Berjalan dalam gelap melewati perkampungan di Desa Basalele,
Kabupaten Buru Utara, seekor sapi bali betina tiba-tiba muncul. Biasanya
rombongan sapi berjalan beriringan, tapi kali ini hanya seekor.
Ke
mana rombongannya? Listrik PLN baru saja mati saat saya dan rombongan
akan beranjak menuju balai adat. Ketika sapi besar itu muncul di depan
mata, kami semua terkejut. Apakah sapi itu tahu jalan pulang ke
kandangnya? Mengapa ia terpisah dari rombongannya? Di balai adat desa,
jawaban itu mulai terungkap. Bapak Soa, tokoh adat yang datang dengan
ikat kepala khas orang Buru, mengaku sapi itu miliknya.
Sapi-sapi
itu biasa berjalan sejauh itu. Ir Eka, ahli peternakan, yang ikut dalam
rombongan saya menjelaskan, ”Sapi itu haus, ia berjalan mencari air.
Setiap ekor sapi bali butuh lebih dari 30 liter air sehari. Nanti
setelah dapat air dia akan pulang.” Bapak Soa, para guru, petani, dan
tokoh adat tertegun. Baru kali ini mereka mendengar sapi-sapinya
kehausan.
Yang mereka tahu sapi-sapi malah cukup gemuk
dengan menyantap aneka hijauan yang tumbuh subur di Desa Basalele. Tapi
setelah kami bicara dengan para peternak di dataran rendah Wayapo,
semuanya sama-sama tidak mengerti, sama tidak mengertinya mereka dengan
ketidakberesan yang dialami pada kebun-kebun cokelat yang tidak
produktif. Seorang tokoh adat yang memiliki kebun cokelat seluas 3
hektare hanya mampu mendapatkan uang Rp 1,5 juta setiap tahun.
Seorang
guru yang punya 300 pohon cokelat hanya menghasilkan pendapatan Rp
500.000. Kalau itu dilakukannya di Sulawesi Tenggara, saya yakin
hasilnya bisa lebih dari 10 kali lipat. Kebun-kebun cokelat itu tidak
produktif karena tak ada yang merawatnya. Masyarakat Pulau Buru bukanlah
masyarakat yang dilahirkan dalam budaya pertanian, apalagi perkebunan
yang membutuhkan manajemen, perawatan, dan pemeliharaan rutin.
Pohon-pohon
minyak kayu putih yang menjadi penghasilan utama penduduk bukanlah
tanaman kebun. Ia tumbuh secara alamiah dari semak-semak yang tidak
ditata. Kayu putih adalah tanaman “bandel” yang tak memerlukan perawatan
khusus. Tapi kakao atau cokelat bukan datang dari langit. Kakao adalah
pemberian pemerintah. Namun seperti kebanyakan yang dilakukan,
pemerintah pasca- Orde Baru ini terlihat asyik dengan dirinya sendiri.
Semua
pekerjaan dijadikan proyek dan usia programnya sama dengan usia proyek.
Bagi bibit, bagi sapi, pasang panel surya, bisa! Sudah, selesai!
Bagaimana dengan penduduk? Proyek selesai, masalah justru bermunculan.
Sapi-sapi bantuan pemerintah terus beranak- pinak, tetapi badannya
semakin kecil karena tak ada penyuluhan. Sudah mengecil, sapi-sapi itu
tidak diberi minum yang cukup, apalagi konsentrat dan vitamin memadai.
Padahal
kombinasi tanaman yang ada memadai untuk diracik menjadi pakan ternak
yang baik. Kemana para penyuluh? Bukankah dulu di tahun 1970-1980an kita
pernah mengenal istilah BUTSI? Itu sukarelawan yang direkrut pemerintah
menjadi penyuluh-penyuluh pertanian di desa-desa.
Di mana
mereka sekarang berada? Guru ada, dokter dan dokter gigi di puskesmas
juga ada.Tapi penyuluh tidak kelihatan. Sebagian orang berguyon,
penyuluh telah beralih profesi menjadi agen penjual pestisida yang
direkrut perusahaan multinasional.
Integrated Farming
Selain
tidak ada penyuluhan, tidak majunya peternakan dan pertanian di
Indonesia antara lain juga disebabkan cara-cara kerja yang tidak
terintegrasi. Direktorat Pertanian dan Peternakan masing-masing sibuk
urus diri masing-masing. Padahal, mana bisa pertanian jalan tanpa
peternakan? Pertanian-peternakan dan energi pada dasarnya adalah tiga
serangkai yang tidak dapat dipisahkan.
Anda mungkin bisa
saja berpendapat lain, tetapi di tengah-tengah peradaban modern yang
sangat kompetitif ini kalau mau unggul ketiganya harus disatu lokasikan,
diintegrasikan. Inilah yang sedang kami uji coba di Pulau Buru
bersama-sama dengan masyarakat adat. Ternak diberi pakan dari limbah
pertanian, kotorannya dipakai memupuk kebun-kebun cokelat dan
rempah-rempah, tetapi gasnya diambil dulu untuk memasak dan menyuling
minyak kayu putih.
Semuanya harus berdekatan dan tentu
saja masyarakat adat memerlukan dokter-dokter hewan dan sarjana
pertanian yang mau bekerja di daerah-daerah yang listriknya belum tentu
ada. Saya tidak tahu bagaimana mempersiapkan semua ini ke dalam sebuah
integrated farming yang tidak kecil, tetapi saya banyak dibantu
mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang beridealisme tinggi.
Saya
juga dibantu para social entrepreneur yang hebat-hebat. Saya anggap
hebat karena mereka mau saja menumpang kapal lebih dari 8 jam menembus
lautan lepas Maluku yang jauh dari sinyal ponsel, jauh dari peradaban
modern, gelap dan tinggal dalam mes yang banyak nyamuknya. Meski penat,
pagi harinya mereka sudah tampak ceria dan larut bersama penduduk.
Mereka juga mulai punya hobi baru bersama saya, yaitu memberi kuliah
umum buat anak-anak SMP dari satu sekolah ke sekolah lainnya.
Kalau
memberi kuliah umum di kampus kami biasa bicara pakai laptop dan
proyektor, di Buru kami memberi kuliah umum dengan papan tulis dan
keringat yang sulit dihentikan. Semuanya begitu mengasyikkan. Kami tidak
mengajarkan teori, melainkan cara membebaskan tangan dan kaki dari
belenggu-belenggu yang mengikat pikiran mereka. Kami mengajari mereka
menjangkau langit, hidup dalam realitas yang bisa dijangkau. Mata
anak-anak yang sehat memberi kami inspirasi.
Kami hanya
bermimpi, kelak akan ada anak-anak dari desa adat yang terpencil di
Pulau Buru yang bisa menjadi dokter atau dokter hewan, insinyur atau
ekonom kelas dunia. Itulah anak-anak yang dibesarkan dari usaha sapi
yang mereka geluti dengan semangat bersama relawan-relawan Rumah
Perubahan.
Andaikan Tuhan mengabulkannya, niscaya negeri
ini bisa menghentikan kebiasaannya dari hobi impor. Saya melihat sebuah
lilin menyala di ujung terowongan gelap dunia pertanian dan peternakan
Indonesia. Maka itulah saya dan masyarakat adat Pulau Buru bergerak ke
sana.
RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar