Laman

Rabu, 22 Februari 2012

Man Jadda Wajada - Sindo 23 Februari 2012

Ustadz Salman memasuki ruang kelas. Ia membawa sebilah pedang yang sudah berkarat dan sebatang bambu. Senyum seorang guru menyeringai dari bibirnya yang terlihat bersahabat.

Di depan santri-santri baru yang datang dari berbagai pelosok Indonesia di sebuah pesantren besar di Ponorogo, ia berujar: “Man jadda wajada!” Kelak kata-kata itu identik dengan Alif,eh,Achmad Fuady, penulis buku Negeri 5 Menara yang kini menjadi inspirasi kaum muda Indonesia. Ustaz Salman menjajal pedang tumpul itu untuk memotong bambu.Berat! Sulit! Tapi ia berupaya terus kendati keringat mulai mengucur.Ruang kelas riuh oleh bunyi bambu yang dipancung paksa oleh pedang majal yang harus dibanting-banting berkali-kali ke lantai, sampai akhirnya bambu terpotong dan santri-santri polos terkesima. Ia berteriak, “Man jadda wajada! Sesuatu yang dilakukan bersungguh-sungguh dapat menjadi kenyataan.”


Membebaskan Belenggu 

Adegan itu saya saksikan dalam pemutaran perdana film inspiratif Negeri 5 Menara yang diangkat dari novel Ahmad Fuadi itu pada hari Selasa (21/2) kemarin. Saya datang ke Gedung XXI-FX Plaza dengan guru-guru PAUD dan taman kanak-kanak asuhan istri saya di Rumah Perubahan. Bagi guru-guru yang biasa mengajar anak-anak kampung, film ini seperti sebuah pelepasan.

Bagi anak-anak kampung, menjelajahi menara-menara dunia adalah sebuah keniscayaan. Tak usah dari Danau Maninjau (tempat asal Alif) ke Ponorogo di Jawa Timur, dari Bekasi ke Monas saja, bagi sebagian anak-anak, adalah suatu keniscayaan. Selain saya, pemutaran perdana itu dihadiri para guru. Apa yang bisa dipelajari para guru dari film ini? Tentu saja setiap orang bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda- beda. Namun dari guru-guru yang ikut bersama saya didapatkan jawaban ini: “Bukan matematika atau sains, juga bukan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, melainkan rasa percaya dirilah yang membawa manusia menemukan menara-menara kehidupannya.

” Saya masih bingung, tetapi akhirnya mereka menjelaskan bahwa masalah terbesar yang dihadapi tunas-tunas bangsa adalah kuatnya belenggu “tidak bisa”dan belenggu “bukan hak saya” yang begitu kuat. Ini belum termasuk belenggu-belenggu karakter seperti mudah terprovokasi, pendendam, merasa benar sendiri, dan seterusnya. Anak-anak tukang ojek atau anak tukang bubur kacang hijau yang orang tuanya harus berkeliling kampung mengumpulkan seribu demi seribu rupiah dengan penuh kesulitan memiliki cara berpikir yang sama seperti burung-burung dara yang sayapnya dijahit supaya tidak bisa terbang jauh.

Dengan sayap-sayap yang terikat itu, mereka tak bisa terbang jauh mengelilingi dunia, apalagi membangun menara-menara bagi kehidupan mereka sendiri. Ustaz Salman membuka kelasnya bukan dengan dogma, teori atau rumus,melainkan dengan pedang tumpul dan berkarat serta sebatang bambu tua yang keras. Yang ia tanamkan adalah sebuah keyakinan positif, meretas belenggu-belenggu virtual yang ada di tiap kepala anak-anak.

Ya, itulah belenggu yang tumbuh menjadi keyakinan kolektif. Itulah masalah besar yang selama ini kita abaikan. Kita beranggapan seolaholah semua tidak ada. Atau bahkan kita berpandangan dengan rumus-rumus sains semua bisa dilupakan? Kalau kita mengabaikannya, kita hanya menciptakan benda-benda tak bergerak. Sama seperti sayap burung yang dijahit.

Sederhanakanlah! 

Bagi sebagian guru Indonesia, berlaku adagium, “more is better than less”atau lebih jelasnya “the heavier the better”. Semakin banyak subjek yang diberikan, semakin sulit, semakin takut berarti semakin bagus. Semakin berat pelajaran yang bisa diberikan semakin hebat dirasakan.Asumsi murid pandai bisa mengerjakan rumus- rumus yang berat menjalar ke mana-mana. Dari fisika dan matematika, melebar ke bahasa Inggris dan sejarah. Semua pelajaran ilmu sosial diajarkan dalam bentuk rumus, bukan dalam bentuk pemecahan masalah.

Akibatnya pun begitu luas, kita menyaksikan pemimpin yang tak mampu menggunakan ilmunya dengan baik kendati mereka semua hafal rumusnya. Kita juga menyaksikan pemimpin-pemimpin yang takut dan tak tahu bagaimana caranya membuat keputusan. Mereka hanya bisa mengomentari keputusan orang lain, seakan-akan lebih mengerti dan lebih berpengetahuan. Namun saat diberi kekuasaan, ternyata sama saja.

Bagaimana cara Negeri 5 Menara? Film Negeri 5 Menara menunjukkan ada hal lain yang dibutuhkan anak-anak yang kini melanglang buana dengan prestasi masing-masing, yaitu pentingnya peran guru sebagai pembuka “jahitan”yang membelenggu anak-anak didiknya. Membuka belenggu berarti menyederhanakan banyak hal. Anda tak mungkin membuka belenggu sambil menanamkan belenggu-belenggu lain yang lebih besar.

Anda perlu memilih: mengikat kaki mereka sehingga tak bisa lari atau membukakannya agar mereka bisa melanglang buana. Sudah barang tentu jumlah mata ajaran dan cara mengajar di negeri ini harus diubah,diremajakan, dan disederhanakan. Bukankah sekolah diperlukan untuk manusia dan bukan sebaliknya?

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar