Laman

Kamis, 09 Februari 2012

Kecanduan Minyak - Sindo 9 Februari 2012

Anda pernah melihat orang kecanduan, bukan? Bentuk kecanduan sangat luas. Dulu kita hanya menyebut zat-zat adiktif seperti nikotin,kafein,heroin,dan alkohol yang menyebabkan manusia ketagihan atau ketergantungan.

Tapi sekarang Andabisa menyaksikan 1.001 bentuk ketergantungan dan kecanduan. Judi, seks, gambar porno, makanan,belanja, dan bahkan korupsi bisa membuat manusia kecanduan dan ketagihan. Studi-studi dalam ilmu perilaku konsumen menemukan, untuk mengatasi kecemasannya,manusia bukan mengurangi konsumsi, melainkan menambah konsumsinya.

Maka manusia modern bukan hanya mengenal kata alkoholik, melainkan juga workaholic (kecanduan bekerja) dan shopaholic (kecanduan belanja). Daftar kecanduan pun meluas terus sejalan dengan perubahan teknologi dan kehidupan. Hanya dalam tempo beberapa hari pada 2012 kita mulai mendengar beberapa kejadian sekaligus.Cheryl Zerbe Taylor, misalnya, memperkenalkan istilah spiritual obsession addiction.

Dalam kajiannya,Taylor mencontohkan sebuah keluarga yangaktifberkumpuluntukberibadah dan menjadikan ibadah segala-galanya.Anak-anak yang ingin bermain dimarahi dengan keras dan ketika suaranya mulai mengganggu,anak itu disumpal dan dihukum.Orang-orang yang kecanduan ibadah lebih mengedepankan ritual daripada perbuatan baik.

Manusia yang addicted atau kecanduan apa pun tidak menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan orang lain, bahkan dapat merusak satu generasi yang di bawahnya. Kecanduan yang juga tengah ramai dibicarakan adalah internet.

Di era Cracking Zone ini, manusia Indonesia sudah mulai beralih dari kebiasaan menyeruput kopi dan teh menjadi berselancar di internet, membuka BlackBerry atau SMS, setiap kali matanya terbuka di pagi hari. Tapi pernahkah kita berpikir, bangsa Indonesia mulai kecanduan minyak?

Boros dan Berlebihan 
Dari literatur yang pernah saya dalami, diketahui kepuasan yang semula didapatkan lama-lama menjadi beban karena ia terus menagih dan sulit dihentikan selain mengonsumsinya lagi. Jadi konsumsi bukan dilakukan karena kebutuhan dasar, melainkan untuk kepuasan diri.

Lantas bagaimana efeknya? Manusia yang kecanduan dapat merusak diri dan keluarganya dan kalau tidak terpenuhi, mereka akan mencuri atau menipu untuk memenuhi kepuasannya. Orang-orang yang kecanduan pun kesulitan meniti kariernya karena menguras waktu.Tidak fokus dan tidak produktif. Membeli kerupuk dan sate yang lokasinya ada di sudut jalan saja harus memakai sepeda motor.

Padahal berjalan kaki saja bisa. Harusnya menuju lokasi beramai-ramai dalam satu kendaraan,tetapi kita memilih pergi sendiri-sendiri. Satu orang dibantu satu sopir dalam satu mobil. Kita protes kepada pemerintah yang tak menyediakan transportasi alternatif dengan baik, tetapi akhir pekan ketika jalan lapang pun kita tak menggunakan kendaraan umum yang kosong dan nyaman.

Di jalan raya, orang-orang yang kecanduan minyak sangat mudah disulut keributan. Orang begitu mudah membunyikan klakson kalau kepepet dan cenderung tak mau memberi jalan kepada orang lain yang lebih dulu berada di perempatan jalan.Dengan subsidi yang besar, orang yang kecanduan minyak gemar mengikuti rombongan besar dan ikut geng motor.

Tarik-tarikan sepeda motor melebar di berbagai kota membuat perilaku anak-anak muda berubah.Dari masjid di bulan puasa menjelang sahur, mereka tumpah di jalan raya kebut-kebutan. Takbir tak lagi riuh di masjid, tetapi pindah ke jalan raya. Dan seperti kecanduan heroin, orang yang tak bisa membeli kendaraan pun terlibat dalam kejahatan.Lihatlah statistik pencurian kendaraan bermotor terus naik.

Pada tahap pembelian saja penipuan sudah marak. Dealer kendaraan roda dua dan empat mulai mengeluh karena pegawainya hanya asyik melepas kendaraan dan mengabaikan kualitas pembayaran. Demikian pula angka kematian di jalan raya. Subsidi BBM yang tak terkendalikan telah membuat bangsa ini ketagihan minyak.

Diduga lebih dari 60% konsumsi BBM masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan, adalah subsidi untuk orangorang yang kecanduan minyak, bukan untuk nelayan atau petani. Jadi buat apa saling mengancam atau takut mengurangi subsidi minyak? Kalau subsidi dialihkan,mungkin akan lebih banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya.

Ekonomi Minyak 
Kenaikan harga minyak dunia memang sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari. Efeknya sangat luas, termasuk pada kenaikan harga pangan dunia.Ketakutan para pemimpin dunia terhadap kenaikan harga minyak diatasi dengan berbagai cara. Ada yang berani menghadapi realitas dengan mengurangi subsidi, tetapi ada juga yang menunda masalah.

Ada bangsa yang bergelut dalam riset untuk menemukan energi terbarukan, tetapi juga ada yang mendiamkannya. Dengan penduduk yang mendekati 7 miliar jiwa, mau tidak mau dunia sangat membutuhkan minyak. Dari berbagai sumber energi, saat ini fossil fuel mewakili 87% energi yang dikonsumsi manusia.

Akibatnya,minyak telah menjadi komoditas spekulatif. Ketakutan terhadap kelangkaannya mendorong harga naik terus, sementara nilai dolar Amerika Serikat (AS) pada dekade terakhir merosot lebih dari 40%. Produsen minyak menuntut dolar yang lebih banyak dari setiap barel yang mereka kapalkan.

Maka bila harganya pada awal tahun 2000 baru sekitar USD25, selanjutnya melejit menjadi di atas USD100 per barel pada beberapa tahun terakhir ini. Hal itu diperburuk oleh negara-negara penghasil minyak yang enggan menaikkan suplai. Negara-negara maju yang tak punya minyak tidak mau mengalami ketergantungan.

Mereka mengubah pangan menjadi energi. Pilihan jatuh pada jagung (bioetanol), tebu, sawit,biji bunga matahari,dan sebagainya. Di Amerika Serikat, 1/3 output pertanian telah dialihkan menjadi bahan bakar. Ini berakibat pasokan pangan dunia terganggu. Harga jagung saja diperkirakan telah meningkat di atas 73% sejak tahun 2007. Lantas siapakah yang bakal kesulitan dengan fenomena ini?

Pertama, kesulitan akan dialami oleh bangsa-bangsa yang kecanduan minyak,tetapi tak punya sumber daya alam yang memadai. Kedua, kesulitan akan dirasakan oleh negara-negara yang sektor pertaniannya tidak dikembangkan dengan baik.

Dan ketiga, bencana akan dirasakan oleh para penerus suatu bangsa yang tidak memiliki pemimpin yang berani memindahkan subsidi minyak kepada subsidi langsung kepada para petanipetaninya untuk menghasilkan pangan yang produktif.

 RHENALD KASALI
 Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar