Bisakah orang miskin memberi ?
Banyak orang yang saat ini
berpikir dirinya harus kaya lebih dulu untuk bisa membantu orang lain.
Orang-orang seperti ini menunda perbuatan baik, menunggu sampai saatnya
tiba. Padahal bagi orang yang menerima, orang kaya memberi adalah
biasa sekali. Pemberian yang paling indah justru adalah pemberian yang
datang dari orang-orang yang susah.
Di Banda Aceh saya menemukan
banyak orang yang tetap merasa susah dan hidupnya tetap tertekan
kendati rumah-rumah mereka sudah lebih baru. Jalan-jalan beraspal kokoh
telah terbangun, kedai-kedai kopi di Ulee Kareng telah kembali ramai
dan roda ekonomi telah kembali berputar. Selain sulit menghilangkan
trauma dan kesedihan yang mendalam akibat tsunami, kadang saya berpikir
mungkin karena bantuan-bantuan yang mereka terima datang dari
negara-negara kaya.
Tetapi di sebuah pesantren yang miskin di Jawa
Timur saya menemukan anak-anak korban Tsunami Aceh yang hidup bahagia,
meski mereka dipelihara oleh santri-santri yang tidak kaya.
Kemungkinan besar mereka merasakan ketulusan dan rasa persaudaraan.
Bukan sekedar pemberian.
Spiritual Giving
Giving atau memberi pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok:
material giving (uang, makanan, selimut, rumah, dan hadiah-hadiah),
dan spiritual giving (kasih sayang, ketulusan, perhatian, kepedulian,
senyum, dan uluran tangan).
Jadi pada dasarnya Anda tidak
harus menjadi kaya secara material terlebih dulu untuk bisa memberi.
Tetapi bila Anda bisa memberikan apa saja, Anda adalah orang yang kaya.
Kaya adalah state of mind yang dibentuk oleh pikiran, bukan oleh
jumlah uang. Bila dua orang yang berpenghasilan sama memberi, maka yang
memberi lebih tuluslah yang lebih kaya.
Saya suka bertanya
pada sopir saya mengapa ia selalu memberi pada pengemis yang meminta di
sisi sebelah kanan di depan jendela kaca mobilnya sementara pemilik
mobil lain mengunci rapat-rapat jendelanya. Ia mengaku dulu pernah
menjadi sopir taksi,”Mungkin karena kita tahu sama-sama susah cari uang
di jalan,” ujarnya.
Di Bandung, saat seorang banci
menepuk-nepuk tangan sambil berjoget di lampu merah, ia segera membuka
jendela dan memberi bukan uang, tetapi sebatang rokok. Banci itu
berucap spontan, “Masya Allah, rokok bo! Nuhun ya kang.” Ia melenggang
pergi sambil tersenyum gembira.
Dalam sebuah buku saku yang
ditulis oleh Arswendo Atmowiloto selama ia di penjara, saya juga pernah
membaca kisah para napi yang sering menerima “kiriman” uang receh yang
dilempar dari balik tembok penjara oleh sopir-sopir truk yang
dimasukkan ke dalam kotak korek api. “Mungkin mereka adalah mantan napi
yang tahu betapa sulitnya orang kecil yang ditahan di penjara,” ujar
Arswendo.
Bagi saya, orang-orang masih mau berbagi itulah yang
kaya. Sebaliknya, di Jakarta saya juga menemukan orang-orang yang
sudah secara ekonomi terpuruk, mulutnya jahat pula. Selain mudah
tersinggung, tak pernah mau memberi, dan setiap kali ada kesempatan
selalu mengambil lebih dulu. Setiap kali ada antrian pemberian mereka
selalu menyerobot dan mengerahkan semua anggota keluarga untuk berebut.
Mereka ini sebenarnya sama miskinnya dengan orang-orang kaya yang
terbelenggu dengan gaya hidup hedonis. Mereka tidak punya budaya
memberi, bahkan kedatangannya selalu menyedot energi milik orang lain.
Di Pesantren SPMAA di Desa Turi Lamongan saya mengirim
mahasiswa-mahasiwa MMUI untuk tinggal beberapa hari, bukan untuk belajar
Ilmu Manajemen, melainkan untuk belajar berbagi. Pesantren ini tidak
kaya materi, tetapi mereka punya hati mulia untuk memberi. Untuk makan
saja mereka tidak berlebih, tetapi semua orang bisa menikmati kasih
sayang.
Di Sanggar Akar Jakarta, saya menemukan komunitas
anak-anak jalanan yang untuk makan sehari-hari tidak berlebih, tetapi
mereka bisa berkesenian, menjual pertunjukan teater kepada
perusahaan-perusahaan, dan bernyanyi gembira. Anak-anak ini dulu
dikumpulkan oleh Romo Sandyawan karena mereka menjadi korban “Operasi
Esok Penuh Harapan” yang menganggap mereka sebagai “sampah kota”.
Di Bandara Juanda saya pernah bertemu dengan seorang biksu yang
memberi nasehat seorang ibu yang tengah menderita karena suaminya sedang
sakit keras. Pesannya, “Nyonya, banyak-banyaklah berderma.” Si ibu
terbengong, ia tidak bisa memahami bagaimana orang susah justru diminta
berderma. Namun belakangan saya mendengar ibu itu menyerahkan sebagian
besar hartanya kepada orang-orang miskin beberapa saat sebelum suaminya
meninggal dunia.
Melepas Kesulitan
Di
Bab penutup buku The Power Of Giving yang ditulis oleh Azim Jamal dan
Harvey McKinnon, saya membaca kalimat ini: “One of the best gifts you
can give children is to teach them the beauty of giving.”
Setiap
anak bisa diajarkan memberi selagi mereka kecil. Mulai dari memberi
perhatian, senyum, ucapan-ucapan yang membesarkan semangat,
kalimat-kalimat positif, uluran tangan, kata terima kasih, memberi
perhatian, empati, mendengarkan, doa, dan seterusnya.
Orang yang
memberi adalah orang-orang yang kaya dan bahagia. Ibu yang tengah
menderita karena suaminya sakit keras, menyatakan, “memberi membuat
beban saya tersalurkan, hidup saya lebih indah dan membuat saya
melupakan kesulitan.”
Memberi bagi orang miskin adalah sebuah
penyembuhan dan membuat hidup lebih baik karena hanya dengan kebaikan
berbuahlah kebaikan.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar