Laman

Selasa, 26 Juni 2012

Seorang Guru di Langit Biru - Jawa pos 25 Juni 2012

Di sebuah stasiun televisi, di pagi hari, untuk kesekian kalinya saya menyaksikan orang-orang yang tak mampu mengukur resiko.  Setelah puluhan "money game" menerkam rakyat jelata,  kali ini terjadi lagi.  Seorang guru yang menjadi korban diwawancara penyiar televisi,  ia kehilangan banyak uang yang di tanam di Koperasi Langit Biru.

Bisa dibayangkan kalau guru saja tertipu, bagaimana dengan murid-muridnya?  Harap Anda paham bahwa etiap hari ada begitu banyak usaha bergaya money game yang dibuat masyarakat dan setiap hari pula ada ribuan orang yang menjadi korban, atau akan menjadi korban.  Sementara itu ratusan cikal bakal money game tengah ditabur dalam inkubasi bisnis, dan gejalanya tampak faham bombastis marketing yang saya ulas setahun yang lalu. Masyarakat umumnya masuk perangkap melalui iming-iming yang menyesatkan.
Reporter televisi pun bingung, bagaimana seorang guru yang tinggal di daerah Tanggerang rela mengambil paket yang ditawarkan hingga ke daerah Depok yang jaraknya hingga puluhan kilometer dari tempat tinggalnya.  Ia mengaku semua itu dilakukan karena mengejar keuntungan yang dijanjikan.  "Tapi Anda kan seorang guru, bagaimana sampai tertipu?" kejar reporter televisi.  "Mereka memberi garansi bahwa program ini ditawarkan untuk mensejahterakan umat.  Bahkan hanya untuk umat yang seiman.  Orang yang beragama lain dilarang ikut," jawabnya.

Tak banyak orang yang menyadari bahwa tipuan yang paling beresiko didunia ini adalah tipuan yang dibungkus dengan tema-tema agama dan spiritual.  Bahkan dukun sakti yang menggunakan kekuatan negatif pun menggunakan ayat-ayat kitab suci yang menurut para ahli kitab diselewengkan demi mengelabui.  Partai-partai berbungkus agama pun banyak menarik minat masyarakat, tetapi belakangan ini kita juga menemukan perilaku-perilaku yang tidak bermoral justru banyak dilakukan mereka yang "menjual" tema agama. Bahkan ketika para ulama banyak menyoroti masalah rok mini, kejahatan seksual yang banyak terungkap justru ada berada tak jauh dari lingkaran itu sendiri.  Dan selain korupsi di lingkaran politik, korupsi yang mengejutkan justru berkaitan dengan pencetakan kitab suci.

Ilmu pengetahuan telah banyak mengungkapkan bahwa semakin besar sebuah resiko maka semakin kuat manusia membungkus dan menyembunyikannya.  Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat dunia perbankan menolak memberikan kredit kepada usaha-usaha beresiko tinggi, seorang lulusan sekolah MBA terkenal di Amerika memperkenalkan produknya yang kelak dikenal dengan sebutan junk bonds.  Surat berharga itu diperjualbelikan dengan cepat di pasar dengan iming-iming return yang tinggi.  Ibarat junk food,  rasanya enak dan gurih, namun lemaknya banyak dan berbahaya bagi kesehatan.  Mereka yang membeli bonds itu pun terlilit bencana, karena surat-surat berharga yang digunakan untuk memberi pinjaman pada toxic investors dengan bunga dan spread yang besar ternyata hampir semuanya macet pada saat yang bersamaan.  Kali ini bukan agama atau kitab suci yang menjadi iming-iming, melainkan janji keuntungan yang besar dan mudah.

Bagaimana money game di Indonesia belakangan ini?  Sepertinya para penipu sadar betul ruang geraknya makin terbatas dan mereka mulai menggabungkan keduanya ke dalam satu paket. Uang dan surga adalah dua janji yang selalu digunakan untuk menjerat.

Mengenal Resiko
Hidup dan kemajuan memang selalu berjalan beriringan dengan resiko. Sebuah kata bijak saya temukan di sebuah situs. Bunyinya begini:  "The person risks nothing does nothing,has nothing and is nothing,   He may avoid suffering and sorrow but he cannot fell, learn, grow and love." Kurang lebih artinya beginilah.  "Orang-orang yang tidak menjalani hidup beresiko akan tak memiliki apa-apa, dan ia nothing (tak ada apa-apanya).  Mereka  menghindari kepahitan dan rasa sakit, tetapi tidak bisa merasa, belajar, tumbuh dan mencintai."

Mungkin Anda pernah membaca kata bijak lain yang bunyinya lebih spesifik lagi.  Kalau diterjemahkan kira-kira jadinya begini.  "Mereka yang tak pernah melakukan kesalahan apa-apa bukan berarti hebat.  Jangan-jangan mereka tak pernah melakukan apa-apa."   Bukankah untuk menyatakan cinta pada lawan jenis saja Anda mnghadapi resiko ditolak?  Bahkan para komedian baru yang banyak muncul dalam setahun belakangan ini di forum Stand up Commedy pun mengakui, mereka menghadapi resiko tidak lucu.  Tetapi sebagai manusia kita memiliki sebuah kehebatan, yaitu belajar.

Siapakah yang harus belajar?  Rakyat biasa, para profesional yang menggerakkan dunia usaha, yang digaji oleh para pelaku money game, atau juga penegak hukum dan pembuat undang-undang?  Saya kira semua pihak harus mulai mewaspadainya.  Orang tua dan guru saja tidak cukup belajar.  Indonesia adalah bangsa yang populasinya sedang tumbuh secara cepat.  Kelas menengahnya juga tumbuh dan semakin banyak orang yang baru mulai naik kelas, mulai punya tabungan dan membeli kendaraan baru.  Selalu akan ada orang-orang baru yang menjadi sasaran penipuan.  Dan yang paling penting sebenarnya adalah bangsa ini harus bergerak lebih cepat untuk menghadang para penipu.

Undang-undang dan peraturan harus dibuat lebih cepat untuk membatasi ruang gerak toxic entrepreneur, dan penegak hukum harus cepat menangkap dan menghukum mereka.  Masalahnya, para penipu sadar betul bahwa uang haram yang mereka dapatkan itu juga diminati oleh ribuan oknum penegak hukum.  Sementara ribuan anak-anak muda tengah diracuni oleh buku-buku yang menyajikan kata-kata jalan pintas seperti:  cara cepat kaya, punya banyak apartemen tanpa modal, kerja cerdas, jangan bekerja untuk cari uang-buatlah uang bekerja sendiri untuk Anda, bagaimana membuat usaha baru langsung difranchise-kan, dan seterusnya.  Mereka belajar bahwa kaya adalah hak mereka, dan jalan pintas boleh dilakukan, sedangkan kerja keras sudah tak zamannya lagi. Padahal dengan cara-cara demikian mereka hanya akan bermuara dalam usaha money games dan berlabuh di rumah tahanan atau pelarian yang mengasingkan. Kalau sudah begini, para penerbit buku pun harus ikut bertanggungjawab.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar