Laman

Minggu, 05 Februari 2012

Mendoakan Bangkrut - Sindo 2 Februari 2012

Beberapa hari lalu saya membaca sepotong kalimat yang diucapkan seorang menteri yang mendoakan agar para wirausaha cepat bangkrut.Padahal,dari Cikampek, Jawa Barat, kita mendengar sekitar 100 perusahaan anggota Apindo Jawa Barat dikabarkan menolak kenaikan upah buruh dengan alasan takut bangkrut.

Beberapa meter dari garis terdepan demo para buruh yang membuat jalan tol macet sejauh 30 km Jakarta–Cikampek, seorang teman terhimpit di antrean keempat. Ia baru saja pulang dari kegiatan memberi pelatihan kepada para dosen pengajar kewirausahaan di NTB bersama saya. Nahas, ia tiba hanya beberapa menit di garis depan sebelum jalan ditutup polisi dan ribuan buruh turun ke jalan. Ia tertahan 10 jam kepanasan dan kelaparan. Tapi dari situ ia dapat wisdom. Di garis depan itu ia bisa menyaksikan sendiri bagaimana para buruh bergejolak. Sebagai wirausaha yang mempekerjakan lebih dari 100 orang di Bandung, tentu ia ingin mengetahuinya.

“Berapa sih kenaikan yang mereka minta,” ujarnya. “Tidak banyak,“ ucap seorang buruh.“Kami hanya minta naik seratus dua ratus ribu rupiah, tetapi susahnya minta ampun.” Dengan uang sebesar UMR banyak buruh yang merasa hidupnya serba pas-pasan. Di bawah itu, bangkrutlah. “Padahal di televisi setiap hari kami melihat orang-orang berbicara ‘em-em-an’,” katanya. Apalagi yang dimaksud kalau bukan renovasi ruang Banggar DPR, penggantian toilet para wakil rakyat, besarnya nilai cek pelawat, uang yang dicuri para koruptor, fasilitas yang dinikmati wakil-wakilnya di gedung parlemen, dan seterusnya.

Saya jadi teringat dengan tulisan rekan saya, Prof Sarlito Wirawan Sarwono, yang dimuat di harian ini beberapa hari lalu. “Rakyat Indonesia butuh keadilan, bukan hukum,” katanya. Psikolog sosial senior ini sangat benar. Masalah keadilan atau fairness kini mulai merembet ke mana-mana. Kalau para hakim, jaksa, polisi, wakil rakyat, dan pengacara argumentasinya hanya hukum positif saja, maka rakyat kecil yang tak punya uang selalu akan kalah dan dikalahkan oleh ketidakadilan. Karena ketidakadilan yang dirasakan itulah masyarakat akan melawan. Melawan dengan apa? Ya apa lagi kalau bukan dengan kekuatan massa, sebab hanya itu yang dimiliki rakyat kecil.

Bukan soal Hitungan

Di belakang para pengusaha ada seorang rekan lain yang turut menghitung angka kenaikan upah. Sebagai seorang ekonom ia melihat angka-angka secara rasional dan menyimpulkan besarnya kenaikan upah yang dituntut para buruh sudah tidak rasional. Secara teori tis sudah terlalu membebani. “Pengusaha bisa bangkrut kalau setiap tahun naiknya seperti ini,”ujarnya.

Teori ekonomi yang dilihat secara kuantitatif bisa jadi benar adanya, pendekatannya adalah rasional-ekonomi, hitung- hitungan yang logis. Tapi dari apa yang didengar rekan saya di garis depan di jalan tol saat ribuan buruh turun ke jalan, the bottom line is not about the logic. It’s the fairness. Rasa keadilan! Dan berbicara tentang keadilan, harus diakui, telah terjadi ketidakadilan yang sangat besar yang dialami oleh the lower class. Dan ini menurut saya sangat berbahaya bagi negara kesatuan yang kita cintai. Mereka yang telah berbuat tidak adil telah melepaskan rekatan-rekatan yang menyatukan, yang membuat hidup damai hilang sekejap.

Paradoks Kebangkrutan  Apa sih kata ekonomi yang paling ditakuti buruh dan pengusaha? Anda benar: “bangkrut”. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi hanya takut dengan kata ini. Seseorang yang bangkrut akan memiliki catatan hitam di Bank Indonesia dan namanya muncul setiap saat berurusan dengan perbankan. Ia tak akan bisa mengurus kartu kredit, menjadi pimpinan bank, atau melakukan transaksi-transaksi tertentu. Buruh juga takut bangkrut, tak bisa bekerja dan memberi makan keluarga.

Perusahaan lebih senang mempekerjakan tenaga-tenaga yang lebih muda dan tak pernah terlibat masalah dengan tempatnya bekerja. Kalau pernah di-PHK, meski dapat pesangon besar, selalu ada pertanyaan dari HRD dan bisa jadi dinomorduakan dalam rekrutmen. Namun di balik itu semua, kesulitan yang dihadapi seseorang dalam kegiatan ekonomi ternyata bisa menjadi modal penting untuk bangkit kembali. Barry Griswell dan Bob Jennings yang mengkaji 200 biografi orang-orang yang berhasil menemukan ternyata orang-orang itu pernah mengalami kebangkrutan.

Maka saya jadi tersenyum saat membaca berita bagaimana Menteri Dahlan Iskan mengocok komunitas TDA minggu lalu dengan mendoakan agar wirausaha- wirausaha muda cepat bangkrut atau tidak takut dengan bangkrut. Bangkrut adalah titik terendah dan paling menakutkan. Namun kalau tidak pernah menyentuh the rock bottom, bagaimana Anda bisa naik kembali? Sebuah bola tenis yang jatuh tak akan bounce (membal) hanya karena menyentuh angin.

Ia harus menyentuh dasar yang keras untuk melenting naik ke atas. Itu yang disebut adversity paradox. Dengan bekal itu,Walt Disney bangkit. Juga Dale Carnegy yang bukunya kini menjadi pedoman orang-orang yang mau bangkit. Anda juga bisa melihat pada Susi Pujiastuti, mantan bakul ikan di Cilacap yang kini armada Susi Air-nya ada di hampir semua bandara di pelosok Nusantara. Atau Chris Gardner yang kisah kebangkrutan dan kebangkitannya dapat dilihat dalam film The Pursuit of Happiness yang dibintangi oleh Will Smith (2006). Di Harvard, lima tahun lalu, Prof Michael Porter mengingatkan Indonesia.

“Upah murah bukanlah industrial policy yang sehat.Setiap negara harus berjuang agar buruh dan bangsanya menjadi kaya,bukan berupah rendah,”ujarnya. Itu sebabnya Indonesia masih harus bekerja lebih keras dan lebih kreatif lagi. Kalau cuma main pungut atau tebang, itu bukan kreatif namanya. Kita baru cuma bisa mengeruk isi perut bumi atau menebang pohon. Supaya menjadi bangsa yang sejahtera, kita harus berani jadi bangsa yang kaya. Dan untuk itu tak ada substitusi bagi kerja keras dan bertindak adil. Ayo,jangan takut bangkrut!

RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia

1 komentar:

  1. Sebagian besar tulisan bang Rhenald Kasali, membuat saya jadi berubah 50 persen.. Inspiratif dan mencerahkan.

    BalasHapus