Banyak tanggapan dan pertanyaan yang saya terima sehubungan dengan tulisan pekan lalu tentang Leadership Style.
Demikian pula masih banyak masyarakat yang membincangkan Dahlan Iskan
yang “berjualan” kartu tol bersama istrinya beberapa hari lalu.
Perbincangan
menjadi ramai karena “gerak cepat”-nya menuai kegelisahan para
politisi yang kemudian menggerakkan haknya untuk melakukan interpelasi.
Bukan hanya Dahlan, orang-orang di Aceh juga mendiskusikan Muzakir
Manaf yang segera menjadi wakil gubernur. Anak-anak muda bertanya,
“Apakah kepemimpinan saya harus berubah mengikuti style mereka?”Tentang
hal ini saya jadi teringat dengan pertanyaan- pertanyaan nakal yang
pernah saya ajukan kepada Jeff Immelt, CEO General Electric (GE) yang
menggantikan CEO kharismatik Jack Welch.
Immelt dilantik
hanya empat hari sebelum terjadi 911,yaitu 7 September 2001. Saat
memimpin sebuah diskusi dengannya, saya bertanya apakah ia akan
mengikuti gaya Jack si bom netron yang bertangan dingin dan karismatik?
Immelt yang bergaya lebih partisipatif menjawab begini: “Saya tidak
mungkin memakai sepatu Jack. Ukuran kaki saya kelihatannya lebih besar,
jadi saya tidak bisa memakai sepatunya kendati di luar orang banyak
mengharapkan saya melakukannya.
” Immelt memang melangkah
kalem, tak seperti Jack yang bergerak cepat menyelamatkan GE. Immelt
mendorong inovasi dan kreativitas melalui orang-orang GE yang selama
itu dia rasakan agak tertekan. Tetapi setelah 10 tahun memimpin, masa
yang ia lewati tidak ringan. Harga saham GE di masa krisis sempat drop
60% dan ia pernah dijuluki sebagai CEO terburuk.
Namun,
tahun lalu ia justru diangkat Presiden Obama sebagai anggota Dewan
Penasihat Kebangkitan Ekonomi Presiden. Banyak wartawan yang
menyayangkan GE dipimpin dengan style yang “lunak.” Bagi
mereka, CEO GE sampai hari ini, ya Jack Welch. Dan kendati sudah tak
muncul lagi, namanya masih disebut-sebut. Tetapi bisakah seseorang
mengikuti style pendahulunya? Tentu saja ini pertanyaan besar yang harus Anda cari jawabannya.
Be Yourself
Jeff
Immelt tak bisa menjelma menjadi Jack Welch. Seberapa pun besarnya
tekanan masyarakat. Demikian juga presiden-presiden Indonesia pasca
reformasi tak bisa menjadi “Soeharto.” Tetapi kalau Anda perhatikan
rata-rata presiden pasca-Soeharto, hanya Gus Dur yang muncul dengan cara
yang berbeda. Selebihnya semua memimpin dengan cara-cara yang mirip,
yaitu membaca teks saat berpidato, tidak interaktif, dan memimpin
kabinet melalui rapat resmi persis seperti Presiden Soeharto.
Presiden
SBY melakukan sedikit tradisi baru, yaitu proses seleksi sebelum
memilih menteri- menterinya. Namun, pada babak akhir ia selalu terkunci
oleh “bagi-bagi” jabatan sesama anggota koalisi. Leadership style adalah
cerminan dari cara seseorang menjalankan perannya. Cerminan itu
tampak dalam berbagai cara,mulai dari cara berinteraksi terhadap orang
lain, cara bereaksi terhadap suatu stimulus atau masalah, cara
berpakaian, cara menggerakkan dan mengarahkan, cara melihat, cara
memecahkan masalah atau mengambil keputusan, dan seterusnya.
Walaupun
pemimpin-pemimpin kharismatik menginspirasi Anda, mereka belum tentu
dapat menjadikan Anda seperti mereka. Anda bisa belajar tentang
perilaku-perilaku baik mereka, tetapi jangan meniru
kulit-kulitnya.Orang-orang bodoh yang tersihir sering ikut-ikutan
seperti remaja yang tersihir selebritas. Adalah wajar kaum muda meniru
cara berbusana atau potongan rambut David Beckham atau bulu mata
antibadai lapis empatnya Syahrini.
Tetapi bila Anda
ikut-ikutan bersepatu kets seperti Dahlan Iskan saat bekerja, atau
memakai suspender seperti Jaya Suprana, Anda bisa terlihat bodoh. Anda
terinspirasi oleh kulit, bukan oleh “isi”-nya. Lebih dari 25 tahun
yang lalu, saat belum sering muncul di media, Bob Sadino juga pernah
saya tanyakan, apakah ia memperkenankan anak-anak buahnya berpakaian
seperti yang ia kenakan.
Setelah sejenak berpikir ia
berujar, ”Boleh kalau hidup atau ekonomi mereka sudah seperti saya.”
Faktanya, Bob Sadino juga tidak senang melihat dirinya diduakan atau
diikuti cara penampilannya oleh orang lain. Role model dalam leadership adalah “role model” mengenai “isi”, yaitu karakter, kejelasan, cara memimpin, dan seterusnya. Bukan kulit, bukan baju atau sepatu. Seribu Jalan Membentuk Diri
Membentuk
“isi” tetap bisa dilakukan dengan mempelajari apa saja yang dilakukan
pemimpin-pemimpin besar ataupun pemimpin-pemimpin gagal. Belajar
tidak selalu dari orang-orang yang berhasil sebab kegagalan juga bisa
memberikan penjelasan yang berharga. Para birokrat juga bisa
memperbaiki cara kerja atasan- atasan dan diri masing-masing. Hampir
dapat dikatakan buruknya leadership style seorang presiden juga ditentukan oleh buruknya birokrasi di Kantor Sekretariat Kepresidenan.
Cara
yang sama yang dilakukan berulang-ulang hanya mencerminkan tidak ada
pembaharuan di kalangan birokrasi kepresidenan, dan itu bisa berarti
tidak ada transformasi. Pemimpin-pemimpin yang memimpin dengan
pendekatan birokratis––tak peduli betapa hebat asal sekolahnya–– juga
perlu memperbaiki acuan yang menjadi pedoman protokoler dan cara kerja. Bureaucratic leadership yang lebih dibentuk “by the book” atau “automated by rules” perlu diremajakan setiap periode tertentu.
Tanpa peremajaan, leadership style akan terkesan kuno, lamban, “tua”, dan tidak bersahabat. Sementara itu, para manajer juga perlu memperbaiki leadership style-nya begitu ia dipersiapkan ke posisi yang lebih tinggi. Setiap manajer atau officer,
atau komandan sekalipun, umumnya dibentuk dari keseharian di mana ia
berada. Setiap tahun ada ratusan polisi yang diwisuda dari Akademi
Kepolisian, tapi hanya sedikit di antara mereka yang akan keluar atau
pensiun dengan tanda bintang di pundaknya.
Demikian pula
setiap tahun ada ribuan sarjana baru yang memulai bekerja, namun hanya
sedikit yang akan pernah duduk di bangku CEO. Jelaslah para jenderal
dan para sarjana dibentuk bukan hanya oleh pendidikan atau sekolah
mereka, melainkan juga oleh siapa yang menjadi rekan kerja, dan atasan
mereka masing-masing beserta medan persoalan yang dihadapi. Seorang
polisi yang mengalami penempatan pertama di bawah komandan yang jujur
dapat diharapkan berkembang menjadi komandan yang berintegritas.
Sebaliknya,
mereka yang dibina oleh atasan yang korup dan melakukan tindakan tak
terpuji bisa terbentuk menjadi serupa, kecuali bila ia memberontak.
Mereka semua dibentuk oleh siapa yang menjadi pengalaman pertama dalam
hidup atau karier mereka. Yang jelas, leadership style akan menjadi problematik bila hanya mengandalkan karisma karena charismatic leadership akan lebih berpusat pada diri sendiri.
Daniel Goleman, penulis buku Primal Leadership, lebih memilih visionary leadership, yaitu pemimpin yang mampu melihat jauh ke depan. Namun, itu tidak cukup. Ia mengatakan, “Visionary leaders akan
membentuk ke mana kelompoknya pergi.” Meskipun tidak menjelaskan
cara-cara teknisnya, ia menciptakan iklim yang kondusif untuk melakukan
inovasi, eksperimen, bahkan mengambil risiko.
Cara yang ditempuh visionary leaders ini
jauh lebih baik ketimbang cara-cara yang tengah dibangun oleh para
pemimpin yang bergaya transaksional yang cenderung politis. Transactional style leader cenderung
membentuk “kepatuhan” dengan cara “menyuap” atau “membayar” mereka.
Anda sudah sering mendengar bukan bahwa hal ini banyak terjadi di
panggung politik dan kekuasaan. Kepemimpinan transaksional merusak
kultur bangsa, menciptakan ketidakbahagiaan dan hanya efektif untuk
jangka pendek. Maka pelajarilah effective leadership yang tepat agar Anda menjadi pemimpin sejati dan organisasi Anda maju pesat.
RHENALD KASALI
Founer Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar