Duduk di sebuah kedai kecil di tepi Danau Sentani, seorang anak Papua memohon, ”Bantulah kami menjadi tuan rumah di sini.”
Permohonan
itu diajukan dengan wajah penuh kesungguhan dalam suatu dialog, tak
lama setelah saya memberikan materi kepada lebih dari 100 dosen yang
akan disebar untuk menularkan virus kewirausahaan kepada mahasiswa di
Papua. Hampir semua mengeluh tentang sulit dan jarangnya putra asli
daerah yang berminat menjadi wirausaha. “Selamat hari Minggu Bapak,”
kata-kata itu ramah keluar dari seorang bapak yang tengah menggendong
anak kecilnya. Tapi pria itu berjalan tidak stabil.
Teman-temannya
sambil tertawa berujar, “Mabuk. Sedang mabuk dia Bapak. Kami sedang
pesta miras, ”ujarnya. Anak Papua, putra asli daerah yang tadi memohon
menjadi tuan rumah,berkata kesal. “Beginilah nasib kami.Tidak punya uang
tidur di kasur.Punya uang tidur di got.”Yang ia maksud tidak lain para
pemabuk yang kalau punya uang dipakai membeli miras dan terbiasa ditemui
di got karena mabuk. Entah mengapa mabuk menjadi biasa ditemui di
kota-kota. Bahkan anak-anak terbiasa melihat ayahnya mabuk sejak kecil.
Dua Ancaman
Minuman
keras adalah salah satu ancaman yang menghambat kemajuan anak-anak
Papua untuk menjadi wirausaha. Dengan minuman keras, seseorang akan
sulit mengendalikan emosinya.Apalagi bila menjadi addicted. Setiap
kelebihan uang tidak dipakai reinvestasi, melainkan untuk
bersenang-senang. Seorang pengusaha setempat berujar,“Kalau ingin cepat
kaya jadilah penjual miras,” sambil membandingkannya dengan usaha
penjualan ponsel yang ia geluti.
Miras impor,buatan luar
Papua yang dikirim dari Sulawesi dan Jawa, serta miras lokal yang dibuat
sendiri oleh penduduk bertempur hebat di pasar. Budaya minum miras ini
memang bukan hanya ada di Tanah Papua, melainkan juga ada di beberapa
provinsi lain. Sekitar 20 tahun lalu misalnya, saat menyeberangi Danau
Toba menggunakan perahu-perahu bermesin saya sempat terkejut karena di
bawah kemudi bertumpuk botol-botol minuman alkohol yang belum sempat
dibersihkan. Pengemudinya pun menjalankan perahu sambil menenggak bir.
Tapi
kemajuan ekonomi dan pendidikan membuat manusia lebih tertib.Di Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa, penduduknya juga gemar minumminuman
beralkohol. Tapi pemerintah yang sehat mengaturnya dan membatasi
konsumsi secara berlapis. Pajaknya ditinggikan, anak-anak di bawah usia
21 tahun dilarang membeli dan mengonsumsi alkohol. Pesta alkohol di area
publik dilarang keras dan undangundang (UU) melarang orang yang
menenggak alkohol mengendarai mobil atau sepeda motor. Itu saja belum
cukup mengurangi bahaya bagi orang lain.
Di Papua,
pemerintahpemerintah kabupaten dan kota madya perlu menata kembali
budaya minum alkohol.Kalau kita ingin melihat orang Papua menonjol dalam
dunia usaha, budaya minum-minum ini harus dikendalikan.Setiap kali
berkeliling kota dan desa di Papua, saya tidak menemukan satu pun
wirausaha putra daerah. Bengkel, rumah makan, toko- toko kelontong,
penjual ponsel,produsen bahan-bahan bangunan, dan sebagainya semua
dijalankan para pendatang.
Satu-satunya usaha yang
dijalankan penduduk setempat hanya jualan pinang. Wajar bila anak muda
tadi mengungkapkan perasaannya agar bisa menjadi tuan rumah di tanah
kelahirannya. Maka, saya pikir, diperlukan road mapkhusus untuk
menularkan virus-virus kewirausahaan di Papua. Langkah pertamanya adalah
membatasi peredaran minuman keras dan membentuk sikap mental disiplin
di kalangan generasi muda. Lantas apa masalah kedua? Masalah yang tak
kalah penting adalah PNS. Masalah ini sama pentingnya dengan budaya
miras, tetapi mungkin lebih mudah bagi kita untuk memperbarui dan
mengubahnya.
Hidup Enak PNS
Agen-agen
pemilik toko ponsel di Papua mengatakan keheranannya karena
pelangganpelanggan setia yang mampu membeli ponsel hingga lima buah
dalam sebulan adalah PNS atau pegawai pemda.Di hampir setiap hotel dan
rumah makan banyak ditemui aparat pegawai pemda dan PNS yang menikmati
makan siang bersama, mengikuti rapat-rapat kerja, dan sebagainya.
Pemandangan sehari-hari yang kasatmata adalah hidup enak menjadi PNS.
Dengan
demikian tidak ada insentif psikologis yang dapat dijadikan stimulus
untuk mendorong anakanak Papua menjadi wirausaha. Apalagi untuk menjadi
wirausaha yang berhasil dibutuhkan kerja keras, disiplin, dan
pengorbanan jangka pendek untuk mendapatkan hasil besar di masa depan.
Jadi wajar saja bila di mana-mana penduduk asli Papua lebih memilih
profesi sebagai birokrat. Terlebih lagi di jajaran birokrasi belum
ditemui pemimpin yang berikhtiar melakukan perubahan.
PNS
belum banyak disentuh baik sikap maupun budaya servisnya. Bekerja dengan
mulut beraroma miras, berbicara sambil mengunyah pinang, masuk kerja
tidak tepat waktu, menghilang sebelum jam kerja berakhir, penggunaan
anggaran tanpa arahan yang jelas,pengukuran kinerja yang lemah, serta
ketidak pedulian atasan dalam membentuk bawahan sangat menonjol. Kalau
sudah demikian,siapa berminat menjadi wirausaha? Jawabannya jelas:
pendatang! Orang-orang Bugis, Manado, Jawa Timur,Banjar,dan Minang
mengisi kekosongan itu.
Kita tentu tidak bisa menularkan
virus-virus kewirausahaan begitu saja tanpa menghentikan faktor-faktor
yang menariknya ke arah lain.Tanpa kesungguhan pemerintah meningkatkan
disiplin PNS dan mengisolasi budaya mabuk,saya kira upaya melahirkan
wirausaha asli Papua dapat menjadi sia-sia.
Lantas, tanpa
kehadiran wirausaha asli Papua secara kasatmata dalam kehidupan
sehari-hari,saya kira benih-benih konflik dapat tumbuh secara subur.
Bisakah saya berharap banyak dari pemerintah, wakilwakil rakyat, dan
pemimpinpemimpin daerah untuk mengatasi kedua masalah itu?
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar