Setiap perayaan hari raya umumnya hanya berlangsung satu atau dua
hari. Dipersiapkan seminggu sebelumnya dan segera dilupakan seminggu
setelahnya.
Namun, hanya ada satu hari raya yang
dipikirkan sepanjang tahun. Itulah Chinese New Year atau Imlek, yang
dilengkapi mitos tentang zodiak yang ramai dibicarakan karena
dihubungkan oleh lima hal: keberuntungan, kesehatan, panjang umur,
bahagia, dan kebajikan. Dibicarakan setahun karena sejak tahun baru itu
berlaku mitos tentang peruntungan yang berhubungan dengan tahun
kelahiran. Namanya juga shio, berlakunya ya setahun. Dibicarakannya,
memang ramai di tanggal- tanggal pergantian tahun, namun masa
berlakunya panjang, yakni setahun.
Karena itulah, Chinese
New Year mulai menjadi topik marketing yang penting. Tentu ada banyak
alasan mengapa ethnic marketing pada topik ini menjadi penting dan
menjadi perhatian para marketer. Pertama, ethnic marketing ini kaya
cerita (story telling), khususnya mitos tentang shio ,dan berlangsung
panjang.Kedua, Chinese diaspora diperkirakan telah mencapai sekitar
setengah miliar penduduk, mulai dari Taiwan sampai ke Singkawang,
Jayapura, Lima (Peru), hingga ke San Francisco.Ketiga, etnik China
adalah pekerja keras yang rendah hati, dengan daya beli yang
kuat.Keempat, mereka mempertahankan adat-istiadat dan hidup berkelompok
di manapun mereka berada. Karena itulah menarik untuk pemasaran. Sebab,
pasarnya besar, kuat, dan mudah dijangkau.
Perubahan
Banyak
hal yang masih belum berubah sehingga terkesan tak ada yang baru dari
tahun ke tahun, dalam ritual perayaan Imlek. Ikan bandeng misalnya,
tetap menjadi simbol perayaan Imlek bersamasama dengan sembahyang di
wihara (tepekong), lilin merah berukuran besar yang menyala 24 jam,
lampion, barongsai, dan tentu saja angpau. Semuanya seakanakan tak
berubah, sama seperti mudik Lebaran di sini, saya baca dan beberapa
sumber, dalam tradisi China lebih dari 250 juta orang pulang kampung ke
daratan China.
Imlek berarti mudik, reuni, pesawat
terbang, kereta api, atau bus. Namun, Shenan Chuang, CEO Ogilvy &
Mathers Group di China, sebuah agensi komunikasi pemasaran global
terkemuka, justru melihat perubahan tengah terjadi. Benar orang-orang
kaya merayakan makan malam di hotelhotel berbintang sambil menyantap
makanan spesial.
Tetapi menurut Chuang, mayoritas kaum
muda justru memilih mudik untuk menikmati pikiran yang kosong,
berhibernasi (hibernating). Makan, tidur, dan berselancar (surfing) di
dunia maya adalah tiga hal yang disebut Chuang sebagai zhainan.
Efeknya, kelak bisa dilihat, bukan lagi mal yang menjadi tujuan mereka,
melainkan toko-toko online. Tahun lalu saja, Taobar.com di China
mengalami kenaikan penjualan sebesar 195% selama libur panjang perayaan
Imlek. Barang-barang yang dibeli secara online tersebut, terutama
ponsel, barang-barang digital, alat-alat dapur dan elektronik, gift,
dan suplemen kesehatan.
Story Telling
Ethnic
marketing adalah story telling. Di dunia ini ada lima bangsa besar
yang dikenal sebagai bangsa yang berkumpul dan mempertahankan
komunitasnya, baik sebagai pasar maupun sebagai komunitas budaya di
manapun mereka berada. Kelima bangsa itu adalah: Italia, China, India,
Arab, dan Latinos.
Perhatikanlah, kelima bangsa ini
selalu menguasai tempat-tempat strategis di berbagai sudut downtown
setiap kota melalui usaha kuliner (restoran). Budaya dan tata cara
bicaranya khas, demikian juga makanannya. Etnik yang saya sebut di atas
sangat kental dengan story telling. Demikian pula dengan etnik China
yang disadari para pemimpinnya bahwa story telling harus terus
digunakan. Story telling adalah boundling (pengikat) yang dipakai dalam
mitos tentang alam semesta yang dikaitkan dengan keberuntungan.
Mitos
tentang lima elemen dan karakter binatang tertentu yang dikaitkan oleh
tahun kelahiran, meski ada landasan logika dan filsafatnya,
disampaikan –eh maaf- ”dipasarkan” melalui story telling. Jadi,
membidik para etnik adalah sebuah story telling marketing. Coca-Cola di
China yang menggunakan brand ambassador atlet olimpiade Liu Xia
misalnya, selalu membuat iklan yang berhubungan dengan story telling.
Dalam rangka Imlek ini, Liu Xia digambarkan pulang kampung mengunjungi
sekolahnya (school visit).
Di sekolah itu dia menikmati
memori masa lalunya dan teringat pemilihan ketua Osis yang ternyata dia
hanya mendapatkan satu suara. Namun, saat memori kesedihan itu
berputar, muncul seorang teman yang sekarang menjadi guru. Teman itulah
yang memberi Liu Xia suara. Cerita ini sungguh mengesankan warga
China, meski hanya berdurasi 30 detik. Pesanpesan seperti ini, diakui
para ahli, akan jauh lebih mengena dibandingkan iklan-iklan biasa yang
cuma jual janji dan jual kecap. Iklan dan teknik pemasaran dengan
menggunakan story telling adalah milik Asia. Sebab, di sinilah mengakar
kuat mitos dan cerita.
Bahkan fengsui pun hidup ribuan
tahun karena kekuatan story telling yang terus diperbaharui oleh
empu-empu baru. Cerita mengenai naga air misalnya, bisa saja dipakai
untuk memasarkan wisata di Pulau Komodo atau sebagai jembatan untuk
memasarkan alam Indonesia pada turis China yang jumlahnya mencapai 200
juta itu. Tentu saja diperlukan pembuat story yang cerdas, yang tahu
caranya. Batik, keris, kue-kue tradisional, bahkan teh dan kopi juga
bisa mendompleng ethnic marketing dengan story telling.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar