Donald Trump termenung saat ditanya Steve Forbes tentang apa yang ia
persiapkan untuk suksesi bisnisnya. Ia hanya bisa berharap anak-anaknya
bahagia dengan pilihan orang tuanya.
”Erick senang dengan
klub bisnis dan itu cocok dengan personalitas saya. Adapun Don senang
dengan bangunan-bangunan, dia fokus di gedung,”ujarnya. Trump punya tiga
anak, dua pria dan satu perempuan. Ia belum mempersiapkan apa-apa untuk
anak gadisnya yang katanya masih terlalu dini. Jadi cerita difokuskan
pada dua pangeran penerusnya. Seperti Trump, kebanyakan orang tua yang
usahanya berhasil di sini juga memandang usaha lebih dari sekadar
”kereta hidup”.
Itulah hidupnya sendiri, personalitas dan identitas diri. Usaha dan bangunannya dilihat sama seperti seorang bikersmemandang
Harley-nya atau dokter yang memandang ikan koi hobinya. Lain Trump,
lain Peter Gontha yang dikenal dengan Java Jazz-nya. Bersama putrinya,
Dewi Gontha, hari Selasa lalu keduanya berbagi cerita di depan kelompok
Wanita Wirausaha di Jakarta. Gontha justru bangga dengan anak
perempuannya yang sudah 8 tahun membesarkan Java Jazz dan kini mulai
menjadi usaha hiburan yang terpandang.
Meneruskan atau Merombak?
Dalam old school business,
orang-orang tua selalu beranggapan anaknya bahagia menjalani pilihan
orang tua. Anaknya merupakan ”penerus” bukan ”pembaharu”. Rumah milik
orang tua kelak menjadi rumah anak dan usaha yang dibangun orang tua
akan diteruskan anak-anak dan keturunannya. Demikianlah kita melihat
Charles Saerang, Irwan Hidayat, dan Jaya Suprana ”meneruskan” usaha yang
diwariskan satu-dua generasi di atas mereka. Neneknya buka usaha
jamu,cucunya ikut.
Tapi bisakah hal itu dilakukan hari
ini? Lihatlah fakta-fakta berikut ini. Saat diangkat sebagai CEO pada
1986, tak terlihat tanda-tanda apa pun anak ini akan menjual perusahaan
yang didirikan kakeknya pada 1913. Ia begitu tekun membina warisan dari
ayahnya dan mulai merekrut tenaga profesional asing untuk mempercepat
proses pertumbuhan usaha. Tapi pada Maret 2005 publik dikejutkan,
perusahaan berpendapatan bersih (saat itu) Rp15 triliun tersebut dijual
kepada pihak asing.
Perusahaan ini sangat besar,
posisinya berada di urutan ketiga dalam industri dan merupakan salah
satu legenda di sini. Perusahaan yang memproduksi 41,2 miliar batang
rokok itu dijual Putera Sampoerna kepada Philip Morris dan ia beralih ke
bisnis-bisnis baru, yakni perkebunan sawit, telekomunikasi,
infrastruktur, dan microfinance. Tak dapat saya bayangkan hal
ini bisa terjadi bila Aga Sampoerna (yang meninggal dunia 1994) masih
ada. Ceritanya mungkin akan berubah.
Tapi zaman berlalu,
generasi baru pun berubah pikiran. Lebih dari setahun yang lalu saya
didatangi seorang anak muda yang tergopoh-gopoh mencari saya. Setelah
bertemu ia hanya minta waktu untuk menjelaskan visi usahanya. Namun ada
satu hal yang ia wanti-wanti. ”Bapak, tolong jangan ceritakan ini kepada
ayah saya sebelum menjadi kenyataan” Fernando, nama anak muda itu,
adalah putra Jimmy Iskandar yang dulu dikenal sebagai fotografer istana
dan merintis usaha foto cetak kanvas.
Jimmy Iskandar
merintis Tarzan Photo sejak tahun 1948 sehingga wajar bila ia merasa
bisnis ini sebagai bagian dari personalitasnya dan berharap anak-anaknya
dapat meneruskan kejayaannya. Apakah yang diimpikan Fernando? ”Saya
sudah membantu papa. Semuanya saya lakukan dengan sungguh-sungguh sampai
hari ini.Tapi saya sudah menabung sejak lama, sekarang saya sedang
menegosiasi tempatnya. Nanti pada saat peletakan batu pertama, papa dan
mama baru boleh melihatnya,”kata dia.
Dan pada hari yang
dijanjikan itu saya melihat orang tua Fernando sungguh terkejut. Sebuah
maket besar yang akan segera dibangun muncul di hadapannya. Penerus itu
berencana membangun usaha baru yang mirip Disneyland, tetapi digabung
dengan pengembangan talenta anak. Usaha orang tua jalan terus, tetapi
anak sudah punya mainan baru. Bagaimana ke depan? Apakah pembaharuan itu
tidak baik?
Benarkah meneruskan yang sama persis dengan
yang dilakukan pendahulu akan lebih menguntungkan? Saya masih memiliki
sejumlah kasus lain yang kalau saya ceritakan di sini tentu tak akan
cukup mengisi seluruh halaman surat kabar ini yang menceritakan kisah
tentang anak-anak yang mengubah arah usaha orang tuanya. Sayang bila
orang tua tidak memahami perubahan-perubahan yang terjadi dan talenta
yang dimiliki anak-anaknya. Saya ingin mengajak orang tua membaca
kembali goresan pena Kahlil Gibran di bawah ini.
Anak
kalian bukanlah anak kalian. Mereka putra putri kehidupan yang merindu
pada dirinya sendiri. Berikan kepada mereka cinta kalian, tetapi jangan
gagasan kalian, karena mereka memiliki gagasan sendiri. Kalian boleh
membuatkan rumah untuk raga mereka, tetapi tidak untuk jiwa mereka,
karena jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tidak bisa
kalian kunjungi, sekalipun dalam mimpi.
Renungan
itu saya tunjukkan ke hadapan banyak orang tua yang tak puas dengan apa
yang dilakukan anak-anaknya yang mengambil jalan yang berbeda dengan
kehendak orang tua. Usaha sudah besar, tetapi anak tak tertarik sama
sekali.
Talenta Pembaharuan
Dalam old school business,
anak-anak mampu menjadi penerus karena mereka dicetak melalui sistem
persekolahan pabrikan. Metode pabrik yang mencetak murid secara massal
dan terstandar adalah metode kuno yang hanya dipaksakan oleh pemerintah
yang tidak paham terhadap pendidikan. Biasanya persekolahan seperti itu
menerapkan sistem kecakapan ujian (exam merit) sehingga kecakapan murid diukur dari nilai-nilai ulangan dan ujiannya.
Dan
supaya efisien, sekolah juga tidak mau repot-repot memahami gejolak
lentera jiwa siswa, mereka cuma dibanding-bandingkan dengan angka
sehingga didapat peringkat. Angka itu adalah angka kertas, bukan
merupakan kesimpulan dari berbagai kecenderungan anak. Suatu ketika
misalnya saya pernah mempertanyakan seorang mahasiswa yang diberi nilai A
oleh dosen marketingnya.
Tapi setiap kali mengajaknya
bicara, saya menemukan fakta lain. Wajahnya, bahasa tubuh, gestur, dan
caranya berbicara sama sekali tidak marketable. Bagaimana
mungkin anak ini bisa diberi nilai A? Anda tak usah bingung, ia dapat
nilai A karena ukuran kecakapan di negeri ini adalah kecakapan ujian.
Dosen yang bukan pendidik hanya fokus pada kertas ujian, jadi
kecakapannya sulit diandalkan.
Kalau cara mendidiknya
demikian, talenta-talenta yang tersembunyi tetap tersembunyi dan sulit
berkembang. Sistem ini sudah lama dibongkar di mana-mana,tetapi
tampaknya masih berlaku di sekolah-sekolah pemerintah dan
sekolah-sekolah berbasis agama di sini. Sekolah seperti ini cenderung
mendidik dan menutup telinga dan mata hatinya pada talenta-talenta
ciptaan Tuhan.
Kendati demikian, benihbenih kesadaran
yang berlawanan justru tumbuh di sejumlah guru dan sekolah-sekolah
tertentu yang diam-diam mereformasi dini dari merit exam ke talent exam.
Mereka masih terseok-seok hanya karena satu hal, yaitu ujian nasional
yang diberlakukan negara. Tapi baiklah kita kembali kepada anak-anak
yang mengembangkan talentanya. Biasanya hal itu justru terjadi pada
anak-anak yang dibawa orang tuanya bersekolah di luar negeri.
Putra
Sampoerna sempat bersekolah di Hongkong dan Australia, Dewi Gontha di
Amerika Serikat, dan banyak lagi para pembaharu justru mendapatkan
talenta-talenta asli mereka yang bisa jadi berbeda dengan kehendak orang
tuanya. Jadi menurut saya mereka yang menemukan talenta-talenta khusus
itu berpotensi memperbaharui usaha orang tua dalam arti yang lebih
revolusioner, bisa sekarang, bisa juga setelah Anda tidak ada. Lantas
untuk apa mencemaskan mereka?
Bukankah justru yang harus
dicemaskan mereka yang sekedar ”numpang hidup” pada bisnis keluarga?
Mereka ini mempunyai ciri-ciri persis seperti penumpang bus. Mereka
boleh ngantuk, bahkan bisa tertidur, dan tak tahu arah jalan. Bisnis
keluarga justru bisa berakhir di tangan mereka. Jadi, berikanlah
kesempatan kepada anak-anak untuk mengenal talenta mereka sendiri.
Anak-anak ini mungkin akan membongkar usaha yang Anda rintis.
Tapi
mereka tak akan membuatnya menjadi museum catatan sejarah yang gelap
dan tak bertenaga. Mereka hanya memperbaharui dan merombak arah agar
panjang usia. Jangan penjarakan jiwa mereka, sebab mereka mempunyai
pikiran seluas cakrawala kosmos ini.
RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar