Di tanjakan (seperti judul kolom saya dua minggu lalu), ternyata
banyak orang yang tertidur. Orang-orang yang terpekur, terlena dalam
padatnya antrean. Sementara satu-dua orang melesat dari bahu jalan
dengan lampu darurat.
Yang melesat adalah orang-orang
yang “sadar”, yang tidak terlena dalam “business as usual.”
Ciri-cirinya mudah diamati: Sibuk dan inderanya aktif. Ngeh. Sementara
yang terjebak dalam antrean terlihat diam, asyik ngobrol, menguap, dan
sungguh tenang.
Di Jogya saya melihat anak-anak muda yang
sibuk menyalib bisnis para senior mereka yang sudah lebih dulu ada di
tanjakan. Jogist misalnya, sibuk menyalib Dagadu yang sudah ada di
tanjakan. Lalu Kalimilk juga sibuk melesat melewati kedai-kedai kopi
yang marak lima tahun terakhir. Menunya serba susu yang diperah di kaki
gunung Merapi: Kaliurang. Selain mereka ada ratusan usaha serupa yang
dijalankan orang muda yang mulai menyusahkan orang-orangtua.
Fenomena
ini bukan hanya ada di Jogya , melainkan juga ada di Surabaya,
Bandung, Malang, Solo, Semarang, Padang, Medan, makassar, dan
seterusnya.
Bekerja dengan Priotitas
Apa yang dilakukan orang-orang sibuk?
“Saya
hanya mengembalikan prinsip-prinsip bisnis dan bekerja dengan
prioritas” Ujar seorang pemimpin rumah sakit daerah milik pemerintah.
Dari situ dia melihat banyak dokter yang tertidur, bekerja “as usual”
Banyak
dokter yang tidak sadar bahwa pasien-pasien miskin (Gakin) di era
tanjakan ini (baca: ekonomi yang tumbuh) menjadi sumber penghasilan
yang penting. Maaf, bukan berarti orang miskin dibisniskan, tetapi
justru harus dilayani lebih baik, lebih manusiawi. Fakta-fakta yang saya
lihat di lapangan, sumber penghasilan terbesar RSUD memang dari segmen
gakin yang dananya ditanggung pemerintah.
Seorang dokter yang
memimpin RSUD mengatakan, sejak sistem administrasi RSUDnya diperbaiki,
setiap bulan bisa menerima revenue diatas lima milliar rupiah. “Maka
dokter di RSUDnya bisa mendapatkan variabel income antara 10 sampai 120
juta rupiah perbulan,” Ujarnya.
Tetapi, maaf, sebagian
dokter masih tertidur. Cara melayaninya masih cara lama: datang
terlambat dan lebih mengutamakan pasien di klinik swasta yang melayani
segmen premium, kurang telaten bekerja dalam team, dan kurang
tertantang mempelajari teknologi terbaru. Padahal di RSUD, segala
teknologi kesehatan terbaru tinggal masukkan saja ke dalam anggaran.
Dan faktanya, banyak RSUD yang sudah punya peralatan yang lebih maju
daripada klinik swasta.
Pasien gakin memang tak banyak
bicara, kurang pengetahuan, wajar kalau tidak begitu demanding (banyak
menuntut). “Voice of nature” mereka yang diam sering tak tertangkap
orang yang tertidur.
Dokter ini melanjutkan, “selama
bertahun-tahun kamar jenazah adalah bisnis yang rugi di RSUD. Padahal
di kamar jenazah keluarga pasien yang meninggal dunia tak berani
berbohong atau berhutang, dan tak ada kamar jenazah di rumah sakit
swasta yang merugi. Ternyata di RSUD, ruginya bukan karena keluarga
pasien tak bisa membayar, melainkan bocor dimana-mana seperti uang
parkir dan billboard yang banyak menguap di pemda DKI.”
Setelah
membenahi di sana-sini ia berefleksi begini: “Jadi pendahulu saya
kerjanya apa ya? Kok semua lini rusak?” Saya katakan, begitulah
orang-orang yang terlena di tanjakan: Keenakan, sudah nyaman, dan
terlena. Bahasa kerennya: Comfort Zone. Pembaca, sungguh di Rumah
Perubahan saya banyak didatangi CEO-CEO yang sibuk berbenah, tapi saya
bertemu lebih banyak lagi orang yang tertidur dan “sulit dibangunkan”.
Mengambil keputusan untuk bangun saja kok sulit.
Sebenarnya
untuk bangun tidaklah sulit. Buat saja diri anda sibuk. Kata pepatah
Arab, “kalau ada amanah, titipkanlah pada orang-orang sibuk.” Dulu,
saya tidak begitu percaya dengan petuah ini, tetapi sekarang saya jadi
mengerti, sebab orang-orang sibuk itu bekerja dengan awareness yang
penuh, inderanya aktif menangkap voive of nature (suara alam) dan kata
sahabat saya yang sibuk, “orang yang sibuk tahu mengatur prioritas.”
Perhatikan
jugalah orang-orang tua yang sudah pensiun dan tak punya banyak
kegiatan: cepat pikun dan sakit-sakitan. Sementara yang cerdik justru
kuliah lagi, belajar bahasa asing yang belum pernah dipelajari,
terlibat dalam aktivitas sosial dan seterusnya. Untuk apa? Untuk
menangkap suara-suara alam, dan membuatnya tidak pikun.
Beberapa
tahun yang lalu saya pernah membantu sebuah perusahaan keluarga yang
lama tertidur. Sekarang perusahaan ini tumbuh menjadi besar dan DNA
nya berubah total. Padahal dulu top leadernya saja harus diimpor dari
luar. Sekarang anak-anak muda sudah jadi direktur. Apa rahasianya?
Kita buat semua manager sibuk, dan manager harus bisa memberikan
pelatihan kepada bawahannya. Mereka dibangunkan untuk membangunkan
orang lain. Bukankah orang tidur tak bisa membangunkan orang tidur?
Ayo
bangun dan bangunkan anak-anak buah Anda. Bukakan mata mereka, buka
telinganya, buatlah agar mereka bisa membaca yang tak terlihat,
mendengar yang tak berbunyi. Gerakkan tangan dan kakinya agar melangkah
dan peduli. Kata Bunda Theresa, kalau yang terlihat saja tak bisa Anda
lihat, apalagi yang tak terlihat? Kalau tak terlihat bagaimana bisa
peduli dan tergerak? Di tanjakan, kalau tak bergerak artinya Anda
terperangkap
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar