Laman

Rabu, 29 Februari 2012

Dilema Proyek - Jawapos 27 Februari 2012

Menembus hutan alang-alang setinggi hampir dua meter, saya dan Team Rumah Perubahan baru saja meninggalkan air terjun Metar di Kabupaten Buru Utara.  Tumpahan airnya tak begitu tinggi, hanya sekitar 15 meter.  Namun volume airnya lumayan buat memutar turbin.  Menurut rekan saya, Eddy Permadi, dengan debit air 100 liter per detik itu, kalau ditarik pipa ke desa terdekat bisa dipakai untuk membuat listrik sekitar 12.000 watt.

Kami menembus belantara dan melewati sungai berair jernih yang masih dipenuhi batu-batuan besar, ditemani tetua adat desa Mettar dan Weflan.  Di beberapa titik kami masih menemui kayu-kayu besar yang dulu pernah dijarah oleh para pemegang HPH.  Medannya lumayan berat, namun hutannya telah kembali hidup.  Di beberapa sudut kami menemukan luapan air panas yang menyembur dari perut bumi.

Air terjun Mettar jauh lebih menarik bila dibandingkan dengan aliran lain yang  ditemui di desa Kobalahin.  Penebangan hutan besar-besaran di desa ini telah mengurangi debit air secara signifikan.  Berjalan sejauh 4 kilometer menembus sungai dan bebatuan besar, kami harus kecewa karena air terjun yang menurut tetua adat mengalir cukup deras kini telah jauh berkurang.  Bahkan jeram setinggi beberapa meter yang dulu dilihat para tetua adat, kini telah hilang dipahat para penjarah kayu untuk mendorong kayu ke hilir. Entah kemana perusahaan yang tak bertanggungjawab itu pergi, yang jelas mereka telah menimbulkan sejuta kerusakan.

Listrik Masuk Desa
Mendengar  hitung-hitungan daya listrik yang dihasilkan  di Weflan, saya sempat berkecil hati.  Ia hanya mampu menghadirlkan listrik sebesar enam ratus watt. Padahal ia harus menarik pipa sepanjang 700 meter, biayanya besar sekali.  Ratusan KK sangat berharap listrik segera bisa mengalir.  Eddy Permadi, pakar teknologi mikro hidro membesarkan hati saya.  "Dua ratus watt terdengar kecil bagi kita yang biasa mendapatkan ribuan watt, tapi bagi orang yang biasa hidup dalam gelap, lima watt sudah berarti sesuatu."
Raja Wayapo, Manaliling Besan mengatakan begini:  "Kami ini tidak minta, kami siap bayar.  Walapun dulu kami kasih pada negara tanpa syarat, tanah untuk transmigran, yang seharusnya tidak disertifikatkan kini telah disertifikatkan oleh para penerus.  Tapi jalan saja rusak, listrik kami tak diberi, " ujarnya.

Transmigrasi di Pulau Buru telah berkembang pesat.  Merekalah yang menjadi motor penggerak ekonomi pertanian pulau Buru. Bahkan pendapatan perkapita mereka telah jauh di atas rata-rata orang Buru. Namun kesejahteraan yang timpang ini kelak akan menjadi persoalan besar kalau oal listrik dan jalan saja tak bisa diatasi.  Di setiap rumah saya melihat panel-panel tenaga surya yang dibangun pemerintah dua tahun terakhir ini.  Sayang pendekatan yang diambil pemerintah adalah pendekatan proyek: yang penting poyek selesai.

Tenaga surya adalah sumber daya yang bagus, bersahabat pada lingkungan dan menjadi solusi kalau pemerintah tak menggunakan cara-cara proyek. Mengapa demikian?
Mudah sekali jawabnya. Seperti biasa, bagi rumah tangga, listrik sangat dibutuhkan untuk penerangan di malam hari. Nah, tenaga surya memerlukan energy penyimpan untuk malam hari, saat matahari tak bersinar.  Apa yang harus digunakan?  Di Jepang, keluarga-keluarga petani menggunakan gabungan listrik dan tenaga surya, sedangkan "proyek-proyek" pemerintah memakai aki mobil.

Di desa Metar, panel-panel itu sekarang tingal menjadi mahkota rumah tanpa fungsi karena aki mobil sudah rusak.  Usianya hanya bertahan 6 bulan.  Untuk mengganti aki 80 amper diperlukan biaya sekitar 1 juta rupiah.  Di desa lain, akinya dibuat sentral, yang terdiri dai aki ukuran besar yang sulit didapat.  Bagi orang kampung di desa Mettar, uang sebesar itu terasa besar. Kalau tak punya listrik bagaimana mungkin anak desa memiliki cita-cita menjadi dokter? Belajar saja tak bisa.  Jadi untuk apa proyek pengadaan listrik masuk desa, atau listrik tenaga surya yang dikejar pemerintah untuk memperbaiki tingkat elektrifikasi ini?  Siapa yang harus bertanggungjawab? Kementrian ESDM atau para aparat dinas ESDM di lingkungan pemda?

Saya tak tahu persis.  Yang saya tahu, pendekatan proyek tidak selamanya memberikan solusi terbaik bagi bangsa ini.  Kecuali proyek itu dibuat berkelanjutan, artinya, setiap enam bulan harus ada yang memelihara, melakukan pengecekan di lapangan, peningkatan kualitas, koreksi dan seterusnya.  Artinya, ya jangan jadi proyek. Jadi program berkelanjutan saja.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar