Laman

Minggu, 25 Desember 2011

Mitos Tentang Krisis - Sindo 22 Desember 2011

Beberapa tahun yang lalu, saat krisis moneter tengah melanda Indonesia, Carol Dweck mengumpulkan sekitar 400 orang remaja dan memberi mereka puzzle sederhana. Mereka diberikan dua kalimat yang masing-masing terdiri dari enam kata.

Yang satu bunyinya begini: “you must be smart at this.” (“Kalian harus cerdas pada soal ini”) dan satunya lagi: “you must have have worked really hard.” (“Kalian harus bekerja sangat keras”). Kalimat-kalimat itu diberikan untuk mengetahui perbedaan sikap dari apa yang masing-masing orang percayai atau miliki.

Setelah diberikan dua jenis puzzle tadi, diketahui bagian terbesar remaja memilih kalimat yang pertama. Anak-anak kelompok ini terdiri dari orang-orang yang sangat mengedepankan pentingnya intelligence (kecerdasan) sehingga kata “smart” sangat penting bagi mereka. Sedangkan yang kedua terdiri dari anak-anak yang percaya pada kata “hard work”. Mereka ini umumnya melakukan sesuatu bukan untuk sukses, kata Dweck. Melainkan karena ingin mengeksplorasi tantangan-tantangan yang menarik.  Sukses adalah soal belakangan, bukan menjadi permulaan.

Kepada mereka semua diberikan tawaran untuk memilih satu jenis soal dari dua pilihan. Pilihan pertama adalah soal-soal yang mudah, dan yang kedua adalah soal-soal yang sulit. Anda tahu apa yang terjadi?

Menyadari Krisis: Tidur!
Anak-anak yang mengklaim dirinya “smart” dan senang menyebut dirinya “smart worker” atau mengedepankan intelligence ternyata tidak mau mengambil soal-soal yang sulit. Mereka ingin sukses, dan bagi mereka orang smart harus lulus, dan memilih yang mudah. Dua pertiga responden smart tersebut dicatat psikolog Dweck memilih soal yang mudah.

Kata Dweck, “mereka takut kehilangan label smart yang melekat pada diri mereka dengan menghindari tantangan. Rupanya mendapat label smart dan hebat mengundang beban psikologis yang berat, dan ini bisa membuat manusia menghindar dari tantangan-tantangan alam yang sulit.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak terbebani oleh label “smart” berjalan lebih ringan. 90% diantara mereka justru memilih soal yang sulit. Bodohkah mereka? “Bukan!”, kata Dweck. Melainkan mereka tidak tertarik untuk dianggap sukses atau ingin cepat-cepat menunjukkan hasil, apa lagi dinilai “kaya”. Kata sukses, kaya, dan smart, kalah enak. Tidak elok bila dibandingkan dengan kata “upaya”, “kerja keras”, dan “tantangan”.

Mereka yang merasa cerdas umumnya takut gagal, takut mencoba sesuatu yang baru, dan mudah cemas begitu keadaan berubah atau terancam oleh kata “krisis”. Sebaliknya, mereka yang tak merasa cerdas dan selalu berorientasi pada kerja keras justru menikmati suasana krisis dan tidak kehilangan kepercayaan diri.

Pembaca yang baik, hari-hari ini kata-kata krisis kembali berbunyi keras di antara para pelaku usaha dan CEO menyusul merambahnya krisis keuangan ke beberapa negara Eropa. Dari studi Dweck tadi jelaslah kita selalu akan menemukan 2 jenis CEO. Yang satu takut dan mudah kehilangan percaya diri, sedang yang satu lagi EGP (“Emangnya Gue Pikirin”) dan cenderung kata orang Jawa Timur sebagai “Agak Bonek”.

    Anda mau tahu hasil studi lanjutan yang dilakukan oleh Dweck?
    Kepada kedua kelompok respondennya itu Dweck lalu memberi soal yang sama dengan yang dikerjakan kelompok pertama tadi, yaitu soal yang mudah. Kelompok yang merasa cerdas tadi ternyata mendapatkan skor 20% lebih rendah dari pekerjaannya semula. Dalam bahasa manajemen, saya menyimpulkan, produktivitas mereka justru merosot setelah badai berlalu, sekalipun soalnya tidak lebih sulit. Di sisi lain, kaum pekerja keras, justru mengalami kenaikan kinerja sebesar 30%. Kesulitan dan kegagalan telah membuat mata mereka terbuka dan hormon mereka penuh.

Anak-anak yang mendewa-dewakan kecerdasan dan merasa pintar menghambat motivasi mereka untuk maju dan meracuni kinarja di masa depan.”

Itulah sebabnya di masa-masa seperti ini para CEO perlu bertransformasi diri dari merasa cerdas menjadi bekerja keras. Attitude is everything. Krisis itu bukanlah yang terjadi secara merata, susah tidak akan dialami sama oleh setiap orang.  Sama halnya dengan kebalikannya saat anda membaca berita-berita bagus seperti kenaikan rating invesment grade Indonesia. Mereka yang beruntung bukanlah mereka yang merasa smart, melainkan mereka yang mau mengeksplorasi berbagai kesempatan baru di masa depan.

Jadi saya sependapat dengan almarhum Peter Drucker yang mengatakan cara terbaik mengetahui tentang keadaan masa depan adalah dengan menjelejahi masa depan itu sendiri dengan penuh kesungguhan.  Bukankah soal hasil sudah ada yang menentukan?  Tetapi apa dan bagaimana anda mengerjakannya membuat hasil itu jadi berbeda.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar