Tak dapat dipungkiri, setiap bangsa punya sisi plus dan minus. India,
misalnya, dikenal sebagai bangsa pekerja keras dengan nilai-nilai
budaya dan spiritual tinggi.
Tetapi dalam berbagai
pemberitaan, India selalu dikaitkan dengan luapan penumpang kereta api,
kesemrawutan, jorok, dan kemiskinan. Negara-negara maju dan kaya sama
saja. Mereka punya sistem pendidikan dan kesehatan bagus, lalu lintas
tertib, lapangan kerja terjamin, dan bebas korupsi. Namun di sisi lain,
sebagian penduduknya punya masalah kebahagiaan, sektor keuangannya egocentrist, rendahnya ikatan-ikatan sosial yang membuat hubungan antargenerasi menjadi datar, tingkat stres tinggi, dan seterusnya.
Demikian
pula dengan Indonesia, ada orang terkaya di dunia dan ada yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Ada yang asyik menghisap sabu-sabu dan ada yang
memilih jalan bunuh diri. Ada penerima Olimpiade Fisika, namun tak
sedikit yang sekolahnya ambruk. Perusahaan asal Indonesia adalah pembeli
pesawat terbang Boeing, konsumen alat-alat berat, dan sepeda motor
terbesar di dunia.
Namun yang sering diberitakan adalah
konflik, tawuran, tabrakan, pesawat jatuh, banjir, korupsi, dan
kemiskinan. Indonesia adalah sebuah negara dengan nation branding yang tak jelas. Sudah tak jelas, masih bisa dibuat lebih tidak jelas lagi kalau para elite tak berhati-hati.
Manipulasi Persepsi
Citra
yang tidak jelas, jelas sebuah masalah. Karena itulah, ia harus
dibenahi, diperbaiki. Dari mana membenahinya? Insan-insan periklanan
bisa datang dengan segudang konsep, dengan dalih nation branding tentunya. Namun harap diingat, dunia pencitraan memiliki dua mazhab.Yang pertama mazhab propaganda dan yang kedua mazhab integrity.
Mazhab
propaganda adalah warisan dari era peperangan yang percaya bahwa
“musuh” harus ditaklukkan dengan memanipulasi pikiran para prajurit di
negeri seberang bahwa jenderal (panglima) mereka telah berhasil
ditaklukkan atau dipermalukan. Berbagai fakta-fakta bohong diciptakan
dan disebarkan sehingga terkesan dapat dipercaya.
Di era
pasca perang,mazhab propaganda berganti baju, berevolusi menjadi alat
manipulasi persepsi yang dibuat melalui pendekatan media elektronik (TV)
dan virtual (internet). Iklan, video, atau kampanye “public relations” banyak dipakai untuk memanipulasi persepsi. Para pengikut mazhab ini percaya bahwa “perception is reality”. Benar, apa yang ditangkap melalui persepsi membentuk pandangan tentang realitas.
Namun, begitu suatu realitas sulit diperbaiki, mereka lari ke dunia gaib, dunia pikiran. Bukan reality yang
diperbaiki agar membentuk persepsi, melainkan persepsi itulah yang
dimanipulasi. Cara kerjanya benar-benar hebat seperti dukun yang
menggunakan setan atau jin, tetapi memulai layanannya dengan ayat-ayat
kitab suci yang membuat pasiennya percaya bahwa dukun yang dihadapinya
adalah “dukun putih”.
Dukun tukang manipulasi persepsi ini pun memulai tesisnya dengan pentingnya “honesty”,
namun diakhiri dengan membuat Anda menyerah bahwa ujungnya Anda harus
membuat iklan dan abaikan persoalan-persoalan yang ada. Hebat bukan!
Entah karena kurang ilmu, entah karena conflict of interest, pengonsepannya di sini menjadi rancu. Nation branding itu kalau dalam perusahaan sejajar dengan corporate branding, bukan product branding.
Pemimpin corporate itu namanya CEO. Kalau pemimpin a nation ya
tentu saja kepala pemerintahan atau kepala negara. Kalau pemimpin
departemen, ya namanya menteri yang memimpin secara sektoral. Jadi lucu
juga kalau nation brandingIndonesia dijalankan oleh menteri.
Ini reduksi namanya. Orang di seluruh dunia bisa bertanya, Indonesia itu
ada presidennyakah? Aneh tapi nyata, nation of branding di Indonesia ini digembar- gemborkan oleh menteri.
Pertanyaannya,bagaimana koordinasinya? Apakah ini benar-benar niat membangun branding atau sekadar cari uang proyek dari penempatan iklan? Lantas bagaimana sektor-sektor yang terkait? Harap diingat, nation branding itu adalah bagian dari marketing places yang
cakupannya interdepartemen, mulai dari tempat untuk berwisata, tempat
tinggal,tempat berobat, tempat sekolah, serta tempat berinvestasi dan
menghasilkan barang-barang ekspor.
Karena itulah, perlu dipahami mazhab kedua yaitu mazhab integrity. Mazhab integrity bukan tidak percaya bahwa “perception is reality”, melainkan titik awalnya harus dari sisi “reality”. Apalagi ini abad internet dengan generasi baru yang disebut gen c yang connected (terhubung) dan curious (memiliki rasa ingin tahu yang besar) dan pembaharu-pembaharunya berkelakuan crakers.
Manipulasi persepsi itu mudah sekali diurai dan dipatahkan. Inilah abad
di mana reality tidak dapat lagi dikemas lebih baik dari isinya. Maka
integritas menjadi penting.
Dalam abad ini, reality creates perception. Setiap realitas bahkan akan menemukan pintu persepsinya sendiri. Caranya? Ikuti saja global standard,
buat segala sesuatu lebih bagus. Perbaiki infrastruktur, keamanan,
pembuangan sampah, dan ciptakan daya tarik. Dari pada uangnya dipakai
buat beriklan lebih baik perbaiki dahulu sanitasi. Jadi semuanya harus
menyatu dan kerjanya tak boleh sendiri-sendiri. Nation branding adalah sebuah kerja bareng, sebuah konsensus!
Rhenald Kasali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar