Ustadz Salman memasuki ruang kelas. Ia membawa sebilah pedang yang
sudah berkarat dan sebatang bambu. Senyum seorang guru menyeringai dari
bibirnya yang terlihat bersahabat.
Di depan santri-santri
baru yang datang dari berbagai pelosok Indonesia di sebuah pesantren
besar di Ponorogo, ia berujar: “Man jadda wajada!” Kelak kata-kata itu
identik dengan Alif,eh,Achmad Fuady, penulis buku Negeri 5 Menara yang
kini menjadi inspirasi kaum muda Indonesia. Ustaz Salman menjajal pedang
tumpul itu untuk memotong bambu.Berat! Sulit! Tapi ia berupaya terus
kendati keringat mulai mengucur.Ruang kelas riuh oleh bunyi bambu yang
dipancung paksa oleh pedang majal yang harus dibanting-banting
berkali-kali ke lantai, sampai akhirnya bambu terpotong dan
santri-santri polos terkesima. Ia berteriak, “Man jadda wajada! Sesuatu
yang dilakukan bersungguh-sungguh dapat menjadi kenyataan.”
Membebaskan Belenggu
Adegan
itu saya saksikan dalam pemutaran perdana film inspiratif Negeri 5
Menara yang diangkat dari novel Ahmad Fuadi itu pada hari Selasa (21/2)
kemarin. Saya datang ke Gedung XXI-FX Plaza dengan guru-guru PAUD dan
taman kanak-kanak asuhan istri saya di Rumah Perubahan. Bagi guru-guru
yang biasa mengajar anak-anak kampung, film ini seperti sebuah
pelepasan.
Bagi anak-anak kampung, menjelajahi
menara-menara dunia adalah sebuah keniscayaan. Tak usah dari Danau
Maninjau (tempat asal Alif) ke Ponorogo di Jawa Timur, dari Bekasi ke
Monas saja, bagi sebagian anak-anak, adalah suatu keniscayaan. Selain
saya, pemutaran perdana itu dihadiri para guru. Apa yang bisa dipelajari
para guru dari film ini? Tentu saja setiap orang bisa melihatnya dari
sudut pandang yang berbeda- beda. Namun dari guru-guru yang ikut bersama
saya didapatkan jawaban ini: “Bukan matematika atau sains, juga bukan
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, melainkan rasa percaya dirilah
yang membawa manusia menemukan menara-menara kehidupannya.
”
Saya masih bingung, tetapi akhirnya mereka menjelaskan bahwa masalah
terbesar yang dihadapi tunas-tunas bangsa adalah kuatnya belenggu “tidak
bisa”dan belenggu “bukan hak saya” yang begitu kuat. Ini belum termasuk
belenggu-belenggu karakter seperti mudah terprovokasi, pendendam,
merasa benar sendiri, dan seterusnya. Anak-anak tukang ojek atau anak
tukang bubur kacang hijau yang orang tuanya harus berkeliling kampung
mengumpulkan seribu demi seribu rupiah dengan penuh kesulitan memiliki
cara berpikir yang sama seperti burung-burung dara yang sayapnya dijahit
supaya tidak bisa terbang jauh.
Dengan sayap-sayap yang
terikat itu, mereka tak bisa terbang jauh mengelilingi dunia, apalagi
membangun menara-menara bagi kehidupan mereka sendiri. Ustaz Salman
membuka kelasnya bukan dengan dogma, teori atau rumus,melainkan dengan
pedang tumpul dan berkarat serta sebatang bambu tua yang keras. Yang ia
tanamkan adalah sebuah keyakinan positif, meretas belenggu-belenggu
virtual yang ada di tiap kepala anak-anak.
Ya, itulah
belenggu yang tumbuh menjadi keyakinan kolektif. Itulah masalah besar
yang selama ini kita abaikan. Kita beranggapan seolaholah semua tidak
ada. Atau bahkan kita berpandangan dengan rumus-rumus sains semua bisa
dilupakan? Kalau kita mengabaikannya, kita hanya menciptakan benda-benda
tak bergerak. Sama seperti sayap burung yang dijahit.
Sederhanakanlah!
Bagi
sebagian guru Indonesia, berlaku adagium, “more is better than
less”atau lebih jelasnya “the heavier the better”. Semakin banyak subjek
yang diberikan, semakin sulit, semakin takut berarti semakin bagus.
Semakin berat pelajaran yang bisa diberikan semakin hebat
dirasakan.Asumsi murid pandai bisa mengerjakan rumus- rumus yang berat
menjalar ke mana-mana. Dari fisika dan matematika, melebar ke bahasa
Inggris dan sejarah. Semua pelajaran ilmu sosial diajarkan dalam bentuk
rumus, bukan dalam bentuk pemecahan masalah.
Akibatnya pun
begitu luas, kita menyaksikan pemimpin yang tak mampu menggunakan
ilmunya dengan baik kendati mereka semua hafal rumusnya. Kita juga
menyaksikan pemimpin-pemimpin yang takut dan tak tahu bagaimana caranya
membuat keputusan. Mereka hanya bisa mengomentari keputusan orang lain,
seakan-akan lebih mengerti dan lebih berpengetahuan. Namun saat diberi
kekuasaan, ternyata sama saja.
Bagaimana cara Negeri 5
Menara? Film Negeri 5 Menara menunjukkan ada hal lain yang dibutuhkan
anak-anak yang kini melanglang buana dengan prestasi masing-masing,
yaitu pentingnya peran guru sebagai pembuka “jahitan”yang membelenggu
anak-anak didiknya. Membuka belenggu berarti menyederhanakan banyak hal.
Anda tak mungkin membuka belenggu sambil menanamkan belenggu-belenggu
lain yang lebih besar.
Anda perlu memilih: mengikat kaki
mereka sehingga tak bisa lari atau membukakannya agar mereka bisa
melanglang buana. Sudah barang tentu jumlah mata ajaran dan cara
mengajar di negeri ini harus diubah,diremajakan, dan disederhanakan.
Bukankah sekolah diperlukan untuk manusia dan bukan sebaliknya?
RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar