Masih adakah energi murah di atas muka bumi ini? Pertanyaan ini
dijawab setiap bangsa dengan catatan berbeda-beda. Brasil dan Norwegia
adalah dua negara yang beruntung karena oil powerhouse-nya,Petrobraz dan
Statoil, berhasil mengembangkan teknologi laut dalam, sehingga mampu
mengeksplorasi minyak di mancanegara.
Saat bahan bakar
berbasiskan fosil yang ada di atas permukaan bumi mulai menipis,
keduanya justru berjaya di laut dalam. China di sisi lain, memanjakan
empat BUMN-nya dengan berbagai insentif dan harga minyak dalam negeri
yang tinggi, sehingga berhasil membangun kilang-kilang besar di
mancanegara dan mendapatkan jaminan suplai dari Sudan, Arab Saudi dan
Venezuela. Petronas juga dikembangkan dengan cara yang sama, sehingga
mampu menjalankan peran sebagai penjamin masa depan energi Malaysia.
Harga
boleh berubah-ubah, tetapi rakyatnya tenang. Dengan cara berbeda,
Amerika Serikat, Rusia, dan Kanada menemukan cadangan-cadangan baru,
baik minyak maupun gas dengan teknologi canggih. Mereka bisa
menghasilkan minyak dan gas murah dengan sejumlah catatan: cadangan
besar terkonsentrasi, teknologi terus dikembangkan, insentif terus
diberikan pada pengusaha perminyakan, dividen tidak diambil pemegang
saham, ada kepastian berusaha yang memadai, infrastruktur prima dan
korupsinya terkendali.
Bagaimana Indonesia? Selain
cadangan minyaknya tidak besar, cadangan minyak dan gas yang kita miliki
menyebar dalam volume kecil-kecil di lokasi yang berjauhan. Keadaan ini
berbeda sekali dengan cadangan yang dimiliki negara-negara lain seperti
Qatar, Arab Saudi, Brasil, Venezuela, atau Malaysia sekalipun. Sudah
demikian, insentif yang diberikan untuk investasi migas tidak memadai,
bahkan dividennya lebih banyak diperah untuk menambal APBN, sehingga
BUMN energi tidak memiliki kesempatan berinvestasi dalam teknologi dan
ladang-ladang minyak baru di mancanegara.
Cara berpikir
kita sangat lokal, domestik, jangka pendek dan konsumsi. Jangan lupa
juga kita tinggal di negara kepulauan dengan azas kesatuan, namun payah
infrastrukturnya. Ini belum ditambah dengan ruwetnya birokrasi dan
bisingnya kicauan politik dengan segala conflict of interest yang mengacaukan pikiran anak bangsa.
Jadi
energi murah, mohon maaf, sudah tidak ada lagi bagi Indonesia kecuali
kita mempercepat pembangunan infrastruktur sampai ke daerah-daerah
terpencil, mengembangkan teknologi baru, mendorong BUMN migas menjamin
masa depan energi bangsa dengan investasi besar-besaran dan tentu saja
masyarakat yang cerdas, berpikir logis dan tak mudah terprovokasi oleh
janji-janji bohong. Kalau survei hendak diajukan, isinya tidak boleh
lagi setuju atau tidak setuju harga BBM dinaikkan.
Akal
sehat saya mengatakan, survei seperti ini sama dengan menanyakan anak
sekolah dasar pilih yang mana, masuk surga atau neraka? Jawabannya pasti
sudah jelas. Survei yang cerdas hanya membandingkan BBM murah, tapi
tidak terjamin ketersediaan dan masa depannya, atau harga dinaikkan
tetapi masa depan terjamin. Tetapi kalau cara kerjanya buruk, yang
terjadi adalah harga naik dan mahal, ketersediaan buruk, jaminan masa
depan energi tidak ada.
Bangun Logika Cerdas
Suasana
politik seperti ini memang sungguh merisaukan. Pengambilan keputusan
serba sulit, saling mengunci dan saling membohongi. Anda kaum cerdas
mungkin bisa membedakan mana pemimpin yang baik dan benar serta mana
politisi jujur dan yang mengaburkan masalah. Namun bagi rakyat kecil,
perdebatan harga BBM sudah tidak jelas lagi.
Di beberapa
stasiun pompa bensin, saya masih bisa menemukan pengemudi sepeda motor
yang dengan kesadaran penuh membeli bensin nonsubsidi. Sayangnya, jumlah
mereka tidak banyak. Sebagian besar rakyat tentu mengantre di jalur
subsidi,dan tentu saja mereka mengaku sangat berkeberatan menggunakan
BBM nonsubsidi atau BBM subsidi yang dinaikkan harganya.
Namun,
mengapa seseorang bersedia membeli harga nonsubsidi perlu menjadi
perhatian pembuat kebijakan. Semula saya berpikir orang yang saya temui
di jalur nonsubsidi adalah rakyat yang kaya dengan pendapatan tinggi.
Kalau tidak demikian, mungkin ia orang yang taat beribadah dan tahu
persis bahwa subsidi BBM itu bukan haknya. Pikiran saya menerawang pada
iklan-iklan yang dikeluarkan Kementerian ESDM yang menjelaskan siapa
yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi.
Ternyata tidak.
Orang yang saya temui ini mengatakan pertimbangannya logis saja.
Pertama, ia tahu BBM murah identik dengan perawatan mesin yang mahal.
Kedua,BBM murah membuat pengeluarannya boros, dan tarikan mesinnya
terhambat. Ia mengaku dirinya bukanlah seorang yang religius, bukan
penonton setia acara televisi, dan bukan pendukung partai yang
berkuasa.
Sebagai warga negara, saya tentu maklum dengan
kondisi birokrasi, ketentuan perundang- undangan yang carut marut,
koordinasi yang amburadul, situasi politik yang membingungkan dan
infrastruktur yang buruk menyulitkan kita untuk mendapatkan BBM murah.
Namun membiarkan rakyat hidup dalam logika yang tidak cerdas, bukanlah
pilihan yang harus diambil baik oleh partai yang berkuasa, pemerintah,
ilmuwan, pengamat politik, atau bahkan oleh oposisi sekalipun.
Bangsa
ini perlu mereposisi dari cara memimpin bodoh-bodohan kepada cara
cerdas yang berpikir jauh ke depan dan berorientasi pada kepentingan
jangka panjang, yaitu energy security. Tanpa ketersediaan energi, bangsa ini tak akan pernah maju.
RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan
super sekali...
BalasHapus