Anda pernah melihat orang kecanduan, bukan? Bentuk kecanduan sangat
luas. Dulu kita hanya menyebut zat-zat adiktif seperti
nikotin,kafein,heroin,dan alkohol yang menyebabkan manusia ketagihan
atau ketergantungan.
Tapi sekarang Andabisa menyaksikan
1.001 bentuk ketergantungan dan kecanduan. Judi, seks, gambar porno,
makanan,belanja, dan bahkan korupsi bisa membuat manusia kecanduan dan
ketagihan. Studi-studi dalam ilmu perilaku konsumen menemukan, untuk
mengatasi kecemasannya,manusia bukan mengurangi konsumsi, melainkan
menambah konsumsinya.
Maka manusia modern bukan hanya
mengenal kata alkoholik, melainkan juga workaholic (kecanduan bekerja)
dan shopaholic (kecanduan belanja). Daftar kecanduan pun meluas terus
sejalan dengan perubahan teknologi dan kehidupan. Hanya dalam tempo
beberapa hari pada 2012 kita mulai mendengar beberapa kejadian
sekaligus.Cheryl Zerbe Taylor, misalnya, memperkenalkan istilah
spiritual obsession addiction.
Dalam kajiannya,Taylor
mencontohkan sebuah keluarga yangaktifberkumpuluntukberibadah dan
menjadikan ibadah segala-galanya.Anak-anak yang ingin bermain dimarahi
dengan keras dan ketika suaranya mulai mengganggu,anak itu disumpal dan
dihukum.Orang-orang yang kecanduan ibadah lebih mengedepankan ritual
daripada perbuatan baik.
Manusia yang addicted atau
kecanduan apa pun tidak menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan
orang lain, bahkan dapat merusak satu generasi yang di bawahnya.
Kecanduan yang juga tengah ramai dibicarakan adalah internet.
Di
era Cracking Zone ini, manusia Indonesia sudah mulai beralih dari
kebiasaan menyeruput kopi dan teh menjadi berselancar di internet,
membuka BlackBerry atau SMS, setiap kali matanya terbuka di pagi hari.
Tapi pernahkah kita berpikir, bangsa Indonesia mulai kecanduan minyak?
Boros dan Berlebihan
Dari
literatur yang pernah saya dalami, diketahui kepuasan yang semula
didapatkan lama-lama menjadi beban karena ia terus menagih dan sulit
dihentikan selain mengonsumsinya lagi. Jadi konsumsi bukan dilakukan
karena kebutuhan dasar, melainkan untuk kepuasan diri.
Lantas
bagaimana efeknya? Manusia yang kecanduan dapat merusak diri dan
keluarganya dan kalau tidak terpenuhi, mereka akan mencuri atau menipu
untuk memenuhi kepuasannya. Orang-orang yang kecanduan pun kesulitan
meniti kariernya karena menguras waktu.Tidak fokus dan tidak produktif.
Membeli kerupuk dan sate yang lokasinya ada di sudut jalan saja harus
memakai sepeda motor.
Padahal berjalan kaki saja bisa.
Harusnya menuju lokasi beramai-ramai dalam satu kendaraan,tetapi kita
memilih pergi sendiri-sendiri. Satu orang dibantu satu sopir dalam satu
mobil. Kita protes kepada pemerintah yang tak menyediakan transportasi
alternatif dengan baik, tetapi akhir pekan ketika jalan lapang pun kita
tak menggunakan kendaraan umum yang kosong dan nyaman.
Di
jalan raya, orang-orang yang kecanduan minyak sangat mudah disulut
keributan. Orang begitu mudah membunyikan klakson kalau kepepet dan
cenderung tak mau memberi jalan kepada orang lain yang lebih dulu berada
di perempatan jalan.Dengan subsidi yang besar, orang yang kecanduan
minyak gemar mengikuti rombongan besar dan ikut geng motor.
Tarik-tarikan
sepeda motor melebar di berbagai kota membuat perilaku anak-anak muda
berubah.Dari masjid di bulan puasa menjelang sahur, mereka tumpah di
jalan raya kebut-kebutan. Takbir tak lagi riuh di masjid, tetapi pindah
ke jalan raya. Dan seperti kecanduan heroin, orang yang tak bisa membeli
kendaraan pun terlibat dalam kejahatan.Lihatlah statistik pencurian
kendaraan bermotor terus naik.
Pada tahap pembelian saja
penipuan sudah marak. Dealer kendaraan roda dua dan empat mulai mengeluh
karena pegawainya hanya asyik melepas kendaraan dan mengabaikan
kualitas pembayaran. Demikian pula angka kematian di jalan raya. Subsidi
BBM yang tak terkendalikan telah membuat bangsa ini ketagihan minyak.
Diduga
lebih dari 60% konsumsi BBM masyarakat Indonesia, khususnya di
perkotaan, adalah subsidi untuk orangorang yang kecanduan minyak, bukan
untuk nelayan atau petani. Jadi buat apa saling mengancam atau takut
mengurangi subsidi minyak? Kalau subsidi dialihkan,mungkin akan lebih
banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya.
Ekonomi Minyak
Kenaikan
harga minyak dunia memang sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari.
Efeknya sangat luas, termasuk pada kenaikan harga pangan dunia.Ketakutan
para pemimpin dunia terhadap kenaikan harga minyak diatasi dengan
berbagai cara. Ada yang berani menghadapi realitas dengan mengurangi
subsidi, tetapi ada juga yang menunda masalah.
Ada bangsa
yang bergelut dalam riset untuk menemukan energi terbarukan, tetapi
juga ada yang mendiamkannya. Dengan penduduk yang mendekati 7 miliar
jiwa, mau tidak mau dunia sangat membutuhkan minyak. Dari berbagai
sumber energi, saat ini fossil fuel mewakili 87% energi yang dikonsumsi
manusia.
Akibatnya,minyak telah menjadi komoditas
spekulatif. Ketakutan terhadap kelangkaannya mendorong harga naik terus,
sementara nilai dolar Amerika Serikat (AS) pada dekade terakhir merosot
lebih dari 40%. Produsen minyak menuntut dolar yang lebih banyak dari
setiap barel yang mereka kapalkan.
Maka bila harganya
pada awal tahun 2000 baru sekitar USD25, selanjutnya melejit menjadi di
atas USD100 per barel pada beberapa tahun terakhir ini. Hal itu
diperburuk oleh negara-negara penghasil minyak yang enggan menaikkan
suplai. Negara-negara maju yang tak punya minyak tidak mau mengalami
ketergantungan.
Mereka mengubah pangan menjadi energi.
Pilihan jatuh pada jagung (bioetanol), tebu, sawit,biji bunga
matahari,dan sebagainya. Di Amerika Serikat, 1/3 output pertanian telah
dialihkan menjadi bahan bakar. Ini berakibat pasokan pangan dunia
terganggu. Harga jagung saja diperkirakan telah meningkat di atas 73%
sejak tahun 2007. Lantas siapakah yang bakal kesulitan dengan fenomena
ini?
Pertama, kesulitan akan dialami oleh bangsa-bangsa
yang kecanduan minyak,tetapi tak punya sumber daya alam yang memadai.
Kedua, kesulitan akan dirasakan oleh negara-negara yang sektor
pertaniannya tidak dikembangkan dengan baik.
Dan ketiga,
bencana akan dirasakan oleh para penerus suatu bangsa yang tidak
memiliki pemimpin yang berani memindahkan subsidi minyak kepada subsidi
langsung kepada para petanipetaninya untuk menghasilkan pangan yang
produktif.
RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar