Laman

Minggu, 26 Februari 2012

Tertidur di Tanjakan - Jawapos 20 Februari 2012

Di tanjakan (seperti judul kolom saya dua minggu lalu), ternyata banyak orang yang tertidur. Orang-orang yang terpekur, terlena dalam padatnya antrean. Sementara satu-dua orang melesat dari bahu jalan dengan lampu darurat.

Yang melesat adalah orang-orang yang “sadar”, yang tidak terlena dalam “business as usual.” Ciri-cirinya mudah diamati: Sibuk dan inderanya aktif. Ngeh. Sementara yang terjebak dalam antrean terlihat diam, asyik ngobrol, menguap, dan sungguh tenang.

Di Jogya saya melihat anak-anak muda yang sibuk menyalib bisnis para senior mereka yang sudah lebih dulu ada di tanjakan. Jogist misalnya, sibuk menyalib Dagadu yang sudah ada di tanjakan. Lalu Kalimilk juga sibuk melesat melewati kedai-kedai kopi yang marak lima tahun terakhir. Menunya serba susu yang diperah di kaki gunung Merapi: Kaliurang. Selain mereka ada ratusan usaha serupa yang dijalankan orang muda yang mulai menyusahkan orang-orangtua.

Fenomena ini bukan hanya ada di Jogya , melainkan juga ada di Surabaya, Bandung, Malang, Solo, Semarang, Padang, Medan, makassar, dan seterusnya.

Bekerja dengan Priotitas
Apa yang dilakukan orang-orang sibuk?
“Saya hanya mengembalikan prinsip-prinsip bisnis dan bekerja dengan prioritas” Ujar seorang pemimpin rumah sakit daerah milik pemerintah. Dari situ dia melihat banyak dokter yang tertidur, bekerja “as usual”
Banyak dokter yang tidak sadar bahwa pasien-pasien miskin (Gakin) di era tanjakan ini (baca: ekonomi yang tumbuh) menjadi sumber penghasilan yang penting. Maaf, bukan berarti orang miskin dibisniskan, tetapi justru harus dilayani lebih baik, lebih manusiawi. Fakta-fakta yang saya lihat di lapangan, sumber penghasilan terbesar RSUD memang dari segmen gakin yang dananya ditanggung pemerintah.
Seorang dokter yang memimpin RSUD mengatakan, sejak sistem administrasi RSUDnya diperbaiki, setiap bulan bisa menerima revenue diatas lima milliar rupiah. “Maka dokter di RSUDnya bisa mendapatkan variabel income antara 10 sampai 120 juta rupiah perbulan,” Ujarnya.

Tetapi, maaf, sebagian dokter masih tertidur. Cara melayaninya masih cara lama: datang terlambat dan lebih mengutamakan pasien di klinik swasta yang melayani segmen premium, kurang telaten bekerja dalam team, dan kurang tertantang mempelajari teknologi terbaru.  Padahal di RSUD, segala teknologi kesehatan terbaru tinggal masukkan saja ke dalam anggaran. Dan faktanya, banyak RSUD yang sudah punya peralatan yang lebih maju daripada klinik swasta.

Pasien gakin memang tak banyak bicara, kurang pengetahuan, wajar kalau tidak begitu demanding (banyak menuntut). “Voice of nature” mereka yang  diam sering tak tertangkap orang yang tertidur.
Dokter ini melanjutkan, “selama bertahun-tahun kamar jenazah adalah bisnis yang rugi di RSUD. Padahal di kamar jenazah keluarga pasien yang meninggal dunia tak berani berbohong atau berhutang, dan tak ada kamar jenazah di rumah sakit swasta yang merugi. Ternyata di RSUD, ruginya bukan karena keluarga pasien tak  bisa membayar, melainkan bocor dimana-mana seperti uang parkir dan billboard yang banyak menguap di pemda DKI.”

Setelah membenahi di sana-sini ia berefleksi begini: “Jadi pendahulu saya kerjanya apa ya? Kok semua lini rusak?” Saya katakan, begitulah orang-orang yang terlena di tanjakan: Keenakan, sudah nyaman, dan terlena. Bahasa kerennya: Comfort Zone.  Pembaca, sungguh di Rumah Perubahan saya banyak didatangi CEO-CEO yang sibuk berbenah, tapi saya bertemu lebih banyak lagi orang yang tertidur dan “sulit dibangunkan”.  Mengambil keputusan untuk bangun saja kok sulit.

Sebenarnya untuk bangun tidaklah sulit. Buat saja diri anda sibuk. Kata pepatah Arab, “kalau ada amanah, titipkanlah pada orang-orang sibuk.” Dulu, saya tidak begitu percaya dengan petuah ini, tetapi sekarang saya jadi mengerti, sebab orang-orang sibuk itu bekerja dengan awareness yang penuh, inderanya aktif menangkap voive of nature (suara alam) dan kata sahabat saya yang sibuk, “orang yang sibuk tahu mengatur prioritas.”

Perhatikan jugalah orang-orang tua yang sudah pensiun dan tak punya banyak kegiatan: cepat pikun dan sakit-sakitan. Sementara yang cerdik justru kuliah lagi, belajar bahasa asing yang belum pernah dipelajari, terlibat dalam aktivitas sosial dan seterusnya. Untuk apa? Untuk menangkap suara-suara alam, dan membuatnya tidak pikun.

Beberapa tahun yang lalu saya pernah membantu sebuah perusahaan keluarga yang lama tertidur.  Sekarang perusahaan ini tumbuh menjadi besar dan DNA nya berubah total.  Padahal dulu top leadernya saja harus diimpor dari luar.  Sekarang anak-anak muda sudah jadi direktur.  Apa rahasianya?  Kita buat semua manager sibuk, dan manager harus bisa memberikan pelatihan kepada bawahannya. Mereka dibangunkan untuk membangunkan orang lain.  Bukankah orang tidur tak bisa membangunkan orang tidur?

Ayo bangun dan bangunkan anak-anak buah Anda. Bukakan mata mereka, buka telinganya, buatlah agar mereka bisa membaca yang tak terlihat, mendengar yang tak berbunyi. Gerakkan tangan dan kakinya agar melangkah dan peduli. Kata Bunda Theresa, kalau yang terlihat saja tak bisa Anda lihat, apalagi yang tak terlihat? Kalau tak terlihat bagaimana bisa peduli dan tergerak? Di tanjakan, kalau tak bergerak artinya Anda terperangkap

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar