Laman

Sabtu, 07 Januari 2012

Refleksi Global Player - Sindo 5 januari 2012

Larry Downes yang menulis Beyond Porter mengingatkan kita akan pentingnya para pelaku UMKM melihat dirinya dalam global context. Penulis-penulis lain mengingatkan betapa globalisasi telah menjadi ancaman serius bagi para pengisi ceruk pasar.

Tapi di Indonesia, saya mengatakan, tak usah ada globalisasi, Indonesianisasi saja sudah cukup membuat para pembuat kecap lokal kesulitan bernapas. Bukankah dulu setiap daerah di Indonesia ini punya merek kecap masing-masing? Kalau tidak gagal bersaing, mereka habis dicaplok merekmerek nasional. Sewaktu dibeli, mereka berpikir mereknya akan jadi besar, tapi nyatanya hanya untuk ditelan dan dimakan pasarnya.

Kata Philip Kotler, itu namanya guppies strategy, strategi ikan-ikan kakap memangsa ikan-ikan teri. Lantas, bagaimana melawan kekuatan global? Wali kota sehebat Joko Widodo tidak gentar. Ia langsung memesan mobil-mobil buatan siswa-siswa SMK Surakarta dan memamerkannya kepada khalayak bahwa mobil ini lebih baik dari Toyota Camry-nya yang sudah berusia senja.

Kendati dicibir gubernurnya sendiri yang mungkin masih kesal dengan keributan kasus Sari Petojo, Joko Widodo tetap bilang mobilnya layak pakai. Pak Gubernurbilanghati-hatimasalah keamanan meski akhirnya Gubernur bilang bagus juga kalau kita mendukungnya.Tapi Pak Gubernur belum tentu akan ikut pamer seperti wali kotanya kendati keduanya diusung partai yang sama.

Padahal mobil Esemka dan Rajawali buatan anak-anak sekolah itu bakal berat melawan gempuran merek global. Walaupun harganya murah, saat ini di pasar sedang bersiap-siap masuk mobil-mobil berharga di bawah Rp100 juta. Kemarin Bajaj yang biasa membuat sepeda motor dan kendaraan roda tiga sudah meluncurkan mobil murah yang mungil. Peluncurannya pun megah, diekspos bukan hanya oleh TV One atau Metro TV, tapi oleh jaringan berita internasional.

Identitas Lokal 

Sebagai refleksi, saya ingin mengajak Anda menyaksikan bagaimana ribuan merek lokal bertempur seorang diri memasuki pasar global. Di Cirebon, para perajin furnitur yang dulu gencar membuat kursi rotan sudah lama mati setelah Menteri Perdagangan membiarkan bahan baku diekspor secara bebas dan mereka kesulitan bahan baku.Tapi cerita di balik pudarnya kerajinan furnitur dari Cirebon lebih dahsyat dari sekadar bahan baku.Sekitar 10 tahun lalu,saat mengikuti pameran dagang di Jakarta, mereka mengatakan,

”Tahun ini omzet saya bagus,permintaan banyak, pembeli terus berdatangan.” Namun,setahun kemudian, di pameran yang sama mereka mulai mengeluh. ”Buyer yang dulu berbelanja dan memesan dalam jumlah besar sekarang menjadi tetangga saya dan kini ia ikut pameran membuka stan di depan counter saya.” Bule Jerman atau bule Spanyol pedagang furnitur itu kini menjadi orang Cirebon dan punya pabrik besar. Setahun berikutnya, saya mulai mendengar keluhan- keluhan baru.

Banyak buyeryang pura-pura membeli, tapi diam-diam memotret desain buatan produsen Cirebon yang dijajakan begitu indah di pameran.Alih-alih memberi layanan yang manis, muka mereka mulai sedikit kencang karena karya-karyanya dipotret dan diduplikat. Hari ini, saat berkunjung ke Cirebon, seorang pegawai bank yang banyak menangani nasabah-nasabah UKM di sana mengatakan,“ Masa emas furnitur telah berlalu. Genteng di Jatiwangi masih kuat,tetapi ke depan mereka mulai terancam genteng logam,”ujarnya lirih.

Di Bandung, Plered, Garut, dan banyak kota kecil lain,ribuan bahkan jutaan UMKM bergulat dengan persoalan globalisasi yang berbeda-beda.Hasan Batik di Bandung misalnya, yang dulu (1975) didirikan dosen Jurusan Seni Rupa ITB Hasanuddin (alm), juga bergelut melawan globalisasi di usia senjanya. Sebelum krismon,studio dan sekolah membatiknya digemari turis asal Jepang dan ia tumbuh begitu pesat.Tapi begitu krismon melanda,mereka benar-benar kehabisan akal.

Setelah ditinggalkan karyawan- karyawan terampilnya, studionya pun mengalami musibah kebakaran.Tapi, beruntung, Pak Hasan tidak hanya mewarisi pabrik dan keterampilan, melainkan juga tiga putri yang tekun meneruskan usaha. Sania Sari,Tri Asayani,dan Ranitrayani melawan gempuran globalisasi. Di tangan mereka ada harta-harta tak kelihatan (intangibles) yang diwariskan seorang ilmuwan yang gencar melatih keterampilan bersama ibu yang membawa garis DNA batik Pekalongan.

Merekalah yang membalikkan kembali kejayaan Hasanuddin dengan identitas lokal dan UMKM. Berapa omzetnya? Kepada tim riset yang saya pimpin,mereka mengaku Rp75 juta per bulan dengan 20 orang karyawan. Lain Hasan Batik, lain pula Eddy Permadi. Namanya memang belum setenar Tri Mumpuni, tetapi dosen ini tak mau diam menyaksikan pengangguran. Ia membuat turbin mikrohidro untuk menghasilkan energi.

Namun, namanya juga identitas lokal, Eddy mengisi hari-hari kosong order turbinnya dengan mengalihkan karyawannya menjadi pembuat bandrek dan bajigur.Tak ada dalam buku strategi bisnis mana pun di dunia ini yang mencontohkan gabungan usaha antara turbin dengan bajigur. Tapi di Cihanjuang ini riil. Keduanya jalan bagus.

Eddy bisa membuat turbin 1 sampai 3 megawatt, di samping pembangkit yang mikro (untuk 3.000 watt listrik) dengan omzet Rp10 miliar–15 miliar setahun, tapi juga bajigur yang menyerap 100 ton jahe dari Lampung dengan omzet Rp4,5 miliar setahun. Eddy yang pernah menikmati pendidikan di Swiss tentu berbeda dengan Eman Sulaeman yang berjuang mengangkat identitas perajin gerabah di Plered.

Meski keluarganya dari dulu hidup dari gerabah, generasinya mengalami gempuran globalisasi yang lebih berat. Gerabah tak hanya menembus dunia dari Plered,melainkan juga dari Thailand, Vietnam,Filipina, dan negaranegara Amerika Latin. Mereka semua menembus pasar dengan pengetahuan dan teknologi yang dipadukan dengan sentuhan tangan etnik. Bahanbahan beracun dikontrol ketat, teknik pembakaran dan bahan baku memerlukan pengetahuan tingkat tinggi.

Dengan segala keterbatasannya, Eman harus siap menerima penolakan pasar kalau barangnya dinilai tidak memenuhi standar. Setiap tahun Eman harus puas menjalani usaha dengan omzet Rp400 juta–500 juta. Saya tidak tahu persis bagaimana Pemerintah Malaysia begitu fokus membina usahawannya membangun local brand seperti cokelat Barley atau tas dan sepatu Vinci dan Nose.

Tapi, sepengetahuan saya, pemerintah kurang aktif mem-branding local product yang kuat. Kala cokelat Barley digencarkan, Kiki Gumelar juga punya impian menjadi pemain global. Putra asal Garut ini terispirasi oleh cokelatCeresyangkatanya dulu dimulai dari Garutjuga. MakaKiki juga melawan globalisasi dengan identitas lokal,yaitu dodol Garut,sehingga cokelatnya diisi dodol dengan merek Cokodot.

Skala Global 

Saya tak tahu selera lokal atau identitas lokal apa yang bisadibangundibalikpembuatan mobil-mobil nasional yang mulai digulirkan ke pasar.Namun belajar dari IPTN yang dulu dibangun dengan menggebu- gebu, kita perlu mengingatkan bangsa ini agar selalu konsistenkalaumembangunsesuatu. Membangun industri automotif, juga pesawat dan alat-alat tempur, membutuhkan strategi jangka panjang yang harus konsisten dari masa ke masa.

Bukankah hancurnya IPTN juga karena kita tidak konsisten dan mudah menghancurkannya dalam semalam? Kita cuma berharap mobilmobil itu dibangun dengan semangat industri yang serius, bukan sekadar jadi laboratorium murid SMK yang lagi praktikum.Sebab membangun industri bukan membangun pabrik. Skalanya harus diperhitungkan masak-masak.

Biasanya ketika lagi asyik, negeri penghasil tambang energi terbesar di dunia seperti Indonesia suka membuat sesuatu at all cost. Setahu saya automotif itu butuh pasar dan skala usaha yang besar.Maka produksinya tak bisa encrut-encrut, seekorseekor seperti memberanakkan kambing.Automotif perlu skala ekonomis yang besar.Sementara di televisi, Kepala SMK bilang sudah ada pesanan yang lumayan. Berapa Pak Guru? Sepuluh unit. Ini tentu jauh panggang dari api.

Membangun industri membutuhkan jaringan yang lebih besar dari sekadar membuat gedung lab dan praktik membuat mobil. Esemka perlu mengangkat jaringan dealer, lengkap dengan pasokan spare partsdan bengkel yang luas.Belum lagi lab riset yang membutuhkan alat-alat uji dan teknologi berbasiskan pengetahuan.

Entahlah kalau ini juga merupakan identitas lokal kita: bisa bikin mobil dengan cara baru,tak perlu skala ekonomis, apalagi cara berpikir industri. Omzet satu dua miliar sudah bisa hidup.Siapa tahu itu maksudnya. Artinya mereka benarbenar pembaharu industri alias the super-cracker dalam The Cracking Zone. Siapa tahu itu maksudnya begitu …

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar