Minggu lalu, sebelum Afriyani Susanti menabrak 13 pejalan kaki dan
menewaskan 9 orang di antaranya, bersama dengan PT Jasa Marga,Rumah
Perubahan yang saya kelola baru saja memberi pelatihan untuk para
sopir.
Dirut Jasa Marga Frans Sunito menggunakan dana CSR
perusahaan yang dipimpinnya untuk mengedukasi para pengemudi agar turut
mencegah kecelakaan lalu lintas. Frans tergugah karena angka kecelakaan
semakin hari semakin tinggi dan setiap beberapa menit satu nyawa yang
melayang di negeri ini terjadi di jalan raya. Saat itu tak ada yang
menduga kecelakaan besar akan terjadi esoknya.
Dengan
produksi kendaraan roda empat sebanyak 880.000 unit dan sepeda motor
mendekati 8 juta unit pada 2011, sementara kondisi jalan tidak bisa
mengikutinya dan jumlah polantas terbatas, bisa dibayangkan apa jadinya
kotakota besar Indonesia. Kondisi ini diperparah oleh budaya memikirkan
diri sendiri yang menonjol belakangan ini.
Pengelola mal
hanya memikirkan traffic masuk ke malnya berlimpah. Pengemudi kendaraan
hanya berpikir bisa cepat tiba di tujuan. Pedagang kaki lima hanya
berpikir mendapatkan penghasilan. Sementara oknum komandan lalu lintas
yang korup hanya memikirkan bagaimana kantongnya semakin tebal dari
amanah yang diembannya.
Driving Under Influence
Satu
orang yang fly saja (seperti Afriyani) ternyata bisa menghilangkan
sembilan nyawa. Ini tentu luar biasa. Di luar negeri, setahu saya ada
undang-undang yang dikenal luas masyarakat,yaitu tentang DUI atau
driving under influence. Meski menenggak minuman keras (di Amerika
Serikat misalnya) tidak dilarang bagi orang dewasa, orang yang mabuk
dilarang mengemudikan kendaraan.
Di Jepang, selepas pukul
12 malam juga banyak ditemui orang dewasa yang mabuk.
Polisijugatidakbanyakdijalan. Tapi orang yang mabuk sudah paham, mereka
dilarang mengemudikan mobilnya sendiri kendati jalanan di Tokyo di atas
pukul 12 sudah sangat lengang. Orang yang mabuk itu dibopong
kawan-kawannya ke atas taksi yang lalu mengantarkan ke rumah mereka
masing-masing.
Di Amerika Serikat, polisi sangat tegas
terhadap kepatuhan berlalu lintas.Di hampir setiap sudut jalan selalu
ada mobil polisi yang memantau kecepatan dan gerakan kendaraan. Speed
limit dibuat untuk memantau perilaku. Selama studi di Amerika Seikat
saja (1992–1998) saya sudah pernah dua kali ditegur polisi karena
melebihi batas kecepatan maksimum. Mereka memakai radar yang mampu
memonitor gerak dan kecepatan dan tahu-tahu polisi sudah di belakang
kita.
Dendanya pun tak sedikit, USD100–200. Bukannya
apaapa, kesadaran memang harus dibangunkan. Orang mengantuk, melamun,
terlena, emosi atau bahkan lupa diri adalah biasa dan harus dibangunkan.
Dan begitu pengemudi dicurigai dalam pengaruh alkohol, mobil segera
digeledah dan pengemudi diberi ujian. Mulai dari tes tiup sampai
berjalan lurus di tepi jalan dan wawancara.
Polisi yang
menjaga tidak banyak, tetapi bila bantuan diperlukan, beberapa polisi
segera merapat dan pengemudi yang mabuk langsung dibawa ke ruang tahanan
kepolisian. Mengapa polisi harus menangkap mereka meski belum
mencelakakan orang lain? Jawabnya adalah karena sudah terlalu banyak
orang tak berdosa yang menjadi korban di jalan akibat ulah para
pemabuk.
Kasus Afriyani harus menjadi bel besar bagi
semua pihak, bukan hanya polisi, melainkan juga produsen automotif dan
pemungut penghasilan di jalan,mulai dari pemilik usaha taksi, logistik,
trucking, pengelola jalan tol, marketing agencies khususnya yang
memasang billboard, telekomunikasi (operator dan produsen ponsel),
developer hingga pengelola mal untuk berbuat sesuatu. Bel besar untuk
mencegah bahaya yang lebih rutin dan lebih menakutkan.
Di
negara-negara lain, sudah terjadi musibah yang memilukan mulai dari
lumpuh otak sampai hilang anggota tubuh. Pemabuk harus dicegah sebelum
kecelakaan terjadi, sepanjang hari.Bukan hanya di malam hari atau saat
hari-hari libur saja. Sayangnya di sini polisi belum terbiasa menangani
orang mabuk dan pengusaha belum bersatu. Polisi juga masih hanya
memeriksa pengemudi yang mabuk di malam hari sampai matahari terbit.
Padahal,
sejak 10 tahun terakhir, di Jakarta dan kota-kota besar lainnya,
orang-orang teler baru pulang setelah matahari terbit. Mabuk dan
menghisap narkotika pun dilakukan bergantian tempat sepanjang tiga hari
berturut-turut, dari Jumat tengah malam sampai menjelang dini hari
sebelum masuk bekerja pada hari Senin. Sepanjang tiga hari itu mereka
berpindahpindah dari satu klub ke klub lainnya, persis seperti yang
dilakukan Afriyani sebagaimana dilaporkan media massa.
CSR untuk Pemakai Jalan
Sejak
konsep CSR dikenal di sini, harus diakui sudah banyak perusahaan kita
yang mengucurkan dana untuk mengurai masalah-masalah sosial. Hanya saja
harus diakui masih banyak pengelola dana CSR pada perusahaan yang
hatinya, maaf, belum benar-benar bersih. Banyak pengelola dana CSR yang
merasa dana itu masih menjadi miliknya, bukan dana amanah yang harus
diserahkan kepada masyarakat.
Memang dana CSR yang
dialokasikan semakin hari semakin besar. Namun karena dananya besar
itulah timbul arogansi dan keengganan untuk disampaikan pada program
yang tepat sasaran. Ada semacam non-tariff barrier yang membelenggu
perusahaan dengan mencampurkan kegiatan sosial pada motif dan cara
bisnis. Banyak manajer yang terperilaku bisnis sehingga ingin
cepat-cepat mendapatkan hasil dan mengukur dampak CSR seperti yang
dipelajari dalam performance management.
Jadi ada KPI-nya
dan semacam ROI (return on investment) atau ROA-nya (return on asset).
Manajer yang belum matang menginginkan dampak yang cepat, padahal social
impact butuh waktu panjang. Bahkan tidak jarang dana yang sudah
dialokasikan ditarik kembali sehingga justru dapat merusak hubungan yang
dibangun dengan komunitas. Metode penyalurannya pun diperlakukan
seperti tender.Apa akibatnya? Dana CSR ternyata banyak yang tak
tersalurkan dan mengendap dalam pekerjaan tak jelas.
PT
Jasa Marga adalah leader yang dapat dijadikan semacam hub oleh para
pemilik dana CSR yang peduli untuk mencegah kecelakaan lalu lintas. Kita
perlu berkarya bersama untuk mencegah perilakuperilaku buruk yang
semakin hari semakin menyesakkan dada.Tengoklah, betapa nilainilai baik
yang dulu pernah kita miliki kini mulai pudar. Orang semakin tak mau
membagi jalan, saling mengunci di perempatan jalan bila lampu lalin
mati,pengemudi truk dan kendaraan besar atau mobil berkecepatan rendah
mengambil jalan di jalur paling kanan, dan saling menonton saat terjadi
kecelakaan lalu lintas.
Pengemudi sepeda motor juga
semakin mudah terbakar amarah, bila posisi terjepit lebih menggunakan
klakson daripada rem. Setahu saya Yamaha dan Honda juga memiliki unit
edukasi yang aktif mengampanyekan pemakai sepeda motor agar tahu cara
mengemudi yang baik.Bahkan Yamaha pernah melakukannya di Rumah Perubahan
untuk mengedukasi para guru agar mengajari murid-murid sekolah
berkendaraan yang benar.
Unilever juga pernah mengundang
saya dalam suatu pertemuan dengan para distributornya agar menjaga
keselamatan para pengemudi armada dan penagih keuangannya. Bagi
mereka,keselamatan adalah modal penting untuk berusaha.Sekali petugas
yang menagih uang atau mengirim barang terlibat kecelakaan, kerugian
usaha bisa berlangsung lama karena tak ada yang menanganinya.
Di
forum para pengemudi yang kami lakukan minggu lalu di Rumah Perubahan,
Frans Sunito menegaskan, perilaku mengemudi yang baik adalah yang tidak
mengganggu orang lain. Ia mengingatkan, sejak kecil kita hanya diajari
fokus pada diri sendiri. Nasihat orang-orang tua adalah agar hati-hati
di jalan.Tak seorang pun yang mengatakan, “Jangan ganggu orang lain.”
Akibatnya kita memang hanya fokus pada diri kita saja.
Kampanye
yang dilakukan PT Jasa Marga tentu bukan sekadar edukasi
biasa,melainkan kampanye perubahan, yaitu bagaimana mengubah sikap dan
perilaku. Kepada para sopir, saya memutarkan filmfilm tentang perilaku
yang berpusat pada diri sendiri. Coba bayangkan kalau semua orang hanya
memikirkan dirinya sendiri, bukankah kasus yang dialami bocah kecil di
China akan terjadi di sini? Bocah itu, Yue Yue,ditabrak sebuah mobil,
lalu diabaikan oleh 13 orang yang lewat di depannya.
Satu
kendaraan malah ikut menggilas kakinya. Perilaku I-centric ini bukan
mustahil mulai terbentuk di sini.Hal itu hanya bisa diatasi kalau kita
memiliki kepedulian dan menggandengkan tangan bersama. Mudah-mudahan
kasus Afriyani dan kecelakaan di Tugu Tani bukan petunjuk yang buruk
bagi kecelakaan di Tahun Naga Air ini,melainkan sebuah bel dengan
dentuman keras untuk membangkitkan kita dari tidur.●
RHENALD KASALI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar