Laman

Jumat, 23 Maret 2012

Redeem Economy - Jawapos 19 Maret 2012

Sewaktu kecil saya mempunyai dua orang sahabat. Yang pertama, sebut saja si Amir dan yang kedua Budi. Amir dan budi sama-sama baik dan pintar, tetapi keduanya mempunyai nasib yang berbeda.
Amir kini terlihat lebih tua dari usianya. Wajahnya lusuh dan menyimpan berbagai masalah yang siap diletupkan. Rambutnya tipis dan banyak kerutannya. Setiap bertemu, kami hanya  mendengar keluhan dan amarah. Persis seperti poitisi yang baru merasakan nikmatnya diberi panggung untuk menyalah-nyalahkan orang lain.  Amir sudah lima tahun menganggur, dan setiap mminta pekerjaan selalu itolak kawan-kawan.  Ia menyambung hidup dari belas kasihan kawan-kawannya. Istrinya minta bercerai beberapa tahun yang lalu.

Bagaimana Budi?

Kontras sekali. Budi justru berada dititik perilaku dan aura yang berbeda dengan Amir. Wajahnya mengeluarkan cahaya, penuh antusias, positif, sehat, dan terlihat bahagia. Amir ingin banyak berbicara, sedangkan Budi lebih lebih ingin mendengarkan. Amir banyak mengeluarkan kata-kata yang memilukan. Isi BBM (Blackberry Messenger) yang ia sebarluaskan lebih banyak nasehat dan ajaran agama yang menakut-nakuti. Sedangkan Budi lebih banyak mengirim jokes dan informasi-informasi berharga, atau ayat-ayat kita suci yang menyejukkan.
Anda ingin tahu apa yang membedakan keduanya?  Mereka berdua adalah simbol dari pertarungan ekonomi yang tengah di hadapi manusia-manusia Indonesia, antara Taking Economy dan Redeem Economy.  Anda berada dibagian yang mana?

Taking economy
Amir adalah typical  rata-rata masyarakat kita yang mudah tersulut emosi. Saya ingat betul sewaktu kecil, ia adalah pribadi yang sangat pemilih dalam pergaulan. Setiap kali diajak bepergian, ibunda Amir selalu bertanya kemana ia hendak pergi.

Tidak hanya itu, ibunda Amir selalu mengingatkan anaknya,”Apa yang akan kamu dapatkan dari teman-temanmu?” Kalau saya pikir-pikir kembali, saya suka bertanya mengapa ibunda Amir mengijinkan anaknya bermain dengan saya, bahkan sering mengajak saya bicara.

Karena sering bermain, saya jadi mengerti cara berpikir ibunda Amir. Ia bahkan sering mengingatkan pentingnya memilih teman. Kalimat, "kalau ke sana kamu akan mendapatkan apa?"  sering sekali saya dengar dari ucapannya. Dan itu diamini oleh Amir, bahkan ia sering menasehati saya agar jangan bermain dengan teman-teman tertentu khususnya orang-orang yang tak jelas jelas sosial dan bukan anak siapa-siapa.  Dan bagi saya itu sungguh menyebalkan.

“Mengambil manfaat” atau “mengambil” membentuk perilaku Amir sedari kecil. Setiap berhubungan dengan orang lain ia selalu menyimpan agenda “akan mendapat apa saya dari sini”.  Bahkan setiap mulai bekerja, atau menerima tawaran baru untuk pindah kantor, Amir selalu bertanya “berapa yang bakal gue terima?”

Otak dan cara berpikir Amir adalah otak pendek. Ia hanya bisa melihat apa yang kasat mata, yaitu apa yang harus menjadi “haknya.” Ia hidup dalam budaya mengambil atau “taking economy”. Sama sekali ia tidak memikirkan bagaimana masa depan perusahaan yang akan merekrutnya, apa usahanya, akan bertemu siapa ia disitu, kecurangan-kecurangan yang harus ia jalankan, kerusakan alam yang ditimbulkan atau potensi bagi pribadinya untuk berkembang.

Inilah yang menurut saya telah membuat Amir gagal. Ia enggan membangun masa depan, tak mau bersusah payah untuk menikmati sesuatu di hari tua. Ini pulalah yang sekarang banyak diajarkan orang-orang bodoh di masyarakat yang selalu bicara soal “kaya” atau “cara cepat menjadi kaya.” Ini pula yang ada di otak para perusak areal tambang, perampok hutan, politisi yang menjual negara untuk kepentingan pribadi dan para spekulator yang mejual “money games”.   Yang menjual dan membeli sama-sama berpikir seperti ”Amir” dan kelak bernasib seperti Amir.

Redeem Culture
Budi menjalankan prinsip sebaliknya. Yang ada di kepalanya adalah bagaimana memberi. Bahkan memberikan yang terbaik. Setiap memberi, wajahnya tersenyum dan ia merasa pemberiannya belum apa-apa, masih merasa kecil. Ia memberi tanpa pernah berpikir akan mendapatkan sesuatu. Agenda terselubungnya tidak ada.
Ia tidak memberi sambil memilih-milih orang.   Ia membantu siapa saja, termasuk orang-orang yang pernah mengancam dirinya atau orang yang tidak dikenalnya.

Akibatnya Budi mememiliki banyak teman dan namanya selalu disebut dimana-mana. Untuk “memberi” ternyata Budi harus bekerja keras. Ia membaca banyak buku sebelum memberi kuliah. Ia menuliskan pengalaman-pengalaman hidupnya dan pengetahuan yang ia miliki untuk dibagi-bagikan kepada orang lain. Ia mendatangi bawahan-bawahannya bukan melulu didatangi. Ia membuat keputusan lebih cepat, membuat mesin bekerja lebih sempurna dan melatih orang-orangnya memberikan pelayanan terbaik.

Budi tak pernah bertanya “berapa gajinya” sejak mulai berkaier sampai sekarang.  Bahkan honornya di koran tak pernah ditagih. Ia hanya bekerja keras, dan melatih diri memberi. Kalau manusia sudah biasa memberi, maka dengan sendirinya ia tak perlu mengambil. Pasangan kata “giving” bagi orang-orang seperti Budi bukanlah “taking” melainkan redeem. Silahkan buka kamus, maka Anda akan mengerti yang saya maksud. Inilah rahasia orang-orang bahagia yang hidupnya sejahtera dan berkelimpahan. Orang-orang seperti ini mampu melihat hal yang tak terlihat, otaknya panjang, dan keberuntungan selalu berpihak kepadanya.

Inilah yang harus kita ajukan pada wirausaha-wirausaha muda agar bangsa ini bisa kembali meraih  kejayaan. Silahkan memilih, Anda ingin menjadi Amir atau Budi.  Pilihan anda itulah yang menentukan hasil akhirnya.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar