Laman

Jumat, 30 Maret 2012

BBM Untuk Kelas Menengah - Jawapos 26 Maret 2012

Setiap tahun kita mendengar orang-orang kaya Indonesia bertambah terus. Diperkirakan 8-9 juta orang setiap tahun naik menjadi kelas menengah. Diperkirakan saat ini 56.5% dari 237 juta warga Indonesia sudah menjadi warga kelas menengah, meski sekitar 29 juta-an masuk dalam kategori miskin.

Indonesia telah menjadi negeri penenggak air mineral terbesar di dunia, dan tak pernah protes kendati harga per liter air mineral dalam kemasan bisa lebih mahal dari harga BBM (Premium). Indonesia juga menjadi negara terbesar pembeli sepeda motor (tahun 2011, 8.1 juta unit). Perbankan juga sangat progresif, dengan jumlah rekening koran sebesar 101 juta (menurut data Lembaga Penjamin Simpanan). Jadi pertumbuhan kantor cabang  bank tercepat di dunia saat ini ada di sini. Membuka 100 kantor cabang dalam setahun adalah hal biasa bagi bank-bank di Indonesia, sedangkan di negara ASEAN, membuka lima cabang dalam setahun susahnya setengah mati.

Di antara para pembuka rekening itu, ternyata kontributor terbesar adalah rekening-rekening pribadi di atas 5 miliar rupiah, yang enam bulan lalu tercatat memasuki 41.21% dari seluruh nilai simpanan di bank. Wajar jika mereka sungguh merepotkan otoritas di bandara yang terlambat memperbesar kapasitas sehingga bandara menjadi sangat sempit. Di Bandara Soekarno-Hatta saja, setahun tercatat lebih dari 50 juta penumpang (2011) terbang.

Seorang pemimpin rumah sakit pemerintah milik daerah mengatakan rata-rata dokter di RSUD yang ia pimpin bisa membawa variable income antara 10.5 juta rupiah (terendah) hingga 100.7 juta rupiah (tertinggi). Pendapatan terbesar itu diperoleh dari pelayanan pada pasien Gakin (Keluarga Miskin). Hanya saja, ia menyesalkan, pelayanan para dokter terhadap pasien miskin ini belum membaik: Sering terlambat dan dipandang sebelah mata.

Guru-guru di Jakarta dan kota-kota besar lainnya kini juga mulai beralih dari mencicil sepeda motor ke mobil-mobil murah. Maklum saja, gajinya banyak yang sudah mencapai Rp. 8 juta perbulan. Tak berlebihan bila jumlah ponsel yang dimiliki penduduk dari Sinabang di Pulau Simeulue, sampai ke pelosok Nusantara sudah mencapai 280 juta unit.  Meski demikian, harus diakui pula, sebagian besar warga hidup dari sektor mikro dan  informal yang hidup tanpa jaminan sosial memadai dan menjadi kejaran Satpol PP.  menurut kantor Kementrian Koperasi dan UMKM jumlahnya mencapai 54,5 juta dan menampung sekitar 111 juta tenaga kerja.

Hebat ya kelas menengah kita. Data-data ini  dipakai orang bisnis yang bebas dari kepentingan politik. Tapi sayangnya, kelas menengah yang hebat-hebat ini ternyata masih mengkonsumsi subsidinya kaum miskin, senang bergaya hidup – tetapi kalau bisa dapat yang disubsidi juga tak ditolak.

Harga Tak Wajar
Dengan berbagai dalih saya membaca media massa dan melihat di televisi, para “pengamat kaya” mewakili cara berpikir kelas menengah yang enggan berubah itu. Mereka berpandangan populis bahwa BBM kita sudah terlalu mahal. Ada yang memakai logika cost accounting yang sangat logis, namun mengaburkannya dengan mengabaikan biaya-biaya transportasi dan manajemen usaha. Harga yang disajikan tepat sekali, tetapi kita tidak diberitahu bahwa harga segitu hanya berlaku kalau rakyat bisa membeli di bibir sumur yang menampung minyak. Harga serendah itu juga mengabaikan aspek reinvestasi atau perawatan yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha.

Dengan demikian harga BBM Indonesia (Ron 88) yang dijual seharga Rp. 4.500,- kita nikmati dengan nafas lega. Sangat lega. Bahkan membuat anak-anak kita bebas trek-trekan, atau membeli sate sejauh lima kilometer, kendati di mulut gang sudah tersedia sate yang enak. Sementara kelas menengah di Thailand harus membayar Rp. 12.453,- (Blue gasoline 91) di Filipina (unleaded) Rp.12.147,- dan Singapura (grade 92) RP. 15.695,-. Demikian pula di China yang berkisar Rp. 12.000,- semuanya memberlakukan harga non-subsidi.  Thailand sudah mematok harga BBM dunia dengan asumsi USD 140 kendati harganya belum menyentuh setinggi itu.  China tahun ini sudah menaikkan harga BBM dua kali dan sedang mengeluarkan regulasi yang memungkinkan BUMN nya menjual harga mengikuti ketentuan pasar. Padahal itu negeri sosialis berlambang palu dan arit.

Pantaskah kelas menengah Indonesia yang  semakin kaya ini menikmati subsidi yang demikian besar? Tentu saja tidak! Subsidi harus sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkannya. Tengoklah ucapan-ucapan para politisi, pengamat atau bahkan rakyat biasa. Semuanya mewakili kaum jelata padahal semuanya punya mobil bagus dan anaknya dididik di sekolah mahal. Kita menjadi seperti hansip di tahun 1990-an yang kala itu hendak dipersenjatai oleh militer tanpa latihan yang memadai. Artinya, “yang dibidik kaki, tetapi yang kena adalah kepala.” Kita membidik penghapusan subsidi pada kelas menengah ke atas, tapi yang jadi tameng warga miskin.

Alih-alih mau menolong rakyat kecil, tetapi atas nama sikecil, kelas menengah memberontak. Saya tak membayangkan apa jadinya perekonomian kita bila kita terus saling mengunci dan menunda penyelesaian masalah. Kalau BBM sudah menjadi konsumsinya kelas menengah dan sulit di-diferensiasi, maka rekyat kecil berhak mendapatkan subsidi dalam bentuk lain yang lebih langsung. Sekolah, rumah sakit, transportasi publik, alat-alat pertanian, perumahan, listrik, dan sebagainya.  Mengapa bisnis kontrakan rumah belakangan ini marak sekali?  Jawabnya adalah karena si miskin tak mampu mencicil sebesar yang ditetapkan pasar, bunga banknya masih mahal.

Bicara dengan orang kaya ternyata sudah semakin sulit di negeri ini, dan ini berarti musibah bagi rakyat jelata. Masalah akan tetap menjadi masalah, bahkan akan ter-eskalasi bila ditunda. Masalah itu hanya bisa diatas bila kita mau sungguh-sungguh mengatasinya dan rela berkorban.

Jadi, subsidi harus ditarik dari kelas menengah dan hanya diberikan pada mereka yang berhak. Mengapa segala hal menjadi sulit belakangan ini?  Saya mnduga sebabnya ada pada rasa keadilan yang pupus di atas mau pun di bawah.  Yang korupsi tidak ditangkap, yang nyolong sandal malah dipenjarakan. Kalau pada rakyat kecil keadilan tak ditegakkan, kemungkinan di atas ada rasa tidak adil dalam bagi-bagi rezeki, bahkan dalam tangkap menangkap, bongkar membongkar. Kalau para pejabat negara banyak terlibat konflik kepentingan dan korup, pengambilan keputusan menjadi lamban, mengambang, kurang berani, tertunda-tunda, tawar menawar, bahkan  kekuasaan menjadi tak bergigi.  Kalau benar mengapa takut?   Di bawah sungguh terasa,  penyelesaian tentang subsidi ini sudah bukan logika ekonomi, melainkan tidak adanya fair play yang membuat trust di kalangan para politisi sudah memudar. Trust itulah bondingnya, perakat di antara kita.  Rakyat masih harus berjuang membela kepentingannya, sedangkan yang hidupnya sudah nikmat tak mau berubah.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar