Saat kolom ini ditulis,saya sedang berada di Kampus Yale, Amerika
Serikat, menjalin kerja sama antara program MMUI dengan sekolah bisnis
ini.
Melalui kerja sama, anak didik kami akan bisa meraih double degree di
program MBA Yale setelah setahun kuliah di Jakarta. Indonesia masih
membutuhkan orang-orang pandai untuk membangun kembali industrinya dari
keterpurukan dan melemahnya daya saing sektor industri dan jasa pada
beberapa tahun terakhir ini. Lantas mengapa Amerika? Bukankah negeri ini
tengah dilanda krisis?
Low Cost Energy
Laporan
yang dibuat majalah The Economist(21 April2012) menyebutkan,
negara-negara yang beberapa tahun terakhir ini menikmati migrasi
industri (seperti China dan India) justru tengah bergulat melawan
kenaikan biaya produksi. Sementara di negara-negara pengembang teknologi
digital, sebuah revolusi tengah terjadi. Dan bila menjadi kenyataan,
banyak negara berkembang akan mengalami boomerang efect sehingga kekayaannya akan kembali dinikmati negaranegara industri.
Di
lobi penginapan Yale Club yang anggun di New York, para CEO yang saya
temui mulai berani mendiskusikan kebangkitan ekonomi Amerika. Setelah
merevolusi dunia penerbangan dengan low cost carrier, kini para CEO mulai bicara tentang low cost energy.
Mereka mengacu pada langkah CEO Exxon Mobil Corporation Rex W Tillerson
yang dua tahun lalu mengakuisisi XTO Energy untuk mendapatkan teknologi
dan keahlian hydraulic-fracturing untuk menyerap gas alam yang terperangkap lapisan-lapisan batu (shale) di dalam perut bumi.
Mereka
menyebut energi murah itu sebagai shale gas. Selama puluhan tahun para
ahli kebingungan mencari jalan untuk menarik gas itu keluar. Melalui
serangkaian eksperimen dan inovasi, langkah yang dimulai pada 1980-an
itu mulai menemukan teknologinya beberapa tahun terakhir ini. Maka,meski
cadangan shale gas ada di beberapa negara, baru Amerika Serikat yang
berhasil menariknya keluar. Tidak mengherankan, di Era Tillerson harga
saham Exxon melonjak hingga 77%. Bahkan Exxon mulai mengalihkan
eksplorasinya secara perlahan-lahan dari minyak ke gas.
Menurut
majalah Fortune (30 April 2012), kini 50% produksi energi Exxon
difokuskan pada gas alam (shale gas) yang harganya sudah bisa dijual
sepersepuluh dari harga minyak bumi yang semakin hari semakin mahal.
Menurut sejumlah ahli minyak yang saya hubungi, sejumlah negara industri
sudah meminta Pemerintah Amerika Serikat agar mengizinkan gas ini
diperdagangkan di pasar bebas dunia. Namun Amerika Serikat masih
bergeming dengan dalih low cost energy merupakan “senjata”
penting bagi Amerika untuk bangkit dari krisis yang sama pentingnya
dengan upah buruh yang murah di China dan India.
Low cost energy bagi
Amerika Serikat akan mampu menjadikan industrinya “kembali” pulang di
tengah harga minyak dunia yang terus melambung dan mengancam industri di
negara-negara lain. Sejak tahun 2005, produksi gas alam Amerika Serikat
telah meningkat sebanyak 28% dan pada tahun lalu komposisi shale gas
telah menjadi 33%, naik tiga kali lipat sejak 2008. Pada tahun lalu
saja, shale gas telah menampung lebih dari 650.000 tenaga kerja.
Sekarang
bayangkanlah kebangkitan seperti apa yang akan melanda negara industri
dan gonjang-ganjing macam apa pula yang akan mewarnai Asia dan Timur
Tengah bila shale gas mampu menggantikan atau menjadi substitusi minyak
dan gas alam lainnya yang selama ini diperdagangkan dengan harga yang
tinggi? Saat ini saja, menurut BP Migas, produksi gas alam Indonesia
telah mencapai 8.673 mmscfd (million standard cubic feed per hari) dan 53% di antaranya diekspor ke pasaran internasional dengan harga USD72 per bue (barrel unit equivallent) atau menghasilkan devisa sekitar USD11 miliar per tahun (Detik.com).
Indonesia
bukan tidak punya cadangan shale gas. Tapi untuk mengeksplorasinya
Indonesia butuh empat hal berikut ini. Pertama, cara berpikir yang
benar-benar baru. Kedua, kepastian berusaha yang menarik dan keputusan
yang firm. Ketiga, partner yang memiliki teknologi memadai dan, keempat,
modal besar yang disertai insentif yang diciptakan dengan IRR yang
positif. Keempat hal ini tampaknya sulit dipenuhi kalau pemerintah
selalu ragu dalam bertindak untuk menciptakan energy security dan
politisinya penuh kecurigaan dan saling menghambat-membatalkan.
Bandingkanlah dengan Chinayang begitu tanggap mengambil sikap.
China memiliki 25,08 tcf (trilllion cubic feed) cadangan
shale gas, tetapi tidak memiliki teknologi yang memadai. Demi mencegah
daya saingnya direbut Amerika Serikat, China sudah menugasi tiga BUMN
energinya untuk melakukan eksplorasi dalam bidang ini. Petro China,
CNOOC, dan CNPC masing-masing sudah membentuk konsorsium dan menarik
investor baru. Demikian pula langkah-langkah konkret sedang diambil
Pemerintah Brasil, Argentina, dan Inggris. Sementara Indonesia masih
ribut dengan masalah-masalah sepele dan pikirannya masih ada di sekitar
minyak bumi, subsidi, kilang, VLCC, dan seterusnya.
Gasland
Sebuah
potongan film dokumenter yang berjudul Gasland, pada saat yang
bersamaan, masuk ke dalam surat elektronik (email) saya. E-mail itu
dikirim seorang kolega yang mengetahui bahwa saya tengahmenulis buku
tentang energi bersama dengan mantan Dirut Pertamina Ari Sumarno.
Gasland, judul film dokumenter yang dinominasikan untuk penghargaan
Oscar dan dibuat Josh Fox (2010), bercerita tentang bencana yang
ditimbulkan oleh shale drilling untuk mendapatkan gas murah (shale gas) dari perut bumi.
Gas
drilling dilakukan secara horizontal dengan memecahkan bebatuan di
dalam perut bumi, menciptakan fraktur, lalu dengan menyemprotkan cairan,
mereka akan menyedot gas yang tersimpan di dalam bebatuan. Film ini
mewakili pikiran para pejuang lingkungan yang percaya metode hydraulic fracking sangat mengancam kehidupan. Josh menunjukkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh metode drilling ini yang bisa menimbulkan kontaminasi pada air minum, keretakan tanah, bahkan menimbulkan gempa bumi.
Ia
sempat hadir dalam beberapa kali rapat dengar pendapat di parlemen dan
berusaha keras memutar filmnya di hadapan para senator, tetapi ia
dikeluarkan dari ruangan secara paksa. Namun, seperti biasa, suatu
potensi ekonomi yang besar bukan tanpa biaya. Selain masalah teknologi,
dunia juga akan mendebatkan masalah keamanan dan lingkungan. Itu
sebabnya Prancis dan Jerman sudah memutuskan tidak akan memasuki bisnis
shale gas. Demikian juga dengan Rusia. Tapi masalah dan kepentingan
mereka berbeda-beda. Rusia misalnya masih memiliki cadangan gas alam
yang begitu besar dan mudah diambil.
Tapi di Amerika
Serikat yang perdebatannya telah lama dimulai kelihatannya telah
tercapai suatu kesepakatan bahwa lebih banyak manfaat daripada
mudaratnya. Apalagi mereka menemukan sejumlah kejanggalan di balik
pembuatan film Gasland. Publik tampaknya lebih memilih gas alam yang
murah dan ramah lingkungan ketimbang batu bara yang dipercaya lebih
berbahaya.
Tapi, di sini, kalau kontraktor tidak diawasi
dengan baik, masyarakat rasanya masih trauma melihat lumpur yang tak
kunjung berhenti keluar dari perut bumi. Jadi ke mana kita akan membawa
masa depan energi kita? Kalau kita seperti ini terus, bukan hanya pusing
kalau harga minyak naik, melainkan juga ribut kalau harga gas dunia
turun.Sebuah cara berpikir dan bertindak baru jelas sangat dibutuhkan
dan ini hanya bisa dicapai kalau pihak-pihak yang memutuskannya bebas
dari kepentingan personal.
Rhenald Kasali
Owner Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar