bagi Andy Noya, menjadi akuntan bagi Chef Seno, atau menjadi tentara bagi Harland Sanders bukanlah lentera jiwa mereka. Brandon Burchard menyebut fase itu sebagai “The Cage” (kurungan jiwa). Di seluruh dunia, hampir semua kaum muda kesulitan menyalakan lentera jiwanya dan hidup terkurung menjalankan kehendak orang lain.

Saya juga melihat di usia dewasa, ribuan orang yang berkarir ternyata juga terperangkap dalam hidup yang sama. Bahkan ada yang masuk ke fase ke dua: The Comfortable life seperti yang dirasakan Chef Seno saat menjadi direktur keuangan, atau Andy Noya saat menjadi pemimpin redaksi dan Wakil Pemimpin Umum di Media Indonesia dan Metro TV. Mereka beruntung mempertanyakannya: Inikah yang saya cari?

Hidup dalam The Cage membuat manusia patuh dan menjalankan sesuatu atas ekspektasi dan kehendak orang lain sehingga sulit sekali mencapai prestasi tertinggi karena selalu terjadi pertentangan jiwa. The Caged life hidup dalam kotak “belief” yang sempit yang banyak membatasi hidupnya. Ia membangun hidup dari sesuatu yang didiktekan orang lain, dan tak pernah berani keluar dari garis-garis maya yang membatasinya, untuk mengeksplorasi dunia baru. The Caged life sangat takut bertentangan dengan aturan yang dibuat masternya, meski itu hanya ada dalam pikirannya. Sebegitu dalamnya peran “sang master” sehingga bila dilanggar, merasa “sangat berdosa”.

Lantas bagaimana keluar dari ke 2 fenomena itu? Tentu saja diperlukan upaya massif,  sebuah revolusi kehidupan seperti kembali ke titik nol dengan meghidupkan lentera yang oksigennya mungkin sudah ada. Saya akan melanjutkan minggu depan, tetapi anda bisa menyaksikan pergulatan-pergulatan itu setiap Selasa malam di TVRI dengan tamu saya Andy Noya atau tamu-tamu inspiratif lainnya. Kalau kita bisa menghidupkan lentera jiwa kita masing-masing, maka bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Bahkan saya percaya, iri, dengki, saling menghujat akan jauh berkurang. Artinya Persatuan Indonesia akan lebih ideal kita rasakan.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan