Beberapa hari lalu saya membaca sepotong kalimat yang diucapkan
seorang menteri yang mendoakan agar para wirausaha cepat
bangkrut.Padahal,dari Cikampek, Jawa Barat, kita mendengar sekitar 100
perusahaan anggota Apindo Jawa Barat dikabarkan menolak kenaikan upah
buruh dengan alasan takut bangkrut.
Beberapa meter dari
garis terdepan demo para buruh yang membuat jalan tol macet sejauh 30
km Jakarta–Cikampek, seorang teman terhimpit di antrean keempat. Ia
baru saja pulang dari kegiatan memberi pelatihan kepada para dosen
pengajar kewirausahaan di NTB bersama saya. Nahas, ia tiba hanya
beberapa menit di garis depan sebelum jalan ditutup polisi dan ribuan
buruh turun ke jalan. Ia tertahan 10 jam kepanasan dan kelaparan. Tapi
dari situ ia dapat wisdom. Di garis depan itu ia bisa menyaksikan
sendiri bagaimana para buruh bergejolak. Sebagai wirausaha yang
mempekerjakan lebih dari 100 orang di Bandung, tentu ia ingin
mengetahuinya.
“Berapa sih kenaikan yang mereka minta,”
ujarnya. “Tidak banyak,“ ucap seorang buruh.“Kami hanya minta naik
seratus dua ratus ribu rupiah, tetapi susahnya minta ampun.” Dengan
uang sebesar UMR banyak buruh yang merasa hidupnya serba pas-pasan. Di
bawah itu, bangkrutlah. “Padahal di televisi setiap hari kami melihat
orang-orang berbicara ‘em-em-an’,” katanya. Apalagi yang dimaksud kalau
bukan renovasi ruang Banggar DPR, penggantian toilet para wakil
rakyat, besarnya nilai cek pelawat, uang yang dicuri para koruptor,
fasilitas yang dinikmati wakil-wakilnya di gedung parlemen, dan
seterusnya.
Saya jadi teringat dengan tulisan rekan saya,
Prof Sarlito Wirawan Sarwono, yang dimuat di harian ini beberapa hari
lalu. “Rakyat Indonesia butuh keadilan, bukan hukum,” katanya. Psikolog
sosial senior ini sangat benar. Masalah keadilan atau fairness kini
mulai merembet ke mana-mana. Kalau para hakim, jaksa, polisi, wakil
rakyat, dan pengacara argumentasinya hanya hukum positif saja, maka
rakyat kecil yang tak punya uang selalu akan kalah dan dikalahkan oleh
ketidakadilan. Karena ketidakadilan yang dirasakan itulah masyarakat
akan melawan. Melawan dengan apa? Ya apa lagi kalau bukan dengan
kekuatan massa, sebab hanya itu yang dimiliki rakyat kecil.
Bukan soal Hitungan
Di
belakang para pengusaha ada seorang rekan lain yang turut menghitung
angka kenaikan upah. Sebagai seorang ekonom ia melihat angka-angka
secara rasional dan menyimpulkan besarnya kenaikan upah yang dituntut
para buruh sudah tidak rasional. Secara teori tis sudah terlalu
membebani. “Pengusaha bisa bangkrut kalau setiap tahun naiknya seperti
ini,”ujarnya.
Teori ekonomi yang dilihat secara
kuantitatif bisa jadi benar adanya, pendekatannya adalah
rasional-ekonomi, hitung- hitungan yang logis. Tapi dari apa yang
didengar rekan saya di garis depan di jalan tol saat ribuan buruh turun
ke jalan, the bottom line is not about the logic. It’s the fairness. Rasa keadilan! Dan berbicara tentang keadilan, harus diakui, telah terjadi ketidakadilan yang sangat besar yang dialami oleh the lower class.
Dan ini menurut saya sangat berbahaya bagi negara kesatuan yang kita
cintai. Mereka yang telah berbuat tidak adil telah melepaskan
rekatan-rekatan yang menyatukan, yang membuat hidup damai hilang
sekejap.
Paradoks Kebangkrutan Apa sih
kata ekonomi yang paling ditakuti buruh dan pengusaha? Anda benar:
“bangkrut”. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi hanya takut
dengan kata ini. Seseorang yang bangkrut akan memiliki catatan hitam
di Bank Indonesia dan namanya muncul setiap saat berurusan dengan
perbankan. Ia tak akan bisa mengurus kartu kredit, menjadi pimpinan
bank, atau melakukan transaksi-transaksi tertentu. Buruh juga takut
bangkrut, tak bisa bekerja dan memberi makan keluarga.
Perusahaan
lebih senang mempekerjakan tenaga-tenaga yang lebih muda dan tak
pernah terlibat masalah dengan tempatnya bekerja. Kalau pernah di-PHK,
meski dapat pesangon besar, selalu ada pertanyaan dari HRD dan bisa
jadi dinomorduakan dalam rekrutmen. Namun di balik itu semua, kesulitan
yang dihadapi seseorang dalam kegiatan ekonomi ternyata bisa menjadi
modal penting untuk bangkit kembali. Barry Griswell dan Bob Jennings
yang mengkaji 200 biografi orang-orang yang berhasil menemukan ternyata
orang-orang itu pernah mengalami kebangkrutan.
Maka saya
jadi tersenyum saat membaca berita bagaimana Menteri Dahlan Iskan
mengocok komunitas TDA minggu lalu dengan mendoakan agar wirausaha-
wirausaha muda cepat bangkrut atau tidak takut dengan bangkrut.
Bangkrut adalah titik terendah dan paling menakutkan. Namun kalau tidak
pernah menyentuh the rock bottom, bagaimana Anda bisa naik kembali?
Sebuah bola tenis yang jatuh tak akan bounce (membal) hanya karena
menyentuh angin.
Ia harus menyentuh dasar yang keras untuk melenting naik ke atas. Itu yang disebut adversity paradox.
Dengan bekal itu,Walt Disney bangkit. Juga Dale Carnegy yang bukunya
kini menjadi pedoman orang-orang yang mau bangkit. Anda juga bisa
melihat pada Susi Pujiastuti, mantan bakul ikan di Cilacap yang kini
armada Susi Air-nya ada di hampir semua bandara di pelosok Nusantara.
Atau Chris Gardner yang kisah kebangkrutan dan kebangkitannya dapat
dilihat dalam film The Pursuit of Happiness yang dibintangi oleh Will
Smith (2006). Di Harvard, lima tahun lalu, Prof Michael Porter
mengingatkan Indonesia.
“Upah murah bukanlah industrial
policy yang sehat.Setiap negara harus berjuang agar buruh dan bangsanya
menjadi kaya,bukan berupah rendah,”ujarnya. Itu sebabnya Indonesia
masih harus bekerja lebih keras dan lebih kreatif lagi. Kalau cuma main
pungut atau tebang, itu bukan kreatif namanya. Kita baru cuma bisa
mengeruk isi perut bumi atau menebang pohon. Supaya menjadi bangsa yang
sejahtera, kita harus berani jadi bangsa yang kaya. Dan untuk itu tak
ada substitusi bagi kerja keras dan bertindak adil. Ayo,jangan takut
bangkrut!
RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia
Sebagian besar tulisan bang Rhenald Kasali, membuat saya jadi berubah 50 persen.. Inspiratif dan mencerahkan.
BalasHapus