Larry Downes yang menulis Beyond Porter mengingatkan kita akan
pentingnya para pelaku UMKM melihat dirinya dalam global context.
Penulis-penulis lain mengingatkan betapa globalisasi telah menjadi
ancaman serius bagi para pengisi ceruk pasar.
Tapi di
Indonesia, saya mengatakan, tak usah ada globalisasi, Indonesianisasi
saja sudah cukup membuat para pembuat kecap lokal kesulitan bernapas.
Bukankah dulu setiap daerah di Indonesia ini punya merek kecap
masing-masing? Kalau tidak gagal bersaing, mereka habis dicaplok
merekmerek nasional. Sewaktu dibeli, mereka berpikir mereknya akan jadi
besar, tapi nyatanya hanya untuk ditelan dan dimakan pasarnya.
Kata
Philip Kotler, itu namanya guppies strategy, strategi ikan-ikan kakap
memangsa ikan-ikan teri. Lantas, bagaimana melawan kekuatan global? Wali
kota sehebat Joko Widodo tidak gentar. Ia langsung memesan mobil-mobil
buatan siswa-siswa SMK Surakarta dan memamerkannya kepada khalayak bahwa
mobil ini lebih baik dari Toyota Camry-nya yang sudah berusia senja.
Kendati
dicibir gubernurnya sendiri yang mungkin masih kesal dengan keributan
kasus Sari Petojo, Joko Widodo tetap bilang mobilnya layak pakai. Pak
Gubernurbilanghati-hatimasalah keamanan meski akhirnya Gubernur bilang
bagus juga kalau kita mendukungnya.Tapi Pak Gubernur belum tentu akan
ikut pamer seperti wali kotanya kendati keduanya diusung partai yang
sama.
Padahal mobil Esemka dan Rajawali buatan anak-anak
sekolah itu bakal berat melawan gempuran merek global. Walaupun harganya
murah, saat ini di pasar sedang bersiap-siap masuk mobil-mobil berharga
di bawah Rp100 juta. Kemarin Bajaj yang biasa membuat sepeda motor dan
kendaraan roda tiga sudah meluncurkan mobil murah yang mungil.
Peluncurannya pun megah, diekspos bukan hanya oleh TV One atau Metro TV,
tapi oleh jaringan berita internasional.
Identitas Lokal
Sebagai
refleksi, saya ingin mengajak Anda menyaksikan bagaimana ribuan merek
lokal bertempur seorang diri memasuki pasar global. Di Cirebon, para
perajin furnitur yang dulu gencar membuat kursi rotan sudah lama mati
setelah Menteri Perdagangan membiarkan bahan baku diekspor secara bebas
dan mereka kesulitan bahan baku.Tapi cerita di balik pudarnya kerajinan
furnitur dari Cirebon lebih dahsyat dari sekadar bahan baku.Sekitar 10
tahun lalu,saat mengikuti pameran dagang di Jakarta, mereka mengatakan,
”Tahun
ini omzet saya bagus,permintaan banyak, pembeli terus berdatangan.”
Namun,setahun kemudian, di pameran yang sama mereka mulai mengeluh.
”Buyer yang dulu berbelanja dan memesan dalam jumlah besar sekarang
menjadi tetangga saya dan kini ia ikut pameran membuka stan di depan
counter saya.” Bule Jerman atau bule Spanyol pedagang furnitur itu kini
menjadi orang Cirebon dan punya pabrik besar. Setahun berikutnya, saya
mulai mendengar keluhan- keluhan baru.
Banyak buyeryang
pura-pura membeli, tapi diam-diam memotret desain buatan produsen
Cirebon yang dijajakan begitu indah di pameran.Alih-alih memberi layanan
yang manis, muka mereka mulai sedikit kencang karena karya-karyanya
dipotret dan diduplikat. Hari ini, saat berkunjung ke Cirebon, seorang
pegawai bank yang banyak menangani nasabah-nasabah UKM di sana
mengatakan,“ Masa emas furnitur telah berlalu. Genteng di Jatiwangi
masih kuat,tetapi ke depan mereka mulai terancam genteng logam,”ujarnya
lirih.
Di Bandung, Plered, Garut, dan banyak kota kecil
lain,ribuan bahkan jutaan UMKM bergulat dengan persoalan globalisasi
yang berbeda-beda.Hasan Batik di Bandung misalnya, yang dulu (1975)
didirikan dosen Jurusan Seni Rupa ITB Hasanuddin (alm), juga bergelut
melawan globalisasi di usia senjanya. Sebelum krismon,studio dan sekolah
membatiknya digemari turis asal Jepang dan ia tumbuh begitu pesat.Tapi
begitu krismon melanda,mereka benar-benar kehabisan akal.
Setelah
ditinggalkan karyawan- karyawan terampilnya, studionya pun mengalami
musibah kebakaran.Tapi, beruntung, Pak Hasan tidak hanya mewarisi pabrik
dan keterampilan, melainkan juga tiga putri yang tekun meneruskan
usaha. Sania Sari,Tri Asayani,dan Ranitrayani melawan gempuran
globalisasi. Di tangan mereka ada harta-harta tak kelihatan
(intangibles) yang diwariskan seorang ilmuwan yang gencar melatih
keterampilan bersama ibu yang membawa garis DNA batik Pekalongan.
Merekalah
yang membalikkan kembali kejayaan Hasanuddin dengan identitas lokal dan
UMKM. Berapa omzetnya? Kepada tim riset yang saya pimpin,mereka mengaku
Rp75 juta per bulan dengan 20 orang karyawan. Lain Hasan Batik, lain
pula Eddy Permadi. Namanya memang belum setenar Tri Mumpuni, tetapi
dosen ini tak mau diam menyaksikan pengangguran. Ia membuat turbin
mikrohidro untuk menghasilkan energi.
Namun, namanya juga
identitas lokal, Eddy mengisi hari-hari kosong order turbinnya dengan
mengalihkan karyawannya menjadi pembuat bandrek dan bajigur.Tak ada
dalam buku strategi bisnis mana pun di dunia ini yang mencontohkan
gabungan usaha antara turbin dengan bajigur. Tapi di Cihanjuang ini
riil. Keduanya jalan bagus.
Eddy bisa membuat turbin 1
sampai 3 megawatt, di samping pembangkit yang mikro (untuk 3.000 watt
listrik) dengan omzet Rp10 miliar–15 miliar setahun, tapi juga bajigur
yang menyerap 100 ton jahe dari Lampung dengan omzet Rp4,5 miliar
setahun. Eddy yang pernah menikmati pendidikan di Swiss tentu berbeda
dengan Eman Sulaeman yang berjuang mengangkat identitas perajin gerabah
di Plered.
Meski keluarganya dari dulu hidup dari
gerabah, generasinya mengalami gempuran globalisasi yang lebih berat.
Gerabah tak hanya menembus dunia dari Plered,melainkan juga dari
Thailand, Vietnam,Filipina, dan negaranegara Amerika Latin. Mereka semua
menembus pasar dengan pengetahuan dan teknologi yang dipadukan dengan
sentuhan tangan etnik. Bahanbahan beracun dikontrol ketat, teknik
pembakaran dan bahan baku memerlukan pengetahuan tingkat tinggi.
Dengan
segala keterbatasannya, Eman harus siap menerima penolakan pasar kalau
barangnya dinilai tidak memenuhi standar. Setiap tahun Eman harus puas
menjalani usaha dengan omzet Rp400 juta–500 juta. Saya tidak tahu persis
bagaimana Pemerintah Malaysia begitu fokus membina usahawannya
membangun local brand seperti cokelat Barley atau tas dan sepatu Vinci
dan Nose.
Tapi, sepengetahuan saya, pemerintah kurang
aktif mem-branding local product yang kuat. Kala cokelat Barley
digencarkan, Kiki Gumelar juga punya impian menjadi pemain global. Putra
asal Garut ini terispirasi oleh cokelatCeresyangkatanya dulu dimulai
dari Garutjuga. MakaKiki juga melawan globalisasi dengan identitas
lokal,yaitu dodol Garut,sehingga cokelatnya diisi dodol dengan merek
Cokodot.
Skala Global
Saya
tak tahu selera lokal atau identitas lokal apa yang
bisadibangundibalikpembuatan mobil-mobil nasional yang mulai digulirkan
ke pasar.Namun belajar dari IPTN yang dulu dibangun dengan menggebu-
gebu, kita perlu mengingatkan bangsa ini agar selalu
konsistenkalaumembangunsesuatu. Membangun industri automotif, juga
pesawat dan alat-alat tempur, membutuhkan strategi jangka panjang yang
harus konsisten dari masa ke masa.
Bukankah hancurnya
IPTN juga karena kita tidak konsisten dan mudah menghancurkannya dalam
semalam? Kita cuma berharap mobilmobil itu dibangun dengan semangat
industri yang serius, bukan sekadar jadi laboratorium murid SMK yang
lagi praktikum.Sebab membangun industri bukan membangun pabrik. Skalanya
harus diperhitungkan masak-masak.
Biasanya ketika lagi
asyik, negeri penghasil tambang energi terbesar di dunia seperti
Indonesia suka membuat sesuatu at all cost. Setahu saya automotif itu
butuh pasar dan skala usaha yang besar.Maka produksinya tak bisa
encrut-encrut, seekorseekor seperti memberanakkan kambing.Automotif
perlu skala ekonomis yang besar.Sementara di televisi, Kepala SMK bilang
sudah ada pesanan yang lumayan. Berapa Pak Guru? Sepuluh unit. Ini
tentu jauh panggang dari api.
Membangun industri
membutuhkan jaringan yang lebih besar dari sekadar membuat gedung lab
dan praktik membuat mobil. Esemka perlu mengangkat jaringan dealer,
lengkap dengan pasokan spare partsdan bengkel yang luas.Belum lagi lab
riset yang membutuhkan alat-alat uji dan teknologi berbasiskan
pengetahuan.
Entahlah kalau ini juga merupakan identitas
lokal kita: bisa bikin mobil dengan cara baru,tak perlu skala ekonomis,
apalagi cara berpikir industri. Omzet satu dua miliar sudah bisa
hidup.Siapa tahu itu maksudnya. Artinya mereka benarbenar pembaharu
industri alias the super-cracker dalam The Cracking Zone. Siapa tahu itu
maksudnya begitu …
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar