Setiap kali memasuki masa Ujian Nasional (UN), bangsa ini heboh.
Sebelum ujian heboh, setelah ujian juga gaduh. Dengan dalih memberi
motivasi, guru-guru malah membuat anak-anak stres dan bersedih menjelang
UN. Orang tua dipanggil, anak menangis karena suasana yang dibangun
para guru adalah para murid itu “banyak dosa” dan telah melakukan
kesalahan pada orangtua. Alhasil bukannya plong, malah banyak murid yang
mengalami histeria yang disebut “kesurupan” atau “kerasukan” setan.
Mengapa
ujian nasional menjadi segala-galanya dalam hidup ini? Apakah tidak ada
cara lain untuk membuka pintu masa depan anak selain ujian?
Saya
ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan
yang menghasilkan “produk-produk” yang standar, yang seakan-akan anak
adalah “output” hasil produksi. Kita seperti sedang melewati sebuah area
"ban berjalan" dengan seorang manajer Jepang, yang mengawasi
ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar.
Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut “berbakat khusus” (special talent), namun di pabrik kita sebut “produk gagal”. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah kata “special talent”,
maka Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari
beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?
Kecakapan Bakat
David
McClelland pernah menyatakan bahwa suatu bangsa harus dibangun dengan
sistem kecakapan, bukan kekerabatan, apalagi didasarkan warna kulit atau
sentimen-sentimen kesamaan lahiriah. Sistem kecakapan itu mulai
diperbincangkan oleh Confucius, diterapkan oleh Dinasti Han di China
pada abad ke 2 SM, dan dibawa ke dunia barat, lalu disebarkan ke seluruh
dunia.
Pada awal peradaban modern, manusia yang dulu percaya pada
kecakapan otot beralih ke kecakapan intelegensia (IQ). Di era world
1.0, saat lapangan pekerjaan terbesar hanya bisa diberikan oleh negara,
sistem kecakapan dipersandingkan antara IQ dengan ujian pengetahuan.
Demikianlah generasi tua Indonesia mengikuti ujian seleksi masuk
Universitas Negeri atau seleksi menjadi PNS melalui pemeriksaan kecapan
tertulis. Yang diuji adalah rumus-rumus, mulai dari bahasa, IPA,
matematika, hingga Pancasila. Rumus-rumus itu dihafalkan dituangkan pada
kertas. Sedangkan sekolah swasta dan dunia usaha memilih kecakapan
intelegensia.
Ujian tertulis dengan ujian pengetahuan menjadi
penting karena jumlah pesertanya massal dan negara harus bertindak
secara adil. Negara adalah segala-galanya.
Tetapi itukan dulu.
Sekarang ini pilihan masyarakat sudah begitu luas. Pekerjaan bukan hanya
ada di pemerintahan, dan sekolah tinggi yang bagus bukan hanya
Universitas Negeri. Masyarakatnya boleh memilih, mau hidup di world 0.0,
atau menjadi pengusaha global, konsultan, seniman atau professional di
world 2.0 (globalisasi dini) atau world 3.0 (lihat kolom saya: Empat
Dunia Yang Membingungkan).
Artinya masyarakat bangsa ini tak
menggantungkan lagi kehidupannya untuk menjadi PNS. PNS bukanlah
segala-galanya. Dunia ini sendiri begitu terbuka, penuh kesesakan dan
pilihan, bahkan persaingan dan saling melengkapi. Dunia yang
sesungguhnya itu bukan membutuhkan kecakapan ujian, melainkan
kecakapan-kecakapan impak, yaitu apa yang sebenarnya dapat dilakukan
seseorang dari pendidikan yang ditempuhnya. Kalau seseorang belajar
tentang pertanian, maka ia bisa buat apa dengan ilmunya itu? Kalau ia
belajar membuat robot, apa impak yang bisa diperbuat? Kalau sekolah
kedokteran, bisakah berkiprah di sektor kesehatan? Demikian seterusnya.
Kecakapan seperti ini disebut kecakapan bakat (talent merit)
dan pernah merisaukan Mendiknas Singapura 20 tahun lalu saat negara
merasa segala-galanya. Sekarang ini Singapura telah beralih ke sistem
kecakapan bakat yang memungkinkan anak-anak menemukan pintu masa
depannya dengan lebih damai dan lebih membahagiakan.
Untuk
memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya saat
mengajar mata kuliah “International Marketing”. Mata kuliah ini
diberikan kepada mahasiswa senior di Program S1 dan sebagai prasyaratnya
mereka harus sudah lulus “Dasar-Dasar Marketing”. Suatu ketika saya
iseng menanyakan berapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas
marketing yang diambil satu dua semester sebelumnya, dan saya minta
mereka maju kedepan. Dan sungguh saya tak percaya bagaimana anak-anak
yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan
dikenal sebagai anak yang berbicara sinis, dan berpenampilan tidak
“marketable” dari kacamata rekan-rekannya, bisa diberi nilai A.
Begitulah “the power of exam merit”.
Mereka mendapatkan nilai “A” dalam transkrip nilai karena bertemu
dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan
pendidik yang mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat
ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya ok,
tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan
pengetahuannya? Saya jadi teringat kisah seorang teman yang belajar
bahasa Inggris di Amerika Serikat supaya bisa kuliah S2 di Amerika.
Belajar bahasa Inggris di masyarakat yang berbahasa Inggris kok di kamar
memakai headset?
Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini,
maka bisa saya bayangkan mengapa pengusaha mengeluh lulusan-lulusan
kita tidak siap pakai, dan mengapa terdapat gap besar antara
pilihan sekolah dengan pilihan profesi. Anak-anak mengeluh sekolahnya
susah karena mereka tidak bisa mengekspresikan bakat yang mereka cintai.
Guru mengeluh murid-murid tak mempersiapkan belajar di rumah dengan
baik. Orang tua mengeluh anak-anaknya menjadi pemberang. Dan tentu saja
di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan
sarjana-sarjana kertas, atau ilmuwan-ilmuwan paper, yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar