Hari Sabtu kemarin, sekitar seribu orang mengikuti yudisium di
FEUI. Mereka terdiri dari lulusan S1, S2, dan S3. Diantaranya ada 40
anak didik saya di MMUI yang lulus dengan prestasi cum-laude, dan dua
diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4.0). Bahkan salah satu yang
lulus dengan IPK sempurna itu (keduanya perempuan), berusia paling muda
(21,5 tahun).
Tetapi sepulang dari acara yudisium saya menerima sebuah release terbaru
yang dikeluarkan oleh FBI tentang latar belakang dan perilaku
orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan almarhum
Steve Jobs. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis oleh
analis yang terkesan tidak senang terhadap almarhum (wajar karena
menurut orang dalam Apple, petugas FBI yang ditugaskan melakukan
wawancara, dibuat Jobs harus menunggu selama 3 jam sebelum diterima).
Namun demikian, penulisnya mencoba memberikan data-data objektif
sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas.
“Meski terkenal, ia ternyata hanya punya indeks prestasi kumulatif 2,65
pada saat duduk di tingkat SLTA”, ujar laporan itu. Angka ini jelas
objektif dan bukan diambil dari pikiran penulis. Kalau Anda membaca report ini
jauh sebelum Jobs dikenal, mungkin Anda termasuk orang yang menilai
orang ini tidak cerdas. Tetapi karena kita membacanya sekarang, paling
Anda mengatakan apa urusannya IPK dengan karya yang telah dibangun
seseorang. Bukankah impak jauh lebih penting daripada paper dan IPK?
Seperti yang pernah saya tulis pada kolom di Jawa Pos setahun yang lalu, manusia memiliki dua jenis mindset, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki settingan pikiran tetap (fixed mindset) cenderung sangat mementingkan ijazah dan gelar sekolah, sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset)
tetap menganggap dirinya "bodoh". Baginya ijazah dan IPK hanya
merupakan langkah kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impak: apa
yang bisa Anda diberikan atau dilahirkan. Maka kepada mereka yang
pernah belajar dengan saya selalu saya tegaskan, pintar itu bagus,
tetapi impak jauh lebih penting. Celakanya universitas banyak dikuasai
orang-orang yang bermental ijazah dan asal sekolah sehingga mereka
terkurung dalam penjara yang mereka set sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka impak itu sama dengan paper, atau kertas karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan atau tidak.
Kualitas Intake
Jadi, di akhir pekan kemarin pikiran saya terbagi dua. Di satu pihak
saya senang memiliki anak-anak yang cerdas, namun di lain pihak saya
gelisah kalau mereka yang ber IPK tinggi itu produk settingan tetap. IPK
tinggi tetapi terlalu membanggakan jejak sejarah: ijazah.
Karakter orang-orang dengan settingan tetap itu, menurut Carol Dweck,
antara lain adalah menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja
keras sia-sia, tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif) dan
bila ada orang lain yang lebih hebat darinya maka ia sangat sinis dan
menganggap mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti ini biasanya
menjadi arogan dan sering membanggakan “apa yang sudah ia capai”.
Prestasi akademik di masa lalu bisa menjadi pemicunya.
Padahal kita semua butuh orang pintar. Bahkan, di sebuah sekolah perempuan saya membaca kalimat ini : Beauty is nothing without brain.
Benar, cantik saja tidak berarti apa-apa, bila tidak cerdas. Tetapi
studi yang dilakukan Dweck memberi jawaban yang melengkapi : pintar yang
kita butuhkan adalah bukanlah pintar yang sudah selesai, melainkan
yang di setting untuk tumbuh (growth mindset).
Apa ciri-ciri mereka? Mereka itu merasa kualitas kecerdasannya belum
apa-apa. Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan
baru, menganggap kerja keras penting, menerima feedback negatif
untuk melakukan koreksi dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya
maka ia akan menjadikan orang itu sebagai tempat belajar.
Orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran untuk direkrut. Maka
di MMUI seperti juga di Harvard, kami tidak terlalu mengandalkan test-test
tertulis sebagai segala-galanya. Nilai akademik masa lalu mereka boleh
tinggi, tetapi kami dalami dalam wawancara yang dilakukan orang-orang
berpengalaman. Dari situ kami sering mendapatkan insight,
bahkan tidak jarang orang yang memiliki hasil tes yang tinggi terpaksa
digugurkan karena mereka terlanjur terkunci dalam ruang gelap yang
disetting tetap.
Tetapi apalah artinya semua itu
kalau kita tidak berani mengubah mereka? Itulah tugas kami sebagai
pendidik merombak cara berpikir agar anak didik tumbuh, bukan sekedar
mendapat ijazah. Jadi, ke 40 anak-anak muda yang lulus cum laude itu
tentu masih ingat, bahwa musuh besar mereka adalah kebanggan yang
berlebihan terhadap prestasi yang telah dicapai kemarin. Kedepan,
Indonesia butuh lebih banyak manusia yang adaptif, bukan orang-orang
kaku yang merasa pintar sendiri.
Untuk melahirkan manusia-manusia unggul diperlukan kualitas intake yang
baik, disamping proses yang mampu menempa mereka menjadi insan yang
tumbuh. Maka proses seleksi menjadi sangat penting, di awal, di tengah
dan di akhir. Bila dulu saya gelisah memandang lulusan yang meraih
gelar cum laude yang hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, sekarang
saya bisa bernafas lega karena Dweck telah membukakan jalan bahwa hal
ini bisa diatasi dengan settingan pikiran yang tepat.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar