Beberapa tahun yang lalu, saat krisis moneter tengah melanda
Indonesia, Carol Dweck mengumpulkan sekitar 400 orang remaja dan
memberi mereka puzzle sederhana. Mereka diberikan dua kalimat yang
masing-masing terdiri dari enam kata.
Yang satu bunyinya
begini: “you must be smart at this.” (“Kalian harus cerdas pada soal
ini”) dan satunya lagi: “you must have have worked really hard.”
(“Kalian harus bekerja sangat keras”). Kalimat-kalimat itu diberikan
untuk mengetahui perbedaan sikap dari apa yang masing-masing orang
percayai atau miliki.
Setelah diberikan dua jenis puzzle
tadi, diketahui bagian terbesar remaja memilih kalimat yang pertama.
Anak-anak kelompok ini terdiri dari orang-orang yang sangat
mengedepankan pentingnya intelligence (kecerdasan) sehingga kata
“smart” sangat penting bagi mereka. Sedangkan yang kedua terdiri dari
anak-anak yang percaya pada kata “hard work”. Mereka ini umumnya
melakukan sesuatu bukan untuk sukses, kata Dweck. Melainkan karena
ingin mengeksplorasi tantangan-tantangan yang menarik. Sukses adalah
soal belakangan, bukan menjadi permulaan.
Kepada mereka
semua diberikan tawaran untuk memilih satu jenis soal dari dua pilihan.
Pilihan pertama adalah soal-soal yang mudah, dan yang kedua adalah
soal-soal yang sulit. Anda tahu apa yang terjadi?
Menyadari Krisis: Tidur!
Anak-anak
yang mengklaim dirinya “smart” dan senang menyebut dirinya “smart
worker” atau mengedepankan intelligence ternyata tidak mau mengambil
soal-soal yang sulit. Mereka ingin sukses, dan bagi mereka orang smart
harus lulus, dan memilih yang mudah. Dua pertiga responden smart
tersebut dicatat psikolog Dweck memilih soal yang mudah.
Kata
Dweck, “mereka takut kehilangan label smart yang melekat pada diri
mereka dengan menghindari tantangan. Rupanya mendapat label smart dan
hebat mengundang beban psikologis yang berat, dan ini bisa membuat
manusia menghindar dari tantangan-tantangan alam yang sulit.
Sebaliknya,
orang-orang yang tidak terbebani oleh label “smart” berjalan lebih
ringan. 90% diantara mereka justru memilih soal yang sulit. Bodohkah
mereka? “Bukan!”, kata Dweck. Melainkan mereka tidak tertarik untuk
dianggap sukses atau ingin cepat-cepat menunjukkan hasil, apa lagi
dinilai “kaya”. Kata sukses, kaya, dan smart, kalah enak. Tidak elok
bila dibandingkan dengan kata “upaya”, “kerja keras”, dan “tantangan”.
Mereka
yang merasa cerdas umumnya takut gagal, takut mencoba sesuatu yang
baru, dan mudah cemas begitu keadaan berubah atau terancam oleh kata
“krisis”. Sebaliknya, mereka yang tak merasa cerdas dan selalu
berorientasi pada kerja keras justru menikmati suasana krisis dan tidak
kehilangan kepercayaan diri.
Pembaca yang baik, hari-hari
ini kata-kata krisis kembali berbunyi keras di antara para pelaku
usaha dan CEO menyusul merambahnya krisis keuangan ke beberapa negara
Eropa. Dari studi Dweck tadi jelaslah kita selalu akan menemukan 2
jenis CEO. Yang satu takut dan mudah kehilangan percaya diri, sedang
yang satu lagi EGP (“Emangnya Gue Pikirin”) dan cenderung kata orang
Jawa Timur sebagai “Agak Bonek”.
Anda mau tahu hasil studi lanjutan yang dilakukan oleh Dweck?
Kepada kedua kelompok respondennya itu Dweck lalu memberi soal yang
sama dengan yang dikerjakan kelompok pertama tadi, yaitu soal yang
mudah. Kelompok yang merasa cerdas tadi ternyata mendapatkan skor 20%
lebih rendah dari pekerjaannya semula. Dalam bahasa manajemen, saya
menyimpulkan, produktivitas mereka justru merosot setelah badai berlalu,
sekalipun soalnya tidak lebih sulit. Di sisi lain, kaum pekerja keras,
justru mengalami kenaikan kinerja sebesar 30%. Kesulitan dan kegagalan
telah membuat mata mereka terbuka dan hormon mereka penuh.
Anak-anak
yang mendewa-dewakan kecerdasan dan merasa pintar menghambat motivasi
mereka untuk maju dan meracuni kinarja di masa depan.”
Itulah
sebabnya di masa-masa seperti ini para CEO perlu bertransformasi diri
dari merasa cerdas menjadi bekerja keras. Attitude is everything.
Krisis itu bukanlah yang terjadi secara merata, susah tidak akan dialami
sama oleh setiap orang. Sama halnya dengan kebalikannya saat anda
membaca berita-berita bagus seperti kenaikan rating invesment grade
Indonesia. Mereka yang beruntung bukanlah mereka yang merasa smart,
melainkan mereka yang mau mengeksplorasi berbagai kesempatan baru di
masa depan.
Jadi saya sependapat dengan almarhum Peter
Drucker yang mengatakan cara terbaik mengetahui tentang keadaan masa
depan adalah dengan menjelejahi masa depan itu sendiri dengan penuh
kesungguhan. Bukankah soal hasil sudah ada yang menentukan? Tetapi
apa dan bagaimana anda mengerjakannya membuat hasil itu jadi berbeda.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar