Laman

Jumat, 02 Maret 2012

Beternak Sapi di Timur - Sindo 1 Maret 2012

Berjalan dalam gelap melewati perkampungan di Desa Basalele, Kabupaten Buru Utara, seekor sapi bali betina tiba-tiba muncul. Biasanya rombongan sapi berjalan beriringan, tapi kali ini hanya seekor.

Ke mana rombongannya? Listrik PLN baru saja mati saat saya dan rombongan akan beranjak menuju balai adat. Ketika sapi besar itu muncul di depan mata, kami semua terkejut. Apakah sapi itu tahu jalan pulang ke kandangnya? Mengapa ia terpisah dari rombongannya? Di balai adat desa, jawaban itu mulai terungkap. Bapak Soa, tokoh adat yang datang dengan ikat kepala khas orang Buru, mengaku sapi itu miliknya.

Sapi-sapi itu biasa berjalan sejauh itu. Ir Eka, ahli peternakan, yang ikut dalam rombongan saya menjelaskan, ”Sapi itu haus, ia berjalan mencari air. Setiap ekor sapi bali butuh lebih dari 30 liter air sehari. Nanti setelah dapat air dia akan pulang.” Bapak Soa, para guru, petani, dan tokoh adat tertegun. Baru kali ini mereka mendengar sapi-sapinya kehausan.

Yang mereka tahu sapi-sapi malah cukup gemuk dengan menyantap aneka hijauan yang tumbuh subur di Desa Basalele. Tapi setelah kami bicara dengan para peternak di dataran rendah Wayapo, semuanya sama-sama tidak mengerti, sama tidak mengertinya mereka dengan ketidakberesan yang dialami pada kebun-kebun cokelat yang tidak produktif. Seorang tokoh adat yang memiliki kebun cokelat seluas 3 hektare hanya mampu mendapatkan uang Rp 1,5 juta setiap tahun.

Seorang guru yang punya 300 pohon cokelat hanya menghasilkan pendapatan Rp 500.000. Kalau itu dilakukannya di Sulawesi Tenggara, saya yakin hasilnya bisa lebih dari 10 kali lipat. Kebun-kebun cokelat itu tidak produktif karena tak ada yang merawatnya. Masyarakat Pulau Buru bukanlah masyarakat yang dilahirkan dalam budaya pertanian, apalagi perkebunan yang membutuhkan manajemen, perawatan, dan pemeliharaan rutin.

Pohon-pohon minyak kayu putih yang menjadi penghasilan utama penduduk bukanlah tanaman kebun. Ia tumbuh secara alamiah dari semak-semak yang tidak ditata. Kayu putih adalah tanaman “bandel” yang tak memerlukan perawatan khusus. Tapi kakao atau cokelat bukan datang dari langit. Kakao adalah pemberian pemerintah. Namun seperti kebanyakan yang dilakukan, pemerintah pasca- Orde Baru ini terlihat asyik dengan dirinya sendiri.

Semua pekerjaan dijadikan proyek dan usia programnya sama dengan usia proyek. Bagi bibit, bagi sapi, pasang panel surya, bisa! Sudah, selesai! Bagaimana dengan penduduk? Proyek selesai, masalah justru bermunculan. Sapi-sapi bantuan pemerintah terus beranak- pinak, tetapi badannya semakin kecil karena tak ada penyuluhan. Sudah mengecil, sapi-sapi itu tidak diberi minum yang cukup, apalagi konsentrat dan vitamin memadai.

Padahal kombinasi tanaman yang ada memadai untuk diracik menjadi pakan ternak yang baik. Kemana para penyuluh? Bukankah dulu di tahun 1970-1980an kita pernah mengenal istilah BUTSI? Itu sukarelawan yang direkrut pemerintah menjadi penyuluh-penyuluh pertanian di desa-desa.

Di mana mereka sekarang berada? Guru ada, dokter dan dokter gigi di puskesmas juga ada.Tapi penyuluh tidak kelihatan. Sebagian orang berguyon, penyuluh telah beralih profesi menjadi agen penjual pestisida yang direkrut perusahaan multinasional.


Integrated Farming

Selain tidak ada penyuluhan, tidak majunya peternakan dan pertanian di Indonesia antara lain juga disebabkan cara-cara kerja yang tidak terintegrasi. Direktorat Pertanian dan Peternakan masing-masing sibuk urus diri masing-masing. Padahal, mana bisa pertanian jalan tanpa peternakan? Pertanian-peternakan dan energi pada dasarnya adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan.

Anda mungkin bisa saja berpendapat lain, tetapi di tengah-tengah peradaban modern yang sangat kompetitif ini kalau mau unggul ketiganya harus disatu lokasikan, diintegrasikan. Inilah yang sedang kami uji coba di Pulau Buru bersama-sama dengan masyarakat adat. Ternak diberi pakan dari limbah pertanian, kotorannya dipakai memupuk kebun-kebun cokelat dan rempah-rempah, tetapi gasnya diambil dulu untuk memasak dan menyuling minyak kayu putih.

Semuanya harus berdekatan dan tentu saja masyarakat adat memerlukan dokter-dokter hewan dan sarjana pertanian yang mau bekerja di daerah-daerah yang listriknya belum tentu ada. Saya tidak tahu bagaimana mempersiapkan semua ini ke dalam sebuah integrated farming yang tidak kecil, tetapi saya banyak dibantu mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang beridealisme tinggi.

Saya juga dibantu para social entrepreneur yang hebat-hebat. Saya anggap hebat karena mereka mau saja menumpang kapal lebih dari 8 jam menembus lautan lepas Maluku yang jauh dari sinyal ponsel, jauh dari peradaban modern, gelap dan tinggal dalam mes yang banyak nyamuknya. Meski penat, pagi harinya mereka sudah tampak ceria dan larut bersama penduduk. Mereka juga mulai punya hobi baru bersama saya, yaitu memberi kuliah umum buat anak-anak SMP dari satu sekolah ke sekolah lainnya.

Kalau memberi kuliah umum di kampus kami biasa bicara pakai laptop dan proyektor, di Buru kami memberi kuliah umum dengan papan tulis dan keringat yang sulit dihentikan. Semuanya begitu mengasyikkan. Kami tidak mengajarkan teori, melainkan cara membebaskan tangan dan kaki dari belenggu-belenggu yang mengikat pikiran mereka. Kami mengajari mereka menjangkau langit, hidup dalam realitas yang bisa dijangkau. Mata anak-anak yang sehat memberi kami inspirasi.

Kami hanya bermimpi, kelak akan ada anak-anak dari desa adat yang terpencil di Pulau Buru yang bisa menjadi dokter atau dokter hewan, insinyur atau ekonom kelas dunia. Itulah anak-anak yang dibesarkan dari usaha sapi yang mereka geluti dengan semangat bersama relawan-relawan Rumah Perubahan.

Andaikan Tuhan mengabulkannya, niscaya negeri ini bisa menghentikan kebiasaannya dari hobi impor. Saya melihat sebuah lilin menyala di ujung terowongan gelap dunia pertanian dan peternakan Indonesia. Maka itulah saya dan masyarakat adat Pulau Buru bergerak ke sana.

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar