Sewaktu kecil saya mempunyai dua orang sahabat. Yang pertama, sebut
saja si Amir dan yang kedua Budi. Amir dan budi sama-sama baik dan
pintar, tetapi keduanya mempunyai nasib yang berbeda.
Amir kini
terlihat lebih tua dari usianya. Wajahnya lusuh dan menyimpan berbagai
masalah yang siap diletupkan. Rambutnya tipis dan banyak kerutannya.
Setiap bertemu, kami hanya mendengar keluhan dan amarah. Persis
seperti poitisi yang baru merasakan nikmatnya diberi panggung untuk
menyalah-nyalahkan orang lain. Amir sudah lima tahun menganggur, dan
setiap mminta pekerjaan selalu itolak kawan-kawan. Ia menyambung hidup
dari belas kasihan kawan-kawannya. Istrinya minta bercerai beberapa
tahun yang lalu.
Bagaimana Budi?
Kontras
sekali. Budi justru berada dititik perilaku dan aura yang berbeda
dengan Amir. Wajahnya mengeluarkan cahaya, penuh antusias, positif,
sehat, dan terlihat bahagia. Amir ingin banyak berbicara, sedangkan Budi
lebih lebih ingin mendengarkan. Amir banyak mengeluarkan kata-kata
yang memilukan. Isi BBM (Blackberry Messenger) yang ia sebarluaskan
lebih banyak nasehat dan ajaran agama yang menakut-nakuti. Sedangkan
Budi lebih banyak mengirim jokes dan informasi-informasi berharga, atau ayat-ayat kita suci yang menyejukkan.
Anda
ingin tahu apa yang membedakan keduanya? Mereka berdua adalah simbol
dari pertarungan ekonomi yang tengah di hadapi manusia-manusia
Indonesia, antara Taking Economy dan Redeem Economy. Anda berada
dibagian yang mana?
Taking economy
Amir adalah typical rata-rata
masyarakat kita yang mudah tersulut emosi. Saya ingat betul sewaktu
kecil, ia adalah pribadi yang sangat pemilih dalam pergaulan. Setiap
kali diajak bepergian, ibunda Amir selalu bertanya kemana ia hendak
pergi.
Tidak hanya itu, ibunda Amir selalu mengingatkan
anaknya,”Apa yang akan kamu dapatkan dari teman-temanmu?” Kalau saya
pikir-pikir kembali, saya suka bertanya mengapa ibunda Amir mengijinkan
anaknya bermain dengan saya, bahkan sering mengajak saya bicara.
Karena
sering bermain, saya jadi mengerti cara berpikir ibunda Amir. Ia
bahkan sering mengingatkan pentingnya memilih teman. Kalimat, "kalau ke
sana kamu akan mendapatkan apa?" sering sekali saya dengar dari
ucapannya. Dan itu diamini oleh Amir, bahkan ia sering menasehati saya
agar jangan bermain dengan teman-teman tertentu khususnya orang-orang
yang tak jelas jelas sosial dan bukan anak siapa-siapa. Dan bagi saya
itu sungguh menyebalkan.
“Mengambil manfaat” atau
“mengambil” membentuk perilaku Amir sedari kecil. Setiap berhubungan
dengan orang lain ia selalu menyimpan agenda “akan mendapat apa saya
dari sini”. Bahkan setiap mulai bekerja, atau menerima tawaran baru
untuk pindah kantor, Amir selalu bertanya “berapa yang bakal gue
terima?”
Otak dan cara berpikir Amir adalah otak pendek.
Ia hanya bisa melihat apa yang kasat mata, yaitu apa yang harus menjadi
“haknya.” Ia hidup dalam budaya mengambil atau “taking economy”.
Sama sekali ia tidak memikirkan bagaimana masa depan perusahaan yang
akan merekrutnya, apa usahanya, akan bertemu siapa ia disitu,
kecurangan-kecurangan yang harus ia jalankan, kerusakan alam yang
ditimbulkan atau potensi bagi pribadinya untuk berkembang.
Inilah
yang menurut saya telah membuat Amir gagal. Ia enggan membangun masa
depan, tak mau bersusah payah untuk menikmati sesuatu di hari tua. Ini
pulalah yang sekarang banyak diajarkan orang-orang bodoh di masyarakat
yang selalu bicara soal “kaya” atau “cara cepat menjadi kaya.” Ini pula
yang ada di otak para perusak areal tambang, perampok hutan, politisi
yang menjual negara untuk kepentingan pribadi dan para spekulator yang
mejual “money games”. Yang menjual dan membeli sama-sama berpikir seperti ”Amir” dan kelak bernasib seperti Amir.
Redeem Culture
Budi
menjalankan prinsip sebaliknya. Yang ada di kepalanya adalah bagaimana
memberi. Bahkan memberikan yang terbaik. Setiap memberi, wajahnya
tersenyum dan ia merasa pemberiannya belum apa-apa, masih merasa kecil.
Ia memberi tanpa pernah berpikir akan mendapatkan sesuatu. Agenda
terselubungnya tidak ada.
Ia tidak memberi sambil memilih-milih
orang. Ia membantu siapa saja, termasuk orang-orang yang pernah
mengancam dirinya atau orang yang tidak dikenalnya.
Akibatnya
Budi mememiliki banyak teman dan namanya selalu disebut dimana-mana.
Untuk “memberi” ternyata Budi harus bekerja keras. Ia membaca banyak
buku sebelum memberi kuliah. Ia menuliskan pengalaman-pengalaman
hidupnya dan pengetahuan yang ia miliki untuk dibagi-bagikan kepada
orang lain. Ia mendatangi bawahan-bawahannya bukan melulu didatangi. Ia
membuat keputusan lebih cepat, membuat mesin bekerja lebih sempurna dan
melatih orang-orangnya memberikan pelayanan terbaik.
Budi
tak pernah bertanya “berapa gajinya” sejak mulai berkaier sampai
sekarang. Bahkan honornya di koran tak pernah ditagih. Ia hanya bekerja
keras, dan melatih diri memberi. Kalau manusia sudah biasa memberi,
maka dengan sendirinya ia tak perlu mengambil. Pasangan kata “giving” bagi orang-orang seperti Budi bukanlah “taking” melainkan redeem. Silahkan
buka kamus, maka Anda akan mengerti yang saya maksud. Inilah rahasia
orang-orang bahagia yang hidupnya sejahtera dan berkelimpahan.
Orang-orang seperti ini mampu melihat hal yang tak terlihat, otaknya
panjang, dan keberuntungan selalu berpihak kepadanya.
Inilah
yang harus kita ajukan pada wirausaha-wirausaha muda agar bangsa ini
bisa kembali meraih kejayaan. Silahkan memilih, Anda ingin menjadi Amir
atau Budi. Pilihan anda itulah yang menentukan hasil akhirnya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar