Laman

Senin, 23 Januari 2012

Zhainan - Sindo 24 Januari 2012

Setiap perayaan hari raya umumnya hanya berlangsung satu atau dua hari. Dipersiapkan seminggu sebelumnya dan segera dilupakan seminggu setelahnya.

Namun, hanya ada satu hari raya yang dipikirkan sepanjang tahun. Itulah Chinese New Year atau Imlek, yang dilengkapi mitos tentang zodiak yang ramai dibicarakan karena dihubungkan oleh lima hal: keberuntungan, kesehatan, panjang umur, bahagia, dan kebajikan. Dibicarakan setahun karena sejak tahun baru itu berlaku mitos tentang peruntungan yang berhubungan dengan tahun kelahiran. Namanya juga shio, berlakunya ya setahun. Dibicarakannya, memang ramai di tanggal- tanggal pergantian tahun, namun masa berlakunya panjang, yakni setahun.

Karena itulah, Chinese New Year mulai menjadi topik marketing yang penting. Tentu ada banyak alasan mengapa ethnic marketing pada topik ini menjadi penting dan menjadi perhatian para marketer. Pertama, ethnic marketing ini kaya cerita (story telling), khususnya mitos tentang shio ,dan berlangsung panjang.Kedua, Chinese diaspora diperkirakan telah mencapai sekitar setengah miliar penduduk, mulai dari Taiwan sampai ke Singkawang, Jayapura, Lima (Peru), hingga ke San Francisco.Ketiga, etnik China adalah pekerja keras yang rendah hati, dengan daya beli yang kuat.Keempat, mereka mempertahankan adat-istiadat dan hidup berkelompok di manapun mereka berada. Karena itulah menarik untuk pemasaran. Sebab, pasarnya besar, kuat, dan mudah dijangkau.

Perubahan

Banyak hal yang masih belum berubah sehingga terkesan tak ada yang baru dari tahun ke tahun, dalam ritual perayaan Imlek. Ikan bandeng misalnya, tetap menjadi simbol perayaan Imlek bersamasama dengan sembahyang di wihara (tepekong), lilin merah berukuran besar yang menyala 24 jam, lampion, barongsai, dan tentu saja angpau. Semuanya seakanakan tak berubah, sama seperti mudik Lebaran di sini, saya baca dan beberapa sumber, dalam tradisi China lebih dari 250 juta orang pulang kampung ke daratan China.

Imlek berarti mudik, reuni, pesawat terbang, kereta api, atau bus. Namun, Shenan Chuang, CEO Ogilvy & Mathers Group di China, sebuah agensi komunikasi pemasaran global terkemuka, justru melihat perubahan tengah terjadi. Benar orang-orang kaya merayakan makan malam di hotelhotel berbintang sambil menyantap makanan spesial.

Tetapi menurut Chuang, mayoritas kaum muda justru memilih mudik untuk menikmati pikiran yang kosong, berhibernasi (hibernating). Makan, tidur, dan berselancar (surfing) di dunia maya adalah tiga hal yang disebut Chuang sebagai zhainan. Efeknya, kelak bisa dilihat, bukan lagi mal yang menjadi tujuan mereka, melainkan toko-toko online. Tahun lalu saja, Taobar.com di China mengalami kenaikan penjualan sebesar 195% selama libur panjang perayaan Imlek. Barang-barang yang dibeli secara online tersebut, terutama ponsel, barang-barang digital, alat-alat dapur dan elektronik, gift, dan suplemen kesehatan.

Story Telling

Ethnic marketing adalah story telling. Di dunia ini ada lima bangsa besar yang dikenal sebagai bangsa yang berkumpul dan mempertahankan komunitasnya, baik sebagai pasar maupun sebagai komunitas budaya di manapun mereka berada. Kelima bangsa itu adalah: Italia, China, India, Arab, dan Latinos.

Perhatikanlah, kelima bangsa ini selalu menguasai tempat-tempat strategis di berbagai sudut downtown setiap kota melalui usaha kuliner (restoran). Budaya dan tata cara bicaranya khas, demikian juga makanannya. Etnik yang saya sebut di atas sangat kental dengan story telling. Demikian pula dengan etnik China yang disadari para pemimpinnya bahwa story telling harus terus digunakan. Story telling adalah boundling (pengikat) yang dipakai dalam mitos tentang alam semesta yang dikaitkan dengan keberuntungan.

Mitos tentang lima elemen dan karakter binatang tertentu yang dikaitkan oleh tahun kelahiran, meski ada landasan logika dan filsafatnya, disampaikan –eh maaf- ”dipasarkan” melalui story telling. Jadi, membidik para etnik adalah sebuah story telling marketing. Coca-Cola di China yang menggunakan brand ambassador atlet olimpiade Liu Xia misalnya, selalu membuat iklan yang berhubungan dengan story telling. Dalam rangka Imlek ini, Liu Xia digambarkan pulang kampung mengunjungi sekolahnya (school visit).

Di sekolah itu dia menikmati memori masa lalunya dan teringat pemilihan ketua Osis yang ternyata dia hanya mendapatkan satu suara. Namun, saat memori kesedihan itu berputar, muncul seorang teman yang sekarang menjadi guru. Teman itulah yang memberi Liu Xia suara. Cerita ini sungguh mengesankan warga China, meski hanya berdurasi 30 detik. Pesanpesan seperti ini, diakui para ahli, akan jauh lebih mengena dibandingkan iklan-iklan biasa yang cuma jual janji dan jual kecap. Iklan dan teknik pemasaran dengan menggunakan story telling adalah milik Asia. Sebab, di sinilah mengakar kuat mitos dan cerita.

Bahkan fengsui pun hidup ribuan tahun karena kekuatan story telling yang terus diperbaharui oleh empu-empu baru. Cerita mengenai naga air misalnya, bisa saja dipakai untuk memasarkan wisata di Pulau Komodo atau sebagai jembatan untuk memasarkan alam Indonesia pada turis China yang jumlahnya mencapai 200 juta itu. Tentu saja diperlukan pembuat story yang cerdas, yang tahu caranya. Batik, keris, kue-kue tradisional, bahkan teh dan kopi juga bisa mendompleng ethnic marketing dengan story telling.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar