Setiap tahun kita mendengar orang-orang kaya Indonesia bertambah
terus. Diperkirakan 8-9 juta orang setiap tahun naik menjadi kelas
menengah. Diperkirakan saat ini 56.5% dari 237 juta warga Indonesia
sudah menjadi warga kelas menengah, meski sekitar 29 juta-an masuk
dalam kategori miskin.
Indonesia telah menjadi negeri
penenggak air mineral terbesar di dunia, dan tak pernah protes kendati
harga per liter air mineral dalam kemasan bisa lebih mahal dari harga
BBM (Premium). Indonesia juga menjadi negara terbesar pembeli sepeda
motor (tahun 2011, 8.1 juta unit). Perbankan juga sangat progresif,
dengan jumlah rekening koran sebesar 101 juta (menurut data Lembaga
Penjamin Simpanan). Jadi pertumbuhan kantor cabang bank tercepat di
dunia saat ini ada di sini. Membuka 100 kantor cabang dalam setahun
adalah hal biasa bagi bank-bank di Indonesia, sedangkan di negara
ASEAN, membuka lima cabang dalam setahun susahnya setengah mati.
Di
antara para pembuka rekening itu, ternyata kontributor terbesar adalah
rekening-rekening pribadi di atas 5 miliar rupiah, yang enam bulan
lalu tercatat memasuki 41.21% dari seluruh nilai simpanan di bank.
Wajar jika mereka sungguh merepotkan otoritas di bandara yang terlambat
memperbesar kapasitas sehingga bandara menjadi sangat sempit. Di
Bandara Soekarno-Hatta saja, setahun tercatat lebih dari 50 juta
penumpang (2011) terbang.
Seorang pemimpin rumah sakit
pemerintah milik daerah mengatakan rata-rata dokter di RSUD yang ia
pimpin bisa membawa variable income antara 10.5 juta rupiah (terendah)
hingga 100.7 juta rupiah (tertinggi). Pendapatan terbesar itu diperoleh
dari pelayanan pada pasien Gakin (Keluarga Miskin). Hanya saja, ia
menyesalkan, pelayanan para dokter terhadap pasien miskin ini belum
membaik: Sering terlambat dan dipandang sebelah mata.
Guru-guru
di Jakarta dan kota-kota besar lainnya kini juga mulai beralih dari
mencicil sepeda motor ke mobil-mobil murah. Maklum saja, gajinya banyak
yang sudah mencapai Rp. 8 juta perbulan. Tak berlebihan bila jumlah
ponsel yang dimiliki penduduk dari Sinabang di Pulau Simeulue, sampai
ke pelosok Nusantara sudah mencapai 280 juta unit. Meski demikian,
harus diakui pula, sebagian besar warga hidup dari sektor mikro dan
informal yang hidup tanpa jaminan sosial memadai dan menjadi kejaran
Satpol PP. menurut kantor Kementrian Koperasi dan UMKM jumlahnya
mencapai 54,5 juta dan menampung sekitar 111 juta tenaga kerja.
Hebat
ya kelas menengah kita. Data-data ini dipakai orang bisnis yang bebas
dari kepentingan politik. Tapi sayangnya, kelas menengah yang
hebat-hebat ini ternyata masih mengkonsumsi subsidinya kaum miskin,
senang bergaya hidup – tetapi kalau bisa dapat yang disubsidi juga tak
ditolak.
Harga Tak Wajar
Dengan
berbagai dalih saya membaca media massa dan melihat di televisi, para
“pengamat kaya” mewakili cara berpikir kelas menengah yang enggan
berubah itu. Mereka berpandangan populis bahwa BBM kita sudah terlalu
mahal. Ada yang memakai logika cost accounting yang sangat logis, namun
mengaburkannya dengan mengabaikan biaya-biaya transportasi dan
manajemen usaha. Harga yang disajikan tepat sekali, tetapi kita tidak
diberitahu bahwa harga segitu hanya berlaku kalau rakyat bisa membeli
di bibir sumur yang menampung minyak. Harga serendah itu juga
mengabaikan aspek reinvestasi atau perawatan yang dibutuhkan untuk
pengembangan usaha.
Dengan demikian harga BBM Indonesia
(Ron 88) yang dijual seharga Rp. 4.500,- kita nikmati dengan nafas
lega. Sangat lega. Bahkan membuat anak-anak kita bebas trek-trekan,
atau membeli sate sejauh lima kilometer, kendati di mulut gang sudah
tersedia sate yang enak. Sementara kelas menengah di Thailand harus
membayar Rp. 12.453,- (Blue gasoline 91) di Filipina (unleaded)
Rp.12.147,- dan Singapura (grade 92) RP. 15.695,-. Demikian pula di
China yang berkisar Rp. 12.000,- semuanya memberlakukan harga
non-subsidi. Thailand sudah mematok harga BBM dunia dengan asumsi USD
140 kendati harganya belum menyentuh setinggi itu. China tahun ini
sudah menaikkan harga BBM dua kali dan sedang mengeluarkan regulasi yang
memungkinkan BUMN nya menjual harga mengikuti ketentuan pasar. Padahal
itu negeri sosialis berlambang palu dan arit.
Pantaskah
kelas menengah Indonesia yang semakin kaya ini menikmati subsidi yang
demikian besar? Tentu saja tidak! Subsidi harus sampai ke tangan
masyarakat yang membutuhkannya. Tengoklah ucapan-ucapan para politisi,
pengamat atau bahkan rakyat biasa. Semuanya mewakili kaum jelata padahal
semuanya punya mobil bagus dan anaknya dididik di sekolah mahal. Kita
menjadi seperti hansip di tahun 1990-an yang kala itu hendak
dipersenjatai oleh militer tanpa latihan yang memadai. Artinya, “yang
dibidik kaki, tetapi yang kena adalah kepala.” Kita membidik penghapusan
subsidi pada kelas menengah ke atas, tapi yang jadi tameng warga
miskin.
Alih-alih mau menolong rakyat kecil, tetapi atas
nama sikecil, kelas menengah memberontak. Saya tak membayangkan apa
jadinya perekonomian kita bila kita terus saling mengunci dan menunda
penyelesaian masalah. Kalau BBM sudah menjadi konsumsinya kelas menengah
dan sulit di-diferensiasi, maka rekyat kecil berhak mendapatkan
subsidi dalam bentuk lain yang lebih langsung. Sekolah, rumah sakit,
transportasi publik, alat-alat pertanian, perumahan, listrik, dan
sebagainya. Mengapa bisnis kontrakan rumah belakangan ini marak
sekali? Jawabnya adalah karena si miskin tak mampu mencicil sebesar
yang ditetapkan pasar, bunga banknya masih mahal.
Bicara
dengan orang kaya ternyata sudah semakin sulit di negeri ini, dan ini
berarti musibah bagi rakyat jelata. Masalah akan tetap menjadi masalah,
bahkan akan ter-eskalasi bila ditunda. Masalah itu hanya bisa diatas
bila kita mau sungguh-sungguh mengatasinya dan rela berkorban.
Jadi,
subsidi harus ditarik dari kelas menengah dan hanya diberikan pada
mereka yang berhak. Mengapa segala hal menjadi sulit belakangan ini?
Saya mnduga sebabnya ada pada rasa keadilan yang pupus di atas mau pun
di bawah. Yang korupsi tidak ditangkap, yang nyolong sandal malah
dipenjarakan. Kalau pada rakyat kecil keadilan tak ditegakkan,
kemungkinan di atas ada rasa tidak adil dalam bagi-bagi rezeki, bahkan
dalam tangkap menangkap, bongkar membongkar. Kalau para pejabat negara
banyak terlibat konflik kepentingan dan korup, pengambilan keputusan
menjadi lamban, mengambang, kurang berani, tertunda-tunda, tawar
menawar, bahkan kekuasaan menjadi tak bergigi. Kalau benar mengapa
takut? Di bawah sungguh terasa, penyelesaian tentang subsidi ini
sudah bukan logika ekonomi, melainkan tidak adanya fair play yang
membuat trust di kalangan para politisi sudah memudar. Trust itulah
bondingnya, perakat di antara kita. Rakyat masih harus berjuang membela
kepentingannya, sedangkan yang hidupnya sudah nikmat tak mau berubah.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar