Pekan lalu saya diminta sahabat-sahabat saya dari Kementerian Perdagangan untuk berbicara tentang national branding(yang sudah saya uraikan minggu lalu).
Saya
sebut mereka sahabat- sahabat karena suatu ketika saya pun pernah
bersama- sama dengan mereka dan sebagian besar masih saya kenali.
Bedanya, sekarang mayoritas sudah aktif berbahasa Inggris. Mungkin ini
karena arahan Menteri Gita Wirjawan yang sadar pentingnya bahasa dalam
diplomasi pasar global. Dulu sewaktu saya memasuki Kantor Departemen
Perdagangan, para pejabat dan menteri tengah sibuk ganti logo. Hasilnya
logo berbentuk payung yang ada warna hijau dan birunya.
Sekarang,
tak lama setelah menterinya berganti, logo baru yang lebih sederhana
sudah tersemat di dada para pejabatnya, payungnya sudah hilang. Cukup
warna dasar biru dengan tulisan “Kementerian” (bukan lagi “Departemen”)
Perdagangan. Saya berharap tiga tahun lagi, yang diganti menteri baru
bukan logonya, tetapi paradigmanya, yaitu cara berpikirnya. Bukankah
perubahan belum pernah terjadi sebelum manusia berhasil mengubah cara
berpikirnya? Maksud saya, cara berpikir para follower, para
aparatur negara, pejabat, dan birokrat yang sehari-hari mengurusi
perizinan dan masyarakat. Sebab, reformasi birokrasi itu sebenarnya
adalah peningkatan pelayanan.
Itu pun kalau menterinya sudah benar-benar memiliki cara pandang baru yang lebih match,
lebih pas dengan tuntutan zaman, supaya kompetitif di pasar global dan
domestik. Pasalnya, kalau melihat data statistik, ekspor Indonesia
memang naik terus. Januari 2012 ini saja, ekspor Indonesia mencapai USD
15,49 miliar, naik 6% dibandingkan Januari tahun lalu.
Dari
jumlah itu, ekspor migas semakin hari semakin kecil, yaitu tinggal USD
2,97 miliar atau 18,05% dari total ekspor kita. Padahal, di era kejayaan
migas Indonesia, dulu kita pernah menuai 60–70% pendapatan ekspor dari
migas. Bagi para penggagas diversifikasi ekspor yang dipikirkan 25 tahun
lalu, jelas ini suatu kemajuan. Lantas bagaimana legacy perubahan
menteri-menteri sekarang untuk Indonesia 25 tahun ke depan?
Ekspor atau Marketing
Kata
“ekspor” memang masih lazim dipakai oleh banyak negara. Namun dalam
literatur pemasaran internasional, kata ini sudah jarang disebut.
Maklum, ekspor berkonotasi bisnis “gampang-gampangan”, cuma “membuang”
kelebihan kapasitas produksi yang tak terserap di pasar domestik ke luar
negeri. Cara “gampang-gampangan” ini pun tidak mudah untuk diubah.
Ekportir bisa marah besar dibilang bisnisnya “gampang- gampangan”. Tapi
begitulah Change! Manusia lebih sulit membuang kebiasaan dan paradigma
lama daripada mengadopsi sesuatu yang baru.
Mereka bisa
mengadopsi bisnis batu bara atau kelapa sawit, tetapi membuang memori
“ekspor” atau cara-cara dagang ekspor, susahnya setengah mati. Di pabrik
jamu saja ada puluhan produk minuman kesehatan baru dibuat, tetapi jamu
beri-beri tetap diproduksi kendati orang yang terkena penyakit
beri-beri sudah hampir tidak ada. Mengapa cara “ekspor” disebut cara
“gampang-gampangan” dan sulit dibuang? Jawabannya adalah karena itulah
cara termudah.
Barang yang diekspor sama dengan yang
dibuat di dalam negeri. Kalaupun disesuaikan, ya hanya sedikit sekali
yang harus diutak-atik. Kemasannya juga sama. Nama mereknya juga sama.
Atau kemasannya dikupas sama sekali, menjadiunbranded. Tinggal terserah yang membeli di luar negeri mau dibungkus lagi dengan merek buatan mereka (repacking) atau dijual dalam bentuk komoditas polos (unbranded). Karena itu pulalah distribusinya pun sederhana saja. Tanyakanlah secara random kepada
para pemilik produk atau komoditas Indonesia. Ambil saja 100 responden
secara acak (gunakan tabel nomor random).Anda pasti akan mendapatkan
jawabannya.
Mereka pasif menunggu orang datang ke sini,
memesan barang- barang mereka untuk diperdagangkan keluar negeri. Jadi
kalau Anda melihat barang-barang asal Indonesia di luar negeri,
sesungguhnya itu bukan sesuatu yang dipasarkan dengan prinsip-prinsip
bisnis internasional yang modern. Barang-barang itu dibawa para pedagang
yang melihat adanya permintaan, misalnya permintaan dari para TKI yang
jumlahnya cukup besar di Arab Saudi, Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan
Malaysia atau dari para mahasiswa asal Indonesia di Australia, Amerika
Serikat, dan Eropa Barat. Itu untuk barang-barang konsumsi.
Sebut
saja jamu, permen, kacang, kecap, sambal, terasi, daun salam, dan ikan
asin. Lalu bagaimana dengan komoditas yang dipungut dari alam seperti
kopi, kakao, minyak sawit, nikel, biji besi, dan batu bara? Caranya
ternyata sama saja, diekspor dari tempat asalnya. Sedikit sekali
eksportir komoditas jenis ini yang mau bersungguh-sungguh
mencengkeramkan kakinya di pasar global. Kantor dagangnya ya di sini
saja. Petugasnya menunggu pembeli datang. Pasif. Apa akibatnya?
Indonesia menjadi ramai oleh para pembeli yang berdatangan ke sini.
Bisnis
penerbangan dan hotel di pusat-pusat komoditas ramai didatangi
pembeli-pembeli komoditas dari China, India,Korea Selatan, Jepang, dan
orang-orang Barat. Tapi akibatnya mereka ingin berhubungan langsung
dengan petani dan pemilik lahan. Semula pembeli, berikutnya jadi
pesaing. Mereka memainkan harga kopi, kakao, nikel, ikan, dan
seterusnya. Paradigma ini jelas harus segera diperbaharui. Kalau ingin
menjadi global player yang disegani,Indonesia harus benar-benar
mempersiapkan pelaku-pelaku usahanya menjadi world class company.
Ini
berarti Indonesia perlu mengubah cara berpikirnya, yaitu cara-cara
global player. Bahkan birokratnya pun harus kelas dunia, baik
pengetahuan, sistem, governance maupun pelayanannya. Jadi
menurut hemat saya, kata ekspor pun harus diganti menjadi global
marketing. Harus ada niat sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mencetak
global brand Indonesia seperti upaya Malaysia mencetak merek sepatu
Vinci dan tas kulit Bonia sebagai regional player yang disegani. Bahkan
sekarang Malaysia sedang giat mempromosikan snack cokelat merek Barley
di pasar global, termasuk di sini. Padahal kakaonya diambil dari
Sulawesi.
Global marketing antara lain ditandai
dengan dibentuknya kantor-kantor perwakilan dagang perusahaan di luar
negeri, bahkan membangun atau mengakuisisi pabrik lain di luar negeri
seperti yang dilakukan Indofood di beberapa negara (Afrika, Timur
Tengah, dan beberapa negara Asia).Dengan kantor-kantor dagang itu,
dilakukan upaya pengendusan pasar dan membuka jalur-jalur distribusi
baru sekaligus.
Tidak terlalu sulit, tetapi tentu ada
risikonya bila tidak dimonitor dari kantor pusat. Jadi apa yang mau
dicapai dari ekspor cara gampang-gampangan ini? Tanpa global player,
perwakilan dagang Pemerintah Indonesia di luar negeri bakal
pontang-panting menerima keluhan pembeli yang kata birokrat
permintaannya bagus, tapi bagi eksportir jumlahnya tidak menarik.
RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar