Laman

Kamis, 12 Januari 2012

Refleksi Kelas Dunia - Sindo 12 januari 2012

Menurut PBB, tahun ini adalah tahun koperasi, dan bangsa-bangsa besar, tak ketinggalan Thailand dan Malaysia berlomba-lomba menunjukan kepada dunia bahwa mereka pun memiliki koperasi kelas dunia. Bagaimana Indonesia? Bukankah kita lagi asyik dengan UMKM non koperasi?

Untuk menjadi pegangan para pelaku koperasi, ICA ( International Cooperative Alliance) mengeluarkan peta yang berisi daftar 300 koperasi kelas dunia. Di dalam daftar itu terdapat koperasi-koperasi besar seperti Credit Agricole Group (Prancis), Zen Noh (Jepang), Rabo Bank (Balanda), California Dairies (USA), IFFO (India), Fair Price (Singapore), dan Bank Rakyat (Malaysia). Semula saya berharap akan ada beberapa koperasi Indonesia yang masuk dalam daftar itu, namun saya harus kecewa menerima kenyataan tidak ada.

Padahal kurang apa ya negeri ini? Penduduk prasejahtera masih banyak, kementrian yang menangani khusus koperasi juga ada, APBN nya pun disediakan. Tidak ada badan hukum usaha lain yang diajarkan di sekolah sejak SD selain koperasi. Koperasi juga dijadikan praktek di sekolah-sekolah. Indonesia juga tidak kurang mengenal tokoh-tokoh koperasi, termasuk pendiri negeri ini Bung Hatta. Sementara di Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat  yang sangat kapitalis, koperasi justru berjaya. Ada apa gerangan?
Idiil dan Komersial
Di Harvard, bila Anda sempat, mampirlah ke toko buku dan souvenir kampus. Anda akan menemukan sebuah toko besar yang dikelola secara profesional. Mahasiswa dan pengunjung menyebutnya CO-OP yang artinya koperasi. Adalah hal yang biasa bila orang menyebut coop-number yang berarti nomor keanggotaan dalam koperasi. Mereka adalah pemegang saham sekaligus pelanggan, mengeluarkan uang dan mendapat deviden.

Di Inggris, gerakan koperasi juga tak kalah hebatnya. Adalah biasa orang menyebut Vivid number yang berarti nomor keanggotaan koperasi. Salah satu kelompok usaha berbasis koperasi yang besar adalah The Co-Operative Group yang bergerak dalam spektrum usaha yang sangat luas dengan 3 juta anggota dan 4,500 outlet.  Mereka bergerak dalam bidang retail, makanan, asuransi, perbankan, travel, farmasi, jasa pemakaman, jasa hukum, investasi, toko on-line, listrik, dan hotel.

Di Indonesia kita mengenal GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) yang masih memiliki gedung bertingkat di jalan bergengsi di jakarta namun kiprahnya sudah lama tak terdengar. Demikian pula Puskowan Jati yang sangat populer di Jawa Timur, Koperasi Unit Desa Setia Kawan di Nangkojajr, koperasi-koperasi susu, Inkopad, Inkopal dan Inkopol serta Inkopau. Tetapi semakin hari koperasi disini mulai jarang disebut. Apalagi, dukungan pemerintah pada sektor pertanian menyusut, lahan-lahan pertanian menyempit dan usaha yang sarat subsidi (seperti pupuk) berpindah ketangan para makelar dan orang-orang partai politik. Mudah-mudahan saya salah dan saya berharap koperasi-koperasi kita gegap gempita seperti di era orde baru.

Namun disisi lain, saya mendengar ada secercah harapan, yaitu berkembangnya koperasi-koperasi simpan pinjam (KSP) yang banyak menggarap sektor microfinance. KSP-KSP ini bisnisnya berkembang karena dikelola secara profesional dengan manajemen yang mirip perbankan. Hanya saja tak semua sektor microfinance dikuasai koperasi. KSP harus bekerja lebih keras lagi karena mereka harus berhadapan dengan bank-bank besar, bank-bank asing, lebaga-lembaga keuangan mikro, BPR, dan tentu saja KSP asing dari Bangladesh, India, dan Eropa.

Refleksi Kelas Dunia
ICA menyebutkan diseluruh dunia usaha koperasi menyangkut kepentingan lebih dari 1 miliar penduduk dunia yang terlibat baik sebagai anggota, konsumen maupun pengurus dan pegawai. Dari global 300 koperasi dunia saja, penghasilan yang diciptakan telah mencapai 1,6 triliun dolar yang berarti setara dengan GDP salah satu negara nomor 9 terbesar di dunia.

Ke 300 koperasi kelas dunia itu  ada di 25 negara dengan penghasilan terbesar ada di Prancis (28%), USA (16%),  Jerman (14%), Jepang (8%), Belanda (7%), Inggris (4%), Swiss(3,5%), Itali (2,5%) Finland (2,6%), Korea (2%) dan Canada (1,75%).
Kalau di negara-negara kapitalisme itu saja koperasi bisa menjadi besar, mengapa di Indonesia tidak? Apakah mungkin karena koperasi telah salah dibina biroktrat-birokrat yang tak paham bisnis sehingga terlalu kental aturan dan masalah idiil saja? Atau jangan-jangan cara pengelolaannya yang masih, maaf, primitif, berpikir kecil, merasa miskin dan kurang berani merekrut kaum profesional? Atau bisa juga bidang-bidang usaha yang ditekuni sangat terbatas pada bidang-bidang usaha bernilai tambah rendah sehingga masih bermimpi mengandalkan tangan pemerintah?

Semua mungkin saja. Tetapi marilah kita berefleksi dengan melihat apa yang dilakukan oleh koperasi-koperasi kelas dunia.
Pada dasarnya, kata kelas dunia sendiri adalah kata yang rancu dan sangat mudah dipakai sekedar untuk “keren-kerenan” saja. Padahal kata kelas dunia mencerminkan sesuatu yang “besar”. Kata “besar” sendiri bisa berwujud luas, mulai dari asset, pasar, pendapatan, jumlah pegawai, jangkauan usaha dan seterusnya.
Namun belakangan saya melihat kecenderungan kata “besar” dalam status kelas dunia mulai ditinggalkan karena banyak usaha-usaha yang besar menimbulkan masalah. “Besar”  dari ukuran-ukuran tadi ternyata identik dengan kerakusan, skandal, arogansi, tidak bersahabat (dengan pelanggan dan society), dan bahkan “besar” identik dengan kesejahteraan semu (illusionary wealth).

Setiap kali terjadi krisis, lembaga-lembaga usaha yang “besar” selalu menjadi beban bagi suatu bangsa karena tidak fleksibel, terlalu hierarki, terlalu I-Centric, banyak hutang, terlibat masalah-masalah etika dan salah urus. Padahal “besar” juga berarti magnet, yang menarik orang-orang terbaik, lulusan universitas-universitas terkemuka dan seterusnya.
Oleh karena itulah pengertian kelas dunia mulai bergeser. Ia bukanlah urusan besar dan rangking prestasi keuangan melulu. Para ahli melihat, kata “respect”, “admire” (dihormati, dikagumi) menjadi lebih bermakna dan lebih diterima. Jadi, ukurannya bukan lagi sekedar value (nilai, angka), melainkan juga values (bernilai, bermakna, kearifan). Value adalah sasaran dari kapitalisme, sedangkan gabungan value dan values adalah miliknya koperasi.

Koperasi kelas desa biasanya terpukau dengan “values” belaka sehingga jalan di tempat, sedangkan koperasi kelas dunia menyeimbangkan keduanya.  Bahkan dengan bekal values –nya itu, mereka berjuang keras menjadi role model dalam industri masing-masing seperti menjalani prinsip-prinsip crackership  dalam konsep Cracking Zone.

Saya masih punya rekaman kuat saat tinggal beberapa minggu di sebuah desa di kaki gunung Bromo lebih dari 20 tahun yang lalu. Di sana saya berdialog dengan para peternak susu dan pengurus Koperasi Susu Setia Kawan. Sebuah desa yang hidup, ceria dan penduduknya sejahtera karena koperasi. Pengurus-pengurus koperasi aktif mencari formula-formula baru dalam berbagai hal. Mereka mencari cara agar sapi-sapi mereka sehat dan produktif, mengembangkan teknologi, pakan ternak, dan alat transportasi susu yang terbebas dari kerusakan kualitas dan seterausnya.

Tetapi di sisi lain, mereka juga aktif membangun masyarakat , merekatkan nilai-nilai, merubah perilaku-perilaku buruk warisan Ke Arok dam Kebo Ijo (dalam sejarah Singosari), membuat para peternak nakal lebih jujur dan tak mencampur susu dengan air atau santan, menciptakan kegembiraan diantara penduduk saat menyetor susu, serta membentuk cara-cara pengelolaan uang yang sehat.

Rakyatnya sehat dan sejahtera, koperasi juga sehat dan dan sejahtera. Tetapi untuk menjadi role model tuntutannya tentu lebih besar lagi. Koperasi tak boleh berpuas diri menjadi pemain-pemain kelas desa, sebab seperti KSP-KSP, mereka juga berhadapan dengan sistem ekonomi yang liberal yang memaksa mereka unggul dalam bersaing. Koperasi harus kompetitif dan dikelola dengan mengikuti zamannya. Koperasi harus menjadi matahari dengan magnezt yang kuat untuk menarik the best talent, the best produk, dan the best system .
Selamat merayakan tahun International Koperasi, dan jadilah warga dunia berkelas yang dihormati.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar