Menembus hutan alang-alang setinggi hampir dua meter, saya dan Team
Rumah Perubahan baru saja meninggalkan air terjun Metar di Kabupaten
Buru Utara. Tumpahan airnya tak begitu tinggi, hanya sekitar 15 meter.
Namun volume airnya lumayan buat memutar turbin. Menurut rekan saya,
Eddy Permadi, dengan debit air 100 liter per detik itu, kalau ditarik
pipa ke desa terdekat bisa dipakai untuk membuat listrik sekitar 12.000
watt.
Kami menembus belantara dan melewati sungai berair
jernih yang masih dipenuhi batu-batuan besar, ditemani tetua adat desa
Mettar dan Weflan. Di beberapa titik kami masih menemui kayu-kayu
besar yang dulu pernah dijarah oleh para pemegang HPH. Medannya
lumayan berat, namun hutannya telah kembali hidup. Di beberapa sudut
kami menemukan luapan air panas yang menyembur dari perut bumi.
Air
terjun Mettar jauh lebih menarik bila dibandingkan dengan aliran lain
yang ditemui di desa Kobalahin. Penebangan hutan besar-besaran di
desa ini telah mengurangi debit air secara signifikan. Berjalan sejauh
4 kilometer menembus sungai dan bebatuan besar, kami harus kecewa
karena air terjun yang menurut tetua adat mengalir cukup deras kini
telah jauh berkurang. Bahkan jeram setinggi beberapa meter yang dulu
dilihat para tetua adat, kini telah hilang dipahat para penjarah kayu
untuk mendorong kayu ke hilir. Entah kemana perusahaan yang tak
bertanggungjawab itu pergi, yang jelas mereka telah menimbulkan sejuta
kerusakan.
Listrik Masuk Desa
Mendengar
hitung-hitungan daya listrik yang dihasilkan di Weflan, saya sempat
berkecil hati. Ia hanya mampu menghadirlkan listrik sebesar enam ratus
watt. Padahal ia harus menarik pipa sepanjang 700 meter, biayanya besar
sekali. Ratusan KK sangat berharap listrik segera bisa mengalir.
Eddy Permadi, pakar teknologi mikro hidro membesarkan hati saya. "Dua
ratus watt terdengar kecil bagi kita yang biasa mendapatkan ribuan
watt, tapi bagi orang yang biasa hidup dalam gelap, lima watt sudah
berarti sesuatu."
Raja Wayapo, Manaliling Besan mengatakan
begini: "Kami ini tidak minta, kami siap bayar. Walapun dulu kami
kasih pada negara tanpa syarat, tanah untuk transmigran, yang
seharusnya tidak disertifikatkan kini telah disertifikatkan oleh para
penerus. Tapi jalan saja rusak, listrik kami tak diberi, " ujarnya.
Transmigrasi
di Pulau Buru telah berkembang pesat. Merekalah yang menjadi motor
penggerak ekonomi pertanian pulau Buru. Bahkan pendapatan perkapita
mereka telah jauh di atas rata-rata orang Buru. Namun kesejahteraan yang
timpang ini kelak akan menjadi persoalan besar kalau oal listrik dan
jalan saja tak bisa diatasi. Di setiap rumah saya melihat panel-panel
tenaga surya yang dibangun pemerintah dua tahun terakhir ini. Sayang
pendekatan yang diambil pemerintah adalah pendekatan proyek: yang
penting poyek selesai.
Tenaga surya adalah sumber daya
yang bagus, bersahabat pada lingkungan dan menjadi solusi kalau
pemerintah tak menggunakan cara-cara proyek. Mengapa demikian?
Mudah
sekali jawabnya. Seperti biasa, bagi rumah tangga, listrik sangat
dibutuhkan untuk penerangan di malam hari. Nah, tenaga surya memerlukan
energy penyimpan untuk malam hari, saat matahari tak bersinar. Apa
yang harus digunakan? Di Jepang, keluarga-keluarga petani menggunakan
gabungan listrik dan tenaga surya, sedangkan "proyek-proyek" pemerintah
memakai aki mobil.
Di desa Metar, panel-panel itu
sekarang tingal menjadi mahkota rumah tanpa fungsi karena aki mobil
sudah rusak. Usianya hanya bertahan 6 bulan. Untuk mengganti aki 80
amper diperlukan biaya sekitar 1 juta rupiah. Di desa lain, akinya
dibuat sentral, yang terdiri dai aki ukuran besar yang sulit didapat.
Bagi orang kampung di desa Mettar, uang sebesar itu terasa besar. Kalau
tak punya listrik bagaimana mungkin anak desa memiliki cita-cita
menjadi dokter? Belajar saja tak bisa. Jadi untuk apa proyek pengadaan
listrik masuk desa, atau listrik tenaga surya yang dikejar pemerintah
untuk memperbaiki tingkat elektrifikasi ini? Siapa yang harus
bertanggungjawab? Kementrian ESDM atau para aparat dinas ESDM di
lingkungan pemda?
Saya tak tahu persis. Yang saya tahu,
pendekatan proyek tidak selamanya memberikan solusi terbaik bagi bangsa
ini. Kecuali proyek itu dibuat berkelanjutan, artinya, setiap enam
bulan harus ada yang memelihara, melakukan pengecekan di lapangan,
peningkatan kualitas, koreksi dan seterusnya. Artinya, ya jangan jadi
proyek. Jadi program berkelanjutan saja.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar